KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN YANG DIALAMI TOKOH MIRA DALAM NOVEL WAJAH SEBUAH VAGINA KARYA NANING PRANOTO
SEBUAH KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Disusun Oleh: FANY HARDIYANTO
024114021
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
MOTTO
MARILAH KEPADAKU, SEMUA YANG LETIH LESU DAN
BERBEBAN BERAT, AKU AKAN MEMBERI KELEGAAN KEPADAMU
( MATIUS, 11:28)
Bila Engkau tidak bisa menjadi CEMARA di bukit, Jadilah BELUKAR yang
terindah di tepi parit.
Bila Engkau tidak bisa menjadi BELUKAR, Jadilah engkau RUMPUT yang
membumbung membuat jalan-jalan semarak.
Bila Engkau tidak bisa menjadi KOMANDAN, Jadilah PRAJURIT yang
TANGGUH.
Bukan kebesaran yang menentukan menang atau kalah, yang terpenting
“JADILAH WAJAR APA ADAMU DAN MENJADI DEWASA”
JUST DO THE BEST, LET GOD DO THE REST. Lakukan yang terbaik
dari yang bisa kita lakukan, selebihnya biarkan Tuhan menyelesaikan.
Karya ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Cristus dan Bunda Maria yang selalu melindungiku dan
mendengarkan doaku.
ALUSIA TUGINEM (ALM)
Ia mengajariku berjalan, Ia mengajariku berlari dan
Ia mengajariku untuk berjuang dan mensyukuri nikmatnya hidup....I Love U
Tanpa beliau tanda dan kata tak bisa bermakna
Di Hati ini hanya selalu tersimpan rautnya
Aku hidup karna beliau, aku bisa menikmati hidup juga karna beliau
ROSALIA MUGIANTI... terimakasih bundaku....PETRUS SUCIPTO
HARDIYANTO dengan keringat dan peluh kalian, aku bisa seperti ini.
Kakakku..adikku.Bapak/Ibu dosen Sastra Indonesia. Sahabat-sahabatku
ABSTRAK
Fany Hardiyanto.2008. Kekerasan terhadap Perempuan yang dialami Tokoh Mira dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto (Sebuah pendekatan Sosiologi Sastra). Skripsi. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Penelitian ini mengkaji tentang kekerasan terhadap perempuan yang dialami tokoh Sumirah dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto. Tujuan penelitian ini adalah 1) Mengkaji dan mendeskripsikan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dialami tokoh Sumirah, 2) mengkaji dan mendeskripsikan penyebab kekerasan terhadap perempuan yang dialami tokoh Mira. Tokoh Mira dalam novel ini, memiliki peranan sangat penting dalam mengungkap bentuk-bentuk dan penyebab kekerasan terhadap perempuan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, karena penelitian ini mengangkat masalah sosial yaitu kekerasan terhadap perempuan dengan memaparkan bentuk-bentuk dan penyebab kekerasan terhadap perempuan. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dan hasil penelitian yang akurat adalah metode analisis isi dan deskriptif. Berdasarkan metode diatas, dapat digambarkan bahwa terdapat fakta-fakta yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, kemudian diolah dan ditafsirkan. Adapun langkah konkret yang ditempuh adalah sebagai berikut: pertama, menganalisis bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dialami tokoh Mira. Kedua, menganalisis penyebab kekerasan terhadap perempuan yang dialami Mira.
Analisis bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dialami Mira, Yaitu kekerasan seksual dan non seksual. 1. Kekerasan seksual,perkosaan dan pelecehan seksual. 2. Kekerasan nonseksual, a. kekerasan fisik, adanya remasan dan gigitan pada payudara, pemukulan, sulutan rokok pada vagina, tendangan pada perut dan dikubur hidup-hidup, b. kekerasan ekonomi, adanya ekslpoitasi atau pelacuran, c. kekerasan psikologi, hinaan, cemoohan, paksaan menjual diri, frustasi, diludahi dan trauma, d. kekerasan politik, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang.
ABSTRACT
Fany Hardiyanto.2008. Women Oppression as Experienced by Mira in Naning Pranoto’s Wajah Sebuah Vagina (A Literary Sociological Appriach). Thesis. Sanata Dharma University. Yogyakarta.
The research is aimed at analyzing the oppression on a woman experienced by the main character, Sumirah in Naning Pranoto’s Wajah Sebuah Vagina. The purposes of the research are 1) analyzing and describing the types of oppression on women, as experienced by the character Sumirah, 2) examining and describing the sources of oppression on a woman, as experienced by Mira. Mira, the main character in the novel, played important role in revealing the kinds and the sources of the oppression on a woman.
The literary sociological approach was adopted in this research because the research analyzed the social problem, the oppression on the women by elaborating the kinds and the sources of the oppression on women. Content analysis and descriptive methods were conducted to gain data and to report the analysis. The stages included: firstly, analyzing the kinds of oppression on a woman, as experienced by Mira. Secondly, the writer analyzed the source of woman oppression experienced by Mira. The results showed that the kinds of women oppressions experienced by Mira included (1) physical abuses, squeezing and biting to the breast, hitting, kicking on the belly and lived burring, (2) sexual abuses; rape and sexual harassment, (3) economic oppression; exploitation or prostitution, (4) psychological abuses; insult, the force to be a prostitute, frustration, spitting, and trauma.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas Karunia dan Kehendak-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kekerasan terhadap
Perempuan yang Dialami Tokoh Mira Dalam Novel Wajah Sebuah Vagina Karya Naning Pranoto sebuah Kajian Sosiologi Sastra. Skripsi tidak akan pernah terwujud
tanpa bimbingan dan semangat dari semua pihak. Saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, atas Karunia dan Kehendak-Nya.
2. Bapak Drs. Yoseph. Yapi.Taum,M. Hum.,selaku Dosen pembimbing I skripsi
yang telah membagikan ilmunya kepada saya.
3. Ibu Susilowati Endah Peni Adji,S.S,M.Hum., selaku Dosen pembimbing II
skripsi yang memberikan banyak masukan kepada saya.
4. Seluruh Dosen Prodi Sastra Indonesia, Bapak Drs. B. Rahmato,M. Hum.,
Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., Bapak Drs. Hery Antono, M. Hum.,
Bapak Drs. Ari Subagyo, M. Hum., Bapak FX Santoso, M.S., Ibu Dra. Fr.
Tjandrasih Adji, M. Hum.
5. Dari hati yang paling dalam, terimakasih untuk eyang Alusia Tuginem
(Almarhum) seorang wanita yang selalu kupuja sepanjang hidupku….karna ia
aku mengerti dan paham arti cinta kasih…terimakasih!
6. Ibu Rosalia Mugiyanti, terimakasih…terimakasih….pejuang wanitaku,
dengan paras ayumu hidup ini indah, karna keringatmu atas pengorbananmu,
aku bisa seperti ini…I..LOVE..U BUNDA. Bapak Petrus Sucipto
Hardiyanto…siapa beliau, bagaimana beliau dan apapun beliau aku sayang
7. Teman-teman seperjuanganku Genk Baskom, Ira (Mlenuk), Eli (Tubruk),
Luki, Erda, dan Rosa, untuk waktu dan indahya persahabatan kita semoga
abadi selamanya.
8. Keluarga besarku tercinta, kakakku tercinta mbak Lala, Mas Janto, adikku
Dionisia, Pakdhe Anton sekeluarga. Mbah Wagio, Keluarga Eko Prihantoro,
Keluarga Muji dan keponakan-keponakanku terima kasih untuk doa, semangat
dan dukunganya pada penulis.
9. Bapak Totok Sugiarto, beribu-ribu ungkapan terima kasih atas bantuan,
semangat dan doa….terima kasih…terima kasih! Atas campur tangan beliau
aku bisa meraih gelar sarjanaku….terimakasih Babe.
10. Ibu Cris (bu Tono) terimakasih atas bantuan, semangat dan informasi
beasiswa. Campur tangan beliaulah aku bisa bertahan melanjutkan kuliah. Dan
tidak ketinggalan bu Agus he….terimakasih!
11. Ma’Uci dan seluruh keluarga besar Darmo Suwito…terimakasih atas bantuan,
semangat….dan doa.
12. Teman-teman Mudika Alosius Gonsaga…terima kasih atas dukungan,
semangat dan doa. He…he…Aku LULUS!
13. Teman-teman Mudika Perum. Kanisius terima kasih atas keluh
kesah…persahabatan dan pengertian .
14. Denbagus IVO terima kasih atas semangat...doa...ia telah sudi mendengarkan
keluh kesahku dan ia menemaniku dikala aku kesepian...ucil..
15. Keluarga Parwoto dan Keluarga Ngadimo.
16. Keluarga besar kantin Sanata Dharma, pak Supri, kang Yono, Bu yuli, bu
17. Seluruh teman-teman Prodi Sastra Indonesia Angkatan 2002, Yogi, Robert,
Bonet, Bangun, Plentong, Sapi, Sumantri, Marta, Lusi, Iren, dan teman –
teman yang lain, kalian sangat spesial.
18. Teman- teman KKN, Zius, Hendra, Moko, Mesya, Yanti, Dhani, Sulis, terima
kasih atas persahabatan kalian.
