• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelenggaraaan pensiun pegawai negeri sipil dan upaya

Dalam dokumen buku dasar penyusunan APBN (Halaman 148-192)

BAB VII PEMBIAYAAN ANGGARAN

Boks 5.1. Penyelenggaraaan pensiun pegawai negeri sipil dan upaya

PENYELENGGARAAAN PENSIUN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN UPAYA PERUBAHANNYA

Pelaksanaan pensiun Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Kebijakan pensiun Pegawai Negeri Sipil juga merupakan amanat Pasal 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, di mana setiap pegawai negeri yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan berhak atas pensiun. Menurut penjelasan pasal tersebut pensiun adalah jaminan hari tua dan sebagai balas jasa terhadap pegawai negeri yang telah bertahun-tahun mengabdikan dirinya kepada negara.

Skema manfaat program pensiun Pegawai Negeri Sipil adalah skema manfaat pasti di mana peserta akan memperoleh sejumlah manfaat tertentu pada saat ia mencapai usia pensiun. Secara garis besar, ketentuan program pensiun pegawai negeri sipil adalah sebagai berikut:

 Peserta membayar iuran sebesar 4,75% dari gaji pokok dan tunjangan keluarga

 Besarnya manfaat pensiun adalah 2,5% dari dasar pensiun untuk setiap tahun masa kerja, dengan ketentuan manfaat pensiun maksimal 75% dan sekurang-kurangnya 40% dari dasar pensiun.

 Pensiun diberikan apabila pegawai negeri berusia sekurang-kurangnya 50 tahun dan masa kerjanya 20 tahun

 Dasar pensiun adalah gaji pokok terakhir yang berhak diterima oleh pegawai negeri sipil bersangkutan.

Saat ini pembayaran manfaat pensiun pegawai negeri sipil secara prinsip sepenuhnya masih dari APBN atau lazim disebut skema pay as you go. Sedangkan iuran peserta dikelola oleh PT Taspen (Persero) dan akan digunakan untuk mendukung terbentuknya dana pensiun.

Beberapa pihak berpendapat bahwa dalam penyelenggaraan program pensiun, Pemerintah tidak memberikan iuran sebagaimana yang dilakukan oleh peserta. Namun faktanya, Pemerintah membayar sejumlah besar dana untuk membiayai manfaat pensiun tersebut. Justru dengan masih dianutnya pendanaan pay as you go, dampak fiskal dari program pensiun yang harus ditanggung oleh Pemerintah adalah beban untuk pembayaran pensiun yang selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Dalam kurun waktu tujuh tahun (2007 s.d. 2013), alokasi APBN untuk pembayaran manfaat pensiun (baik sipil maupun non sipil) adalah sebagaimana grafik sebagai berikut.

Grafik tersebut di atas menggambarkan Pemerintah mempunyai peran utama dalam hal kesinambungan pembayaran manfaat pensiun. Pemerintah dituntut untuk menjaga terpenuhinya pembayaran manfaat pensiun pensiunan pegawai negeri sipil yang berjumlah lebih dari dua juta orang. Diantara penyebab naiknya beban APBN setiap tahun untuk pembayaran manfaat pensiun adalah jumlah pensiunan yang meningkat setiap tahunnya dan kebijakan kenaikan pensiun pokok yang mengikuti kenaikan gaji pokok PNS. Dengan kondisi tersebut, akan terjadi peningkatan yang signifikan beban APBN untuk pembayaran manfaat pensiun di masa mendatang dimana jumlah pensiunan dalam kurun waktu 5-10 tahun ke depan hampir sama dengan jumlah pegawai negeri sipil yang aktif.

