• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

G. Penjelasan Judul

Adapun penjelasan judul dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ikhtikar : Ikhtikar merupakan suatu upaya yang dilakukan seseorang atau lembaga untuk menimbun barang, manfaat atau jasa sehingga mengakibatkan barang menjadi langka di pasaran dan dapat diperkirakan harganya akan melonjak naik. Perbuatan Ikhtikar merupakan sebuah penganiayaan terhadap orang lain yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan

11

pribadi. Penimbunan barang merupakan salah satu perkara dalam perdagangan yang diharamkan oleh agama karena bisa membawa mudharat.14

2. Covid-19: Covid-19 merupakan penyakit menular yang disebabkanoleh sindrom pernapasan akut coronavirus 2 ( Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 atau SARS-CoV-2). Covid-19 sendiri merupakan coronoavirus jenis baru yang ditemukan di Wuhan, Hubei, China pada tahun 2019. Sejak ditemukan Covid-19 menyebar luas hingga mengakibatkan pandemi global yang berlangsung sampai saat ini. Dampak yang ditimbulkan akibat Covid-19 ini adalah krisis finansial yang akan terus membawa pengaruh pada perekonomian global. Salah satu negara yang terkena dampaknya adalah negara Indonesia yang mana pertumbuhan ekonominya mengalami penurunan secara drastis terutama pedagang dipasar tradisional.

3. Kebijakan Pemerintah: pemerintah memiliki tugas penting dalam mewujudkan tujuan Ekonomi Islam secara keseluruhan, dimana tujuan Ekonomi Islam adalah mencapai falah, dimana falah adalah kehidupan yang mulia didunia dan di akhirat yang direalisasikan melalui optimasi mashlahah: mashlahah adalah keadaan yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia.15

4. Pasar Tradisional: pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli yang ditandai dengan adanya transaksi penjual dan pembeli secara langsung, bangunan biasanya terdiri dari kios- kios atau gerai, los yang dibuka

14Muhammad Qasim Kamil, Halal Dalam Islam, (Sukmajaya Depok: Mutiara Allamah Utama, 2014) hal 290

15M. Arif Hakim, Peran Pemerintah Dalam Mengawasi Mekanisme Pasar Dalam Perspektif Islam , ( STAIN Kudus Jawa Tengah, Iqtishadia, Vol 8. No 1, 2015), hal 35

oleh penjual maupun suatu pengelola pasar, sebagian besar pasar menjual kebutuhan sehari- hari seperti bahan- bahan makanan berupa ikan, buah, sayur- sayuran, telur, daging, kain/ pakain, barang elektronik, jasa dan lain- lainya.16

Dari penjelasan judul di atas, dapat diketahui bahwa maskud pada penelitian ini membahas tentang Praktek Ikhtikar Di Pasar Tradisional Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman Barat. Pada judul ini penulis ingin menganalisis bagaiamana terjadinya praktik Ikhtikar di pasar tradisional ini. Covid-19 yang terjadi diakhir tahun 2019 ini telah membuat perekonomian diseluruh dunia mengalami penurunan. Salah satunya negara Indonesia, dapat dilihat dampak nyatanya terhadap pedagang dipasar tradisional ini. Akibat terjadinya Covid-19 tersebut banyak ditemukan dari para pedagang di pasar tradisonal melakukan penimbunan barang sehingga mengakibatkan kelangkaan akibatnya harga barang tersebut melonjak naik. Belum lagi kebutuhan hidup masyarakat yang semakin tinggi, dengan ini banyak motif yang dilakukan untuk meraih keuntungan besar sendiri tanpa memikirkan bagaimana nasib dari orang lain yang membutuhkan barang tersebut.

16Gallion , E, The Pattern City Planning and Design, (New York: Van Nostrand, 1986), hal 116

13 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penimbunan Barang (Ikhtikar)

1. PengertianPenimbunan Barang (Ikhtikar)

Ikhtikar atau penimbunan barang adalah membeli sesuatu dalam jumlah besar, agar barang tersebut berkurang di pasar sehingga harganya ( barang yang ditimbun tersebut) menjadi naik dan pada waktu harga menjadi naik baru kemudian dilepas (dijual) ke pasar, sehingga mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.17 Pendapat lain mengatakan bahwa Ikhtikar adalah membeli barang ketika harga mahal, menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.18

Ikhtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat, negara maupun hewan amat membutuhkan produk, manfaat atau jasa tersebut.