19. Terima kasih kepada warga desa Cangkring Bantul, atas dukungan, doa. Pak
Pariman, Pak Dukuh, Putut, Wahyu dan Mudika Ganjuran.
20. Seluruh pihak administrasi Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.
21. Seluruh Staff dan karyawan UPT Perpustakaan Universitas Sanata Dharma
dan kepada pihak yang tidak bias saya sebutkan satu-persatu.
Saya telah berusaha sebaik mungkin sebagaimana pengalaman hidup yang saya
jalani, namun saya menyadari masih ada kekurangan dan keterbatasan kemampuan.
Apabila terdapat saran untuk menunjang kesempurnaan skripsi ini saya sangat
berterima kasih.
Akhirnya semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan ilmu kepada
pengetahuan khususnya di bidang sastra Indonesia dimasa yang akan datang. Terima
kasih.
Penulis
DAFTAR ISI 1.1 Latar Belakang Masalah……….………..1
1.2 Rumusan Masalah………….………...7
1.3 Tujuan Penelitian……….………...7
1.4 Manfaat Penelitian……….………..7
1.5 Tinjauan Pustaka………...8
1.6 Landasan Teori………...…...10
1.6.1 Pendekatan Sosiologi Sastra………..……...10
1.6.2 Kekerasan terhadap Perempuan ………...12
1.6.2.1 Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan…..12
BAB II BENTUK-BENTUK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN YANG DIALAMI MIRA 2.1 Pengantar………..25
2.3 Bentuk-bentuk Kekerasan yang dialami Tokoh Mira…………..28
2.3.1 Kekerasan Seksual………...29
2.3.2 Kekerasan Non Seksual……….………...37
2.3.2.1 Kekerasan Fisik..….……….….37
2.3.2.2 Kekerasan Ekonomi………...43
2.3.2.3 Kekerasan Psikologi………..…47
2.3.2.4 Kekerasan Politik………55
2.4 Rangkuman……….……..56
BAB III FAKTOR PENYEBAB KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN YANG DIALAMI MIRA 3.1 Pengantar………60
3.2 Faktor Penyebab Kekerasan Yang dialami Mira.……….…...61
3.2.1 Adanya Ketidakadilan Gender.……….….61
3.2.2 Faktor Ekonomi……….72
3.4 Rangkuman……….79
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan……….82
4.2 Saran……….…..86
BAB I PENDAHULUAN
1.I Latar Belakang
Perempuan mempunyai hak dan kekedudukan yang sama terhadap
laki-laki, yaitu sama-sama mempunyai hak untuk mendapat perlindungan dari negara,
dihormati dan dihargai sebagi ciptaan Tuhan, serta mempunyai hak untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki setiap individu. Namun, pada
kenyataannya perempuan merupakan mahkluk yang paling rentan terhadap tindak
kekerasan, baik di dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Kedudukan
perempuan hanya sebagai pelengkap kaum laki-laki, perempuan diibaratkan hanya
sebagai konco wingkeng saja. Laki-laki digambarkan sebagai pemimpin, sedangkan perempuan harus patuh kepada laki-laki. Perbedaan tersebut yang
menjadikan adanya ketidakadilan gender yang menimbulkan kaum perempuan
rentan dengan kekerasan. (Arvita, 2004:45).
Suharman (1998:44) mengatakan bahwa, perempuan merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Namun, sepanjang perjalanan
sejarah kehidupan umat manusia, perempuan tidak jarang menjadi objek dari
tindak kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki. Sepanjang sejarah itu pula,
bukti-bukti kekuasaan laki-laki serta kerentanan perempuan selalu dapat dihadirkan.
Hal tersebut dapat diketahui dari berbagai pemberitaan di media cetak
pornografi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perdagangan perempuan dan
sampai pembunuhan.
Kekerasan terhadap perempuan (KTP) merupakan salah satu bentuk dari
ketidakadilan gender yang patut diperhatikan baik dari individu, masyarakat dan
negara, karena cenderung makin meningkat. Terbukti pada catatan tahunan
Komnas Perempuan yang menunjukkan bahwa pada tahun 2005, teridentifikasi
sebanyak 20,391 kasus KTP. Angka ini menunjukkan peningkatan 45% jika
dibandingkan dengan jumlah kasus pada tahun 2004, yaitu 14.020 kasus dimana
82% dari kasus tersebut adalah KDRT. Di Indonesia, setiap tahunnya terjadi
peningkatan kasus-kasus KTP. Pada tahun 2001, tercatat 3.160, tahun 2002
meningkat menjadi 5.103, pada tahun 2003 menjadi 7.787, dan tahun 2004
tercatat 14.020 kasus, 562 kasus traficking in woman (perdagangan perempuan). Dari data peningkatan kasus kekerasan tersebut, terbukti bahwa perempuan sangat
rentan terhadap tindak kekerasan (www.komnas perempuan.co.id).
Salah satu contoh tindak kekerasan terhadap perempuan di Indonesia,
yakni kasus Marsinah, buruh perempuan yang bekerja di perusahaan jam tangan
PT. Catur Surya, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia meninggal pada tanggal 9 Mei
1993, ditemukan di sebuah gubuk terbuka sawah dekat hutan jati, tidak jauh dari
rumahnya dengan luka-luka dan bekas siksaan. Pembunuhan Marsinah merupakan
rangkaiaan dari pemogokan yang dilakukan buruh perusahaan tersebut dalam
rangka memperbaiki kondisi kerja dan meningkatkan upah. Marsinah merupakan
aktifis pemogokan buruh tersebut. Hal ini menjadi pertanyaan yang cukup pelik,
menghadapi resiko begitu besar (www.tempointeraktif.com). Kisah yang dialami
Marsinah memang sangat memprihatinkan, karena sampai sekarang belum ada
kejelasan mengenai kasus tersebut dari pihak hukum.
Kerusuhan bulan Mei 1998 yang terjadi di berbagai kota besar Indonesia,
merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dialami perempuan. Bentuk
kekerasan yang berupa: pemerkosaan, penganiayaan seksual, serta pembunuhan
yang didahului penyiksaan secara seksual (Saparinah via A.Rahman, 2002:145).
Kerusuhan tersebut membawa kita untuk berpikir bahwa keberadaan perempuan
rentan dengan tindak kekerasan.
Fenomena KTP tidak hanya ditemukan dalam kehidupan masyarakat.
Berbagai wacana gambaran KTP diungkapkan pula dalam cerita fiksi seperti
karya sastra. Beberapa karya sastra mengenai gambaran KTP merupakan inspirasi
pengarang dari kehidupan sosial. Menurut Sumardjo (1989:15), karya sastra yang
kita baca dibangun oleh pengarangnya, sebagai hasil rekaman berdasarkan
perenungan, penafsiran, penghanyatan hidup terhadap realitas sosial dan
lingkungan kemasyarakatan dimana pengarang itu hidup dan berkembang. Karya
sastra merupakan bentuk realitas kehidupan alami masyarakat. Oleh karena itu,
realitas kehidupan dalam masyarakat merupakan sumber bahan penciptaan karya
sastra.
Penciptaan sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam
masyarakat. Dalam karya sastra hal-hal yang digambarkan tentang masyarakat
dapat berupa sruktur sosial masyarakat, fungsi dan peran masing-masing anggota
lebih sederhana, karya sastra menggambarkan unsur-unsur masyarakat yang
terdiri dari laki-laki dan perempuan interaksi yang terjalin di antara keduanya
merupakan tema yang menarik untuk dikaji sebab menyangkut hububungan antara
dua jenis kelamin yang berbeda, yang membentuk tatanan kehidupan masyarakat,
baik secara sosial maupun budaya (Rampan, 1984:16).
Hal tersebut, menginspirasi beberapa penulis mengangkat tema kehidupan
perempuan kedalam karya sastra. Salah satu penulis perempuan yang mengangkat
masalah perempuan adalah Naning Pranoto. Naning, lahir pada tanggal 6
Desember 1957 di Yogyakarta. Kiprahnya di dunia tulis menulis sampai tahun
2003 telah meghasilkan lebih dari 17 novel dan ratusan cerita pendek. Novelnya
antara lain Mumi Beraroma Minyak Wangi, Miss Lu, Musim Semi Lupa Singgah Di Shizi, Bella Donna Nova, Asalea Jingga, Angin Sorrento, Perempuan Dari
Selatan dan Dialog Antara Dua Topeng, Wajah Sebuah Vagina serta Sebilah
Pisau Dari Tokyo.
Salah satu novel yang menarik perhatian peneliti adalah novel yang
berjudul Wajah Sebuah Vagina (kemudian ditulis WSV), karena dalam novel tersebut Naning mengangkat masalah ketidakadilan yang menimpa perempuan,
melalui vagina mereka. Novel WSV ditulis oleh Naning, karena terinspirasi oleh
kisah Sunarti (yang kisahnya ditulis Naning pada pengantar penulis di awal novel
WSV). Sunarti menceritakan kisahnya kepada Naning, bahwa hampir 25 tahun
ditindas oleh pasangan hidupnya, ia dijadikan pelacur dan disiksa. Dari kisah
tersebut Naning mengangkatnya menjadi novel yang menarik dengan tokoh utama
Naning menggunakan kata vagina dalam novelnya WSV hanya sebagai
simbol dan fenomena yang tejadi pada kaum perempuan. Vagina bukan hanya
sekedar embel-embel bagi eksistensi manusia yang memilikinya. Vagina adalah
pembeda yang paling mendasar dan yang menentukan bagi pemilahan gender.
