• Tidak ada hasil yang ditemukan

I.2. Rumusan Masalah

1.6 Landasan Teori

1.6.2 Kekerasan terhadap Perempuan

1.6.2.3 Penyebab Kekerasan terhadap Perempuan .1 Gender-Patriarki

1.6.2.3Penyebab Kekerasan terhadap Perempuan 1.6.2.3.1 Gender-Patriarki

Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan jenis kelamin tertentu, misalnya perempuan, disebabkan oleh anggapan gender (Fakih, 1997:17)

Pemahaman dan perbedaan antara konsep seks atau jenis kelamin dan konsep gender sangat penting untuk menganalisis dalam usaha memahami persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Mitos klasik tentang proses penciptaan perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki membenarkan inferioritas perempuan dan menguatkan superioritas laki-laki (Budiman;1981:10) .

Fakih ( 1997:7) berpendapat bahwa, konsep penting yang perlu dipahami dalam membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep jenis kelamin (sex) dan konsep gender. Pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan karena mempunyai alasan sebagai berikut: pemahaman dan perbedaan konsep sex dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan

analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini dikarenakan ada kaitan erat antara perbedaan gender

(gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) serta

kaitannya terhadap ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan jenis kelamin (sex). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misal: bahwa manusia jenis lelaki adalah manusia yang memiliki penis, kalamenjing dan memproduksi sperma. Sedangkang perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur, memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui, alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan lelaki selamanya (Fakih,1997:8-9).

Sedangkan gender bersifat sociocultur karena merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara social cultural. Gender didukung oleh seperangkat perilaku khusus seperti penampilan, sifat, pakaian, kepribadian, pekerjaan, tanggung jawab keluarga. Contoh perbedaan gender adalah bahwa perempuan digambarkan sebagai lemah-lembut, cantik, keibuan, emosional, sedang laki-laki dikenal dengan kuat, jantan, perkasa, rasional, agresif, kebapakan(Fakih,1997:9).

Perbedaan seks (jenis kelamin) antara perempuan dan laki-laki yang berproses melalui budaya dan menciptakan perbedaann gender tidak akan menjadi permasalahan, apabila dasar pemikiran dan pandangan dua jenis manusia ini

dalam kesetaraan. Namun, perbedaan gender kemudian diwarnai oleh pandangan bahwa kedudukan laki-laki ”di atas” perempuan. Pandangan tersebut kemudian dikukuhkan lagi melalui agama dan tradisi. Dengan demikian, laki-laki ”diakui dan dikukuhkan” untuk menguasai perempuan. Situasi ini adalah hasil belajar manusia dari budaya patriarki. Dalam budaya ini, berbagai ketidakadilan muncul di berbagai bidang dan bentuk (Murniati, 2004:xix)

Perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan gender yang berimbas pada posisi yang disandang oleh perempuan. Menurut Fakih (1997:147-151), perbedaan gender yang berdasarkan pada anggapan pada penilaian oleh konstruksi sosial pada akhirnya menimbulkan sifat atau stereotip yang terkukuhkan sebagai kodrat kultrural, dan dalam proses yang panjang telah mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Ketidakadilan terhadap perempuan tersebut dapat dibagi dalam lima bagian. Pertama, perbedaan dan pembagian gender dalam bentuk subordinasi kaum perempuan dihadapan laki-laki, terutama menyangkut pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan. Kedua, marginalisasi/peminggiran, dalam bidang ekonomi. Ketiga, stereotype negatif (pelabean/pemberian cap negatif pada satu kelompok atau individu). Keempat, beban kerja. Kelima, perbedaan gender juga mengakibatkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik maupun mental.

Kekerasan terhadap perempuan adalah suatu bentuk ketidakadilan gender atau suatu konsekuensi dari adaya relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki sebagai bentukan nilai dan norma sosial. Dalam perspektif gender, kondisi ini kemudian dikaitkan adanya suatu budaya patriarkhi yang sejak awal sejarah

membentuk peradaban manusia, yaitu suatu budaya yang menganggap bahwa laki-laki adalah superior terhadap perempuan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan kehidupan bernegara (Mas’Udi,1997:58).

Pada dasarnya, perbedaan gender adalah suatu hal yang wajar terjadi di masyarakat. Hanya saja perbedaan gender bisa menjadi masalah ketika menimbulkan ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan tersebut dapat terjadi karena adanya relasi yang tidak seimbang yang diakibatkan oleh pembakuan peran gender dan persepsi gender yang berbeda. Misalnya anggapan masyarakat bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan kedudukan perempuan sehingga laki-laki merasa lebih berkuasa atas perempuan. Pandangan ini kemudian dikenal sebagai budaya patriarkhi (Riffka Annisa WCC, 2004 :04).

