• Tidak ada hasil yang ditemukan

10 1.4 Kegunaan Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pengembangan Wilayah

Salah satu prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan wilayah adalah bahwa setiap wilayah (region) memiliki karakteristik wilayah yang berbeda-beda, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan wilayah harus didasarkan pada karakteristik wilayah masing-masing.

Pengembangan suatu wilayah harus disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Untuk itu perlu diketahui penggerak utama (prime mover) yang ada di wilayah tersebut. Prime mover adalah suatu potensi yang dapat dikembangkan menjadi pusat industri besar yang membutukan front-end invesment yang besar, dan dapat bertahan untuk waktu puluhan tahun. Prime mover dapat berupa (1) tambang mineral; (2) tambang minyak; (3) tambang gas; (4) hutan industri; (5) industri perikanan dengan segala penunjangnya; (6) industri pertanian; (7) pusat industri jasa; (8) pusat pendidikan; dan (9) pusat penelitian dan pengembangan. Bila suatu wilayah telah memiliki prime mover, maka pengembangan wilayah dikaitkan dengan aktivitas yang berputar disekitar prime mover tersebut (Zen 2001 dalam Hamzah 2005).

Paradigma pembangunan yang dianut selama ini berdasarkan keyakinan atas teori Simon Kusnetz, yang terkenal dengan temuan kurva-U terbalik, bahwa untuk negara-negara yang berpendapatan rendah, pertumbuhan ekonomi harus mengorbankan pemerataan atau dengan kata lain harus ada trade-off antara pertumbuhan dengan pemerataan. Kenyataannya kita memilih industrialisasi

sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi (agregat) yang tinggi dengan harapan terjadi penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi jika strategi investasi besar (industrilaisasi) dilakukan secara berlebihan, sedangkan proses penetesan ke bawah (penyebaran pembangunan) ternyata tidak terlaksana maka terjadi ketidak seimbangan dan ketimpangan.

Dikombinasikan dengan pemikiran para ekonom Keynesian yang melegitimasi perlunya peran (campur tangan) pemerintah dalam mengatur perekonomian nasional, maka dalam pelaksanaannya pembangunan banyak mengalami kegagalan (menyimpang dari tujuan semula) karena terjadi “misleading policy” yang menyesatkan. Kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang terlalu mengutamakan pertumbuhan, membawa implikasi yang cukup mendasar, antara lain terjadinya polarisasi pusat-pusat pertumbuhan (growth pole strategy) baik secara spasial maupun sektoral, pada lokasi atau sektor yang dianggap mempunyai keunggulan komparatif, bahkan juga terjadi polarisasi penguasaan aset ekonomi, aset ekonomi hanya dikuasai dan dinikmati oleh segolongan kecil penduduk yang mempunyai akses terhadap kekuasaan dan sumberdaya. Kebijakan pembangunan demikian pada ahirnya diikuti dengan sejumlah eksternalitas (terutama negatif) yang menimbulkan biaya sosial yang tinggi bahkan tuntutan disintegrasi bangsa, karena terjadi berbagai ketimpangan (Anwar dan Rustiadi 2000).

Teori pertumbuhan wilayah tidak seimbang (Imbalanced growth) yang dikemukakn oleh Myrdal, beranggapan bahwa terdapat dua proses yang bekerja bersama dalam pengembangan wilayah. Yakni backward effect (proses pengurasan sumberdaya wilayah terbelakang oleh wilayah maju) dan spread effect yaitu gaya yang ditimbulkan oleh wilayah maju akan mendorong pengembangan wilayah belakang (hinterland).

Pada wilayah yang belum berkembang, Hirschman dalam Todaro (1989), mengemukakan bahwa pembangunan tak seimbang adalah pola pembangunan yang lebih cocok untuk mempercepat proses pembangunan wilayah. Alasan yang mendasari pembangunan tidak seimbang adalah:1). secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang, 2). untuk mempertnggi efisiensi penggunan sumberdaya yang tersedia, 3). pembangunan tidak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottle necks) atau gangguan-

gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya.

Lebih lanjut Hirschman mengatakan bahwa proses pembangunan yang terjadi antara dua periode waktu teertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju berbeda, yang berarti pula pembangunan berjalan secara tidak seimbang. Perkembangan leading sector akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Pembangunan tidak seimbang ini juga dianggap lebih sesuai untuk dilaksanakan dinegara atau wilayah berkembang karena wilayah-daera tersebut juga menghadapi masalah kekurangan sumberdaya.