Vagina memiliki peranan yang sangat religius, sebab vagina merupakan anugerah
kemuliaan. Vagina bagi kaum perempuan merupakan simbol kesucian dan
kehormatan yang patut dimuliakan. Namun, suatu ketika vagina bisa menjadi
sumber malapetaka bagi perempuan, ketika keberadaannya dilecehkan sebagai
sumber penghasil materi (Tamba, 2007).
Dalam novel WSV, dikisahkan secara tragis mengenai kekerasan yang
dialami tokoh perempuan yang bernama Sumirah. Sumirah atau lebih sering
dipanggil Mira berasal dari desa Mijil, Jawa Tengah. Sejak umur 5 tahun orang
tua Mira meninggal dunia, karena dibunuh oleh Petugas Keamanan Negara
(PKN), terlibat anggota Barisan Tani Indonesia (BTI). Pada usia 14 tahun, pertama kali ia mendapat menstruasi, satu bulan setelah itu, ia diperkosa oleh
Lurah Prakoso. Karena ancaman Lurah Prakoso, Mira pergi dari desanya dan lari
ke Surabaya ke tempat Mbak Dinah tetangganya sewaktu di desa Mijil. Di kota
Surabaya, Mira menjadi pelacur atas paksaan Mbak Dinah. Selama 5 tahun
menjadi pelacur Mira mendapat perlakuan kasar dari pelanggannya. Kekerasan
yang dialami Mira tidak hanya itu saja. Kehidupan ekonomi yang lemah membuat
Mira meninggalkan Kang Suhar suaminya untuk hidup bersama Mister Mulder,
lelaki Belanda yang mengaku pengusaha emas. Kemewahan yang melimpah dari
hanya sementara, Mira lalu dijual dan dijadikan pelacur oleh Mister Mulder di
negara Afrika.
Berdasarkan gambaran singkat kehidupan Mira di atas, novel WSV
merupakan gambaran kekerasan terhadap perempuan. Berbagai tragedi kehidupan
yang mewarnai kehidupan tokoh Mira membuat peneliti ingin mengetahui lebih
dalam mengenai bentuk-bentuk kekerasan dan penyebab kekerasan yang dialami
tokoh Mira.
Kekerasan dalam novel WSV menggugah peneliti untuk menganalisis
dengan menggunakan pendekatan yang memperhatikan segi-segi kemasyarakatan
yang disebut sosiologi sastra. Dengan menggunakan pendekatan tersebut peneliti
ingin lebih leluasa mendeskripsikan bentuk-bentuk kekerasan dan penyebab KTP
yang dialami tokoh Mira. Peneliti tertarik meneliti novel WSV, karya Naning
Pranoto karena menitikberatkan masalah perempuan tentang kekerasan terhadap
perempuan. Novel ini pada hakikatnya menggambarkan realita sosial yang ada
dalam kehidupan nyata, yang dialami sebagian perempuan seperti yang terjadi
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan permasalahan
sebagai berikut.
1.2.1 Apa saja bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dialami
tokoh Mira dalam novel WSV karya Naning Pranoto?
1.2.2 Apa yang melatarbelakangi penyebab kekerasan terhadap perempuan
yang dialami tokoh Mira dalam novel WSV karya Naning Pranoto?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan yang akan dicapai dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.3.1 Mendeskripsikan bentuk-bentuk KTP yang menimpa tokoh Mira
dalam novel WSV karya Naning Pranoto.
1.3.2 Mendeskripsikan latar belakang penyebab KTP yang dialami tokoh
Mira dalam novel WSV karya Naning Pranoto.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut.
1.4.1 Bagi perkembangan ilmu sastra, hasil penelitian ini diharapkan sebagai
masukan untuk lebih memperhatikan kekerasan terhadap perempuan
dengan mengetahui bentuk-bentuk dan penyebabnya agar lebih bisa
1.4.2 Menambah perbendaharaan pustaka khususnya dibidang peneitian
sastra yang dilihat dari segi sosiologi.
1.5 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini akan memaparkan beberapa pembahasan mengenai
novel WSV karya Naning Pranoto yang berupa resensi dan skripsi.
Novel WSV adalah novel ke-17 Naning Pranoto yang terbit pada tahun
2004. Novel WSV sudah pernah dinaskahkan oleh Wijang Warek AM dan pernah
dipentaskan oleh kelompok teater “ Tonil Klosed” Surakarta, di gedung Teater Arena Taman Budaya Surakarta yang disutradarai oleh Sosiawan Leak (Suara Merdeka, 2005: 29 November).
Sunarwoto Dewo (dalam Jawa Pos, 4 Juli 2004) pada resensinya yang berjudul ”Potret Kekejaman Rezim Lelaki”, mengatakan bahwa kisah Sumira dalam novel WSV terinspirasi kisah oleh kisah Sunarti, yang dibahas dalam
bagian pengantar novel. Kisah Sunarti diangkat menjadi novel sebagai gambaran
realita kekerasan atas perempuan yang hingga kini masih berlangsung. Sunarwoto
menghubungkan kisah Sumira tokoh utama dalam novel WSV dengan kisah Ratu
Pembayun yang menjadi tumbal intrik tipu muslihat Raja Mataram Panembahan
Senopati. Kisah tersebut bukti adanya pemanfaatan perempuan sebagai alat untuk
meraih ambisi. Sunarwoto Dewo berkesimpulan bahwa, kisah novel WSV
merepresentasikan kekejaman rezim lelaki.
novel-novel yang berbau lendir, dalam arti karya-karya yang bersifat porno. Novel-novel-novel
yang termasuk karya berlendir salah satunya yaitu, novel Wajah Sebuah Vagina. Fatoni memaparkan alasan Naning memakai kata vagina dalam judul
novelnya. Vagina hanya sebagai simbol dari fenomena tentang kekerasan yang
terus menerus dilakonkan laki-laki. Judul WSV itulah yang menjadikan novel
tersebut sebagai novel berlendir dan ditolak oleh beberapa toko buku.
Novel WSV pernah dibahas secara khusus, mendalam dan sistematis oleh
Mery Kusumawardhani dan Nila Mei Tiastuti. Mery Kusumawardhani,
mahasisiwi dari Universitas Airlangga, fakultas Sastra Indonesia angkatan 1999.
Dalam skripsinya yang berjudul ”Representasi Patriarki dalam Novel Wajah
Sebuah Vagina” mengkaji mengenai representasi patriarki yang terkihat pada
tokoh laki-laki pada novel WSV .
Berbeda dengan Nila Mei Tiastuti mahasiswi Universitas Negri Semarang,
ia mengkaji novel WSV dengan judul ” Tokoh Wanita dalam Pandangan Gender
Pada Novel Wajah sebuah Vagina”. Nila lebih memfokuskan penelitiannya pada
tokoh wanita yaitu Mira dengan pandangan gender.
Sedangkan penelitian ini akan mengupas tentang ”Kekerasan terhadap
Perempuan yang Dialami Tokoh Mira”. Karena, sejauh pengetahuan peneliti
belum ada penelitian yang mengangkat tema permasalahan kekerasan terhadap
1.6 Landasan Teori
Kajian teori yang akan digunakan dalam menganalisis novel WSV adalah
pendekatan sosiologi sastra dan kekerasan terhadap perempuan yang memaparkan
mengenai bentuk-bentuk KTP dan penyebab KTP.
1.6.1 Sosiologi Sastra
Menurut Semi (1989:46) pendekatan sosiologis dalam penelitian sastra
bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan
masyarakat.
Karya sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri
adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 1987:3). Menurut Rampan (1984:15)
karya sastra sebagai media merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai
masalah yang diamati di lingkungan. Reatita sosial yang terjadi dimodifikasikan
sedemikian rupa menjadi sebuah teks literer yang dimungkinkan menghadirkan
pencitraan yang berbeda dibandingkan dengan realita empiris. Dengan demikian,
realita sosial yang dihadirkan melalui teks kepada pembaca merupakan gambaran
tentang berbagai fenomena sosial yang terjadi atau yang pernah terjadi di
masyarakat, yang dihadirkan kembali oleh pengarang dalam bentuk dan
pencitraan yang berbeda. Menurut Luxemburg (1978:45), hal ini berarti karya
sastra memberikan wawasan kepada pembaca mengenai kenyataan dalam
masyarakat
Dengan demikian, pemahaman karya sastra tidak hanya ditemukan oleh
memperhatikan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra (Damono,
1987:2).
Telaah sosiologi sastra mempunyai dua kecenderungan utama. Pertama,
pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin
proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar
sastra untuk membicarakan sastra, sastra hanya berharga dalam hubungannya
dengan faktor-faktor diluar sastra itu sendiri. Jelas bahwa dalam pendekatan ini
teks sastra tidak dianggap utama, ia hanya merupakan ephinimenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan
penelaah. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis
teks untuk megetahui strukturnya, kemudian digunakan untuk memahami lebih
dalam lagi gejala yang ada di luar sastra (Damono, 1978:2-3).
