• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TERJADINYA PERJANJIAN PENGGUNAAN ROOFTOP

A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya

Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Para sarjana berpendapat bahwa pengertian perjanjian di atas tidak lengkap dan terlalu luas. Disebut tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja, dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup semua hal.54

Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.55 Sudikno Mertokusumo menyatakan perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum.56

Wirjono Prodjodikoro menyebutkan perjanjian adalah suatu perhubungan mengenai hukum harta benda antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji, dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, atau untuk tidak melakukan sesuatu hal

54Mariam Darus Badrulzaman,Aneka Hukum Bisnis,Alumni, Bandung, 1994, hal. 115. 55R. Subekti,Hukum Perjanjian,Intermasa, Jakarta, 1987,hal. 1.

56Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia,Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 97.

BAB II

TERJADINYA PERJANJIAN PENGGUNAANROOFTOPANTARA

PERUSAHAAN TELEKOMUNIKASI DENGAN PEMILIK BANGUNAN DI KOTA MEDAN

A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya

Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Para sarjana berpendapat bahwa pengertian perjanjian di atas tidak lengkap dan terlalu luas. Disebut tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja, dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup semua hal.54

Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.55 Sudikno Mertokusumo menyatakan perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum.56

Wirjono Prodjodikoro menyebutkan perjanjian adalah suatu perhubungan mengenai hukum harta benda antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji, dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, atau untuk tidak melakukan sesuatu hal

54Mariam Darus Badrulzaman,Aneka Hukum Bisnis,Alumni, Bandung, 1994, hal. 115. 55R. Subekti,Hukum Perjanjian,Intermasa, Jakarta, 1987,hal. 1.

56Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia,Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 97.

sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.57 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.58

Selanjutnya Yahya Harahap menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hukum pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan para pihak lain untuk menunaikan prestasi.59 Soedjono Dirjosisworo berpendapat perjanjian adalah kesepakatan antara dua pihak yang menimbulkan pengikatan antara keduanya untuk melaksanakan apa yang telah diperjanjikan. Perjanjian dapat pula disebut sebagai persetujuan obligatoir yaitu suatu persetujuan yang menciptakan perikatan-perikatan yang mengikat mereka mengadakan persetujuan.60

Suatu perjanjian yang dibuat antara para pihak akan menimbulkan hubungan perikatan. Seluruh hal yang menyangkut perikatan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III (ketiga). Dalam Buku III Kitab Undang-Undang-undang Hukum Perdata tersebut tidak hanya mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, melainkan juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang. Namun Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan perikatan. Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya

57R. Wirjono Prodjodikoro,Asas-asas Hukum Perjanjian,Alumni, Bandung, 1993, hal.1. 58Sri Sofwan Masjchoen,Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,Liberty Offset, Yogyakarta, 2003, hal. 1.

59M. Yahya Harahap,Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6.

60 Soedjono Dirjosisworo, Misteri Di Balik Kontrak Bermasalah, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 1.

menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang.

Syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :

1. Adanya kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya ‘sepakat’ saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun seperti tulisan, pemberian tanda atau panjar, dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.61

Suatu perjanjian dapat dibatalkan apabila terjadi salah satu unsur dari unsur paksaan (dwang), penipuan (bedrog), dan/atau kesilapan (dwaling), sehingga terhadap perjanjian tersebut dianggap tidak terpenuhi syarat kesepakatan kehendak.

Unsur Paksaan (dwang, duress) diatur dalam Pasal 1324 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu: “Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dan apabila

perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata”.

Paksaan dapat merupakan alasan untuk minta pembatalan perjanjian apabila dilakukan terhadap :62

a. Orang atau pihak yang membuat perjanjian (Pasal 1323 KUH Perdata).

b. Suami atau istri dari pihak perjanjian atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah (Pasal 1325 KUH Perdata).

Unsur Penipuan (bedrog, fraud) diatur dalam Pasal 1328 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu : ”Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu-muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikan rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan”. Dalam bahasa Inggris, penipuan disebut juga misrepresentation yang diartikan sebagai suatu pernyataan tentang fakta yang tidak benar.63

Unsur Kesilapan (dwaling, mistake) diatur dalam Pasal 1322 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu : ”Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu

62Hardijan Rusli,Hukum Perjanjian dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 70.

perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”. Terdapat kesesatan apabila dikaitkan dengan hakikat benda atau orang dan pihak lawan harus mengetahui atau setidak-tidaknya mengetahui bahwa sifat atau keadaan yang menimbulkan kesesatan bagi pihak lain sangat menentukan.64 2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan.

