• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyaluran Khumus dalam Sunah dan di Kehidupan Muslimin Khumus dibagi ke dalam enam bagian: dua saham untuk Allah dan

T ENTANG F IQIH DAN I JTIHAD

5. Penjelasan atas Contoh-contoh Ijtihad Abad Pertama 1 Ijtihad Nabi saw.

54.1. Zakat dan Sedekah

5.4.5. Ghanîmah dan Maghnam (Harta Rampasan Perang)

5.4.6.4. Penyaluran Khumus dalam Sunah dan di Kehidupan Muslimin Khumus dibagi ke dalam enam bagian: dua saham untuk Allah dan

5.4.6.4. Penyaluran Khumus dalam Sunah dan di Kehidupan Muslimin Khumus dibagi ke dalam enam bagian: dua saham untuk Allah dan Rasulullah saw., dan satu saham untuk kerabat beliau.2

Diriwayatkan dari Abul ‘Âliyah Ar-Riyâhî: “Rasulullah saw. sering

mendapatkan ghanîmah. Beliau membagi-baginya menjadi lima bagian; empat perlima diberikan kepada orang-orang yang mengikuti peperangan. Setelah itu, beliau mengambil bagian seperlima yang tersisa. Beliau memasukkan tangannya ke dalam harta tersebut dan lalu mengambil sekadar yang dapat digenggam oleh telapak tangan beliau. Beliau

menjadikan harta itu sebagai bagian Ka‘bah, dan bagian itu adalah saham

Allah. Kemudian beliau membagi-bagi sisanya menjadi lima bagian; satu saham untuk diri Rasul, satu saham untuk dzilqurbâ, satu saham untuk anak

1 Silakan Anda rujuk tafsir ayat khumus dalam buku Majma‘ Al-Bayân dan Mufradât Ar-Râghib, kata [لبس].

yatim, satu saham untuk orang-orang miskin, dan satu saham lagi untuk ibnussabil.”

Ia melanjutkan: “Harta yang dijadikan sebagai bagian Ka‘bah itu adalah saham Allah.”1

Kedua riwayat tersebut menegaskan bahwa khumus harus dibagi menjadi enam saham, dan inilah yang betul, karena pembagian itu sesuai dengan nas ayat khumus. Dan apa yang disebutkan oleh riwayat Abul

‘Âliyah bahwa Rasulullah saw. menjadikan saham Allah sebagai bagian dari harta Ka‘bah, mungkin hal ini hanya pernah terjadi sebanyak satu kali. Yang

benar dalam hal ini—menurut hemat kami—adalah apa yang disebutkan di

dalam riwayat ‘Athâ’ bin Abi Ribâh bahwa khumus Allah dan khumus

Rasul-Nya adalah satu, dan beliau menggunakannya, memberikannya (kepada orang lain), menyalurkannya sesuai dengan pendapat beliau sendiri, dan memanfaatkannya sesuai dengan ide beliau sendiri.2

Dan seperti riwayat tersebut di atas adalah riwayat yang telah

diriwayatkan oleh Ibn Jarîr: “... empat perlima (dari harta rampasan perang

itu) diperuntukkan bagi orang-orang yang ikut berperang dan seperlima sisanya adalah untuk Allah. Seperlima dari seperlima tersebut adalah untuk Rasul-Nya di mana beliau mempergunakannya sesuai dengan pendapat

beliau sendiri, dan seperlima lagi untuk kerabat beliau ....”3

Yang benar berkenaan dengan riwayat Abul ‘Âliyah dan Ibn Juraij

adalah, bahwa saham Allah dan saham Rasul-Nya dalam khumus itu diserahkan kepada Rasulullah; beliau berhak menggunakan kedua saham tersebut, memberikannya (kepada orang lain), menyalurkannya sesuai

1Al-Amwâl, karya Abu ‘Ubaid, hal. 325 dan 14; Tafsir Ath-Thabarî, jil. 10, hal. 4; Ahkâm Al-Qur’an, karya Al-Jashshâsh, jil. 3, hal. 60 dan pada, hal. 61, riwayat itu disebutkan secara ringkas ringkas. Redaksi riwayat tersebut dinukil dari buku pertama.

Abul ‘Âliyah Ar-Riyâhî adalah Rafî‘ bin Mihrân. Ia meninggal dunia pada tahun 90

Hijriah atau setelahnya. Para penulis kitab Ash-Shihâh telah meriwayatkan hadisnya tersebut. Silakan Anda rujuk Tahdzîb At-Tahdzîb, jil. 1, hal. 252.

2Al-Amwâl, karya Abu ‘Ubaid, hal. 14.

Nama Abu Ribâh adalah Aslam Al-Makkî. Ia adalah seorang budak Quraisy. Para penulis kitab Ash-Shihâh telah meriwayatkan hadisnya itu. Ia meninggal dunia pada tahun 114 Hijriah. Silakan Anda rujuk Tahdzîb At-Tahdzîb, jil. 2, hal. 22.