Penelitian ini, menggunakan kecenderungan yang pertama yaitu
pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin
proses sosial ekonomi belaka. Dalam mengenalisis karya sastra perlu untuk
menghubungkan karya sastra atau novel dengan masyarakat. Karena karya sastra
merupakan bagian dari masyarakat.
Model pendekatan ini dipilih dengan alasan, peneliti ingin lebih leluasa
menganalisis mengenai ”Kekerasan terhadap Perempuan yang dialami Tokoh
Mira dalam novel WSV”. Pendekatan sosiologis dipilih karena karya sastra seperti
novel merupakan representasi dari fenomena sosial yang terjadi di masyarakat.
perempuan yang banyak dialami sebagaian masyarakat khususnya kaum
perempuan.
1.6.2 Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap Perempuan dalam pasal 1 Deklarasi Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan di Nairobi pada tahun 1985, termuat pengertian
kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan
jenis kelamin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik,
seksual, psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik terjadi di depan umum
maupun dalam kehidupan pribadi (Sugihastuti.2007: 172)
1.6.2.2 Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan
Menurut La Pona dkk.(2002:7), berdasarkan situs terjadinya, kekerasan
terhadap perempuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kekerasan yang
dilakukan oleh pelaku yang memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan
perkawinan, meskipun dilakukan di sektor publik, dapat dikategorikan sebagai
kekerasan domestik. Sebaliknya, bila kekerasan dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki hubungan kekerabatan atau perkawinan, meskipun dilakukan di dalam
rumah, dikategorikan sebagai kekerasan sektor publik.
Dzuhayatin dan Yuarsi (2002:6) mengatakan bahwa kekerasan terhadap
perempuan dapat dibedakan menjadi dua bentuk yakni kekerasan seksual dan
unsur kehendak seksual. Apabila terdapat unsur kehendak seksual, kekerasan
tersebut dapat dikategorikan sebagai kekersan seksual. Sebaliknya, apabila unsur
tersebut tidak didominan, kekerasan tersebut dimasukkan dalam kategori
nonseksual.
Rifka Annisa Women Crisis Center (Rifka Annisa WCC,2004:4)
mengategorikan secara umum bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
sebagai berikut.
a. Kekerasan seksual adalah perbuatan yang berupa perkosaan, pelecehan
seksual, hingga pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan (marital rape) maupun insest. Akibat dari kekerasan tersebut bisa mengakibatkan seperti, luka pada alat kelamin, selaput dara rusak, hamil, keguguran.
b. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan berupa, pemukulan, tamparan,
penjambakan, sulutan rokok, dibenturkan dan segala tindakan yang
menyerang fisik atau mengakibatkan luka fisik. Perbuatan tersebut
menyebabkan rasa sakit, cidera, luka, atau cacat pada tubuh seseorang dan
atau menyebabkan kematian.
c. Kekerasan ekonomi adalah setiap perbuatan yang bersifat membatasi
seseorang untuk bekerja, baik di dalam atau di luar rumah, yang
menghasilkan uang atau barang; dan atau membiarkan korban bekerja
untuk dieksploitasi; atau tindakan menelantarkan keluarga.
d. Kekerasan Psikologis adalah perbuatan yang berupa umpatan, ejekan,
cemoohan dan segala tindakan yang mengakibatkan tekanan psikologis
mental dan jiwa seperti adanya trauma, hilangnya kepercayaan diri, dan
berbagai negatif lain.
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan diatas masih kurang satu
bentuk kekerasan, yaitu kekerasan politik. Kekerasan politik adalah perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang yang menyebabkan seseorang terisolasi
dari lingkungan sosalnya.
Dari beberapa pendapat mengenai bentuk-bentuk KTP diatas, peneliti
merumuskan kekerasan terhadap perempuan sebagai berikut.
1. Kekerasan seksual adalah perbuatan yang berupa perkosaan, pelecehan
seksual, hingga pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan (marital rape) maupun insest. Akibat dari kekerasan tersebut bisa mengakibatkan seperti, luka pada alat kelamin, selaput dara rusak, hamil, keguguran.
2. Kekerasan Nonseksual
a. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan berupa, pemukulan, tamparan,
penjambakan, sulutan rokok, dibenturkan dan segala tindakan yang
menyerang fisik atau mengakibatkan luka fisik. Perbuatan tersebut
menyebabkan rasa sakit, cidera, luka, atau cacat pada tubuh seseorang dan
atau menyebabkan kematian.
b. Kekerasan ekonomi adalah setiap perbuatan yang bersifat membatasi
seseorang untuk bekerja, baik di dalam atau di luar rumah, yang
menghasilkan uang atau barang; dan atau membiarkan korban bekerja
c. Kekerasan Psikologis adalah perbuatan yang berupa umpatan, ejekan,
cemoohan dan segala tindakan yang mengakibatkan tekanan psikologis
termasuk ancaman dan pengekangan yang berakibat pada gangguan
mental dan jiwa seperti adanya trauma, hilangnya kepercayaan diri, dan
berbagai negatif lain.
d. Kekerasan Politik adalah perambasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang yang menyebabkan seseorang terisolasi dari lingkungan sosialnya.
1.6.2.3Penyebab Kekerasan terhadap Perempuan 1.6.2.3.1 Gender-Patriarki
Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai
sumber, namun salah satu kekerasan jenis kelamin tertentu, misalnya perempuan,
disebabkan oleh anggapan gender (Fakih, 1997:17)
Pemahaman dan perbedaan antara konsep seks atau jenis kelamin dan
konsep gender sangat penting untuk menganalisis dalam usaha memahami
persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Mitos klasik
tentang proses penciptaan perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki
membenarkan inferioritas perempuan dan menguatkan superioritas laki-laki
(Budiman;1981:10) .
Fakih ( 1997:7) berpendapat bahwa, konsep penting yang perlu dipahami
dalam membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep
jenis kelamin (sex) dan konsep gender. Pembedaan terhadap kedua konsep
tersebut sangat diperlukan karena mempunyai alasan sebagai berikut: pemahaman
analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa
kaum perempuan. Hal ini dikarenakan ada kaitan erat antara perbedaan gender
(gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) serta
kaitannya terhadap ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan
jenis kelamin (sex). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu. Misal: bahwa manusia jenis lelaki adalah
manusia yang memiliki penis, kalamenjing dan memproduksi sperma.
Sedangkang perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk
melahirkan, memproduksi sel telur, memiliki vagina dan mempunyai alat
menyusui, alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis
perempuan dan lelaki selamanya (Fakih,1997:8-9).
Sedangkan gender bersifat sociocultur karena merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara social cultural.
Gender didukung oleh seperangkat perilaku khusus seperti penampilan, sifat,
pakaian, kepribadian, pekerjaan, tanggung jawab keluarga. Contoh perbedaan
gender adalah bahwa perempuan digambarkan sebagai lemah-lembut, cantik,
keibuan, emosional, sedang laki-laki dikenal dengan kuat, jantan, perkasa,
rasional, agresif, kebapakan(Fakih,1997:9).
Perbedaan seks (jenis kelamin) antara perempuan dan laki-laki yang
berproses melalui budaya dan menciptakan perbedaann gender tidak akan menjadi
dalam kesetaraan. Namun, perbedaan gender kemudian diwarnai oleh pandangan
bahwa kedudukan laki-laki ”di atas” perempuan. Pandangan tersebut kemudian
dikukuhkan lagi melalui agama dan tradisi. Dengan demikian, laki-laki ”diakui
dan dikukuhkan” untuk menguasai perempuan. Situasi ini adalah hasil belajar
manusia dari budaya patriarki. Dalam budaya ini, berbagai ketidakadilan muncul
di berbagai bidang dan bentuk (Murniati, 2004:xix)
Perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan gender yang berimbas
pada posisi yang disandang oleh perempuan. Menurut Fakih (1997:147-151),
perbedaan gender yang berdasarkan pada anggapan pada penilaian oleh konstruksi
sosial pada akhirnya menimbulkan sifat atau stereotip yang terkukuhkan sebagai
kodrat kultrural, dan dalam proses yang panjang telah mengakibatkan
ketidakadilan bagi kaum perempuan. Ketidakadilan terhadap perempuan tersebut
dapat dibagi dalam lima bagian. Pertama, perbedaan dan pembagian gender dalam
bentuk subordinasi kaum perempuan dihadapan laki-laki, terutama menyangkut
pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan. Kedua,
marginalisasi/peminggiran, dalam bidang ekonomi. Ketiga, stereotype negatif
(pelabean/pemberian cap negatif pada satu kelompok atau individu). Keempat,
beban kerja. Kelima, perbedaan gender juga mengakibatkan timbulnya kekerasan
terhadap perempuan baik secara fisik maupun mental.
Kekerasan terhadap perempuan adalah suatu bentuk ketidakadilan gender
atau suatu konsekuensi dari adaya relasi yang timpang antara perempuan dan
laki-laki sebagai bentukan nilai dan norma sosial. Dalam perspektif gender, kondisi ini
membentuk peradaban manusia, yaitu suatu budaya yang menganggap bahwa
laki-laki adalah superior terhadap perempuan dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat dan kehidupan bernegara (Mas’Udi,1997:58).