Mengingat kondisi pendanaan yang semakin meningkat tersebut, telah dilakukan upaya-upaya untuk melakukan evaluasi penyelenggaraan program pensiun PNS. Upaya untuk melakukan perubahan tersebut merupakan hal yang perlu dilakukan sebagai evaluasi atas pelaksanaan pembayaran manfaat pensiun yang telah berlangsung lebih dari 40 tahun atau sejak Undang-Undang Nomor 11 tahun 1969 ditetapkan. Terlebih dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, di mana program pensiun pegawai negeri sipil merupakan bagian yang harus ditransformasikan ke dalam penyelenggaraan program jaminan pensiun yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Selain hal tersebut, perubahan program pensiun pegawai negeri sipil juga perlu diselaraskan dengan kebijakan reformasi birokrasi yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan demikian, upaya perubahan tersebut setidak-tidaknya menyangkut dua isu pokok yaitu perubahan desain program pensiun dan kesinambungan pendanaan program pensiun.

Beberapa hal yang mengemuka untuk dilakukan perubahan desain pensiun adalah skema pensiun (apakah menggunakan skema manfaat pasti atau skema iuran pasti), dasar pensiun (apakah didasarkan pada gaji pokok terakhir atau rata-rata penghasilan dalam kurun waktu tertentu, misal rata- rata penghasilan 3-5 tahun terakhir), perubahan usia pensiun pegawai negeri sipil (disesuaikan dengan tingkat harapan hidup), sumber pendanaan (apakah peserta yang mengiur atau peserta dan pemerintah yang mengiur), peran Pemerintah Daerah dalam mendukung program pensiun mengingat kurang lebih 75% peserta adalah PNS Daerah, serta cut off date atau skema pemberlakuan desain baru bagi PNS lama dan PNS baru.

Skema pendanaan program pensiun sendiri nantinya sangat tergantung pada desain yang dipilih oleh Pemerintah. Tentu saja, dalam skema tersebut akan ada dampak fiskal yang harus diantisipasi oleh Pemerintah. Sebagai gambaran, apabila Pemerintah memutuskan untuk memberikan iuran, maka akan ada beban iuran yang harus ditanggung APBN selain beban pembayaran manfaat pensiun bagi pensiunan yang sudah ada (meskipun ini masih tergantung dari skema cut off date yang dipilih oleh Pemerintah).

Hal terakhir yang diperlukan dalam perubahan desain program pensiun adalah perubahan regulasi guna mendukung legalitas pemberlakuan desain baru. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sudah memberikan gambaran perlunya penyesuaian beberapa aturan pensiun PNS. Bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk mengubah UU Nomor 11 Tahun 1969 yang selama ini menjadi dasar utama pelaksanaan program pensiun PNS.

5.6.2 Belanja Barang

Bel. Barang 52

Bel. Barang Operasional

Bel. Barang Non Operasional

Bel. Barang BLU

Bel. Barang untuk Masyarakat

(526xxx)

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar dan pelayanan bersifat internal

Dikaitkan dengan strategi pencapaian target kinerja dan pelayanan bersifat eksternal 521xxx ; Bel. Barang 522xxx ; Bel. Jasa 523xxx ; Bel. Pemeliharaan 524xxx ; Bel. Perjalanan 52 5x xx ; B el .G aj id an Tu nj an ga n, B el . B ar an g, B el . J as a, B el . P em el ih ar aa n, B el . P er ja la na n, B el . P en ye di aa n B /J B LU la in ny a 526211 ; BB Penunjang KD 521212 ; BB Penunjang KTP 526111 ; Bel. Tanah UDKM 526112 ; Bel. Peralatan dan Mesin UDKM

526112 ; Bel. Gedung dan Bangunan UDKM

526112 ; Bel. Jalan, Irigasi, dan Jaringan UDKM 526112 ; Bel. Barang Fisik Lainnya UDKM

521xxx ; Bel. Barang

522xxx ; Bel. Jasa

524xxx ; Bel. Perjalanan

Gambar 5.2 Belanja Barang

Pengertian Belanja Barang adalah pengeluaran untuk pembelian barang dan/atau jasa yang

habis pakai untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat di luar kriteria belanja bantuan sosial serta belanja perjalanan.