3Tafsir Ath-Thabarî, jil. 10, hal. 5, dengan dua jalur periwayatan hadis (sanad).

Ibn Jarîr adalah Abdul Malik bin Abdul Aziz Al-Makkî, budah Bani Umaiyah. Para penulis kitab Ash-Shihâh telah meriwayatkan hadisnya itu. Ia meninggal dunia pada tahun 150 Hijriah atau setelahnya. Silakan Anda rujuk Tahdzîb At-Tahdzîb, jil. 1, hal. 520.

dengan pendapat beliau sendiri, dan memanfaatkannya sesuai dengan ide beliau sendiri. Adapun berkenaan dengan ungkapan bahwa saham Allah dan saham Rasul-Nya adalah satu, hal ini bertentangan dengan lahiriah ayat khumus yang telah membagi harta khumus ke dalam enam saham. Kecuali jika maksud dari ungkapan tersebut adalah, bahwa urusan kedua saham itu adalah satu (baca: berada di tangan satu orang), bukan maksud bahwa kedua saham itu adalah satu saham.

Begitu juga tidak benar riwayat yang telah diriwayatkan oleh Qatâdah:

“Jika Rasulullah saw. mendapatkan ghanîmah, harta ghanîmah itu dibagi menjadi lima saham. Seperlima (dari seluruh harta itu) adalah milik Allah dan Rasul-Nya dan saham yang selebihnya dibagi-bagikan di kalangan muslimin. Seperlima harta yang menjadi hak Allah dan Rasul-Nya itu adalah hak khusus Rasulullah, kerabat beliau, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnus sabil. Dengan ini, khumus ini adalah seperlima bagian (dari seluruh harta itu) dan khumus ini adalah hak Allah dan Rasul-Nya.”1

Dari riwayat Ibn Abbas yang terdapat dalam buku Tafsir Ath-Thabarî dapat dipahami bahwa usaha menjadikan dua saham itu menjadi satu

saham itu terjadi setelah periode Rasulullah saw. Ia berkata: “Saham Allah

dan saham Rasul dijadikan satu saham, dan itu diperuntukkan kepada dzil qurbâ. Lalu kedua saham ini difokuskan untuk kuda dan senjata.”2

Ath-Thabarî meriwayatkan dari Mujâhid bahwa ia berkata: “Sedekah

tidak dihalalkan bagi keluarga Muhammad saw. Oleh karena itu, mereka

diberikan bagian seperlima dari khumus.”3

Ia melanjutkan: “Mereka adalah kerabat Rasulullah saw. yang sedekah tidak dihalalkan bagi mereka.”4

Ia melanjutkan: “Allah mengetahui bahwa di kalangan Bani Hâsyim

juga ditemukan orang-orang fakir dan miskin. Oleh karena itu, Dia memberikan khumus kepada mereka sebagai ganti dari sedekah.”5

Ali bin Husain pernah berkata kepada salah seorang penduduk Syam:

“Tidakkah kamu membaca di dalam surah Al-Anfâl, ‘Ketahuilah,

sesungguhnyaapasajayangyangkamuperoleh,makasesungguhnyaseperlimauntuk Allah,Rasul,dankerabatRasul[dzilqurbâ]?’

Ia menjawab: “Iya. Apakah kamu adalah mereka itu?”

1Tafsir Ath-Thabarî, jil. 10, hal. 4. 2 Ibid., hal. 5.

3 Ibid. 4 Ibid. 5 Ibid.

Beliau menjawab: “Iya.”1

Ini semua adalah penafsiran kata dzilqurbâ yang terdapat di dalam ayat khumus dan selainnya. Adapun berkenaan dengan kata yatâmâ (anak-anak yatim) dan masâkîn (orang-orang miskin), An-Nîsyâbûrî ketika menfasirkan

ayat tersebut berkata: “Diriwayatkan dari Ali bin Husain as. bahwa seseorang pernah bertanya kepada beliau, ‘Sesungguhnya Allah swt.

berfirman, ‘Dan untuk anak-anak yatim dan orang-orang miskin.’ Beliau

menjawab, ‘Mereka adalah anak-anak yatim dan orang-orang miskin dari

kalangan (kerabat) kami.’”2

Ath-Thabarî meriwayatkan dari Minhâl bin ‘Amr bahwa ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Muhammad bin Ali3 dan Ali bin Husain tentang khumus. Mereka berdua menjawab, ‘Khumus adalah hak kami.’

Aku bertanya lagi kepada Ali, ‘Sesungguhnya Allah berfirman, ‘...dan untukanak-anakyatim,orang-orangmiskin,danibnussabil?’

Mereka menjawab, ‘Mereka adalah anak-anak yatim dan orang-orang miskin dari kalangan (kerabat) kami.’”

Sampai di sini kami bersandarkan kepada buku-buku referensi hadis, sirah, dan tafsir di kalangan mazhab Khulafâ’ berkenaan dengan masalah khumus. Pada pembahasan berikut ini, kami akan memaparkan penya- luran khumus menurut pendapat mazhab Ahlul Bait as.