Pada dasarnya, perbedaan gender adalah suatu hal yang wajar terjadi di
masyarakat. Hanya saja perbedaan gender bisa menjadi masalah ketika
menimbulkan ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan tersebut dapat terjadi karena adanya relasi yang tidak seimbang yang
diakibatkan oleh pembakuan peran gender dan persepsi gender yang berbeda.
Misalnya anggapan masyarakat bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dibandingkan kedudukan perempuan sehingga laki-laki merasa lebih
berkuasa atas perempuan. Pandangan ini kemudian dikenal sebagai budaya
patriarkhi (Riffka Annisa WCC, 2004 :04).
Prasetyo dan Suparman (1997:1-2), melihat bahwa relasi sosial perempuan
sifatnya sangat patriarkhis. Patriarkhis adalah ideologi yang menyatakan bahwa
laki-laki lebih tinggi kedudukannya dari pada perempuan, juga seorang
perempuan sudah semestinya dikontrol oleh laki-laki karena dirinya adalah bagian
dari milik laki-laki. Lebih jauh lagi ideologi itu menuntut perempuan untuk
menerima perilaku feminis sebagai “kodrat”, Akhirnya perempuan pun menjadi
objek dari berbagai usaha upaya perubahan yang disusun menurut ego laki-laki.
Bias laki-laki itulah yang menjadikan salah satu faktor yang bisa menjelaskan
mengapa kekerasan terhadap perempuan terus berlangsung.
Patriarki merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki,
patriarki melekat ideologi yang menyatakan bahwa perempuan harus dikontrol
laki-laki, dan bahkan perempuan adalah bagian dari milik laki-laki. Dengan
demikian, terciptalah kontruksi sosial yang tersusun sebagai kontrol atas
perempuan dan laki-laki berkuasa penuh mengendalikan hal tersebut (Bhasin,
1996: 3-4).
Budaya patriarki yang melahirkan ketidakadilan gender dimasyarakat
menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari pada laki-laki
seolah-olah menjadikan perempuan sebagai ”barang” milik laki-laki yang berhak untuk
diperlakukan dengan semena-mena , termasuk dengan cara kekerasan. Hal ini
dipicu oleh relasi gender yang timpang, dan diwarnai oleh ketidakadilan dalam
hubungan antar jenis kelamin, yang berkaitan erat dengan kekuasaan.
(httpsitus.kesrepro.infogenderavewreperensi2.htm)
Mufidah (2006:10), mengemukakan bahwa adanya kekuasaan laki-laki
yang berlindung dibawah kekuatan jabatan, juga sering menjadi sarana untuk
melakukan kekerasan. Jika hakikat kekerasan sesungguhnya merupakan
kewajiban untuk mengatur, bertanggung jawab dan melindungi pihak yang
lemah/bawahanannya, namun demikian seringkali kebalikannya bahwa, dengan
sarana kekuasaan yang legitimate, penguasa seringkali melakukan kekerasan
terhadap warga atau bawahannya.
Berkaitan dengan budaya patriarki dan ketidakadilan gender terhadap
perempuan, penelitian ini, akan mengulas mengenai kekerasan terhadap
perempuan yang dialami tokoh Mira dalam novel WSV karya Naning Pranoto.
perempuan, serta budaya yang menempatkan kedudukan perempuan lebih rendah
dari laki-laki melahirkan ketidakadilan gender. Salah satu bentuk dari
ketidakadilan gender adalah kekerasan terhadap perempuan.
1.6.2.2.1 Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab tindak kekerasan yang
dialami perempuan. Menurut Dewi Mayavanie Susanti (2004: 3) kondisi ekonomi
yang miskin merupakan ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap
sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada
posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Tetapi pada umumnya, ketika orang
berbicara tentang kemiskinan yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan
pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu
memenuhi kebutuhan baik secara pangan, kesehatan dan pendidikan.
Kemiskinan sebagai kondisi ekonomi di mana seseorang atau kelompok
orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermatabat. Hak-hak
dasar masyarakat antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan
atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki (Wijaya,1998).
Menurut Arivia (dalam jurnal perempuan, 1998) Tingkat kemiskinan
antara laki-laki dan perempuan, pada kenyataannya perempuan yang lebih miskin
gawatnya kemiskinan dan sttus kesehatan perempuan. Angka putus sekolah anak
perempuan setelah Sekolah Dasar (SD) masih tetap lebih tinggi dibandingkan
dengan anak laki-laki. Karena dalam keluarga miskin yang terdorong keluar dari
jalur pendidikan formal biasanya adalah anak perempuan lebih dahulu. Hal ini,
mengakibatkan terpusatnya pekerja perempuan dengan memiliki pendidikan
rendah, kurangnya bekal ketranpilan dan memiliki upah yang rendah. Selain itu,
kemiskinan dapat mendorong perempuan kedalam situasi rawan pada eksploitasi
seksual dan kekerasan.
Penyebab kekerasanmemang kompleks, tidak hanya disebabkan oleh satu
faktor. Ada beberapa faktor yang saling terkait dan mempengaruhi. Terpenting
adalah untuk tidak hanya melihat penyebab yang nampak saja atau bersifat
perorangan, namun dapat lebih dalam menganalisanya dengan menghubungkan
faktor-faktor lain yang lebih besar. Dalam kasus pelacuran, perempuan seringkali
dianggap sebagai pihak yang bersalah karena mereka mengeksploitasi tubuh
mereka. Maka yang kemudian perlu dipersoalkan adalah mengapa laki-laki
kemudian melakukan tindak kekerasan. Selain itu juga harus kita pahami bahwa
selama ini perempuan diajari untuk berpikir bahwa “tubuh”, dan bukan pikiran,
yang merupakan bagian terpenting dari seorang perempuan. Itulah sebabnya
mengapa banyak perempuan yang memakai tubuhnya sebagai aset utama
memperoleh uang (Utami,2002:21). Tidak menutup kemungkinan kekerasan bisa
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Pendekatan
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
Pendekatan sosaiologi sastra digunakan untuk menganalisis hubungan karya sastra
dengan unsur sosial. Secara sosiologis, sebuah karya sastra merupakan cermin
masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra digunakan untuk menganalisis kekerasan
terhadap perempuan dengan mengkaji bentuk-bentuk dan penyebab kekerasan.
1.7.2 Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian ilmiah, kata metode mengacu pada cara kerja yang
dipergunakan secara sistematis untuk menganalisis, mempelajari, dan memahami
atau mendalami suatu objek penelitian yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan. Oleh karena itu penentuan metode penelitian harus dilakukan
dengan teliti berdasarkan pertimbangan mengenai ada tidaknya kesesuaian antara
sebuah objek metode dengan objek studi atau penelitian ( Koentjaraningrat via
Yudiono, !990:14).
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan dua jenis metode, yakni metode
analisis isi dan metode deskriptif. Metode analisis isi dalam karya sastra adalah
cara mengungkapkan pesan-pesan yang sesuai dengan hakikat sastra itu sendiri
(Ratna,2004:48). Metode deskripsi adalah metode yang melukiskan sesuatu yang
digunakan untuk memaparkan secara keseluruhan hasil analisis yang dilakukan
Metode analisis isi digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis
kekerasan terhadap perempuan yang dialami tokoh Mira novel WSV. Metode
deskripsi digunakan peneliti untuk mendeskripsikan hasil analisis yang berupa
bentuk-bentuk kekerasan, maupun penyebab kekerasan terhadap perempuan yang
dialami Mira dalam novel WSV.
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan jenis penelitian studi pustaka (library research). Data-data yang peneliti dapatkan berasal dari buku dan internetyang berkaitan dengan
permasalahan di atas.
Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam meneliti novel
Wajah Sebuah Vagina ini adalah teknik simak dan teknik catat yakni dengan
menyimak bahan-bahan yang akan diteliti, setelah itu mencatat data-data yang
merupakan bagaian dari keseluruhan novel yang berkaitan dengan permasalahan
dalam penelitian. Setelah data yang berkaitan dengan permasalahan diperoleh
kemudian dianalisis berdasarkan teori yang digunakan.
1.8 Sumber Data
1.8.1 Judul : Wajah Sebuah Vagina
1.8.2 Pengarang : Naning Pranoto
1.8.3 Penerbit : Galang Press
1.8.4 Tahun terbit : 2004
1.9 Sistematika Laporan Penelitian
Sistematika penulisan penelitian ini terbagi dalam 4 bab. Bab I berupa
pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,
sumber data dan sisitematika laporan penelitian, jadwal penelitian dan rancangan
anggaran..
Bab II, merupakan analisis mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap
perempuan yang dialami Mira dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto. Bab III, merupakan analisis mengenai penyebab kekerasan terhadap
perempuan yang dialami tokoh Mira dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto. Bab IV, merupakan kesimpulan dari keseluruhan bab yang ada
BAB II
BENTUK-BENTUK KEKERASAN YANG DIALAMI TOKOH MIRA DALAM NOVEL WAJAH SEBUAH VAGINA
2.1 Pengantar
Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah sosial yang
seharusnya diperhatikan baik dari individu, masyarakat dan pemerintah, karena
masalah social tersebut menyangkut harkat dan martabat perempuan. Banyak
sekali kasus kekerasan yang dialami kaum perempuan dari berbagai lapisan.
