T ENTANG S UNAH N ABI S AW
2. Tentang Realita Penyebaran Hadis Nabi saw pada Abad Pertama
Di samping penjelasan yang telah kami paparkan itu, ajaran-ajaran kedua mazhab ini telah membatasi sikap para pengikut masing-masing mazhab
1 Mereka meriwayatkan dari mereka hadis-hadis yang memuat keutamaan Ali dan
hadis-hadis yang serupa dengannya, karena keutamaan adalah sesuatu yang diakui oleh para musuh atau sesuatu yang mengindikasikan pengakuan tentang kebenaran dari mereka.
2 Abu Abdillah Ja‘far bin Muhammad As-Shâdiq. Dalam buku Al-Irsyâd-nya, hal.
154, Syaikh Mufîd berkata: “Para ahli hadis telah mengumpulkan nama-nama para perawi hadis yang tsiqah darinya dengan perbedaan pendapat yang mereka miliki dan
jumlah mereka mencapai empat ribu orang.” Ia meninggal dunia pada 148 H.
3‘Imrân bin Haththân Al-Bakrî Asy-Syaibânî As-Sadûsî, salah seorang penyair kaum
terhadap realita penyebaran hadis (Rasulullah saw) dengan batasan-batasan tertentu. Ketika para khalifah melarang penulisan dan penyebaran hadis Rasulullah saw., mazhab yang lain giat bersemangat dalam menyebarkan hadis-hadis itu seraya menentang usaha mazhab Khulafâ’ dalam rangka melarangnya.
Peperangan ini mulai muncul dengan jelas dan sengit sejak akhir-akhir
kehidupan Rasulullah saw. ketika beliau bersabda: “Ambilkanlah sebuah
kertas untukku supaya kutuliskan sepucuk surat (wasiat) yang kamu sekalian
tidak akan tersesat setelah surat itu.” Mereka menimpali: “Rasulullah sedang mengigau.”1
Al-Bukhârî menyebutkan orang yang mengucapkan demikian itu di dalam hadis lain yang diriwayatkannya dari Ibn Abbas. Ibn Abbas bercerita:
“Ketika Rasulullah saw. sedang menghadapi maut dan di rumah beliau
terdapat banyak orang lelaki yang di antara mereka terdapat Umat bin
Khatab, beliau berkata, ‘Marilah kutuliskan untukmu sebuah surat (wasiat) yang kamu tidak akan tersesat setelahnya.’ Umar berkata, ‘Sesung-guhnya penyakit Nabi telah menguasainya dan di tengah-tengah kamu terdapat kitab Allah. Cukuplah bagi kita kitab Allah.’ Orang-orang yang hadir di rumah tersebut berbeda pendapat dan bertengkar. Di antara mereka ada yang berpendapat seperti pendapat Umar. Ketika percekcokan mereka
sengit dan memuncak, beliau berkata, ‘Enyahlah dari hadapanku, karena
tidak layak terjadi percekcokan di hadapanku.’”2
Dan di dalam riwayat Umar, ia menceritakan pertengkaran mereka:
“Kami berada di sisi Nabi dan antara kami dan kaum wanita terdapat tabir penghalang. Rasulullah saw. bersabda, ‘Mandikanlah aku dengan tujuh
kantong air (qirbah) dan ambilkanlah untukku secarik kertas dan pena
supaya kutulis surat (wasiat) yang kamu tidak akan tersesat setelahnya.’
1Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Jihâd, bab Jawâ’iz Al-Wafd, jil. 2/ 120 dan kitab Al- Jizyah, bab Ikhrâj Al-Yahûd min Jazîrah Al-‘Arab, jil. 2/136; Shahîh Muslim, bab
Tark Al-Washiyah, jil. 5/ 75. Muslim telah meriwayatkannya melalui tujuh sanad.
Musnad Ahmad, dengan penelitian ulang oleh Muhammad Syâkir, jil. 1, hal. 222;
Thabaqât Ibn Sa‘d, cet. Beirut, jil. 2, hal. 244; Târîkh Ath-Thabarî, jil. 3, hal. 193. Di
dalam redaksi riwayat mereka ini disebutkan: “Bagaimana kabarnya? Apakah ia
sedang mengigau? Tanyakanlah kembali kepadanya.” Mereka pergi dan mengulangi pertanyaan itu. Beliau berkata: “Tinggalkanlah aku.”
Shahîh Muslim, jil. 5, hal. 76; Târîkh Ath-Thabarî, jil. 3, hal. 193, dan Thabaqât Ibn Sa‘d, jil. 2, hal. 243. Dan redaksinya adalah: “Rasulullah sedang mengigau.”
