• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.4. Kondisi Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan

4.4.3. Penurunan Kualitas Lingkungan

Kondisi sumberdaya alam dan lingkungan buatan yang digambarkan diatas merupakan hasil dan dampak pembangunan yang telah dilakukan selama ini. Disadari bahwa kegiatan pembangunan tidak hanya menghasilkan manfaat, tetapi juga membawa risiko. Oleh karena itu dalam upaya untuk menghasilkan manfaat yang optimal, maka penurunan kualitas lingkungan yang telah terjadi perlu dikelola dengan baik. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa pembangunan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat tidak bebas dari adanya bahan sisa atau limbah, baik berupa gas, cair maupun padat. Apabila limbah tersebut tidak dikelola dengan baik dan melampaui ambang batas mutu serta masuk ke lingkungan, maka akan menimbulkan tekanan terhadap daya dukung lingkungan.

Berdasarkan kegiatan sektor perekonomian di Sulawesi Selatan, maka sumber limbah dapat berasal dari kegiatan pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, pertambangan dan energi, industri, perhubungan, perumahan, kesehatan dan perdagangan. Menurut Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan (2004), yang menjadi sumber utama pencemaran di Sulawesi Selatan adalah sektor transportasi, pemukiman, industri dan pertambangan. Berikut ini akan diuraikan secara singkat risiko penurunan kualitas lingkungan sebagai dampak negatif dari berbagai aktivitas pembangunan ekonomi yang terjadi di Sulawesi Selatan pada tahun 2003.

95

4.4.3.1. Pencemaran Udara

Pencemaran udara dari aktivitas manusia di Sulawesi Selatan bersumber dari sumber bergerak dan sumber tidak bergerak. Pencemaran udara dari sumber bergerak terutama adalah dari kendaraan bermotor yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2003, jumlah kendaraan bermotor tercatat sebanyak 687.464 unit dari berbagai jenis mobil dan sepeda motor. Jumlah tersebut meningkat 13,12% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah kendaraan terbanyak terdapat di kota Makassar yaitu sebanyak 350 ribu unit (51%) dan selebihnya tersebar di 23 daerah kabupaten/kota.

Pada tahun 2002, beban pencemaran dari kegiatan transportasi karena konsumsi bahan bakar minyak masing-masing sebesar 85,1 ribu ton Karbon Monoksida (CO), 4,7 ribu ton Nitrogen Oksida (NO2), 4,7 ribu ton Sulfor Dioksida (SO2), 3,5 ribu ton Hidro Karbon (HC) dan 396 ton debu. Beban pencemaran dari kegiatan transportasi ini diperkirakan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya selaras dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Sulawesi selatan (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2003 dan 2004)

Sementara pencemaran dari sumber tidak bergerak terutama adalah dari konsumsi BBM oleh rumah tangga, pembakaran limbah padat oleh masyarakat, kebakaran hutan dan kegiatan industri. Pada tahun 2003, konsumsi BBM (minyak tanah) oleh rumah tangga mencapai 298.567 kilo liter dan Elpiji 48.813 MTM. Sedangkan pembakaran limbah padat tidak ada data volumenya, tetapi dapat diperhitungkan limbah atau sisa pembakarannya.

Pencemaran udara dari kegiatan industri dapat berupa partikel-partikel yang menyebar ke udara maupun unsur-unsur dari limbah pembakaran BBM. Unsur pencemar terbesar yang bersumber dari industri adalah debu yaitu sebesar 52.026 ton (59,88%) dari total beban pencemar industri pengolahan. Sumber pencemar partikel terbesar adalah industri semen (32,02%), disusul industri penggilingan biji-bijian dan industri gula (31,49%), industri logam besi dan baja (19,80%), serta industri marmer (8,59%).

Pencemaran lain yang dihasilkan industri adalah karena pembakaran BBM. Pada tahun 2003 sektor industri telah mengkonsumsi BBM sebanyak 444,08 juta liter Premium, 599,38 juta liter Solar, 81,48 juta Avtur, 12,76 Pelumas, 52,35 juta liter LPG dan 327,41 juta liter minyak tanah. Di samping itu pencemaran karena konsumsi BBM juga terjadi pada pembangkit tenaga listrik yang telah mengkonsumsi sebanyak 530,38 juta liter Solar dan 13,25 juta liter minyak Diesel. Beban pencemaran udara oleh rumah tangga dan industri tersebut dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Pencemaran udara yang dihasilkan oleh rumah tangga dan industri dari pembakaran BBM dan limbah padat di Sulawesi Selatan Tahun 2003

Rumah Tangga Industri Listrik

Parameter BBM L padat BBM BBM

……… (ribu ton) ……… Karbon Monoksida (CO) 29,90 59,48 0,54 0,30 Nitrogen Oksida (NO) 122,75 21,24 0,82 6,03 Sulfur Oksida (SO2) 7,04 4,25 2,04 9,08 Hidro Karbon (HC) 11,71 0,71 0,36 0,06

Debu 29,47 11,33 5,43 0,48

Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.