Sebagai contoh; kisah TKW yang dianianya dan diperkosa majikannya,
perdagangan perempuan, KDRT sampai pembunuhan. Realita macam itu sering
kita temui pada berita surat kabar, televisi bahkan dalam lingkungan tempat
tinggal.
Realita kekerasan pada kaum perempuan tersebut, menggugah peneliti
untuk meneliti kekerasan terhadap perempuan, melalui sebuah karya sastra yang
berupa novel. Novel merupakan karya sastra yang lebih peka terhadap
persoalan-persoalan sosial masyarakat (Harjana, 1988:76). Pada bab II ini, peneliti akan
menganalisis mengenai bentuk-bentuk kekerasan yang di alami tokoh Sumirah
atau Mira. Sebelum menganalisis bentuk-bentuk dan akibat kekerasan, peneliti
perlu mengemukakan sinopsis novel WSV. Tujuannya adalah agar dapat
2.2 Sinopsis
Meliputi masa kisahan, Oktober 1982 s/d Januari 1983, tersebutlah
seorang wanita bernama Sumira, dari desa Mijil, Pulau Jawa, yang kemudian kita
kenal sebagai Mira, tokoh utama novel WSV. Disebutkan ayah-ibu Mira telah
dibunuh tahun 1965 oleh “petugas keamanan negara”, karena ayah Mira adalah
seorang anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) yang masih dipayungi Partai
Komunis Indonesia (PKI). Mira kemudian dirawat oleh neneknya. Sebagai
seorang anak keturunan PKI, Mira mendapat bermacam hinaan dalam masa
sekolahnya. Ketika ia lulus SD, dalam usia 14 tahun, kegadisannya direnggut oleh
Lurah Prakosa, yang senang hidup berfoya-foya dan merusak gadis-gadis muda.
Tidak tahan menanggung malu dan takut akan ancaman lurah, Mira lari ke
Surabaya. Di Surabaya, oleh tetangganya yang dikunjunginya, Mbak Dinah, Mira
dijadikan pelacur selama lima tahun di rumah bordil yang dikelolanya. Mira
melanjutkan hidup dengan mengkomersialkan vaginanya, dinikmati oleh siapa
saja yang mampu membayar, dan terkadang menyiksanya. Hingga ia kemudian
bertemu dengan Suhar, menikah dengannya, dan hidup serba kekurangan, terlebih
karena uang tabungannya habis untuk mengobati neneknya yang ternyata tidak
tertolong.
Mira membantu mencari penghasilan dengan berjualan bir kepada seorang
penumpang langganan Suhar. Seorang laki-laki Belanda bernama Mulder Dicki
Class, yang mengaku kepada Mira sebagai pedagang berlian dan emas batangan.
kalinya bahkan, Mira merasa “diwongke” (dimanusiakan) oleh Mulder yang
menganggapnya rembulan. Kali ini vagina telah membuat Mira bahagia, dan ia
bersedia mengikuti ajakan Mulder ke Afrika, meninggalkan Suhar suaminya.
Melalui pelayaran berbulan-bulan, Mira mulai melihat sifat buruk Mulder
Di kapal laut, Mira dijual Mulder kepada seorang temannya. Dan sesampainya di
Durban, Afrika Selatan, Mira dijadikan pelacur Mimpi-mimpi indah tentang
kehidupan mewah di bumi Afrika pupus sudah. Mira mulai sakit-sakitan dan
sering mengalami penyiksaan dari Mulder. Puncaknya, karena Mira suatu kali tak
sanggup memenuhi permintaan dari seorang pelanggan, karena ia sedang haid
(masalah biologis wanita yang berhubungan langsung dengan keberadaan vagina)
– Mira dipukuli dan kemudian dikubur hidup-hidup oleh Mulder bersama seorang
pacar barunya, Wendy.
Seorang penduduk asli, seorang pemuda yang bernama Mbeko, yang
menolong Mira. Ia bersama keluarganya (ibunya, Sofia, atau Bu Sepuh, dan juga
adiknya, Totti) bersama penduduk desanya kemudian menolong Mira. Mira
wanita Jawa kulit sawo matang, menikmati pemberian tanpa pamrih berupa
pertolongan menghidupkan dari Bu Sepuh, wanita Afrika kulit hitam yang juga
seorang dukun, dan selanjutnya diperjuangkan hak-hak kewanitaan dan
kemanusiaannya oleh bangsa kulit putih, Julia Camarro dan anaknya, Nicho
Camarro.
Ian Camarro suami dari Julia, tidak mendukung berbagai pertolongan yang
menghubungkan kembali Mulder dengan Mira. Dalam kisahnya vagina Mira yang
sudah dirusak oleh Mulder tidak saja dengan penisnya tapi juga dengan benda
tumpul itu – terus mengeluarkan darah. Hingga Mira kemudian secara metaforik
menyambut maut yang menggerayangi kesadarannya, bersama terpaan sinar
matahari penghabisan yang masih sempat menghangatkan kesadarannya yang
kemudian redup, gelap, dan mati. Pada akhir cerita kisah novel WSV, dikisahkan
Mira sebagai tokoh utama meninggal dunia.
2.3 Bentuk-Bentuk Kekerasan yang dialami Tokoh Mira
Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami tokoh Mira merupakan kekerasan
publik. Kekerasan publik adalah jenis kekerasan terhadap perempuan yang
dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki hubungan kekerabatan atau relasi
berdasarkan perkawinan dengan perempuan yang menjadi korban tindakannya
dengan tidak memperhitungkan ranah terjadinya tindak kekerasan tersebut
(Sugihastuti, 2007:203).
Pada kajian ini, bentuk-bentuk kekerasan publik yang dialami tokoh Mira
ialah kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan dan pelecehan seksual, serta
kekerasan non seksual dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan ekonomi,
2.3.1 Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual berupa; perkosaan, pelecehan seksual, hingga
pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan ( marital rape ) maupun incest. Kekerasan seksual tersebut mengakibatkan, luka pada alat kelamin, selaput dara
rusak, hamil, keguguran dan kerusakan pada rahim.
Kekerasan seksual yang dialami Mira berupa perkosaan dan pelecehan
seksual. Perkosaan adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, baik yang dilakukan dengan cara yang tidak wajar dan atau tidak disukai
ataupun dengan cara yang wajar dan atau disukai terhadap orang lain di luar atau
di dalam pernikahan ( marital rape ) untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu ( Rifka Annisa wcc, 2004:20).
Ketika Mira berusia 14 tahun saat lulus Sekolah dasar, dimana saat ia
menginjak remaja, dan pertama kali ia mendapat haid pertama. Nenek Mira
membuatkan selamatan berupa tumpang dan memandikan Mira air kembang tujuh
macam, karena bagi perempuan mendapat haid merupakan awal memasuki
perempuan sejati, keluarnya darah dari lubang vagina merupakan anugerah
termulia yang telah Tuhan berikan kepada para perempuan sebagai garis penerus
kehidupan dengan melahirkan keturunan. Di mana calon anak akan bermukim di
bagian dalam vagina yang disebut rahim, Maka dari itu selayaknya vagina
dihormati, dijunjung tinggi dan dihargai. Selamatan tersebut bertujuan supaya
Mira bisa selamat dalam memasuki perempuan sejati.
perempuan sejati. Ia bilang haid—keluarnya darah dari lubang vagina itu menandakan bahwa Gusti Allah menganugerahi perempuan kemuliaan, sebagai garis keturunan. Calon-calon anak bermukim di dalam vagina yang di sebutgarba—rahim. Maka sudah selayaknya bila vagina itu di hormati, dijunjung tinggi, karena tempat awalnya kehidupan. Tanpa adanya vagina berikut rahimnya, bisa jadi dunia ini akan kosong, tanpa penghuni.”( hlm 47-48)
Vagina merupakan benda yang suci dan merupakan kehormatan
perempuan, namun bagi sebagian kaum lelaki vagina merupakan sumber
kenikmatan, maka banyak vagina diburu laki-laki dengan berbagai cara.
(2)“Benar, kak Granny juga Bilang begitu. Vagina itu benda yang suci dan merupakan kehormatan perempuan. Tapi, saya pernah dengar ada laki-laki bicara, vagina itu merupakan sumber kenikmatan hidup yang tiada tandingan. Maka, vagina banyak diburu laki-laki. ( hlm 48)
Seperti yang di alami Mira, ketika umur 14 ia sudah kehilangan
kehormatannya. Selamatan dan ritual hanya sebagai syarat, bahwa seorang
perempuan yang mendapat haid akan memasuki gerbang perempuan sejati atau
sebagai penanda kedewasaan. Selamatan berupa tumpang dan mandi tujuh macam
kembang, tidak menjadikan Mira mempertahankan kehormatannya, dalam
memasuki gerbang perempuan sejati.
