• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI PERJANJIAN

A. Tinjauan Umum Tentang Suatu Perjanjian

1. Pengertian dan Ketentuan Umum Tentang Suatu

Perjanjian adalah sumber terpenting dalam menciptakan sebuah perikatan.

Pada dasarnya perikatan banyak dilahirkan dari suatu perjanjian. Namun ada kalanya sebuah perikatan lahir dari undang-undang.97

97R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Internusa, 1979), Hal.1

Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang.”

Ketentuan tersebut juga dipertegas dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikat diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Setiap perjanjian yang melahirkan suatu perikatan diantara kedua belah pihak adalah mengikat bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian, hal ini berdasarkan atas ketentuan hukum yang berlaku didalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum perdata yang berbunyi :

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana yand diatur dalam Pasal 1338 (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”

Dengan demikian dalam suatu perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan yang nyata baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik antara sekurangnya dua orang atau lebih dan perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji. 98

Menurut Wirjono Prodjodikoro “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”99 Menurut R Subekti, Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanjian kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 100

Perjanjian yang melahirkan perikatan menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut.

Dengan demikian jelaslah bahwa suatu perjanjian adalah salah satu sumber perikatan.

101

98Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit hal. 1

99 Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung : Sumur, 1974), hal. 11

100 R Subekti, Op.Cit,hal. 1

101 R Subekti, Op.Cit, hal. 91

Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

Pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang bertimbal balik (dengan kedua belah pihak saling berprestasi). Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan, dengan kewajiban berprestasi yang saling timbal balik.

Suatu perjanjian dikatakan sah apabila sudah terpenuhi 4 (empat) syarat-syarat sahnya perjanjian seperti diuraikan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi :

“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.”

Menurut Subekti, ke empat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam :

1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan

2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur obyektif).102

Unsur subyektif mencakup adanya dua unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk melaksanakan hal tersebut haruslah sesuatu hal yang halal atau tidak terlarang dan diperkenankan menurut hukum. Tidak

102Ibid, hal. 93

terpenuhinya salah satu unsur dari keempat syarat tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian itu dapat mendapat sanksi pembatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif). 103

1) Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan dari perumusan perjanjian tersebut di atas tentang unsur dari suatu perjanjian antara lain :

2) Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap.

3) Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak.

4) Ada prestasi yang akan dilaksanakan.

5) Ada bentuk tertentu (lisan atau tulisan).

6) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.104

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan dengan jelas mengenai beberapa asas-asas perjanjian, diantaranya dalam pasal 1315 menentukan asas personalia perjanjian, Pasal 1337 mentukan asas kesusilaan dan ketertiban umum, Pasal 1338 ayat 1 menentukan asas mengikatnya perjanjian, Pasal 1338 ayat 3 menentukan asas itikad baik, sedangkan Pasal 1339 menentukan asas kepatuhan dan kebiasaan. Namun menurut Rutten, hanya ada tiga asas yang paling pokok dalam hukum perjanjian, yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikatnya perjanjian dan asas kebebasan berkontrak. 105

a. Asas Kebebasan Berkontrak

103Ibid, hal. 94

104Sanusi, Pengertian Perjanjian dan Unsur Perjanjian, Tabir Hukum, http://tabirhukum.blogspot.co.id/2016/12/pengertian-perjanjian-dan-unsur.htmldiakses pada tanggal 2 Maret 2018

105 Perwakhid Patrik, Asas Itikad Baik Dan Kepatuhan Dalam Perjanjian, (Semarang :UNDIP, 1982), Hal. 3

Asas kebebasan berkontrak (contract vrijheid atau partijautonomie) adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut Subekti bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja baik yang sudah diatur ataupun belum diatur dalam undang-undang.” 106

b. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme adalah suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian telah terjadi atau lahir sejak tercapainya sepakat para pihak, artinya suatu perjanjian telah ada dan mempunyai akibat hukum dengan tercapainya kata sepakat dari para pihak mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan formalitas. Asas kesepakatan ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu sepakat mereka yang mengikat diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Pada saat ini ada kecenderungan mewujudkan perjanjian konsensuil dalam bentuk perjanjian tertulis, baik dibawah tangan maupun dengan akta otentik. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pembuktian jika dalam pelaksanaannya nanti salah satu pihak melakukan pelanggaran.

106Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Internusa, 1983), Hal.14

c. Asas Mengikatnya Perjanjian (pacta sunt servanda)

Asas mengikatnya perjanjian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka membuatnya sebagai undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan perjanjian yang telah disepakati bersama, seperti halnya keharusan untuk menaati undang-undang.107

a. Unsur esensialia;

Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Bunyi lengkap adagium tersebut adalah pacta nuda servanda sunt, yang mempunyai arti bahwa kata sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan atau formalitas tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat.

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian yaitu :

b. Unsur naturalia;

c. Unsur aksidentalia.108

Pada hakekatnya terdapat 3 (tiga) unsur dari hukum perjanjian yang merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1329 KUH Perdata. Rumusan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala

107J Satrio, Hukum Perikatan,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), Hal.142

108Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 84

sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”

a. Unsur Esensialia dalam Perjanjian

Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentauan-ketentuan berupa prestasi–prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut. Yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya.

Unsur esensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, defenisi atau pengertian dari suatu perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli dibedakan dari perjanjian tukar menukar, karena jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata adalah “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan.” Sedangkan tukar menukar menurut Pasal 1541 KUH Perdata adalah “suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain.”109

109Op.Cit, hal. 85

Dengan rumusan Pasal 1457 dan Pasal 1541 KUH Perdata dapat kita ketahui bahwa jual beli dibedakan dengan tukar menukar dalam wujud pembayaran harga. Selain itu dapat dikatakan bahwa seluruh ketentuan mengenai jual beli, yang berhubungan dengan penyerahan kebendaan yang dijual atau dipertukarkan adalah sama. Hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 1542 dan Pasal 1546 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Jadi jelas bahwa unsur essensialia adalah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian, bahwa tanpa keberadaan unsur tersebut, maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda, dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak. Oleh karenanya maka unsur essensialia ini pula yang seharusnya menjadi pembeda antar suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya.110

b. Unsur naturalia dalam perjanjian

Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur essensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur essensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.111

110Ibid, hal. 86

111Ibid, hal. 88

Ketentuan ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak, karena sifat dari jual beli mengkehendaki hal yang demikian.

Masyarakat tidak akan mentolelir suatu bentuk jual beli, di mana penjual tidak mau menanggung cacat-cacat tersembunyi dari kebendaan yang dijual olehnya.

Dalam hal ini, maka berlakulah ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :

“Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”

c. Unsur Aksidentalia dalam perjanjian

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.112 Dengan demikian maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak. Misalnya dalam jual beli adalah ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli.113