• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TANGGUNG JAWAB NOTARIS JIKA ADANYA

C. Tanggung Jawab Notaris Jika Adanya Keputusan Pengadilan

2. Peran Dan Tanggung Jawab Notaris Terhadap

Pentingnya peranan notaris dalam membantu menciptakan kepastian dan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang bersifat pencegahan masalah hukum dikemudian hari dengan dibuatnya suatu akta otentik terkait status hukum, hak dan kewajiban para pihak dalam hukum dan lainnya sebagai salah satu alat pembuktian yang sempurna di pengadilan. Oleh karenanya notaris dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dituntut untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan profesional. Menjalankan pekerjaan yang penuh dengan resiko tersebut seorang notaris harus memiliki pengetahuan hukum, ketelitian dan tanggung jawab yang tinggi.

Namun demikian tidak sedikit notaris diminta pertanggungjawaban di depan pengadilan atas akta yang dibuat di hadapannya. Dan dalam hal ini seorang hakim yang menangani perkara perdata dengan melibatkan notaris, mencari suatu kebenaran formil dari akta otentik yaitu kebenaran dari apa yang diperoleh berdasarkan apa yang dikemukakan oleh para pihak. Kebenaran ini didapat dari fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak. Peran notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak atau penghadap dalam bentuk akta otentik. Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya yang menjadi kehendak para pihak atau penghadap tersebut dengan menyesuaikan syarat-syarat formil pembuatan akta otentik kemudian menuangkannya ke dalam sebuah akta.

Dari hasil wawancara kepada Notaris Rosniaty Siregar, Tony, dan Syafnil Gani menyatakan bahwa seorang Notaris bertanggung jawab hanya sebatas keotentikan akta yang dibuatnya. Sepanjang Notaris telah menjalankan tugas dan jabatannya sesuai peraturan dan undang-undang dan tidak melanggar etika dan sumpah jabatan maka Notaris bersangkutan tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya.93

1. “Jika diperlukan penegak hukum dalam proses peradilan yaitu penyidik, penuntut umum atau hakim dapat mengajukan surat permintaan persetujuan

Kendatipun demikian, apabila notaris dipanggil di muka Pengadilan maka notaris dapat dihadirkan dengan terlebih dahulu meminta ijin dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN) sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) yang berbunyi :

93Hasil wawancara berturut-turut tertanggal 28 Maret 2018 dan 27 April 2018.

dalam rangka melakukan pemanggilan kepada seorang notaris. Surat tersebut diajukan ke Majelis Kehormatan Notaris.

2. Dalam kurun waktu paling lama 30 hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan tersebut, Majelis Kehormatan Notaris wajib memberikan jawabannya;

3. Jika dalam kurun waktu yang ditentukan Majelis Kehormatan Notaris tidak memberikan jawabannya, maka sikap diam Majelis Kehormatan Notaris dianggap telah menerima permintaan persetujuan tersebut. Sehingga penegak hukum dapat melakukan pemanggilan kepada notaris yang bersangkutan;

4. Setelah memperoleh persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris, penegak hukum berwenang untuk:

a. Meminta dan mengambil fotokopi dari minuta akta dan/atau surat-surat yang telah dilekatkan pada minuta akta dalam penyimpanan notaris (protokol notaris); Sehubungan dengan pengambilan fotokopi dokumen-dokumen tersebut, penyidik akan membuatkan berita acara penyerahan untuk diserahkan kepada notaris tersebut.

b. Memanggil notaris untuk hadir dalam proses pemeriksaan pidana yang berkaitan dengan akta atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanannya.”

Pengaturan terkait ketentuan Pasal 66 tersebut di atas dikarenakan adanya kewajiban bagi notaris untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya. Di sisi lain, keterangan-keterangan yang diperoleh dari para pihak dalam proses pembuatan akta tersebut. Sehingga, notaris terikat dengan sumpah jabatan profesi notaris dan kode etik notaris.

Para pihak yang menghadap ke notaris dalam melakukan suatu perbuatan hukum tidak seluruhnya menyatakan hal yang sebenarnya untuk dituangkan dalam suatu akta otentik. Perbuatan para pihak yang tampak keluar mengadakan suatu perbuatan hukum atau perjanjian tertentu namun diantara mereka satu dengan yang lainnya sudah sepakat bahwa perjanjian itu tidak akan berlaku melainkan bahwa hubungan hukum antara mereka tidak akan berubah dari hubungan hukum sebelum perjanjian tersebut dibuat dapat disebut juga sebagai simulasi atau perbuatan pura-pura / semu.