Ikhtikar secara terminologis adalah menahan ( menimbun) barang- barang pokok manusia untuk dapat meraih keuntungan dengan menaikkan harganya serta menunggu melonjaknya harga di pasaran.

17Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Islam, (Jakarta: Sinar Grafika) hal 47

18Yusuf Ahmad Mahmud, Bisnis Islami dan Kritik atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis, Penerjemah: Yahya Abdurrahman, (Bogor: Al- Azhar Press, 2009) hal 32

Menimbun atau Ikhtikar adalah suatu upaya seseorang atau lembaga untuk menimbun barang, manfaat atau jasa sehingga menjadi langka di pasaran dan dapat diperkirakan harganya melonjak naik. Perbuatan Ikhtikar merupakan sebuah penganiayaan terhadap orang lain yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan pribadi. Penimbunan barang merupakan salah satu perkara dalam perdagangan yang diharamkan oleh agama karena bisa membawa mudhorot.

Apabila pembelian suatu barang dalam suatu negeri menyebabkan harga barang tersebut menjadi mahal dan menyusahkaan masyarakat banyak, maka hal itu wajib dicegah, demi menjaga kepentingan umat Islam. Singkat kata, kaidah menghindarkan segala hal yang menyusahkan adalah pedoman dalam masalah penimbunan barang.19

Ikhtikar tidak hanya menyangkut barang, tetapi juga manfaat dari suatu barang tersebut, dan bahkan jasa dari pemberi jasa ; dengan syarat “embargo”

yang dilakukan oleh para pedagang atau pemberi jasa itu bisa membuat harga di pasar menjadi tidak stabil, padahal barang, manfaat dan jasa tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat, negara dan lain- lain.

2. Hukum Penimbunan Barang (Ikhtikar)

Islam menjamin kebebasan bagi individu untuk melakukan transaksi jual beli dan bersaing dengan wajar, namun ia menentang dengan keras terhadaporang- orang yang melampiaskan egoisme dan ketamakannya dengan menimbun dan menahan barang dagangan sementara orang lain sangat membutuhkannya. Ulama

19Muhammad Qasim Kamil, Halal Dalam Islam, (Sukmajaya Depok: Mutiara Allamah Utama, 2014) hal 290

15

Malikiyyah memandang Ikhtikar adalah haram. Keharaman ini tidak hanya pada makanan pokok akan tetapi juga pada barang yang lain yang sangat dibutuhkan masyarakat. Sementara itu, ulama Hanafiyyah memandang hukum ketidakbolehan Ikhtikar adalah Makruh Tahrim. Hal ini berlaku jika dianggap membahayakan.

Jika tidak membahayakan maka hukumnya adalah mubah. Imam al- Awza’i, seorang ahli fikih yang mazhabnya tidak berkembang lagi, memandang bahwa Ikhtikar adalah tidak boleh, apabila menganggu pasar, lagi memandnag bahwa Ikhtikar adalah tidak boleh, apabila menganggu pasar. Sedangkan jika tidak maka hukumnya menimbun adalah boleh. Ulama Syafi’iyah, menyatakan bahwa Ikhtikar haram hukumnya. Sedangkan ulama Hanabilah menyatakan bahwa Ikhtikar adalah haram, karena akan berakibat kehancuran terhadap masyarakat dan negara.20

Dasar pengambilan hukum yang digunakan oleh para ulama fiqh yang tidak membolehkan Ikhtikarberdasarkan ayat Al-Qur’an dan sabda Rasulullah SAW:

Al- Qur’an Surah At- Taubah ayat 34- 35:

َٰ ي

20Moch. Bukhori Muslim : Ikhtikar Dan Dampaknya Terhadap Dunia Ekonomi, Al- Iqtishad, Vol. IV, No.1,Januari 2012, hal 72- 73

مُهُبوُنُج و

Artinya: Wahai orang- orang yang beriman. Sesungguhnya banyak dari orang- orang alim dan rahib- rahib mereka benar- benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang- halangi (manusia) dari jalan Allah.

