B. Kajian Teori
2. Peran
a. Pengertian Peran Alumni Pesantren
Pembahasan tentang kajian peran (role) dalam manajemen terletak pada substansi perilaku organisasi. Terdapat beberapa ahli manajemen yang memberi kaitan dengan ilmu sosiologi, psikologi, dan dunia teater dalam usaha memahami perilaku seseorang dalam organisasi. Robbins merujuk pada pendapat William Shakespeare yang berkata,“All the world's a stage, all the man and woman merely
players”.15 Robbins memakai metafora dari Shakespeare bahwa, seluruh anggota kelompok organisasi adalah tokoh yang berperan sesuai dengan kedudukan dalam organisasi. Kutipan Owens berasal dari ahli sosiologi negeri Paman Sam yaitu Erving Goffman mengibaratkan peranan individu dalam organisasi dengan watak tokoh-tokoh di atas panggung teater.16 Perilaku aktor diatas panggung adalah pengibaratan watak yang disesuaikan dengan tuntutan peran dalam alur cerita sang sutradara teater. Tapi dalam kenyataannya, pemeran-pemeran tokoh tersebut dimungkinkan memiliki perilaku yang berbeda dengan kenyataan hidupnya dalam masyarakat.
Metafora dan analogi dari pakar yang dikemukakan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa: (1) peran yang berkaitan dengan kedudukan individu dalam suatu organisasi atau komunitas tertentu, (2) tingkah laku yang sesuai dengan dengan norma, nilai, dan standarisasi yang dituntut oleh peranan yang ditentukan dalam organisasi, dan (3) peran yang berkaitan dengan harapan dari organisasi.
Peranan yang dipahami dalam organisasi dapat dilihat dalam rumusan peran yang disusun oleh ahli-ahli berikut:
a. Mintzberg sebagaimana yang dikutip Henson menjabarkan peran sebagai“role as organized sets behaviours belonging to identifiable offices or positions”.17 Peran sebagai organisasi perilaku yang terkumpul didasarkan pada kedudukan individu di dalam organisasi.
15Stephen P. Robbins, Essential Organizational Behavior (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc., 2003), 72
16 Robert G. Owens, Organizational Behavior in Education, Second Edition (U.S.A: Prentice-Hall International, Inc, 1981), 68
17E. Mark Hanson, Educational Administration and Organizational Behavior (Boston: Allyn and Bacon, 1991), 147
b. Robbins, “The term “role” we mean a set of expected behaviour pattern attributed to someone accopying a given position in social unit”.18 Peran merupakan serangkaian pola perilaku yang diharapkan berkaitan dengan kedudukan individu dalam kelompok sosial.
c. Owens, “role is a psychological concept dealing with behaviour enactment arising from interactions organization with other human beings. The various offices or positions in an organization carry with them certain expectations of behaviour held by both onlookers and by the person occupying the role”.19 Peran adalah suatu konsep psikologis yang berhubungan dengan perilaku yang ditimbulkan dari hubungan antar organisasi dengan manusia lain. Jabatan-jabatan atau posisi dalam sebuah organisasi membawa harapan perilaku tertentu oleh orang yang berkedudukan dalam peran tersebut.
Merujuk berbagai definisi yang dicetuskan para ahli di atas, peran dapat didefinisikan dengan perilaku yang sepatutnya dilakukan individu sebab kedudukannya dalam organisasi. Dalam konteks alumni pesantren peran merupakan perilaku anggota dan pengelola pesantren sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam rangka membantu pesantren sebagai upaya peningkatan kualitas pesantren. Didalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 54 menyebutkan bahwa, peran serta masyarakat dalam pendidikan antara lain peran serta perorangan, kelompok keluarga, organisasi
18Stephen P. Robbins, Essential Organizational … , 72
19 Robert G. Owens, Organizational Behavior …, 69
profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Peran masyarakat sebagai sumber pelaksana dan penghasil pendidikan. Konteks khusus pesantren disebutkan bahwa Pesantren menyelenggarakan fungsi pemberdayaan masyarakat yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan Pesantren dan masyarakat.20 Pesantren harus berfungsi dan melaksanakan penyiapan sumber daya manusia mandiri dan memiliki keterampilan agar mampu berperan aktif dalam pembangunan nasional.
