• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daftar Singkatan untuk Standard:

PENGGUNAAN KEKERASAN

Standard

“1. Petugas dari institusi tersebut tidak boleh, dalam hubungannya dengan para narapidana, menggunakan kekerasan kecuali untuk membela diri, atau dalam kasus upaya pelarian, atau perlawanan fisik baik aktif maupun pasif terhadap suatu perintah yang didasarkan pada undang-undang atau peraturan.

Petugas yang menggunakan kekerasan harus mempergunakannya tidak lebih dari yang diperlukan dan harus melaporkan insiden tersebut secepatnya ke direktur institusi tersebut.

2. Petugas penjara harus diberikan pelatihan fisik khusus untuk memungkinkan mereka mengendalikan narapidana yang agresif. 3. Kecuali dalam situasi khusus, staf yang sedang menjalankan tugas yang membawa mereka untuk berkontak langsung dengan para narapidana tidak seharusnya bersenjata. Lebih lanjut, staf harus dalam situasi apa pun tidak dipersenjatai, kecuali mereka telah dilatih mempergunakannya. (…).” SMR, Aturan 54 (lihat juga EPR Aturan 63).

“Petugas penegak hukum dapat mempergunakan kekerasan hanya ketika sangat dibutuhkan dan sejauh diperlukan untuk pelaksanaan tugas mereka.” Kode Etik untuk Petugas Penegak Hukum, Pasal 3.

“Petugas penegak hukum tidak boleh mempergunakan senjata api terhadap orang lain lecuali dalam pembelaan diri atau membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka yang serius yang akan terjadi dalam waktu singkat /segera), untuk mencegah perlakuan dari kejahatan serius yang khusus, yang melibatkan ancaman yang serius terhadap hidup, untuk menangkap orang yang membawa bahaya dan melawan otoritas mereka, atau mencegahnya lari atau

1

hanya ketika alat-alat/sarana lain yang lebih tidak ekstrim tidak mencukup untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Dalam kesempatan apa pun, penggunaan secara sengaja kekerasan yang mematikan hanya dapat dilakukan ketika sangat tak terhindarkan untuk melindungi hidup.” Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum, Prinsip 9.

“Petugas penegak hukum, dalam hubungannya dengan or-ang yor-ang di dalam pengawasan atau tahanan, tidak boleh mempergunakan kekerasapan kecuali apabila sangat diperlukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam institusi itu, atau ketika keselamatan diri terancam.” Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum, Prinsip 15.

“Petugas penegak hukum, dalam hubungannya dengan orang di dalam pengawasan atau tahanan, tidak boleh mempergunakan senjata api, kecuali dalam pembelaan diri atau untuk membela orang lain dari ancaman langsung terhadap kematian atau luka yang serius, atau ketika sejauh perlu untuk mencegah orang yang ditahan yang membawa bahaya tersebut melarikan diri merujuk pada prinsip 9.” Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum, Prinsip 16.

“Petugas penjara terkadang harus menggunakan kekerasan untuk mengontrol narapidana yang kejam, dan dalam kondisi luar biasa, bahkan mungkin membutuhkan bantuan alat-alat pengekang fisik. Hal ini jelas merupakan situasi yang berisiko tinggi, sepanjang berkaitang dengan kemungkinan tindakan sewenang-wenang terhadap narapidana, dan dengan demikian membutuhkan tindakan perlindungan yang khusus.

Seorang narapidana yang padanya segala bentuk kekerasan telah dipergunakan harus memiliki hak untuk segeras diperiksa, dan apabila dibutuhkan, ditangani oleh dokter. Pemeriksaan ini harus dilakukan di luar pengetahuan, dan terutama tanpa terlihat oleh staf non-medis, dan hasil dari pemeriksaan itu (termasuk penyataan-pernyataan yang relevan dari narapidana dan

kesimpulan dokter) harus secara resmi dicatat dan tersedia bagi narapidana tersebut. (…) akhirnya, suatu pencatatan harus dibuat untuk setiap kesempatan di mana kekerasan terhadap narapidana dipergunakan.” CPT, GR 2, §53.

Anak-anak

“Tindakan membawa dan mempergunakan senjata oleh petugas harus dilaran di fasilitas mana pun di mana narapidana anak-anak dan remaja ditahan.” RPJDL, 65.