Kaum wanita berkata,1‘Berikanlah segala yang diperlukan oleh Rasu-lullah.’
Aku menggertak (mereka), ‘Diamlah. Kamu semua hanyalah sahabat- sahabat beliau. Jika beliau sakit, kamu hanya bisa menangis dan jika beliau
sehat, kamu hanya bisa berbahagia.’
Rasulullah saw. bersabda, ‘Mereka lebih baik daripada kamu.’”2
Menurut sebuah riwayat lain disebutkan bahwa Zainab, istri Rasulullah saw. berkata: “Apakah kamu semua tidak mendengar Nabi hendak berjanji untuk kamu?” Mereka pun gaduh. Rasulullah saw. berkata: “Enyahlah.”
Ketika mereka pergi, Nabi saw. meninggal dunia.3
Dari sebagian riwayat dapat dipahami bahwa mereka telah melakukan pelarangan terhadap penulisan hadis Rasulullah saw. sebelum itu dan pada
masa beliau masih sehat. Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh berkata: “Aku
senantiasa menulis segala sesuatu yang kudengar dari Rasulullah saw. Setelah itu, kaum Quraisy mencegahku dan mereka mempertanyakan,
‘Apakah engkau menulis segala sesuatu yang kau dengar dari Rasulullah
saw. sedangkan ia adalah manusia biasa yang dapat berbicara dalam kondisi
marah dan rida?’ Aku pun berhenti menulis. Lalu kuceritakan hal itu
kepada Rasulullah. Beliau mengisyaratkan telunjuk ke arah mulutnya seraya
bersabda, ‘Tulislah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak
akan keluar darinya kecuali kebenaran.’”4
Di dalam dialog dengan Abdullah tersebut, mereka sendiri telah menjelaskan faktor pelarangan penulisan hadis Rasulullah saw. itu. Yaitu, mereka khawatir akan diriwayatkan suatu hadis tentang beberapa orang
1 Dalam buku Imtâ‘ Al-Asmâ‘, hal. 546 disebutkan: “Zainab binti Jahsy dan wanita-
wanita lain yang bersama dengannya”.
2Thabaqât Ibn Sa‘d, bab Al-Kitâb alladzî arâda an Yaktubahu Ar-Rasul, cet. Beirut,
jil. 2, hal. 243-244; Nihâyah Al-Arab, jil. 18, hal. 357; Kanz Al-‘Ummâl, cet. ke-1, jil. 3, hal. 138 dan jil. 4, hal. 52.
3Thabaqât Ibn Sa‘d, jil. 2, hal. 244.
4 Sunan Ad-Dârimî, Al-Muqadimah, bab Man Rukhkhisha fî Al-Kitâbah, jil. 1, hal.
126; Sunan Abi Dâwûd, bab Ktâbah Al-‘Ilm, jil. 2, hal. 126; Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 162, 192, 207, dan 215; Mustadrak Al-Hâkim, jil. 1, hal. 105-106; Jâmi‘ Bayân Al-‘Ilm wa Fadhlih, karya Ibn Abdil Barr, cet. ke-2, Al-‘Âshimah, Kairo, tahun 1388
Hijriah, jil. 1, hal. 85.
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh Al-Qurasyî As-Sahmî. Ibunya adalah Raithah binti Munabbih As-Sahmî. Ia lebih kecil dari ayahnya sebelas atau dua belas tahun. Para ahli sejarah berbeda pendapat berkenaan dengan kematiannya; apakah ia meninggal
di Mesir, Tha’if, atau Mekkah? Apakah ia meninggal dunia pada tahun 63 atau 65
Hijriah? Silakan merujuk biografinya di dalam Usud Al-Ghâbah, jil. 3, hal. 23, An-
yang beliau sabdakan ketika beliau sedang rida terhadap mereka dan suatu hadis lain tentang orang-orang tertentu yang beliau sabdakan pada saat beliau murka terhadap mereka.
Dari sini kita dapat memahami faktor mengapa mereka melarang Rasulullah saw. untuk menulis wasiatnya di saat-saat terakhir kehidupan beliau dan mengapa mereka menyulut percekcokan dan kegaduhan sehingga beliau meninggal dunia tanpa menulis wasiat, serta mengapa mereka melarang penulisan hadis Rasulullah saw. ketika mereka berkuasa, dan sementara itu tidak ada satu pun pencegah yang dapat mencegah mereka dari semua itu.
3. Pelarangan Penulisan Hadis hingga Akhir Abad Pertama