b. Jenis-jenis peran
Selanjutnya akan dipaparkan jenis-jenis peran dalam organisasi, secara khusus organisasi pesantren yang dikemukakan oleh Owens sebagaimana berikut ini:21
a. Diskripsi Peran (Role description). Peran ini mengacu pada perilaku aktual individu yang melakukan peran atau, lebih tepatnya, persepsi seseorang tentang perilaku itu.
b. Peran yang ditentukan berdasarkan norma yang berlaku (Role prescription). Peran ini merupakan sebuah gagasan yang relatif abstrak mengenai tata kelola umum dalam budaya untuk peran preskripsi.
Perilaku peran seperti apa yang diharapkan dari seorang santri atau alumni pesantren di negeri ini, misalnya?
c. Harapan Peran (Role expectation). Peran ini mengacu pada harapan bahwa satu orang memiliki dan bisa bertindak seperti perilaku dan peran
20 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 pasal 43 -45 huruf a-f
21 Robert G. Owens, Organizational Behavior …, 69-71
orang lain. Kiai, misalnya, mengharapkan perilaku tertentu dari santrinya, dan santri tentunya juga memiliki harapan perilaku yang muncul dari Kiainya. Jadi ketika Kiai dan santri ataupun alumni pesantren berinteraksi dalam peran mereka di pesantren, mereka mempunyai ekspektasi peran yang saling melengkapi.
d. Persepsi Peran (Role perception). Peran ini digunakan untuk menggambarkan persepsi bahwa seseorang memiliki harapan peran yang dimiliki orang lain untuknya. Dalam berurusan dengan perkumpulan alumni, masyarakat dan guru atau sering disebut Parent-Teacher Association (P.T.A), misalnya, seorang kiai mengetahui bahwa asosiasi alumni memiliki beberapa peran yang diharapkan dari kiai.
Estimasi kiai dari harapan itu kemudian dinamakan persepsi peran.
e. Peran nyata dan laten (manifest and latent roles). Secara alami, seseorang memainkan lebih dari satu peran dalam kehidupan; memang, seorang individu mungkin bermain lebih dari satu peran dalam sebuah organisasi. Dalam kasus peran ganda, istilah peran manifes digunakan untuk merujuk pada peran nyata yang dilakukan seseorang, tetapi juga menempati peran laten. Misalnya, di dalam pesantren, peran nyata seorang kiai adalah “kiai”; tetapi kiai juga dapat menjadi ketua dewan pertimbangan Presiden dan peran itu-saat dia mengajar kitab kuning-adalah peran laten. Seorang ustadz tarikh juga dapat menjadi aktivis dalam organisasi hak konsumen dan dengan demikian memegang peran laten, serta peran nyata.
f. Konflik Peran (Role conflict). Peran ini umumnya dianggap sebagai sumber kinerja yang kurang memuaskan dalam organisasi. Ada banyak sumber konflik peran, yang kesemuanya menghambat kinerja optimal oleh pemegang peran petahana (incumbent). Konflik peran yang jelas adalah situasi di mana dua orang tidak dapat membangun hubungan peran yang saling melengkapi, atau timbal balik yang memuaskan, yang dapat diakibatkan oleh berbagai penyebab dan – tidak jarang – mungkin melibatkan serangkaian perilaku konflik yang kompleks. Kebingungan atas harapan peran dan persepsi peran biasanya diamati. Selain itu, konflik peran juga sering terjadi dalam pribadi individu itu sendiri.
Harapan peran mungkin berbenturan dengan kebutuhan kepribadian individu dari pemegang peran petahana (incumbent).
g. Ambiguitas Peran (Role ambiguity). Hal ini muncul ketika peran yang ditentukan berdasarkan norma yang berlaku atau peran preskripsi mengandung unsur-unsur yang kontradiktif atau kabur. Ambiguitas peran agak umum diamati dalam upaya untuk melestarikan perbedaan antara administrasi dan pengawasan.
h. Rangkaian atau Lingkup Peran (Role set). Gagasan set peran sangat membantu dalam mengklarifikasi beberapa konsep teori peran seperti yang ditemukan dapat berjalan dengan baik dalam sebuah organisasi.