Dan orang- orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat adzab yang pedih. (Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam Neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung, dan ounggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah ( akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (Q.S At-Taubah ayat 34-35).21

Dan berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

هاور( ئط اخ وهف ن وملسملا امه ىلغي ناديري ةركح ركتحا نم )دمحا

Artinya : “Barang siapa yang menimbun barang dengan tujuan membuat kesusahan bagi muslimin maka dia tercela”. (HR. Ahmad).22

Dari Hadist tersebut, para ulama menetapkan suatu hukum bahwa diharamkannya menimbun adalah dengan dua syarat. Pertama, akan menyebabkan penderitaan penduduk suatu negara. Kedua, menaikkan harga yang sangat tinggi

21Departemen agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. (CV Darus Sunnah, Jakarta Timur), Q.S At Taubah ayat 34- 35.

22Ahmad ibn Hanbal, Musnad al- Imam Ahmad ibn Hanbal, Jilid XIV, hal 265

17

untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, sehingga masyarakat merasa berat untuk , mendapatkannya.

Ibnu Hajar Al- Haitsami menganggap pelaku penimbunan barang sebagai pelaku dosa besar. Rasulullah SAW bersabda:

ِالله ِدْب ع ِنْب ِر مْع م ْن ع لَ لاق ملسو هيلعهللا لص ِالله ِلوُس ر ْن ع

ٌئِطا خ هلَِإ ُرِك تْح ي

Artinya: “Dari Ma’mar Bin Abdullah; Rasulullah SAW bersabda, “ Tidak akan menimbun barang kecuali dia seorang pendosa”. (HR Muslim 1605).23

Dalam hadist lain disebutkan, Rasulullah SAW bersabda:

ُهْنِمٌءي ِر ب ُلله ا و ِالله ْنِم ٌءي ِر ب وُه ف ًة لْي ل نيِع ب ْر أ اًما ع ط ر ك تْحا ْن م لا ع ت ِالله ُةهمِذ ْمُهْنِم ْت ع ِر ب ْد ق ف ٌعِعا جٌؤ ُرْما ْمِهْيِف ع بْص أِة ص ْر ع ُلْه أ ا مُّي أ و

Artinya:“ Barang siapa menimbun makanan selama 40 hari, ia akan lepas dari tanggungan Allah dan Allah pun cuci tangan dari perbuatannya, dan penduduk negeri mana saja yang pada pagi hari di tengah- tengah mereka ada orang yang kelaparan, sungguh perlindungan Allah Ta’ala telah terlepas dari mereka”. ( HR Ahmad dan Hakim).24

Bahkan, dalam sistem sosial Islam ditekankan jika ada pelaku penimbunan di tengah- tengah mereka, Allah SWT mengancamnya dengan penyakit dan kebangkrutan. Rasulullah SAW bersabda:

ض ْمُهُما ع ط نْيِمِلْسُمل ىل ع ر ك تْحا ْن م ُالله ُه ب ر

23Al- Muslim, 1605

24Yusuf Al- Qardawi, Halal Haram Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2000) hal 358

Artinya :“ Barangsiapa yang menimbun makanan bagi kaum muslimin, niscaya Allah SWT akan menimpakkan penyakit lepradan kebangkrutan kepadanya”. (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan Hakim)”.25

Diriwayatkan Ibnu Majah dengan Sanad Hasan, Rasulullah bersabda:

ُن ْوُعْل م ُرِك تْحُملا و ُق ْو ُز ْر م ُبِل ْلا ج ا

Artinya : “Orang yang mendatangkan barang akan diberi rezeki dan orang yang menimbun akan dilaknat”.26

Berdasarkan ayat Al- Qur’an dan Hadist diatas dapat kita pahami bahwa perbuatan penimbunan barang tidak diperbolehkan atau diharamkan sebab merupakan salah satu ancaman kepada orang yang menyimpan ingin membangun dirinya diatas penderitaan orang lain. Ia tidak peduli apakah orang lain itu kelaparan atau tidak berpakain, yang penting dirinya sendiri mendapatkan keuntungan yang sebesar- besranya. Jika masyarakat semakin memerlukan barang itu, maka ia akan semakin menyembunyikannya. Ia pun semakin senang jika harga barang- barang tersebut melonjak semakin tinggi. Manusia sangat berharap terhadap barang yang menjadi kebutuhan primer bagi manusia seperti halnya makanan, lain dengan kebutuhan sekunder.

Hikmah pentingnya dibalik diharamkannya penimbunan barang adalah agar jangan sampai sifat tamak sebagian orang dalam suatu masyarakat menyebabkan kesengsaraan dan kesulitan bagi banyak orang. Sebab, Islam adalah agama yang bertujuan memberikan dan merealisasikan kemaslahatan bagi masyarakat banyak serta mencegah dari kemudhratan.

