BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.2 Pengembangan masyarakat
2.1.2.1 Definisi dan Prinsip Pengembangan Masyarakat
Johnson (1984) dalam Wibisono (2007) bahwa pengembangan masyarakat merupakan spesialisasi atau seting praktek pekerjan sosial yang bersifat makro (makro practice). Maksud konsep tersebut yaitu pengembangan masyarakat tidak hanya dilakukan oleh para pekerja sosial saja, akan tetapi dapat pula dilakukan oleh para pekerja dalam profesi lain. Definisi lain tentang pengembangan masyarakat diungkapkan oleh AMA (1993) dalam Wibisono (2007) sebagai metode yang memungkinkan orang daapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya.
Menurut Suharto (2005) Pemberdayaan atau pengembangan masyarakat adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau kebrdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki keuasaan atau mempunyai kemampuan dan pengetahuan dalam memenuhi kebutuahan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.
Konsep pengembangan masyarakat menurut Rothman (1968) dalam Wibisono (2007) menjelaskan konsep pengembangan masyarakat melalui 3 model praktek pengorganisasian komunitas (Three Models of Community Organization Practice), yaitu pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial dan aksi sosial.
Menurut Budimanta dalam Rudito dkk (2007), pengembangan masyarakat adalah kegiatan pembangunan komunitas yag dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses komunitas guna mencapai
kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya. Dalam kaitan dengan karakteristik pengembangan masyarakat.
Secara konseptual pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata “power” yang berarti kekuasaan atau keberdayaan. Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan, dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat melainkan juga bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka (Suharto, 2005).
Glen (1993) dalam Adi (2003) menggambarkan bahwa ada tiga unsur dasar yang menjadi ciri khas pendekatan masyarakat:
1. Tujuan dari pendekatan ini adalah memampukan masyarakat untuk mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan mereka. Tujuan utama dari pengembanagan masyarakat menurut Glen (1993: h. 25) adalah mengembangkan kemandirian dan pada dasarnya memantapkan rasa kebersamaan sebagai suatu komunitas berdasarkan basis ‘ketetanggan’ (neighbourhood) meskipun bukan secara ekslusif.
2. Proses pelaksanaanya melibatkan kreatifitas dan kerjasama masyarakat ataupun kelompok-kelompok dalam masyarakat tersebut. Glen memprasyaratkan adanya kerjasama dan kreatifitas sebagai dasar proses pengembangan masyarakat yang baik. Melihat komunitas sebagai kelompok masyarakat yang secara potensial kreatif dan kooperatif mereflesikan idealisme sosial yang positif terhadap upaya-upaya kolaboratif dan pembentukan identitas komunitas.
3. Praktisi yang menggunakan model intervensi ini (lebih banyak) menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat yang bersifat
non-direktif. Peran community worker pada pendekatan ini lebih banyak difokuskan pada peran sebagai ‘pemercepat perubahan’ (enabler), ‘pembangkit semangat’ (encourager) dan ‘pendidik’ (educator).
Menurut Budimanta (2008), ruang lingkup program-program pengembangan masyarakat (community development) dapat dibagi berdasarkan tiga kategori yang secara keseluruhan akan bergerak secara bersama-sama yang terdiri dari:
1. Community Relation; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut
pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait. Dalam kategori ini, program cenderung mengarah pada bentuk-bentuk kedermawanan (charity) perusahaan. Dari hubungan ini, maka dapat dirancang pengembangan hubungan yang lebih mendalam dan terkait dengan bagaimana mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang ada di komunitas lokal sehingga perusahaan dapat menerapkan program selanjutnya.
2. Community Services; merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan komunitas ataupun kepentingan umum. Dalam kategori ini, program-program dilakukan dengan adanya pembangunan secara fisik sektor kesehatan, keagamaan, pendidikan, transportasi dan sebagainya yang berupa puskesmas, sekolah, rumah ibadah, jalan raya, sumber air minum, dan sebagainya. Inti dari kategori ini adalah kebutuhan yang ada di komunitas dan pemecahan tentang masalah yang ada di komunitas dilakukan oleh komunitas sendiri dan perusahaan hanya sebagai fasilitator dari pemecahan masalah yang ada di komunitas. Kebutuhan-kebutuhan yang ada di komunitas dianalisis oleh para community development officer.
3. Community Empowering; merupakan program-program yang berkaitan
dengan pemberiaan akses yang lebih luas kepada komunitas untuk menunjang kemandiriannya, misalnya pembentukan koperasi. Pada dasarnya, kategori ini melalui kategori tahapan-tahapan lain seperti melakukan community relation pada awalnya, yang kemudian berkembang pada community service dengan segala metodologi pangilan data dan kemudian diperdalam melalui ketersediaaan pranata sosial yang sudah lahir dan muncul di komunitas melalui program kategori ini.
2.1.2.2 Partisipasi dalam Pengembangan Masyarakat
Pengertian partisipasi menurut kamus besar bahasa indonesia (Depdikbud, 1986) adalah hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Partisipasi dapat pula diartikan keikutsertaan seseorang secara sukarela tanpa dipaksa sebagaimana yang dijelaskan Sastro Poerto (1988) dalam Makmur (2005) bahwa partisipasi adalah keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan.
Cohen dan Uphof (1977) dalam Makmur (2005) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud disini yaitu pada perencanaan suatu kegiatan.
2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek.
3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya.
4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran.
2.1.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Perilaku seseorang terhadap suatu objek diwujudkan dengan kegiatan partisipasi, keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, menurut Pangestu yang dikutip oleh Santoso (1999) faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi seseorang dalam program penyuluhan pertanian dipengaruhi oleh dua hal, yaitu:
a. Faktor internal dari individu yang mencakup ciri-ciri atau karakteristik individu yang meliputi: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, luas lahan garapan, pendapatan, pengalaman berusaha dan kosmopoitan b. Faktor eksternal yang merupakan faktor di luar karakteristik individu yang
meliputi hubungan antar pengelola dengan petani garapan, kebutuhan masyarakat pelayanan pengelola dengan kegiatan penyuluhan.