Mira di perkosa oleh Lurah Prakoso, ketika Mira pulang dari sekolah. Di
tengah sawah Lurah Prakoso mencegat Mira dengan dalih akan membantu biaya
melanjutkan Sekolah. Dalih tersebut hanya sebagai alasan agar Mira mau
mendekat pada Lurah Prakoso. Karena Lurah mengetahui kehidupan Mira yang
sangat Miskin, neneknya yang hanya seorang dukun pijat bayi dan buruh
penganyam bosang atau tempat buah, tentu saja tidak mampu untuk membiayai
Mira melanjutkan sekolah lagi. Karena keadaan ekonomi yang sangat miskin dan
Prakoso, dan ternyata bantuan tersebut berupah menjadi pemaksaan untuk
melayani nafsu Lurah Prakoso. Mira diperkosa pada umur yang masih belia, ia
sudah mendapatkan kekerasan seksual dari pemerintah desanya yang seharusnya
bisa menjaga dan melindungi serta menyejahterakan kehidupan masyarakat yang
miskin seperti keadaan Mira dan neneknya, berikut kutipannya.
(3)“Ia merenggut kegadisanku ketika saya berusia empat belas tahun, pas lulus Sekolah Dasar. Ia melakukannya di tengah sawah, mencegat saya ketika saya pulang sekolah. Lurah gila itu memanggil-mangil saya dengan dalih akan memberikan bantuan biaya saya masuk SMP. Itu karena ia tahu saya memang ingin sekali melanjutkan sekolah, padahal nenek saya miskin sekali….”
“nenek kakak kerja apa?” sela Totti.
“Jadi tukang pijat bayi. Itu pendapatannya tidak seberapa. Untuk menambah penghasilannya ia jadi buruh menganyam bongsang—tempat buah. Hasilnya tidak seberapa. Kami memang benar-benar miskin. Makanya, ketika Pak Lurah memanggil saya , saya mau mendekatinya. Ternyata dia hanya…”kalimat Mira terputus.( hlm 47)
Kutipan (3) bukti adanya kekerasan seksual yang dialami tokoh Mira pada
saat ia berumur 14 tahun. Kekerasan tersebut mengakibatkan selaput dara Mira
rusak.
Perlakuan lurah Prakoso kepada Mira membawa Mira menjadi seorang
WTS ( wanita tuna susila) atau pelacur. Karena takut akan ancaman lurah, Mira
meninggalkan nenek dan desanya pergi ke Surabaya untuk menemui mbak Dinah
tetangganya di desa, yang katanya bekerja sebagai pelayan restoran. Ternyata
mbak Dinah seorang mucikari dan tega menjual Mira, dengan alasan Mira harus
membayar makan, dan tempat tinggal selama Mira tinggal bersamanya. Selama ia
menjadi pelacur Mira mendapat pelecehan seksual dari pelanggannya.
Tindakan pelecehan seksual adalah perbuatan memaksa seseorang terlibat
seksual yang tidak diinginkannya ( Rohan Collier, 1998 ) Pelecehan seksual yang
dialami Mira terjadi ketika ia melakukan hubungan intim saat melayani
pelanggannya dan selama hidup bersama Mulder.
Hubungan intim dengan lawan jenis antara laki-laki dan perempuan
cenderung lebih dominan laki-laki yang menguasai. Perempuan yang bekerja
sebagai pelacur, dibayar untuk dinikmati dan melayani pelanggan. Keadaan
tersebut seperti yang dialami Mira ketika ia berhubungan dengan pelanggannya.
Perlakuan kasar ia terima seperti payudara diremas-remas, dan digigit. Perlakuan
tersebut merupakan pelecehan karena sampai vagina Mira dirusak dengan rokok.
Kekerasan tersebut merupakan kekerasan fisik tetapi juga mengarah pada
kekerasa seksual karena mengarah pada pelecehan seksual.
(4)“Hubungan intim itu kadang melelahkan dan membosankan, karena biasanya laki-laki itu maunya main terus, lama dan berkali-kali, itu bikin vagina nyeri lho! Kadang pinggu dan pinggang juga sakit. Adalagi laki-laki yang menyebalkan, itu lho… selama hubungan intim sambil meremas-remas atau menggigit-nggigit payudara. Anu, saya juga pernah dapat laki-laki edan, waktu hubungan intim memukuli saya dan vagina saya disulut rokok segala…”(hlm 54-55)
Kekerasan tersebut juga tergolong pelecehan seksual karena Mira sebagai
objek dari laki-laki untuk memuaskan hasratnya. Kekerasan tersebut
mengakibatkan alat kelamin Mira rusak, karena sulutan rokok pada vaginanya.
Pelecehan seksual juga dialami Mira ketika ia hidup bersama Mulder.
Kehidupan Mira dengan Mulder penuh dengan gemerlap harta, Mira menjadi
nyonya gedongan dan memakai baju bagus. Hubungna Mulder dengan Mira
dengan bagian bawah berlubang dengan tujuan agar Mulder bisa leluasa
menyentuh alat kelamin Mira
(5)“Ya mulanya ia sangat romantis. Saya sering diberi bunga mawar merah dank ado-kado yang membuat saya bahagia…”,Mira bangga.
“Misalnya?” sela Totti, tidak sabar. Mira tersenyum-senyum, “itu lho…pakaian dalam BH dan celana dalam, Mulder suka ngasih B.H dan celana dalam warna merah jambu berenda-renda. Celananya, bagian bawahnya, pasvagina…ada jendelanya…ya ada lubangnya, jadi mulder dengan leluasa menyentuh-nyentuh vaginamaupun clitoris saya..kapan saja ia mau.(hlm 54)
Perlakuan Mulder tidak hanya itu saja, apalagi ketika Mulder melakukan
hubungan kepada Mira. Perlakuan Mulder kepada Mira hanya sebagai pemuas
nafsu birahinya. Mulder memperlakukan Mira dengan seenaknya, selama
berhubungan intim dengan Mulder Mira merasa seperti mainan yang harus patuh
kepada oarang yang memainkan, berikut kutipannya.
(6)”sedangkan Mira? Ia merasakan dirinya menjelma menjadi sebuah bola yang sedang dilambungkan tinggi-tinggi, kemudian ditangkap, dilambungkan lagi. Terus, ia merasakan dilemparkan jauh-jauh. Selanjutnya, diinjak-injak dengan sepatu serdadu. Tidak lam kemudian, ia merasakan seperti dipelintir-pelintir oleh puluhan jemari gurita. Masih ada versi lainnya, iamerasakan dipantulkan bak anak panah. Akhirnya, jatuh…terpelantingdalam posisi terlentang dengan kedua paha meregang. Hook…!Tahu-tahu, benda tumpul menyodoknya dalam-dalam ke sebuah sudut yang sempit dan gelap, yaitu vaginanya, nyeri sekali. Hoook..!perih sekali Hoook…!(hlm 48)
Kekerasan seksual juga mengarah pada kekerasan fisik karena membuat
tubuh Mira sakit dan nyeri. Dalam pandangan pelecehan seksual yang
menempatkan perempuan sebagai objek, pada dasarnya perbuatan tersebut
dipahami dan dirasakan sebagai merendahkan menghinakan pihak yang
Objek dari kekerasan tersebut dalam penelitian ini adalah Mira. Mira
mengalami kekerasan seksual dari Lurah Prakoso, seorang aparat desa yang
seharusnya bertanggung jawab memberi contoh, melindungi dan menyejahterakan
warga, bukan merusak keperawanan para gadis seperti yang Mira alami.
Pelecehan seksual juga dilakukan Mulder dengan cara melakukan hubungan
seksual dengan seenaknya sendiri, Mulder menganggap Mira sudah dibeli dan
pantas melayaninya.
Ketika Mira, tidak bisa melayani Tuan Lulumba, karena sedang datang
bulan, Mulder marah dan menempeleng Mira. Darah yang keluar dari Mulut Mira
karena tempelengan tangan Mulder menebarkan aroma cendana, aroma wangi
yang mengingatkan pada Wendy. Aroma tersebut membangkitkan birahi Mulder
dan memperkosa Mira.
(7)”Saya, tuan Mulder. Saya mengerti!”sahut Mira dengan tubuh gemetar dan darah yang mengalir dari bibirnya makin deras. Darah itu berbau anyir tapi dipenciuman Dicky Mulder darah itu menebarkan aroma cendana. Aroma wangi yang mengingatkan Dicky Mulder pada Wendy Aroma itu langsung membangkitkan birahinya. Mira yang sedang berdarah-darah itu menjadi sassaran nafsu birahinya. Ketika Mira menolak, Dicky memaksanya, memperkosanya, membuat Mira tidak berdaya.( hlm 163-164)
Kutipan-kutipan (1), (2), (3), (4), (5), (6),(7) merupakan gambaran adanya
kekerasan seksual yang di alami Mira. Kekerasan tersebut merupakan kekerasan
seksual yang mengarah pada perkosaan karena terdapat unsur pemaksaan dan
memanfaatkan perempuan sebagai pemuas birahi, walau Mira merasa senang
dengan perlakuan Mulder, tetapi pada kenyataannya perlakuan tersebut
Kekerasan seksual yang dialami Mira tidak hanya itu saja, ketika Mira
dikubur oleh Mulder di semak-semak Mira diperkosa segerobolan anak muda
yang melintas di daerah tersebut berikut bukti kekerasan tersebut terdapat pada
kutipan pada prolog dibagian awal novel, berikut kutipannya
(8) Tiba-tiba ia tersentak oleh suara gemuruh, yaitu suara-suara pria, bernada histeris, saling bersahut-sahutan:
Vagina!