Penggunaan Belanja Barang tersebut dapat dikelompokkan lagi dalam 2 jenis, yaitu: Belanja Barang Operasional dan Belanja Barang Nonoperasional. Masing-masing kelompok ini dipergunakan sebagai berikut:

1. Belanja Barang Operasional merupakan pembelian barang dan/atau jasa yang habis pakai yang dipergunakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar suatu satuan kerja dan umumnya pelayanan yang bersifat internal. Jenis pengeluaran terdiri dari antara lain:

a. Belanja keperluan perkantoran; b. Belanja pengadaan bahan makanan; c. Belanja penambah daya tahan tubuh; d. Belanja bahan;

e. Belanja pengiriman surat dinas;

f. Honor yang terkait dengan operasional Satker;

g. Belanja langganan daya dan jasa (ditafsirkan sebagai Listrik, Telepon, dan Air) termasuk atas rumah dinas yang tidak berpenghuni;

h. Belanja biaya pemeliharaan gedung dan bangunan (ditafsirkan sebagai gedung operasional sehari-hari berikut halaman gedung operasional);

i. Belanja biaya pemeliharaan peralatan dan mesin (ditafsirkan sebagai pemeliharaan aset yang terkait dengan pelaksanaan operasional Satker sehari-hari) tidak termasuk biaya pemeliharaan yang dikapitalisasi;

j. Belanja sewa gedung operasional sehari-hari satuan kerja; dan

k. Belanja barang operasional lainnya yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.

2. Belanja Barang Nonoperasional merupakan pembelian barang dan/atau jasa yang habis pakai dikaitkan dengan strategi pencapaian target kinerja suatu satuan kerja dan umumnya pelayanan yang bersifat eksternal. Jenis pengeluaran Belanja Barang Nonoperasional tersebut terdiri:

a. Honor yang terkait dengan output kegiatan;

b. Belanja operasional terkait dengan penyelenggaraan administrasi kegiatan di luar kantor, antara lain biaya paket rapat/pertemuan, ATK, uang saku, uang transportasi lokal, biaya sewa peralatan yang mendukung penyelenggaraan kegiatan berkenaan;

c. Belanja jasa konsultan;

d. Belanja sewa yang dikaitkan dengan strategi pencapaian target kinerja; e. Belanja jasa profesi;

f. Belanja biaya pemeliharaan nonkapitalisasi yang dikaitkan dengan target kinerja; g. Belanja jasa;

Grafik 5.4.

Perkembangan Belanja Barang Tahun 2000-2012

i. Belanja barang penunjang kegiatan dekonsentrasi; j. Belanja barang penunjang kegiatan tugas pembantuan; k. Belanja barang fisik lain tugas pembantuan; dan

l. Belanja barang nonoperasional lainnya terkait dengan penetapan target kinerja tahun yang direncanakan;

3. Belanja barang Badan Layanan Umum (BLU) merupakan pengeluaran anggaran belanja operasional BLU termasuk pembayaran gaji dan tunjangan pegawai BLU.

4. Belanja barang untuk masyarakat atau entitas lain merupakan pengeluaran anggaran belanja negara untuk pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan kepada masyarakat atau entitas lain yang tujuan kegiatannya tidak termasuk dalam kriteria kegiatan bantuan sosial .

5.6.3 Belanja Modal Bel. Modal 53 Bel. Modal Tanah 531xxx Bel. Modal Peralatan dan Mesin 532xxx Bel. Modal Gedung dan Bangunan 533xxx Bel. Modal Jalan, Irigasi, dan Jaringan 534xxx Bel. Modal Lainnya 536xxx Bel. Modal BLU 537xxx Komponen Utama Pendanaan TP (Bersifat Fisik/Asset)

Gambar 5.3. Belanja Modal

Pengertian Belanja Modal adalah pengeluaran untuk pembayaran perolehan aset dan/atau

menambah nilai aset tetap/aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan melebihi batas minimal kapitalisasi aset tetap/aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.

Belanja modal dipergunakan untuk mengelompokkan jenis transaksi berupa:

1.

Belanja modal tanah

Seluruh pengeluaran untuk pengadaan/pembelian/pembebasan/ penyelesaian, balik nama, pengosongan, penimbunan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah serta pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat administratif sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi sampai tanah tersebut siap digunakan/dipakai.