Perkara antara EFR dan MY, dimana notaris DP diminta pertanggung jawabannya secara perdata di Pengadilan sehubungan dengan pembuatan akta otentik antara keduanya. Hal ini disebabkan bahwa EFR merasa dirugikan atas perjanjian pengikatan jual beli / ikatan jual beli yang dibuat di hadapan notaris DP sehingga terjadinya peralihan hak atas tanah miliknya. Perbedaan kehendak atau apa yang ada di hati para pihak ini tidak sepenuhnya diketahui oleh seorang notaris. Namun demikian tanggung jawab notaris secara perdata ini merupakan tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah dalam sifat aktif maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian.94

Notaris yang digugat ke Pengadilan wajib memenuhi gugatan tersebut.

Jika notaris tidak pernah hadir, maka hakim akan memutus verstek, yang artinya Apabila notaris didudukkan sebagai turut tergugat dalam suatu gugatan, notaris berkedudukan untuk melengkapi gugatan saja. Jika notaris dituntut ganti rugi tanggung renteng, maka notaris diwajibkan untuk memberikan jawaban kepada Majelis Hakim perkara yang bersangkutan dengan menjelaskan bahwa akta yang dibuatnya telah dilakukan dengan benar, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dikarenakan bahwa akta yang dibuat oleh notaris sebagai akta para pihak, jika para pihak yang membuat akta bersengketa, maka notaris tidak dapat diminta pertanggung jawaban hukumnya.

94Habib Adjie II, Op.Cit, hal.78

putusan tanpa hadirnya tergugat atau turut tergugat. Namun jika putusan verstek tersebut merugikan notaris sebagai tergugat atau turut tergugat, maka notaris tidak dapat mengajukan banding. Tapi dapat melakukan verzet (perlawanan).

namun jika notaris datang memenuhi panggilan dalam sidang, maka notaris wajib memberikan jawaban dalam eksepsi saja, yaitu sesuai kewenangan notaris untuk membuat akta atas permintaan para penghadap, notaris tidak perlu menjawab dalam pokok perkara, karena pokok perkara harus dibuktikan dan pembuktiannya menjadi kewajiban yang bersangkutan dalam persidangan.

Notaris tidak dilarang hadir dalam setiap persidangan, setidaknya untuk memberikan jawaban pada sidang pertama untuk memberikan jawaban dalam eksepsi.95

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil wawancara dengan beberapa orang Notaris di Kota Medan yaitu Notaris Rosniaty Siregar, Notaris Syafnil Gani, dan Notaris Tony yaitu perjanjian bersifat simulasi masih sering dijumpai dalam praktek kenotariatan dan sulit dihilangkan begitu saja.96

95Habieb Adjie I, Op.Cit, hal. 65

96 Hasil wawancara berturut-turut pada tanggal 28 Maret 2018 dan 27 April 2018

Sepanjang perjanjian tersebut tidak berdampak buruk sehingga menimbulkan sengketa yang merugikan pihak lain, tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, maka hal tersebut masih dilakoni Notaris. Selain daripada itu notaris juga tidak dapat menilai dan mengetahui isi hati dari para pihak yang menghadap kepadanya.

Karena perjanjian yang bersifat simulasi ini dalam beberapa hal dapat mengantisipasi kemungkinan di luar dugaan yang mengakibatkan terkendalanya pelaksanaan perjanjian sebenarnya.

Adapun kiat-kiat dari masing-masing notaris tersebut di atas dalam menghadapi dan sedapat mungkin menghindari adanya perjanjian bersifat simulasi ini adalah dengan lebih mencermati pernyataan yang disampaikan para pihak, memeriksa dengan teliti dokumen-dokumen yang diserahkan serta memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta yang dimaksud.

BAB IV

AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI PERJANJIAN SIMULASI DALAM STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 32PK/PDT/2012

A. Tinjauan Umum Tentang Suatu Perjanjian

1. Pengertian dan Ketentuan Umum Tentang Suatu Perjanjian

Perjanjian adalah sumber terpenting dalam menciptakan sebuah perikatan.