Yellow peach!( kuning buah persik) Juicy! ( Menggiurkan!)
Do not touch…! jangan disentuh!
Hoooooo…hemmmm….hooooo…hemmmmm.hooooo….hemmmm….ho oooo….!
Juicy…juicy…oooohh…juicylady!…mengiurkan,...menggiurkan,
ooohhh…perempuan yang menggiurkan!)………?????????
Suarasuara itu membuat tubuhnya genetar, Gusti beri aku waktu untuk memperbaiki diri. Gusti, beri aku waktu untuk menebus dosa-dosaku—ia menendis lagi, dengan lidah kaku membeku. Yang laki ini tidak berdaya. (hlm 6)
Setelah kekerasan seksual yang dialami Mira yang dilakukan beberasa
laki-laki amoral. Kemudian diceritakan, Mira ditolong oleh suku Zulu Natal, suku
pedalaman Afrika bernama Mbeko dengan dibantu neneknya Bu Sepuh dan
adiknya Totti. Mira
dirawat dan diperjuangkan hidupnya. Mira mengalami kerusakan pada alat
kelamin atau vagina, karena perkosaan dan benda tumpul.
darah kering maupun darah segar, yang terdiri dari darah merah dan darah putih…
“Oh, Nak…berapa laki-laki yang merusak vaginamu?” bisik bu sepuh dengan uara parau gemetar, sambil memeluk tubuh Mira yang menggigil.(hlm 25)
Setelah Mira dirawat Bu sepuh dan Totti, Mira dikenalkan kepada Nyonya
Julia, istri dari bos Mbeko. Karena empati akan nasip Mira, Julia dan anaknya ikut
membantu menyembuhkan Mira, Mira akhirnya dibawa kerumah sakit ternama
agar mendapat perawatan yang baik di Durban. Mira mengalami pendarahan dan
harus operasi, karena bukan hanya vaginanya tetapi juga rahim, akibat benda
tumpul yang disodokkan pada vagina Mira.
(10)Mira dirawat dirumah sakit termewah di Durban, atas tanggungan keluarga Ian Camarro. “Madam Camarro, nyonya Mira besok akan menjalankan operasi vagina untuk mereproduksi rahimnya, agar ia tidak mengalami beeeding terus-menerus.”kata dr.Yolanda, dokter ahli kandungan yang menangani Mira.
“Ya, kenyataannya memang demikian. Madam Camarro. Ternyata yang rusak tidak hanya lobang vagina nyonya Mira, tetapi juga rahimnya. Itu akibat sodokan dasyat benda tumpul.”Jelas dr Yolanda lebih jauh.
“ Dari hasil rontgen tidak hanya penis saja, tetapi ada semacam tongkat atau mungkin batang kayu yang ujungnya tajam.
Peneliti merumuskan kekerasan seksual yang dialami Mira atas perlakuan
laki-laki terhadap keberadaan vaginanya, kekerasannya sebagai berikut; perkosaan
yang dilakukan pak Prakoso, pelecehan yang dilakukan pelanggan ketika Mira
menjadi pelacur payudara Mira diremas-remas dan digigit-gigit sampai alat
kelamin Mira disulut rokok. Ketika Mira hidup bersama Mulder saat melakukan
hubungan intim dan perkosaan yang dilakukan Mulder, dan serta perkosaan yang
dara Mira, luka pada alat kelamin atau vagina dan kerusakan pada rahim yang
menyebabkan kematian Mira.
2.3.2 Kekerasan Nonseksual
Pada kekerasan nonseksual, tokoh Mira mendapat kekerasan fisik,
kekerasan ekonomi, kekerasan psikologi dan kekerasan politik.
2.3.2.1 Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit,
cidera, atau cacat pada tubuh seseorang dan atau menyebabkan kematian. Berupa
pemukulan, tamparan, penjambakan, benturan dan segala tindakan yang
menyerang fisik atau mengakibatkan luka fisik perempuan.
Mira mendapat kekerasan fisik, ketika ia bekerja di tempat Mbak Dinah
sebagai seorang pelacur selama lima tahun di kota Surabaya. Selama Mira
menjadi pelacur, ia mengalami perlakuan kasar dari pelanggannya. Perlakuan
kasar seperti payudara diremas-remas dan digigit-gigit. Sampai pernah Mira
dipukul dan alat kelaminnya disulut puntung rokok. Bukti kekerasan fisik yang di
alami Mira dapat terlihat pada kutipan sebagai berikut.
(11) Akhirnya saya ikuti Mbak Dinah. Saya menjual vagina sekitar lima tahun...(hlm50)
(12)“…Ada lagi yang menyebalkan itu lho..selama hubungan intim sambil meremas-remas atau menggigit-nggit payudara. Anu, saya juga pernah dapat laki-laki edan, waktu hubungan intim memukul saya dan vagina saya disulut rokok segala…”(hlm 55)
Kutipan (11),(12) membuktikan adanya kekerasan fisik yang dialami Mira
ketika ia bekerja sebagai pelacur. Karena adanya pukulan dan segala tindakan
gigitan di seputar payudara merupakan perbuatan yang menyebabkan rasa sakit,
pemukulan yang dialami Mira bisa menyebabkan cidera atau cacat pada tuhuh.
Tindakan mengenai alat kelamin Mira atau vagina disulut rokok, tentu saja
merupakan kekerasan fisik yang bisa mengakibatkan luka fisik perempuan atau
alat kelamin rusak.
Keadaan tersebut tidak hanya sekali dialami Mira, beberapa kali ia
melayani pelanggan yang berbuat kasar kepadanya, ketika ia bekerja di rumah
bordil milik mbak Dinah. Seperti pada kutipan berikut.
(13)“..saya beberapa kali melayani laki-laki kasar semacam itu ketika saya berkerja di mbak Dinah. (hlm56)
Akibat dari perlakuan kasar atau kekerasan fisik tersebut, tentu saja
mengakibatkan Mira mengalami luka pada fisik atau tubuh sampai luka pada alat
kelamin yang membuat Mira merasa sakit.
Kekerasan fisik tidak hanya dialami Mira ketika menjadi pelacur, ia
mendapat perlakuan kasar dari teman hidupnya tanpa ikatan pernikahan. Mulder
Dicky Class, seorang laki-laki Belanda yang memberikan kemewahan, sehingga
menyebabkan Mira meninggalkan suaminya yang mengangkatnya dari pelacuran.
Kekerasan yang dilakukan Mulder ketika melakukan hubungan seks, Mira
diperlakukan seenaknya oleh Mulder.
Mira merasa bola yang seenaknya digiring dan ditendang, tubuh Mira
seperti diinjak-injak sepatu serdadu, dipelintir ribuan gurita dan Mira merasakan
alat kelaminnya terasa nyeri dan sakit.. Hal tersebut merupakan kekerasan fisik
karena menyebabkan rasa sakit pada tubuh Mira. Berikut bukti kekerasan fisik
(14)“Sedangkan Mira? Ia merasakan dirinya menjelma menjadi sebuah bola yang sedang dilambungkan tinggi-tinggi, kemudian ditangkap, dilambungkan lagi. Terus, ia merasakan dilemparkan jauh-jauh. Selanjutnya, ditendang kuat-kuat. Babak berikutnya, disepak dengan perkasa. Tahap selanjutnya, diinjak-injak dengan sepatui serdadu. Tidak lama kemudian, ia merasakan seperti dipelintir –pelintir oleh puluhan jemari ikan gurita. Masih ada versi lainnya,iaia merasakan dipantulkan bak anak panah. Akhirnya, jatuh…terpelanting dalam posisi terlentang dengan kedua paha meregang. Hoookk…!Tahu-tahu, benda tumpul menyodoknya dalam-dalam ke sebuah sudut yang sempit dan gelap, yaitu sudut vaginanya. Nyeri sekali.Hookk..! Perih sekali. Hooook....hoook!ingin sekali ia menjerit, tetapi jeritannya jadi lenyap ketika mendengar lenguhan Mulder yang panjang sambil berseru, Huuuupp…puas aku”. (hlm 95-96)
Perlakuan Mulder saat hubungan intim ini membuktikan Mira mendapat
kekerasan fisik seperti pada kutipan (14). Kekerasan tersebut tidak dirasakan
Mira, karena pujian dan sanjungan yang diberikan Mulder bagi dirinya. Mira
dianggap sebagai rembulan dan bidadari. Sanjungan tersebut, membuat Mira
merasa di ”wongke”(dimanusiakan) sebagai perempuan ia dihargai
keberadaannya..
(15)“Terimakasih…Bidadariku…terimakasih, Mira…kau adalah Rembulan! Kau memang rembulan hidupku”. (halm 96)
Tidak hanya itu saja bentuk kekerasan fisik yang dialami Mira yang
dilakukan Mulder. Di Afrika Mira dijadikan pelacur dan mendapat perlakuan
kasar dari Mulder. Mira bersama Mulder tinggal di sebuah hotel melati di wilayah
Sunflower. Suatu kali Mulder pulang ke hotel untuk meminta uang kepada Mira
dari tuan Lulumban lelaki yang harus Mira layani. Mulder melihat Mira sedang
tidur, membuat Mulder marah, berikut bukti kutipannya.