2.

Belanja modal peralatan dan mesin

Pengeluaran untuk pengadaan peralatan dan mesin yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan antara lain biaya pembelian, biaya pengangkutan, biaya instalasi, serta biaya langsung lainnya untuk memperoleh dan mempersiapkan sampai peralatan dan mesin tersebut siap digunakan.

3.

Belanja modal gedung dan bangunan

Pengeluaran untuk memperoleh gedung dan bangunan secara kontraktual sampai dengan gedung dan bangunan siap digunakan meliputi biaya pembelian atau biaya konstruksi, termasuk biaya pengurusan Izin Mendirikan Bangunan, notaries, dan pajak (kontraktual).

Dalam belanja ini termasuk biaya untuk perencanaan dan pengawasan yang terkait dengan perolehan gedung dan bangunan.

4.

Belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan

Pengeluaran untuk memperoleh jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan sampai siap pakai meliputi biaya perolehan atau biaya kontruksi dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan sampai jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan tersebut siap pakai. Dalam belanja ini termasuk biaya untuk penambahan dan penggantian yang meningkatkan masa manfaat, menambah nilai aset, dan di atas batas minimal nilai kapitalisasi jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan.

5.

Belanja modal lainnya

Pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal untuk pengadaan/pembangunan belanja modal lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam perkiraan kriteria belanja modal Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jaringan (Jalan, Irigasi dan lain-lain). Termasuk dalam belanja modal ini: kontrak sewa beli (leasehold), pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan barang-barang untuk museum, serta hewan ternak, buku-buku dan jurnal ilmiah sepanjang tidak dimaksudkan untuk dijual dan diserahkan kepada masyarakat.

Termasuk dalam belanja modal ini adalah belanja modal nonfisik yang besaran jumlah kuantitasnya dapat teridentifikasi dan terukur.

6.

Belanja modal Badan Layanan Umum (BLU)

Pengeluaran untuk pengadaan/perolehan/pembelian aset yang dipergunakan dalam rangka penyelenggaraan operasional BLU.

Dalam rangka pembukuan dan pelaporan, nilai perolehan aset dihitung. Semua pendanaan yang dibutuhkan hingga aset tersebut tersedia dan siap untuk digunakan dihitung sebagai Belanja Modal, termasuk biaya operasional panitia pengadaan barang/jasa yang terkait dengan pengadaan aset berkenaan. Konsep ini disebut konsep nilai perolehan.

Dalam proses penentuan jenis belanja modal atau belanja barang berdasarkan jenis transaksinya, kriteria kapitalisasi digunakan. Kriteria kapitalisasi dalam pengadaan/pemeliharaan barang/aset merupakan suatu tahap validasi untuk penetapan belanja modal atau bukan dan merupakan syarat wajib dalam penetapan kapitalisasi atas pengadaan barang/aset. Kriteria tersebut meliputi:

1.

Pengeluaran anggaran belanja tersebut mengakibatkan bertambahnya aset dan/atau bertambahnya masa manfaat/umur ekonomis aset berkenaan

2.

Pengeluaran anggaran belanja tersebut mengakibatkan bertambahnya kapasitas, peningkatan standar kinerja, atau volume aset.

a. Untuk pengadaan peralatan dan mesin, batas minimal harga pasar per unit barang adalah sebesar Rp300.000,- (tiga ratus ribu rupiah).

b. Untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan gedung dan bangunan per paket pekerjaan adalah sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

4.

Pengadaan barang tersebut tidak dimaksudkan untuk diserahkan/dipasarkan kepada masyarakat atau entitas lain di luar pemerintah.

Berikut adalah grafik perkembangan Belanja Modal dari tahun 2000-2012.