25Yusuf Al- Qardawi, Halal Haram Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2000) hal 358

26Yusuf Al- Qardawi, Halal Haram Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2000) hal 358

19

Syari’at Ekonomi Islam sangat menghormati usaha seseorang dan melindungi kepemilikan pribadi, tetapi Islam juga memberikan hak kepada pemerintah untuk merampas atau memaksa pelaku penimbunan barang untuk menjual barangnya dengan harga pasar, serta berhak untuk mempidanakan jika pelaku penimbunan barang menolaknya karena tindakan tersebut adalah tindakan melawan hukum.

3. Barang Yang Haram Ditimbun

Ulama sepakat bahwa Ikhtikar hukumnya haram. Namun demikian ulama memberikan batasan- batasan tertentu menyangkut masalah barang yang haram untuk ditimbun. Menurut madzhab Hanafi, asy- Syafi’i dan Hambali, barang yang haram ditimbun adalah makanan pokok yang menjadi kebutuhan umum, baik itu berupa makanan pokok manusia atau makanan pokok untuk hewan ternak.

Sedangkan untuk selain makanan pokok, hukum menimbunnya tidaklah diharamkan.

Jika mengikuti pendapat tiga ulama ini, penimbun pupuk, minyak, gula dll.

Yang tidak termasuk makanan pokok, hukumnya tidak haram. Sementara, kebutuhan masyarakat terhadap barang- barang tersebut juga sangat tinggi dikarenakan barang- barang yang dimaksud sudah menjadi elemen penting dalam kehidupan mereka. Maka, untuk menyikapi masalah penimbunan barang- barang yang tidak termasuk makanan pokok seperti BBM dll., kita perlu merujuk pada madzhab Maliki. Dalam madzhab Mailiki keharaman penimbunan tidak dikhususkan pada makanan pokok saja. Menurut madzhab ini semua jenis barang yang menjadi kebutuhan umum (Public Goods), baik berupa makanan poko atau

bukan, hukumnya haram ditimbun. Sehingga, dengan mengikuti madzhab ini, penimbunan (Muhtakir) tidak bisa terhindar dari jeratan hukum haram. Di samping itu pendapat ini juga akan memudahkan pemerintah untuk memberi sanksi pada mereka yang melakukan kelicikan berupa Ikhtikar.27

4. Dampak Ikhtikar

Memang pada dasarnya adalah hak setiap insan untuk mendistribusikan harta bendanya sesuai dengan apa yang dikehendakinya sendiri. Baik ditimbun atau dijual dengan harga semahal- mahalnya. Namun kalau sudah memasuki pada takaran Ikhtikar, maka permasalahan yang dibicarakan sudah bukan lagi mengenai hak kebebasan distribusi. Akan tetapi telah menyentuh pada dampak yang akan ditimbulkan atas tindakan yang ia lakukan.

Ikhtikar yang dilarang dalam agama, pasti mempunyai dampak yang sangat besar terhadap perekonomian masyarakat. Dampak dari Ikhtikar akan bisa merusak situasi perekonomian. Karena mahalnya barnag- barang poko yang menjadi kebutuhan manusia. Setiap hari akan menuntut melambungnya niali tawar barang- barang lin, karena adanya imbas melambungnya harga satu barang.

Hal ini berkaita dengan hukum ekonomi bahwa apabila permintaan meningkat sedangkan barang menurun maka harga akan meningkat. Peningkatan ini akan memberikan dampak yang luar biasa. Berdasarkan hukum ekonomi, maka semakin sedikit persediaan barang di pasar, maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang semakin berkurang.

27Akhmad Mujahdin, Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007) hal 43

21

Dengan demikian praktek Ikhtikar akan menghambat kesejahteraan umat manusia. Padahal salah satu tujuan dari sistem ekonomi, apapun bentuknya adalah kesejahteraan umat manusia. Berangkat dari sudut inilah ‘Illah keharaman Ikhtikar diangkat. Karenanya, menurut Imam al- Syawkani, keharaman Ikhtikar tidak hanya tertentu pada barang- barang poko semata. Akan tetapi semua barang yang bila ditimbun akan bisa mengakibatkan permasalahan perekonomian manusia.