Komentar

Tim pelaksana kunjungan harus memeriksa apakah penggunaan kekerasan merupakan reaksi yang eksepsional atau merupakan suatu aturan/norma.

Mereka harus mempertimbangkan apakah prinsip keterpaksaan dan proporsionalitas diamati.

Mereka harus memeriksa apakah instruksi dan pembatasan penggunaan kekerasan dimasukkan dalam peraturan di dalam penjara, dan dapat dijangkau oleh para thanan dan pelatihan apakah yang telah diterima oleh staf dalam teknik pengendalian dan pembatasan/pengekangan yang memungkinkan mereka untuk menegakkan kontrol tanpa melukai diri mereka sendiri atau para tahanan.

Sebagai suatu prinsip umum, staf yang memiliki kontak langsung dengan para tahanan tidak boleh membawa senjata api. Apabila mereka membawa senjata seperti tongkat stik, itu tidak boleh dilakukan secara menyolok atau dengan cara yang provokatif. Insiden-insiden yang melibatkan penggunaan kekerasan atau senjata api harus dilaporkan secara tertulis kepada direktur, dan dicatat dalam register resmi dan diinvestigasi.

Acuan pokok

ƒ Apakah petugas membawa senjata?

ƒ Menurut peraturan local, staf mana yan diperbolehkan membawa senjata?

ƒ Seberapa seringkah terjadi insiden yang melibatkan penggunaan kekerasan (menurut para tahanan, direktur, register/buku catatan, sumber-sumber lain?)

ƒ Apakah terdapat bukti bahwa kekerasan dipergunakan secara tidak proporsional berkaitan dengan kelompok-kelompok minoritas?

Bacaan lanjutan

Amnesty International, Combating torture: a manual for action, London, 2003, (Bab 5.5: conditions of detention; Dicipline and security, hlm. 127 – 132)

Camille Giffard, The Torture Reporting Handbook, How to document and respond to allegations of torture within the international system for the protection of human rights, Human Rights Centre, University of Essex, United Kingdom, 2000

United Nations Office of the High Commissioner for Human Rights, Professional Training Series No. 8 Istanbul Protocol, Manual on the Effective Investigation and Documentation of Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, New York, Geneva, 2001.

Penal Reform International, Making Standards Work, an International Handbook on Good Prison Practice, London, 2001, hlm. 42-51. Andrew Coyle, Human Rights Approach to Prison Management. Handbook

for Prison Staff, International Centre for Prison Studies, 2003. hlm. 69-81.

UN OHCHR, Human Rights and Prisons – A Manual on Human Rights Training for Prison Officials, Geneva, 2003. (Section 2: right to Physi-cal and moral Integrity, hlm. 2133).

2. MEKANISME PERLINDUNGAN

Tujuan dari bagian ini adalah untuk menguji jenis-jenis yang berbeda dari tindakan yang melindungi hak dan martabat dari para tahanan yang pada saat yang sama memungkinkan sistem pidana berfungsi dengan lancar. Dengan demikian, penting bahwa ketertiban dijaga di dalam penjara, disiplin dapat diterapkan hanya menurut aturan dan prosedur yang jelas dan ketat. Sanksi disipliner harus diikuti dengan jaminan-jaminan dan hal itu harus memungkinkan para tahanan untuk menyampaikan pengaduannya secara efektif, mudah, dan tanpa risiko tindakan pembalasan, kepada entitas baik yang berada dalam institusi tersebut ataupun yang berada di luarnya. Mekanisme inspeksi independen juga berperan dalam memonitor penghormatan atas hak orang-orang yang menderita perampasan kekebasan.

Yang terakhir, tindakan- tindakan lain yang membantu menjamin bahwa institusi terebut dikelola dalam cara tidak sewenang-wenang dan/untuk memonitor cara pengelolaannya, seperti, pemisahan tahanan dalam kategori yang berbeda, pencatatan register, dan pemberian informasi kepada orang-orang mengenai bagaimana institusi tersebut berfungsi.

Tindakan-tindakan perlindungan ƒ Register

ƒ Memberikan informasi kepada orang-orang yang menderita perampasan kebebasan

ƒ Inspeksi

ƒ Prosedur disipliner ƒ Prosedur pengaduan

ƒ Pemisahan kategori tahanan.

2

REGISTER TEMPAT PENAHANAN