Pasal 1329 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Kemudian Pasal 1330 memberikan batasan siapa saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak, yaitu :

1. Anak-anak yang belum dewasa.

2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan Undang-undang dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 yang merumuskan bahwa seorang perempuan yang bersuami atau berada dalam suatu ikatan perkawinan telah dapat melakukan tindakan hukum dengan bebas serta sudah dibenarkan menghadap di pengadilan walaupun tanpa izin suaminya, maka poin ke-3 Pasal 1330 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga seorang perempuan yang telah bersuami dianggap

cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini juga selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

3. Adanya suatu hal tertentu.

Menurut Pasal 1333 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sebuah perjanjian yang diadakan oleh para pihak haruslah mengenai suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu adalah objek dari perjanjian, yang merupakan pokok perjanjian, prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan prestasi tersebut harus tertentu jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.

Hal tertentu yang dapat dijadikan sebagai pokok dalam perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan saja. Selain itu barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari juga dapat dijadikan sebagai objek dalam perjanjian, kecuali untuk hal mengenai warisan (Pasal 1332 dan 1334 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak. Jika timbul perselisihan dan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka perjanjian dianggap tidak pernah ada. Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, maka perjanjian menjadi batal demi hukum.65 4. Adanya suatu sebab yang halal.

Sebab adalah sesuatu hal yang menyebabkan orang membuat perjanjian, atau yang mendorong orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan causayang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang

menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak.66

Undang-undang tidak mempedulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan suatu perjanjian. Tapi yang diperhatikan dan yang diawasi oleh undang-undang ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak, apakah bertentangan dengan kesusilaan atau tidak (Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

Asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut :

1. Asas kebebasan berkontrak(freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dalam membuat perjanjian dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :67

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian, 2. Mengadakan pekerjaan dengan siapapun,

66Ibid.

3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, 4. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

Asas kebebasan berkontrak bersifat universal, artinya berlaku juga dalam berbagai sistem hukum perjanjian yang memiliki ruang lingkup yang sama.68Asas ini merupakan konsekuensi dari sifat hukum perjanjian yang sifatnya sebagai hukum mengatur. Freedom of contract mengandung pengertian bahwa para pihak bebas mengatur sendiri isi perjanjian sepanjang perjanjian tersebut memenuhi syarat sebagai suatu perjanjian serta tidak bertentangan dengan undang-undang, kepatutan/kesusilaan, dan ketertiban umum.69

2. Asaspacta sunt servanda

Asas pacta sunt servanda mengandung makna bahwa perjanjian bersifat

mengikat secara penuh karenanya harus ditepati oleh para pihak yang membuatnya. Asas ini diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menegaskan bahwa daya mengikat perjanjian sama seperti undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya.

Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal di dalam hukum Gereja.

Disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dikuatkan dengan sumpah sehingga dikaitkan dengan unsur keagamaan. Dalam

68Sutan Remy Sjahdeini,Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 47.

perkembangannyapacta sunt servanda diberi artipactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.70

3. Asas Konsensualisme

Asas ini mempunyai arti bahwa suatu perjanjian dianggap sudah sah dan mengikat pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak, sepanjang perjanjian tersebut memenuhi syarat sah yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) diantara para pihak terhadap peleburan perjanjian. Peleburan disini mempunyai arti adanya persetujuan untuk melakukan penggabungan atau penyatuan kehendak yang dituangkan dalam perjanjian. Asas kepercayaan (vertrouwenleer) merupakan nilai etis yang bersumber dari moral.71

4. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik (goede trouw) dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi : “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditor dan debitor harus melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik ini dibagi

70H. Salim, Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 3.

71 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bandung, 2001, hal.108-109.

menjadi dua macam yaitu itikad baik nisbi dan mutlak. Pada itikad nisbi orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik yang mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif pula.72

5. Asas Kepribadian (Personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja.73 Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi : ”Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Artinya bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri.

Sedangkan Pasal 1340 menyatakan : ”Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Hal ini mengandung makna bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun terdapat pengecualian atas kedua ketentuan itu sebagaimana diatur dalam Pasal 1317 yang berisi : ”Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

72Ridwan Halim,Itikad Baik dalam Perjanjian Dagang,Mitra Ilmu, Jakarta 2010, hal.21. 73Salim H.S.,Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak),Sinar Grafika, Cetakan IV, Jakarta, 2006, hal.12.

Pasal tersebut menunjukkan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, asalkan dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Selanjutnya di dalam Pasal 1318 KUH Perdata juga menegaskan tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.74 Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang pihak yang membuat perjanjian.