5.6.4 Pembayaran Bunga Utang

Belanja bunga utang adalah belanja pemerintah pusat yang digunakan untuk pembayaran atas

kewajiban pengunaan pokok utang (principal outstanding), baik yang berasal dari dalam negeri maupun utang luar negeri, rupiah ataupun valas, yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman. Secara umum, bunga utang yang harus dibayarkan oleh pemerintah setiap tahunnya adalah beban bunga yang berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) dan Pinjaman yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Selain bunga atas SBN atau pinjaman, komponen beban bunga utang yang juga harus ditanggung oleh pemerintah adalah fees yang disebabkan oleh penerbitan SBN dan pinjaman tersebut, yang antara lain seperti:

a. Commitment fee merupakan biaya yang dibayar atas komitmen pinjaman yang telah disepakati dan dihitung berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman yang belum ditarik sesuai kesepakatan dengan lender.

Gr afik 5.5.

b. Front end fee merupakan biaya yang dibayar pada saat pinjaman dinyatakan efektif berdasarkan persentase tertentu dari komitmen pinjaman luar negeri yang disepakati.

c. Insurance premium merupakan premi yang dibayar atas pinjaman luar negeri dari lender komersial yang dilakukan oleh Pemerintah.

d. Listing fee merupakan biaya penerbitan SBN yang dapat diperdagangkan, selain SPN. Untuk setiap penerbitan SBN lebih dari Rp1,0 triliun dikenakan biaya penerbitan sebesar Rp100,0 juta yang dibayarkan kepada bursa.

e. Out of pocket fee merupakan biaya yang dibayarkan kepada joint lead manager pada saat penerbitan SBN valas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembayaran bunga utang

Jumlah pembayaran bunga utang yang harus ditanggung pemerintah, antara lain dipengaruhi oleh: 1. Jumlah outstanding:

a. Outstanding SBN: Perubahan jumlah outstanding SBN akibat penerbitan utang baru, jatuh tempo, maupun buyback, akan mempengaruhi perhitungan bunga baseline.

b. Outstanding pinjaman: Perubahan jumlah outstanding pinjaman, baik dalam maupun luar negeri akibat tambahan penarikan, pembayaran cicilan pokok, reschedulling dan debt swap, akan mempengaruhi perhitungan bunga.

2. Tingkat bunga SPN 3 bulan: berpengaruh pada perhitungan beban bunga SBN domestik. 3. Tingkat bunga LIBOR (London Inter-Bank Offered Rate) (USD, EUR, JPY), CIRR

(Commercial Interest Reference Rates) , ADB Cost of Borrowing, World Bank Cost of Borrowing: berpengaruh pada perhitungan bunga pinjaman dengan tingkat bunga floating. 4. Yield penerbitan dan kupon, peningkatan/penurunan tingkat imbal hasil di pasar (yield): akan

mempengaruhi naik atau turunnya kupon/bunga dan diskon SBN pada saat penerbitan.

5. Nilai tukar (kurs) pada SBN: nilai tukar akan mempengaruhi perhitungan beban bunga pada SBN berdenominasi valas atau international bonds. Selain itu, nilai tukar juga akan mempengaruhi beban bunga pada seluruh jenis pinjaman luar negeri terutama pinjaman dalam mata uang Yen, USD, EURO dan Poundsterling.

6. Perubahan komposisi penerbitan SBN: berpengaruh pada besar kupon dan diskon atas SBN yang diterbitkan pada tahun anggaran berjalan.

7. Country Risk: perubahan country risk classification akan mempengaruhi besarnya insurance premium terutama pinjaman yang berasal dari negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development).

Perencanaan besaran pembayaran bunga utang:

Besarnya jumlah bunga utang yang harus dibayarkan pada suatu tahun anggaran diusulkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) dengan memperhatikan asumsi ekonomi makro

dalam APBN yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) c.q. Direktorat Penyusunan APBN.

Stakeholders Pembayaran Bunga Utang:

- Pembayaran Bunga Utang Dalam Negeri: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang dan Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan.

- Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang dan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, serta Bank Indonesia.

5.6.5 Subsidi Pengertian subsidi

Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat terjangkau oleh masyarakat (UU APBN)

Jenis subsidi

Jenis –jenis subsidi yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat saat ini terdiri dari dua jenis yaitu subsidi energi dan subsidi nonenergi.