Jika kita mengamati sebuah karya kelompok, tentu saja kita akan menemukan kemungkinan untuk memilah-milah peserta ke dalam subkelompok dalam berbagai cara. Dengan itu, set peran adalah konsep
penting dalam ekologi lingkungan sosial yang dipertimbangkan di mana kontribusi yang diberikan oleh individu kepada organisasi. Ini adalah cara yang berguna untuk mengkonseptualisasikan hubungan antara orang dan organisasi. Pengetahuan yang dimiliki tentang teori peran dan beberapa konsepnya, dengan sendirinya, tidak banyak berguna. Namun, konstruksinya bisa digunakan dalam menganalisa beberapa tingkah laku interpersonal yang kita temui dalam kelompok kerja organisasi.
Misalnya, pemimpin tertinggi pesantren yang sangat peduli dengan memberikan fasilitas dalam menerima, mengembangkan, dan alokasi peran yang dibutuhkan agar sebuah komunitas alumni memiliki fungsi yang baik.
Gambar 2.1 Ilustrasi set peran (Role Set)22
22 Robert G. Owens, Organizational Behavior …, 73 Super Ordinate
1
Colleague 1 Colleague
2 Super
Ordinate Colleague 2
4
Pivotal role player Colleague
5
Colleague 6
Colleague 3
Sub Ordinate
1 Sub
Ordinate
4 Sub
Ordinate 3
Sub Ordinate
2
c. Konsep Peran Terkait dengan Teori Sistem Sosial
Gagasan dasarnya adalah bahwa organisasi dapat dipahami sebagai sistem sosial. Jacob Getzels dan Egon Guba dalam Owens menggambarkan pandangan mengenai hal ini sebagaimana berikut:23
“We conceive of the social system as involving two major classes of phenomena, which are at once conceptually independent and phenomenally interactive. There are, first, the institutions with certain roles and expectations that will fulfil the goals of the system. Second, inhabiting the system are the individuals with certain personalities and need-dispositions, whose interactions comprise what we generally call “social behaviour,”
Para ahli sangat memahami bahwa sistem sosial adalah tindakan melibatkan dua kelas utama fenomena, yang sekaligus secara konseptual independen dan fenomenal sangat interaktif. Pertama, lembaga dengan peran dan harapan tertentu yang akan memenuhi tujuan sistem. Kedua, yang menghuni sistem adalah orang-orang dengan karakter dan disposisi kebutuhan tertentu, yang interaksinya terdiri dari apa yang biasa kita sebut sebagai “perilaku sosial”.
Untuk memahami perilaku pemegang peran petahana (incumbent) tertentu dalam sebuah institusi, kita harus mengetahui berbagai harapan dari sebuah peran dan tentunya juga mengetahui berbagai disposisi kebutuhan. Memang, kebutuhan dan harapan keduanya dapat dianggap sebagai motif perilaku, yang satu berasal dari kecenderungan pribadi, yang lain dari persyaratan institusional. Apa yang kita sebut perilaku sosial dapat dipahami sebagai hasil akhir dari interaksi antara dua set motif.
Model umum yang bisa menggambarkan interaksi dua set motif dapat direpresentasikan melalui gambar seperti yang ditunjukkan di bawah ini.
23 Robert G. Owens, Organizational Behavior …, 75
Gambar 2.2. Model organisasi sebagai sistem sosial 24 d. Peran Alumni Sebagai Mitra
Edward A. Haman mendefinisikan kemitraan sebagai asosiasi sukarela dari dua orang atau lebih untuk menjalankan, sebagai pemilik bisnis atau organisasi secara bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan bersama.25 Haman mengemukakan bahwa kemitraan hanyalah salah satu tipe dari lime tipe organisasi.