Hasil analisis kualitas udara dari pemantauan yang dilakukan di lingkungan industri seperti industri semen di Kabupaten Pangkep, industri pertambangan nikel di Soroako Kabupaten Luwu Utara, Kawasan Industri Makassar (KIMA) dan pada beberapa titik lainnya di Kota Makassar tahun 2003 menunjukkan ada beberapa parameter (unsur) pencemar udara yang melampaui baku mutu kualitas lingkungan udara (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Di lingkungan industri semen dan nikel, parameter debu sedikit melampaui baku mutu udara ambien. Sementara itu, kualitas udara ambien di Kota Makassar menunjukkan bahwa parameter Pb, H2S, dan debu yang terpantau di beberapa lokasi termasuk di Kawasan industri, baik pagi, sore maupun malam hari telah melampaui baku mutu udara ambien.

97

4.4.3.2. Pencemaran Air

Pada tahun 2003, volume limbah cair yang bersumber dari kegiatan agro industri dan rumah tangga pada berbagai kota dan kabupaten di Sulawesi Selatan tercatat sebesar 245,99 juta m³. Limbah tersebut berasal dari kotoran hewan/ternak, sisa-sisa makanan ternak yang membusuk dan bercampur air, limbah cair maupun tinja yang dihasilkan oleh 1,83 juta rumah tangga, pemakaian pupuk dan pestisida, dan eksploitasi tambang golongan C.

Bahan pencemaran air tersebut akan memberikan tekanan terhadap lingkungan dalam berbagai bentuk seperti sedimentasi di sungai dan danau, berkurangnya debit air, tercemarnya air oleh mikro organisme/pupuk/pestisida/ limbah industri pengolahan sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif. Secara ekologis, dampak pencemaran air ini akan dirasakan terutama oleh masyarakat yang berada di bagian bawah (hilir) suatu ekosistem DAS. Berbagai limbah cair tersebut memberikan beban pencemaran air dengan parameter pencemar seperti tercantum pada Tabel 13.

Tabel 13. Beban pencemaran air di Sulawesi Selatan

Parameter Pencemar Jumlah (ribu ton) Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD) 342,82 Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) 199,85 Zat Padat Tersuspensi (TSS) 1.946,16

Zat Padat Terlarut (TDS) 290,46

Nitrogen (N) 106,42

Fosfor (P) 3,18

Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.

Hasil pemantauan dan analisis kualitas air pada beberapa lokasi ekosistem Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang Kabupaten Gowa dan Kota Makassar pada tahun 2003 menunjukkan bahwa nilai parameter pencemarnya masih dibawah ambang batas baku mutu golongan C. Kualitas air tersebut mengalami penurunan dibandingkan kondisi tahun 2001 yang nilai parameter pencemarnya masih dibawah ambang batas baku mutu golongan B. Hal ini terjadi karena masih banyaknya industri (>55%) yang membuang limbahnya tidak memenuhi persyaratan baku mutu

limbah cair. Jika kondisi ini terus berlanjut maka kualitas air sungai akan terus menurun dan akan menimbulkan berbagai dampak negatif seperti menurunnya produksi tambak dan perikanan dan timbulnya penyakit.

4.4.3.3. Pencemaran Limbah Padat

Limbah padat sebagai pencemar di Sulawesi Selatan berasal dari berbagai sumber yaitu: pertanian, kehutanan, peternakan, industri pengolahan, perdagangan, rumah sakit dan rumah tangga. Penghasil limbah padat terbesar adalah Kota Makassar yaitu sebanyak 176,96 juta ton sampah disusul Kabupaten Bone, dan Gowa masing-masing 94,70 juta ton dan 80,43 juta ton sampah. Sumber utama sampah Kota Makassar adalah pemukiman yaitu sebesar 48,31%, disusul pasar, dan fasilitas umum masing-masing 16,68% dan 10,60%. Sampah Kota Makassar tersebut dari berbagai jenis dan yang paling dominan adalah sampah organik dengan volume mencapai 85,47%, disusul sampah plastik 6,0% dan kertas/karton 4,5%.

Di Kota Makassar, tidak semua sampah yang dihasilkan dapat tertangani dengan baik karena terbatasnya kemampuan petugas dan sarana penanggulangan sampah. Sampah yang tertangani hanya sekitar 68 %, sehingga masih menyisakan sampah di lapangan dan dibiarkan di tempat-tempat penampungan sementara atau ditanggulangi sendiri oleh masyarakat. Kondisi tersebut memberikan tekanan terhadap lingkungan, sehingga lambat laun kualitas lingkungan udara, air dan tanah menjadi menurun.