Subsidi energi meliputi : a. Subsidi BBM b. Subsidi Listrik

Subsidi nonenergi meliputi :

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 APBN 54,6 76,5 88,5 81,9 65,7 64,1 76,6 85,1 91,4 101,7 115,6 115,2 122,2 APBN-P 53,3 95,5 91,6 72,2 63,2 61,0 82,5 83,6 94,8 109,6 105,7 106,6 117,8 Realisasi 50,1 87,1 87,7 65,4 62,5 65,2 79,1 79,8 88,4 93,8 88,4 93,3 22,9 % thd Outstanding 4,1 6,9 7,1 5,3 4,8 5,0 6,1 5,7 5,4 5,9 5,3 5,2 6,0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 20 40 60 80 100 120 140 tr il iu n R u p ia h

Perkembangan Belanja Bunga Utang 2000-2012

Grafik.1 Grafik.1

%

Gr afik 5.6 .

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Real sd 31 Des 2013 APBN Bel. Subsidi 77,4 43,6 43,9 91,5 120,8 107,4 150,2 275,3 138,1 192,7 295,4 346,4 317,7 Bel. Negara 341,6 322,2 376,5 427,2 509,6 667,1 757,6 985,7 937,4 1.042 1.295 1.501 1.683 0% 20% 40% 60% 80% 100% 120% 0,0 200,0 400,0 600,0 800,0 1000,0 1200,0 1400,0 1600,0 1800,0 % T ri li u n R u p ia h Grafik 5.7

Perkembangan Belanja Subsidi Terhadap Belanja Negara, 2001-2013 c. Subsidi Pangan

d. Subsidi Pupuk e. Subsidi Benih

f. Subsidi Bunga kredit program g. Subsidi/bantuan PSO

h. Subsidi Pajak

5.6.5.1 Subsidi BBM

Subsidi BBM, diberikan dengan maksud untuk mengendalikan harga jual BBM di dalam negeri, sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat, sedemikian rupa, sehingga dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dikarenakan harga jual BBM dalam negeri sangat dipengaruhi oleh perkembangan berbagai faktor eksternal, terutama harga minyak mentah di pasar dunia, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada saat ini, BBM bersubsidi hanya diberikan pada beberapa jenis BBM tertentu, yaitu meliputi minyak tanah (kerosene) untuk rumah tangga, minyak solar (gas oil), dan premium di SPBU kecuali untuk industri, dan Bahan Bakar Nabati (BBN) serta LPG tabung 3 kg.

Beberapa parameter yang mempengaruhi perubahan subsidi BBM di Indonesia : a. ICP (Indonesian Crude Oil Price) adalah harga jual minyak mentah di Indonesia.

b. Kurs (nilai mata uang asing) adalah nilai tukar mata uang asing terhadap nilai mata uang dalam negeri.

d. Volume BBM bersubsidi yaitu jumlah bahan bakar yang dipasarkan dan menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga perlu untuk disubsidi. Volume BBM bersubsidi termasuk volume Bahan Bakar Nabati (BBN) dan LPG tabung 3 kg.

e. Harga jual BBM bersubsidi. f. Jenis BBM yang disubsidi.

Perhitungan Subsidi BBM dirumuskan sebagai berikut:

[Harga Patokan BBM – (Harga jual eceran BBM - Pajak)] x volume BBM

Harga patokan BBM adalah harga yang dihitung berdasarkan MOPS (Mid Oil Platt’s Singapore) ditambah α (alpha) BBM (biaya distribusi dan margin).

Harga jual eceran BBM merupakan harga jual eceran per liter BBM dalam negeri.

Pajak yang dimaksud terdiri dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), kecuali minyak tanah tidak dikenakan PBBKB.

Perkiraan MOPS sendiri dihitung dengan formula: perkiraan ICP ditambah  (delta) MOPS dimana

 MOPS adalah rata-rata selisih realisasi ICP dikurangi dengan realisasi MOPS.