Dia membagi kemitraan menjadi dua bagian; kemitraan terbuka (partnership) dan kemitraan terbatas (limited partnership) dengan segala keuntungan dan kerugiannya. Keuntungan kemitraan adalah adanya assistance dan lebih sederhana, sedang kerugiannya adalah bahwa mitra yang awalnya bisa sangat baik dalam organisasi dapat dengat cepat berubah menjadi seseorang yang sangat berbeda dari sebelumnya.26
Edward A. Haman27 memaparkan bahwa peran partnership dan berbagai kemitraan (partnership) menemukan kepentingannya untuk memutus (drops) atau menambah (adds) mitra. Secara tradisional, setiap perubahan mitra sebenarnya
24 Robert G. Owens, Organizational Behavior …, 75
25 Edward A. Haman, The Complete Partnership Book (Illinois: Sphinx Publishing, 2004), 13
26 Edward A. Haman, The Complete Partnership …, 51
27 Edward A. Haman, The Complete Partnership …, 51
Social System
Institution Role Expectation
Individual Personality Need-Disposition
Observed Behaviour
PERSONAL DIMENSION ORGANIZATIONAL DIMENSION
adalah pemutusan kemitraan lama dan pembentukan kemitraan baru walaupun hal ini tidak terjadi di pondok pesantren. Secara umum, mitra ditambahkan dan diputuskan hampir sama dengan pemegang saham di dalam sebuah perusahaan. Hal ini dapat terjadi dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Kepentingan mitra lama lebih mendominasi semua isi dan lini kemitraan (tidak ada mitra baru yang diterima dalam kemitraan) 2. Mitra baru lebih mampu menguasai dan mendominasi kepentingan
mitra lama (satu mitra pergi dan yang lain diterima).
3. Mitra baru menguasai kemitraan (tidak ada mitra yang keluar)
Sedang menurut Hazel Bines dan John Welton28 pengembangan kemitraan telah menjadi tema yang dominan di antara berbagai isu yang terlibat dalam pendidikan. Telah ada komitmen profesional lama dari guru di sekolah dan pendidikan tinggi untuk pengembangan cara bekerja sama, untuk memberikan khususnya berbagai pengalaman mengajar praktis bagi siswa pada apa yang disebut sebagai kursus pelatihan guru awal atau initial teacher training (ITT) untuk pendidikan sekolah formal yang dalam istilah pesantren dinamakan khidmah.
Pendidikan guru berkembang mengikuti sejarah awal pendekatan 'magang' (apprenticeship), dan program pelatihan guru darurat dan singkat yang dilembagakan setelah Perang Dunia Kedua.
28 Hazel Bines dan John Welton, Managing Partnership in Teacher Training and Development (London: Routledge, 2005), 11
Pengembangan model seperti itu untuk ITT telah dilengkapi dengan pendekatan kursus in-service (INSET), yang mencakup penelitian tindakan dan bentuk-bentuk penyelidikan lainnya berdasarkan perhatian dan persyaratan profesional khusus guru dan lembaga dengan pertumbuhan kursus singkat dan kegiatan konsultasi yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pengembangan institusi maupun individu. Menurut Hazel Bines dan John Welton29 jika manajemen pesantren ingin efektif, perlu ada kejelasan khusus tentang kontribusi yang diberikan masing-masing mitra kepada kemitraan dalam hal ini kepentingan bersama antara alumni dan pesantren.
Oleh karena itu ada sejumlah dimensi kemitraan antara sekolah, perguruan tinggi pendidikan lanjutan, pendidikan tinggi dan lain-lain yang jauh melampaui perhatian pada efektivitas pelatihan guru awal untuk pendidikan sekolah dan khidmah untuk penguatan karakter alumni. Namun, pemeliharaan dan pengembangan kemitraan yang lebih luas ini akan memerlukan perubahan model ke arah yang didasarkan pada:
1. Timbal balik yang tulus dari kebutuhan dan keahlian;
2. Pengakuan hubungan antara pendidikan awal alumni, induksi dan pengembangan profesional berkelanjutan; dan dukungan untuk program kegiatan penelitian dan pengembangan;
3. Membangun kekuatan relatif dari berbagai sekolah, perguruan tinggi pendidikan lanjutan, lembaga pendidikan tinggi, peserta lainnya, pesantren dan alumni-alumninya.
29 Hazel Bines dan John Welton, Managing Partnership ..., 24
3. Strategi dan Perencanaan a. Pengertian Strategi
Secara fundamental strategi dirancang untuk memberikan 'response' terhadap transformasi dari luar yang terkait pada suatu organisasi.30 Tentu saja, transformasi dari luar ini diselesaikan dengan mempertimbangkan fungsi internal organisasi. Sejauh mana suatu organisasi dapat menangkap peluang, meminimalkan ancaman eksternal, dan mencapai keuntungan maksimum dengan memanfaatkan kelebihan organisasi yang dimilikinya saat ini.