Pembangunan wilayah diarahkan utuk mencapai tujuan petumbuhan ekonomi (growth), pemertaan (equity), dan keberlanjutan (sustainability) ekosistem. Anwar (1999), mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan sejauh mana sumber-sumber yang langka yang terdiri dari sumberdaya manusia (human capital), peralatan (manmade capital) dapat dialokasikan untuk hasil yang maksimum, sehingga dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktifnya. Semakin tinggi tingkat sumberdaya manusia yang digambarkan oleh tingkat kemampuan untuk penguasaan teknologi, maka semakin besar kemampuan untuk memanfaaatkan sumberdaya alam yang tersedia untuk mencapai pertumbuhan wilayah yang tinggi.

Penggalian potensi sumberdaya merupakan prioritas utama meningkatkan pendapatan wilayah sehingga akan meningkatkan kemampuan wilayah dalam dalam pelaksanaan pembangunan. Adanya peningkatan pembangunan dapat mempercepat perkembangan suatu wilayah. Menurut Susanto dan Ismail (2001) dalam Hamzah (2005) dalam era otonomi daerah sumberdaya alam merupakan modal utama dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat wilayah disamping modal-modal yang lain.

Selanjutnya pemberian otonomi yang cukup juga perlu dilakukan karena seringkali masyarakat yang sebenarnya mempunyai kemampuan untuk meyelesaikn suatu masalah di tingkat lokal tetapi tidak diberikan kewenangan. Dalam kondisi ini lebih efisien apabila otonomi yang cukup diberikan kepada masyarakat untuk mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi di komunitas mereka. Namun pemberian otonomi ini harus dilandaskan pada capacity

building masyarakat yang cukup kuat agar pelaksanaannya bisa menjadi lebih efektif dan efisien. Karena itu investasi terhadap peningkatan human capital dan social capital menjadi prasyarat agar pembangunan di tingkat lokal bisa berhasil.

Secara etimologis social capital mempunyai pengertian modal yang dimiliki oleh masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat. Modal ini merupakan perpaduan antara sesuatu yang bersifat material dan non material. Material mempunyai makna tentang kepemilikan berkaitan dengan aset-aset finansial yang dimiliki, sedangkan nonmaterial, modal berwujud adanya mutual trust (kepercayaan) dan gathering system (sistem kebersamaan) dalam suatu masyarakat.

Di dalam masyarakat berkembang, modal sosial ini menjadi suatu alternatif pembangunan masyarakat. Mengingat sebenarnya masyarakat sangatlah komunal dan mempunyai banyak nilai-nilai yang sebenarnya sangat mendukung pengembangan dan penguatan modal sosial itu sendiri. Modal sosial memberikan pencerahan tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi sebagai pilar penting masyarakat sekaligus pilar bagi demokrasi dan good governance. Modal sosial hanya dapat dibangun ketika tiap individu belajar dan mau mempercayai individu lain, sehingga mereka mau membuat komitmen yang dapat dipertanggung jawabkan untuk mengembangkan bentuk- bentuk hubungan yang saling menguntungkan (Putnam,1995). Pendekatan dalam mengembangkan modal sosial perlu menerapkan sosialisasi untuk membangun jaringan sosial dan memperkuat kohesi sosial. Kohesi sosial akan terbangun manakala ada trust, dan trust merupakan bentuk modal sosial yang paling penting yang perlu dibangun sebagai landasan dalam membina kemitraan antara pemerintah dan masyarakat. Namun, trust pun tidak akan memadai tanpa diimbangi dengan akuntabilitas dan transparansi, yang memberikan peluang bagi stakeholders untuk mengawasi atau memverifikasi tindakan atau keputusan yang dibuat pemerintah. Trust bersifat dinamis karena ia dapat tumbuh dan sebaliknya dapat hilang manakala mereka yang mendapat mandat kepercayaan ternyata tidak dapat bertanggung jawab (tidak akuntabel) terhadap mandat yang telah diberikan.

Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan permasalahan wilayah bersangkutan karena kondisi sosial ekonomi,budaya dan geografis antara suatu wilayah dengan wilayah lain sangat berbeda. Dalam pelaksanaan pengembangan wilayah, untuk

menumbuhkan keberdayaan mesti bersandar pada aspirasi dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu konsep pengembangan masyarakat dapat digunakan sebagai pendekatan utama dalam pelaksanaan pembangan wilayah. Salah satu strategi yang dapat dilaksanakan adalah meningkatkan kemitraan antara pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Penyelenggaraan pembangunan wilayah tidak semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah daerah saja, tetapi juga berada di pundak masyarakat secara keseluruhan. Salah satu wujud rasa tanggung jawab yang dimaksud adalah sikap mendukung dari warga masyarakat terhadap penyelenggaraan pembangunan wilayah yang ditunjukan dengan partisipasi aktif warga masyarakatnya (Nasdian 2002 dalam Supardian 2005).