Pada dasarnya perikatan banyak dilahirkan dari suatu perjanjian. Namun ada kalanya sebuah perikatan lahir dari undang-undang.97

97R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Internusa, 1979), Hal.1

Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang.”

Ketentuan tersebut juga dipertegas dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikat diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Setiap perjanjian yang melahirkan suatu perikatan diantara kedua belah pihak adalah mengikat bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian, hal ini berdasarkan atas ketentuan hukum yang berlaku didalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum perdata yang berbunyi :

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana yand diatur dalam Pasal 1338 (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”

Dengan demikian dalam suatu perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan yang nyata baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik antara sekurangnya dua orang atau lebih dan perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji. 98

Menurut Wirjono Prodjodikoro “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”99 Menurut R Subekti, Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanjian kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 100

Perjanjian yang melahirkan perikatan menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut.

Dengan demikian jelaslah bahwa suatu perjanjian adalah salah satu sumber perikatan.

101

98Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit hal. 1

99 Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung : Sumur, 1974), hal. 11

100 R Subekti, Op.Cit,hal. 1

101 R Subekti, Op.Cit, hal. 91

Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

Pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang bertimbal balik (dengan kedua belah pihak saling berprestasi). Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan, dengan kewajiban berprestasi yang saling timbal balik.

Suatu perjanjian dikatakan sah apabila sudah terpenuhi 4 (empat) syarat-syarat sahnya perjanjian seperti diuraikan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi :

“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.”

Menurut Subekti, ke empat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam :

1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan

2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur obyektif).102

Unsur subyektif mencakup adanya dua unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk melaksanakan hal tersebut haruslah sesuatu hal yang halal atau tidak terlarang dan diperkenankan menurut hukum. Tidak

102Ibid, hal. 93

terpenuhinya salah satu unsur dari keempat syarat tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian itu dapat mendapat sanksi pembatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif). 103

1) Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan dari perumusan perjanjian tersebut di atas tentang unsur dari suatu perjanjian antara lain :

2) Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap.

3) Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak.

4) Ada prestasi yang akan dilaksanakan.

5) Ada bentuk tertentu (lisan atau tulisan).

6) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.104

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan dengan jelas mengenai beberapa asas-asas perjanjian, diantaranya dalam pasal 1315 menentukan asas personalia perjanjian, Pasal 1337 mentukan asas kesusilaan dan ketertiban umum, Pasal 1338 ayat 1 menentukan asas mengikatnya perjanjian, Pasal 1338 ayat 3 menentukan asas itikad baik, sedangkan Pasal 1339 menentukan asas kepatuhan dan kebiasaan. Namun menurut Rutten, hanya ada tiga asas yang paling pokok dalam hukum perjanjian, yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikatnya perjanjian dan asas kebebasan berkontrak. 105

a. Asas Kebebasan Berkontrak

103Ibid, hal. 94

104Sanusi, Pengertian Perjanjian dan Unsur Perjanjian, Tabir Hukum, http://tabirhukum.blogspot.co.id/2016/12/pengertian-perjanjian-dan-unsur.htmldiakses pada tanggal 2 Maret 2018

105 Perwakhid Patrik, Asas Itikad Baik Dan Kepatuhan Dalam Perjanjian, (Semarang :UNDIP, 1982), Hal. 3

Asas kebebasan berkontrak (contract vrijheid atau partijautonomie) adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut Subekti bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja baik yang sudah diatur ataupun belum diatur dalam undang-undang.” 106

b. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme adalah suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian telah terjadi atau lahir sejak tercapainya sepakat para pihak, artinya suatu perjanjian telah ada dan mempunyai akibat hukum dengan tercapainya kata sepakat dari para pihak mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan formalitas. Asas kesepakatan ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu sepakat mereka yang mengikat diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Pada saat ini ada kecenderungan mewujudkan perjanjian konsensuil dalam bentuk perjanjian tertulis, baik dibawah tangan maupun dengan akta otentik. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pembuktian jika dalam pelaksanaannya nanti salah satu pihak melakukan pelanggaran.

106Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Internusa, 1983), Hal.14

c. Asas Mengikatnya Perjanjian (pacta sunt servanda)

Asas mengikatnya perjanjian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka membuatnya sebagai undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan perjanjian yang telah disepakati bersama, seperti halnya keharusan untuk menaati undang-undang.107

a. Unsur esensialia;

Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Bunyi lengkap adagium tersebut adalah pacta nuda servanda sunt, yang mempunyai arti bahwa kata sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan atau formalitas tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat.

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian yaitu :

b. Unsur naturalia;

c. Unsur aksidentalia.108

Pada hakekatnya terdapat 3 (tiga) unsur dari hukum perjanjian yang merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1329 KUH Perdata. Rumusan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala

107J Satrio, Hukum Perikatan,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), Hal.142

108Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 84

sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”

a. Unsur Esensialia dalam Perjanjian

Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentauan-ketentuan berupa prestasi–prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut. Yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya.

Unsur esensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, defenisi atau pengertian dari suatu perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli dibedakan dari perjanjian tukar menukar, karena jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata adalah “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan.” Sedangkan tukar menukar menurut Pasal 1541 KUH Perdata adalah “suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain.”109

109Op.Cit, hal. 85

Dengan rumusan Pasal 1457 dan Pasal 1541 KUH Perdata dapat kita ketahui bahwa jual beli dibedakan dengan tukar menukar dalam wujud pembayaran harga. Selain itu dapat dikatakan bahwa seluruh ketentuan mengenai jual beli, yang berhubungan dengan penyerahan kebendaan yang dijual atau dipertukarkan adalah sama. Hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 1542 dan Pasal 1546 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Jadi jelas bahwa unsur essensialia adalah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian, bahwa tanpa keberadaan unsur tersebut, maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda, dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak. Oleh karenanya maka unsur essensialia ini pula yang seharusnya menjadi pembeda antar suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya.110

b. Unsur naturalia dalam perjanjian

Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur essensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur essensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.111

110Ibid, hal. 86

111Ibid, hal. 88

Ketentuan ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak, karena sifat dari jual beli mengkehendaki hal yang demikian.

Masyarakat tidak akan mentolelir suatu bentuk jual beli, di mana penjual tidak mau menanggung cacat-cacat tersembunyi dari kebendaan yang dijual olehnya.

Dalam hal ini, maka berlakulah ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :

“Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”

c. Unsur Aksidentalia dalam perjanjian

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.112 Dengan demikian maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak. Misalnya dalam jual beli adalah ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli.113

2. Jenis Perjanjian

Secara umum perjanjian dibagi atas beberapa jenis, yaitu : a. Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak. Misalnya perjanjian hibah. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.114

b. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian Atas Beban

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat

112Ibid, hal. 89

113Ibid, hal. 90

114Maryam DarusBadrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung : Penerbit Alumni, 1983), hal. 90

kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 115

c. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Rill

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUH Perdata). Dengan demikian perjanjian konsensual merupakan perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Misalnya perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli.

Perjanjian rill adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata), pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata).116

d. Perjanjian Bernama (nominaat) dan Perjanjian Tidak Bernama (innominaat) Perjanjian bernama (nominaat) disebut juga perjanjian khusus, yaitu perjanjian yang diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang.

Perjanjian ini diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata.117 Perjanjian bernama merupakan suatu perjanjian, dimana perjanjian tersebut diatur di alam KUH Perdata, contohnya : pemberian kuasa, jual beli, sewa menyewa, hibah, perjanjian pemborongan dan lain sebagainya.118

115Ibid

116Ibid, hal. 92

117Ibid, hal. 91

118Wiratni Ahmadi, Sari Wahjuni, Ahmad S Djoyosugito, Teknik Pembuatan Akta Notaris, (Bandung : Logoz Publishing, 2006), hal. 23

Perjanjian tidak bernama (innominaat) atau perjanjian umum adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang berlaku dalam hukum perjanjian.119 Perjanjian tidak bernama timbul karena kebutuhan dan perkembangan di dalam masyarakat, contohnya : perjanjian waralaba, joint venture, Built Operate Transfer, dan

Perjanjian tidak bernama (innominaat) atau perjanjian umum adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang berlaku dalam hukum perjanjian.119 Perjanjian tidak bernama timbul karena kebutuhan dan perkembangan di dalam masyarakat, contohnya : perjanjian waralaba, joint venture, Built Operate Transfer, dan