Jadi, pada hakikatnya Ikhtikar dapat merusak sistem pasar yang sudah berjalan normal. Oleh karena itu, wajar apabila sebagian ulama menyatakan Ikhtikar adalah berbagai bentuk, dan tidak terbatas pada makanan pokok. Dengan mendsarkan Ikhtikar adalah untuk semua barang yang dapat merusak sistem pasar, maka dapat diketahui bahwa sistem pasar seperti ini harus dipelihara oleh pelaku pasar.

5. Larangan Penimbunan Barang Dalam Islam

Rasulullah SAW sangat menganjurkan agar umat Islam mendistribusikan sebagain harta dan penghasilan mereka untuk membantu saudara- saudara yang kekurangan dibidang ekonomi. Distribusi yang dimaksud Nabi SAW terbagi menjadi dua jenis yaitu:

1) Ditribusi barang dan jasa yang berupa penyaluran atau penyampaian barang atau jasa dari produsen ke konsumen dan para pemakai, artinya sebagai upaya untuk tersalurkannya barang- barang hasil produksi sehingga dapat dikonsumsi oleh masyrakat luas dan orang yang mendistribusikan mendapat laba (hasil) dari penjual barang yang didistribusikan.

2) Ditribusikan sebagian harta kepada orang- orang yang membutuhkan sebagai wujud solidaritas sosial, artinya orang yang menyalurkan hartanya tidak mendapatkan pembayaran atau keuntungan (profit) lansung tetapi mendapatkan balasan yang baik atau keuntungan dihari kemudian atau akhirat.

Adapun tujuan distribusi dalam Islam antara lain:

1) Menyatukan hati manusia dalam kebaikan dan kebenaran dari nilai- nilai ilahi sehingga mereka semakin taat kepada pencipta-Nya.

2) Membersihkan dan menyusikan manusia dari sifat serakah, tamak, egois dan individualis.

3) Menghindari kegiatan spekulatif kezaliman dalam distribusi pendapatan dan kekayaan.28

Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkan Ikhtikar atau penimbunan barang adalah kandungan nilai- nilai universal Al- Qur’an yang menyataka bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk didalamnya penimbunan barang diharamkan oleh agama Islam.29

Para ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa penimbunan barang yang diharamkan adalah penimbunan barang- barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjualnya saat itu juga tetapi ia simpan sampai harga melonjak naik.30 Pendapat lain mengatakan bahwa menurut ulama Syafi’iyah, Hanabillah, Malikiyah, Zaidiyah dan Zahiriyah menurut mereka melakukan penimbunan barang hukumnya haram, alasan yang

28Idris, Hadis Ekonomi Ekonomi Dalam Perspektif Hadist Nabi, ( Jakarta: Gema Insani) hal 152

29A. Karim Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2006) hal 52

30Harun Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2006) hal 60

23

mereka kemukakan adalah ayat dan hadist- hadist yang telah disebutkan.31 Menurut Malikiyah penimbunan barang hukumnya haram dan dapat dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara.32

Pengharaman terhadap perbuatan penimbuanan barang apabila terdapat tiga, yaitu:

1) Barang yang ditimbun harus dibeli terlebih dahulu.

2) Barang yang dibeli merupakan bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat.

3) Adanya kesulitan masyarakat untuk mendapatkan bahan makanan yang dibutuhkan.33

Menurut Sayyid Sabiq dalam fiqh sunnah menyatakan bahwa para ulama sepakat mengharamkan penimbunan barang dengan tiga syarat yaitu:

1) Syarat berlakunya penimbunan barang adalah keberadaanya sampai batas membuat penduduk negeri kesulitan untuk membeli barang yang ditimbun karena realita penimbuan barang tidak akan terjadi kecuali di dalam kondisi ini.

2) Bahwa yang ditumbun adalah kelebihan dari kebutuhannya berikut tanggungannya untuk persediaan setahun penuh.

3) Bahwa orang tersebut menunggu saat- saat memuncaknya harga barang agar ia dapat menjualnya dengan harga yang tinggi karena orang sangat membutuhkan barang tersebut.34

31Yusuf Al- Qardawi, Halal Haram Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2000) hal 124

32Yusuf Al- Qardawi, Halal Haram Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2000) hal 358

33Yusuf Ahmad Mahmud, Bisnis Islami dan Kritik atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis, Penerjemah: Yahya Abdurrahman, (Bogor: Al- Azhar Press, 2009) hal 12

Penimbunan barang adalah halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Hal tersebut dikarenakan pengaruhnya terhadap jumlah barang yang tersedia dari barang yang ditimbun, dimana beberapa pedagang memilih untuk menahan barang daganganya dan tidak menjualnya karena menunggu harga naik. Perilaku ini mempunyai pengaruh yang negatif dalam fluktuasi kemampuan persediaan dan permintaan barang. Penimbunan dapat menyebabkan pergesaran kurva penawaran dan permintaan yaitu perbuatan yang haram dan melanggar hukum dari penjual.