Dalam pelaksanaannya dilapangan, terdapat masalah-masalah pokok yang paling mendesak untuk segera ditangani berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan melalui pendekatan pengembangan masyarakat, diantaranya supremasi hukum yang masih lemah, sistem pemerintahan yang belum efektif, kualitas sumberdaya manusia yang rendah, potensi sosial ekonomi yang belum diberdayakan, kapasitas daerah dan pemberdayaan masyarakat yang belum optimal serta masih terbatasnya akses masyarakat terhadap berbagai sumber ekonomi.

Dengan demikian, perencanaan pengembangan wilayah perlu didukung melalui program-program pengembangan yang relevan dengan karakteristik wilayah. Hal ini berarti bahwa program-program pengambangan wilayah (Regional development programming) harus dilaksanakan dengan berorientasi pada kepentingan wilayah dan berdasarkan pada kebutuhan dan aspirasi yang berkembang dalam rangka pemerataan serta percepatan pembangunan wilayah.

Pengembangan wilayah (regional development), menurut mazhab eco- sustainability orientasinya harus lebih bersifat jangka panjang (long term) sehingga kelestarian sumberdaya alam akan lebih terjaga. Konsep pengembangan wilayah tidak hanya berbicara mengenai perhitungan teknis ekonomis, tetapi juga menyangkut pengelolaan sumberdaya alam.

Riyadi (2002) menyatakan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Sedangakan menurut Zen (2001) dalam Hamzah (2005), pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu

wilayah untuk memanfaatakn sumberdaya alam yang terdapat disekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Jadi pengembangan wilayah tidak lain dari usaha memadukan secara harmonis sumberdaya alam, sumberdaya Manusia dan teknologi dengan memperhitungkan daya tampung (carrying capacity) dan daya dukung lingkungan. Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat (gambar 2.1).

Gambar 2.1. Hubungan antara Pengembangan wilayah, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi (Zen 2001 dalam Hamzah 2005).

Hal ini sejalan dengan apa yang di sampaiakan oleh Suhandoyo (2002) dalam Hamzah (2005), bahwa dalam pembangunan suatu wilayah, minimal ada tiga pilar yang perlu diperhatikan yaitu: Sumberdaya alam,sumberdaya manusia dan teknologi. Pilar sumberdaya manusia memegang peranan sentral karena mempunyai peran ganda dalam sebuah proses pembangunan. Pertama, sebagai obyek pembangunan sumberdaya manusia merupakan sasaran pembangunan untuk disejahterakan. Kedua, seumberdaya manusia berperan sebagai subyek (pelaku) pembangunan. Dengan demikian, pembangunan suatu wilayah

Pengemban- gan wilayah Sumberdaya Manusia Lingkungan hidup Lingkungan hidup Sumberdaya Alam Teknologi Lingkungan hidup

sesungguhnya merupakan pembangunan yang berorientasi kepada manusia (people centre development), dimana sumberdaya manusia dipandang sebagai sasaran sekaligus pelaku pembangunan.

Adapun tujuan utama pengembangan wilayah menurut Riyadi (2002) adalah menyerasikan berbagai kepentingan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam yang berada di dalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial- budaya dan dalam lingkungan alam yang berkelanjutan.

Dengan demikian arah dan kebijaksanaan pengembangan wilayah pada prinsipnya mendukung dan memperkuat pembangunan wilayah yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional (Ary 2001 dalam Wahyudin 2005).

Sedangakan sasaran utama yang banyak dicanangkan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam pengembangan wilayahnya adalah meningkatkan pertumbuhan produktivitas (productivity growth), memeratakan distribusi pendapatan (income distribution), memperluas kesempatan berusaha atau menekan tingkat pengangguran (unemployment rate), serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable development) (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002 dalam Wahyudin 2005).

Konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pengembangan sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada issue (permasalahan pokok) wilayah secara saling terkait, sementara pembangunan sektoral sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor tertentu tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lain. Namun dalam orientasinya kedua konsep tersebut salng melengkapi, dimana pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa adanya pengembangan sektoral. Sebaliknya, pengembangan tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya sektor itu sendiri. Bahkan dalam hal ini dapat menciptakan konflik kepentingan antar sektor, yang pada gilirannya akan terjadi kontra produktif dalam pengembangan wilayah (Riyadi, 2002).

Suatu aspek yang tidak boleh dilupakan dalam usaha pengembangan wilayah ialah aspek lingkungan hidup. Masalah-masalah lingkungan hidup sudah pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan terus ketingkat perkotaan, dalam kegiatannya pengembangan wilayah (regional development) harus disertai oleh

pengembangan masyarakat. Selain memanfaatkan sumberdaya alam melalui teknologi, manusianya juga harus dikembangkan.