Sejak APBN-P 2011, Pajak DTP untuk subsidi BBM dimasukkan dalam pos Subsidi BBM, dengan formula :Subsidi BBM x 10%

Stakeholder yang terkaitdengan subsidi BBM:

a. Direktorat jenderal Migas, Kementerian ESDM b. BPH Migas

c. PT Pertamina

d. Kementerian Keuangan: Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Anggaran

Tabel 5.10

Perkembangan Harga Eceran BBM Bersubsidi Tahun 2006-2011 (Rupiah/Liter) Uraian 1 Jan 2006 - 23 Mei 2008 24 Mei - 30 Nov 2008 1 Des - 14 Des 2008 15 Des 2008 - 14 Jan 2009 15 Jan 2009 - Sekarang 1. Premium 4.500 6.000 5.500 5.000 4.500 2. Solar 4.300 5.500 5.500 4.800 4.500 3. Minyak Tanah 2.000 2.500 2.500 2.500 2.500

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 LKPP Unaudited 2012 APBN-P Subsidi BBM 68.4 31.2 30.0 69.0 95.6 64.2 83.8 139.1 45.0 82.4 165.2 137.4 % thd Belanja Subsidi 88.3 71.4 68.4 75.4 79.2 59.8 55.8 50.5 32.6 42.7 55.9 56.1 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 140.0 160.0 180.0 ( % ) ( R p T r il iu n )

Perkembangan Subsidi BBM 2001-2012

Gr afik 5.8 .

Perkem bangan Subsidi BBM Tahun 2001-2012

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Real sd 31 Des 2013 APBN Subsidi BBM 68,4 31,2 30,0 69,0 95,6 64,2 83,8 139,1 45,0 82,4 165,2 211,9 193,8 ICP 23,9 24,6 28,8 37,6 53,4 64,3 72,3 97,0 61,6 79,4 111,5 117,3 100,0 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 0,0 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 U S $ / b a re l T ri li u n R u p ia h Grafik 5.9

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 LKPP Unaudited 2012 APBN-P Subsidi Listrik 4.6 4.1 3.8 2.3 8.9 30.4 33.1 83.9 49.5 57.6 90.4 65.0 % thd Belanja Subsidi 6.0 9.4 8.6 2.5 7.3 28.3 22.0 30.5 35.9 29.9 30.6 26.5 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 ( % ) ( R p T r i l i u n )

Perkembangan Subsidi Listrik 2001-2012

Gr afik 5.10 .

Per kem bangan Subsidi Listrik Tahun 2001-2012

5.6.5.2 Subsidi Listrik

Dalam rangka menyediakan kebutuhan energi listrik yang dapat terjangkau oleh masyarakat luas, Pemerintah memberikan subsidi listrik diperuntukkan bagi pelanggan listrik tertentu yang menjadi sasaran subsidi, yaitu kelompok pelanggan sosial (S1 dan S2), rumah tangga (R1), bisnis (B1), dan industri (I1) dengan daya terpasang sampai dengan 900 VA. Subsidi diberikan dalam bentuk penetapan tarif dasar listrik (TDL) yang harga jual tenaga listrik rata-ratanya lebih rendah dari harga pokok produksinya pada golongan tarif tersebut, sehingga akan lebih mencerminkan keadilan dan pemerataan. Subsidi listrik ini disalurkan melalui PT PLN.

Perhitungan subsidi listrik dihitung dari selisih negatif antara harga jual tenaga listrik rata-rata (Rp/kwh) dari masing-masing golongan tarif dikalikan volume penjualan (kwh) untuk masing- masing golongan tarif. Biaya pokok produksi (BPP) listrik adalah biaya penyediaan tenaga listrik oleh PT PLN untuk melaksanakan kegiaan operasi mulai dari pembangkitan, penyaluran (tansmisi) sampai dengan pendistribusian kepada pelanggan.

Besarnya peningkatan atau penurunan beban subsidi listrik dipengaruhi oleh: 1. perkembangan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, 2. harga minyak mentah Indonesia (ICP),

4. parameter perhitungan subsidi listrik : margin usaha, susut jaringan, growth sales, energy sales, golongan tarif yang disubsidi.

Dalam dokumen buku dasar penyusunan APBN (Halaman 148-192)

Dokumen terkait