Prasetyo dan Suparman (1997:1-2), melihat bahwa relasi sosial perempuan sifatnya sangat patriarkhis. Patriarkhis adalah ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dari pada perempuan, juga seorang perempuan sudah semestinya dikontrol oleh laki-laki karena dirinya adalah bagian dari milik laki-laki. Lebih jauh lagi ideologi itu menuntut perempuan untuk menerima perilaku feminis sebagai “kodrat”, Akhirnya perempuan pun menjadi objek dari berbagai usaha upaya perubahan yang disusun menurut ego laki-laki. Bias laki-laki itulah yang menjadikan salah satu faktor yang bisa menjelaskan mengapa kekerasan terhadap perempuan terus berlangsung.

Patriarki merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki, serta sistem kontrol terhadap perempuan tempat perempuan dikuasai. Dalam

patriarki melekat ideologi yang menyatakan bahwa perempuan harus dikontrol laki-laki, dan bahkan perempuan adalah bagian dari milik laki-laki. Dengan demikian, terciptalah kontruksi sosial yang tersusun sebagai kontrol atas perempuan dan laki-laki berkuasa penuh mengendalikan hal tersebut (Bhasin, 1996: 3-4).

Budaya patriarki yang melahirkan ketidakadilan gender dimasyarakat menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari pada laki-laki seolah-olah menjadikan perempuan sebagai ”barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan dengan semena-mena , termasuk dengan cara kekerasan. Hal ini dipicu oleh relasi gender yang timpang, dan diwarnai oleh ketidakadilan dalam hubungan antar jenis kelamin, yang berkaitan erat dengan kekuasaan. (httpsitus.kesrepro.infogenderavewreperensi2.htm)

Mufidah (2006:10), mengemukakan bahwa adanya kekuasaan laki-laki yang berlindung dibawah kekuatan jabatan, juga sering menjadi sarana untuk melakukan kekerasan. Jika hakikat kekerasan sesungguhnya merupakan kewajiban untuk mengatur, bertanggung jawab dan melindungi pihak yang lemah/bawahanannya, namun demikian seringkali kebalikannya bahwa, dengan sarana kekuasaan yang legitimate, penguasa seringkali melakukan kekerasan terhadap warga atau bawahannya.

Berkaitan dengan budaya patriarki dan ketidakadilan gender terhadap perempuan, penelitian ini, akan mengulas mengenai kekerasan terhadap perempuan yang dialami tokoh Mira dalam novel WSV karya Naning Pranoto. Alasan peneliti memaparkan perbedaan jenis kelamin anatara laki-laki dan

perempuan, serta budaya yang menempatkan kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki melahirkan ketidakadilan gender. Salah satu bentuk dari ketidakadilan gender adalah kekerasan terhadap perempuan.

1.6.2.2.1 Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab tindak kekerasan yang dialami perempuan. Menurut Dewi Mayavanie Susanti (2004: 3) kondisi ekonomi yang miskin merupakan ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan baik secara pangan, kesehatan dan pendidikan.

Kemiskinan sebagai kondisi ekonomi di mana seseorang atau kelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermatabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki (Wijaya,1998).

Menurut Arivia (dalam jurnal perempuan, 1998) Tingkat kemiskinan antara laki-laki dan perempuan, pada kenyataannya perempuan yang lebih miskin dari pada laki-laki. Tingginya angka kematian ibu adalah salah satu nyata tentang

gawatnya kemiskinan dan sttus kesehatan perempuan. Angka putus sekolah anak perempuan setelah Sekolah Dasar (SD) masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki. Karena dalam keluarga miskin yang terdorong keluar dari jalur pendidikan formal biasanya adalah anak perempuan lebih dahulu. Hal ini, mengakibatkan terpusatnya pekerja perempuan dengan memiliki pendidikan rendah, kurangnya bekal ketranpilan dan memiliki upah yang rendah. Selain itu, kemiskinan dapat mendorong perempuan kedalam situasi rawan pada eksploitasi seksual dan kekerasan.

Penyebab kekerasanmemang kompleks, tidak hanya disebabkan oleh satu faktor. Ada beberapa faktor yang saling terkait dan mempengaruhi. Terpenting adalah untuk tidak hanya melihat penyebab yang nampak saja atau bersifat perorangan, namun dapat lebih dalam menganalisanya dengan menghubungkan faktor-faktor lain yang lebih besar. Dalam kasus pelacuran, perempuan seringkali dianggap sebagai pihak yang bersalah karena mereka mengeksploitasi tubuh mereka. Maka yang kemudian perlu dipersoalkan adalah mengapa laki-laki kemudian melakukan tindak kekerasan. Selain itu juga harus kita pahami bahwa selama ini perempuan diajari untuk berpikir bahwa “tubuh”, dan bukan pikiran, yang merupakan bagian terpenting dari seorang perempuan. Itulah sebabnya mengapa banyak perempuan yang memakai tubuhnya sebagai aset utama memperoleh uang (Utami,2002:21). Tidak menutup kemungkinan kekerasan bisa dipiju dari perempuan sendiri.

1.7 Metode Penelitian

Dokumen terkait