6. Syarat- Syarat Dikatakan Penimbunan Barang

Penimbunan barangadalah halangan terbesar dalam peraturan persaingan dalam pasar Islam. Hal tersebut dikarenakan pengaruhnya terhadap jumlah barangyang ditimbun, dimana beberapa pedagang memilih untuk menahan barang dagangannya dan tidak menjualnya karena menunggu naiknya harga.35

Imam Al-Syathibi memberi contoh ketika terjadi praktek penimbunan barang (Ikhtikar) sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik.

Apabila seseorang melakukan penimbunan barang dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelumnya terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini menurutnya, pedagang itu wajib menjualkan barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah.36

34A. Karim Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2006) hal 73

35Nurul Huda Dkk, Keuangan Publik Pendekatan Instrumen Kebijakan Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015) hal 42

36Sudarto, Ilmu Fiqih, (Sleman: Budi Utama, 2018) hal 269

25

Penimbunanbarang itu hanya berlaku terhadap barang- barang hasil pembelian saja (barang-barang yang dibeli) dengan demikian penimbunan barang- barang hasil komoditi sendiri atau barang- barang hasil karya sendiri tidak termasuk penimbunan. Sebab ada kemungkinan tidak akan mengalami kelangkaan dan juga tidak akan merusak harga pasar serta stabilitas ekonomi masyarakat.

Para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa penimbunan yang menyebabkan kelangkaan berang dan merusak mekanisme pasar hukumnya haram. Keharaman Ikhtikar harus memenuhi beberapa ketentuan berikut:

a. Harus diperoleh dengan cara membeli, bukan hasil panen atau menerima hibah dari orang lain.

b. Barang yang ditimbun harus dibutuhkan oleh masyarakat umum, bukan barang yang dibutuhkan dalam keadaan tertentu atau yang menjadi konsumsi masyarakt tertentu.

c. Barang tersebut dibeli masyarakat ketika harganya melonjak tinggi ( melebihi harga normal di pasaran, bukan ketika harganya sedang stabil.

d. Ada tujuan untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi dan harga pasar, bukan untuk konsumsi pribadi atau dijual kembali dengan harga normal.37

Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fiqih bila memenuhi tiga (3) kriteria sebagai berikut:

37Ahmad Mustaq, Etika Bisnis Dalam Islam Terjemahan Zainal Arifin ( Jakarta: Gema Insani Press, 1997) hal 70

1) Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.

2) Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.

3) Yang ditimbun (dimonopoli) adalah kebutuhan pokok masyarakat seperti sandang, pangan dan lain- lain. Apabila bahan- bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetapi tidak termasuk bahan pokko kebutuhan masyarakat dan tidak merugikan masyarakat maka hal itu tidak termasuk menimbun.38

Menurut pendapat Yusuf al-Qardawi bahwa penimbunan barang diharamkan jika memiliki kriteria sebagai berikut:

1) Dilakukan di suatutempat yang penduduknya akan menderita sebab adanya penimbunan tersebut.

2) Penimbunan dilakukan untuk menaikkan harga sehingga orang merasa susah dan supaya ia mendapat keuntungan yang berlipat ganda.39

Pendapat lain mengatakan bahwa apabila suatu waktu terjadi praktik penimbunan barang (Ikhtikar) sehingga persediaan (stok) hilang dari pasar dan melonjak naik. Apabila terjadi praktik seperti itu, maka pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual barang- barang sesuai dengan harga pasar

38Yusuf Al- Qardawi, Halal Haram Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2000) hal 84

39Harun Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2006) hal 83

27

sebelum terjadi perlonjakan harga barang tersebut, para pedagang wajib memenuhi kebutuhan pemerintah di dalam menentukan harga pasar.40

Praktik penimbunan barang tujuannya untuk mendapat keuntungan besar dari menjual barang dengan harga tinggi, barang- barang yang telah lama

Praktik penimbunan barang tujuannya untuk mendapat keuntungan besar dari menjual barang dengan harga tinggi, barang- barang yang telah lama