Pearce and Robinson31 mengartikan strategi dengan, sesuatu yang komprehensif, rencana general dari tindakan utama di mana lembaga bertujuan mencapai tujuan jangka panjangnya dalam lingkungan yang tidak statis. Ada lima belas pendekatan dasar (generic strategies) yang dapat digunakan mengidentifikasi strategi; konsentrasi (concentration), pengembangan pasar (market development), pengembangan produk (product development), inovasi (innovation), integrasi horizontal (horizontalintegration), integrasi vertikal (vertical integration), usaha patungan, aliansi strategis, konsorsium, diversifikasi konsentris, diversifikasi konglomerat, perputaran, divestasi, kebangkrutan dan likuidasi. Pearce dan Robinson berpendapat bahwa strategi adalah “rencana main” (game plan) suatu institusi.32 Strategi mencerminkan persepsi institusi tentang apa, bagaimana, kapan, dan dimana harus bersaing dengan lawan-lawannya. Wheelen dan Hunger
30 Abd. Rahman Rahim & Enny Radjab, Manajemen Strategi (Makasar: Lembaga Perputakaan dan Penerbitan UM Makasar, 2017), 2
31 John A. Pearce II dan Richard B. Robinson, Jr., Formulation, Implementation, and Control of Competitive Strategy, Eleventh Edition (New York: McGraw-Hill, 2009), 12
32 John A. Pearce II dan Richard B. Robinson, Jr., Formulation, Implementation…, 3
mengemukakan unsur dasar dari manajemen strategi sebagai berikut:33 (a) Pemindaian lingkungan, (b) Perumusan strategi, (c) Penerapan strategi dan (d) Evaluasi dan pengawasan.
Gambar 2.3 Basic elements of the strategic management process 34
Unsur-unsur dasar di atas dapat dijelaskan sebagai model manajemen strategis pada gambar berikut:
Gambar 2.4 Strategic Management Model35
33 Wheelen dan Hunger, Strategic Management and Business Policy Thirteenth Edition (USA:
Pearson Education, Inc, 2012), 12
34 Wheelen dan Hunger, Strategic Management and …, 15
35 Wheelen dan Hunger, Strategic Management and … , 17
Berfikir strategik membutuhkan beberapa langkah antara lain: 36 a. Identifikasi masalah,
Pada tahapan pertama ini, diharapkan mampu untuk mengidentifikasikan berbagai masalah dengan cara memeriksa berbagai gejala yang ada.
b. Pengelompokan masalah,
Tahapan ini, diharapkan permasalahan dapat dikelompokkan berdasarkan jenisnya sehingga dapat dengan mudah diselesaikan c. Proses abstraksi,
Tahapan ini diharapkan permasalahan dapat dianalisis dengan menemukan berbagai faktor penyebabnya. Oleh karena itu, perlu lebih diperhatikan agar kita dapat merumuskan cara-cara untuk memecahkan masalah tersebut.
d. Penentuan metode atau cara pemecahannya
Tahapan ini diharapkan dapat menentukan cara yang paling akurat untuk menyelesaikan masalah.
e. Perencanaan untuk implementasi
Tahap terakhir ini, tuntutan untuk kita dapat mengimplementasikan metode yang sudah ditentukan.
b. Perencanaan
Perencanaan adalah bagian dari kegiatan manajerial pemberdayaan partisipasi alumni di pondok pesantren. Sebelum pengelola pesantren
36 Abd. Rahman Rahim & Enny Radjab, Manajemen …, 3
melaksanakan aktifitas pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan, maka kegiatan nomor satu dari pengelola ialah membuat planning. Suhadi menyatakan bahwa pembuatan planning adalah perjalanan dan proses yang cukup mendasar dalam pencapaian tujuan organisasi.37 Memandang keutamaan dan pentingnya kedudukan perencanaan, maka pelaksanaan rencana secara cermat dengan menganalisa secara seksama akan melakukan tindakan atau kegiatan apa untuk mencapai tujuan organisasi pondok pesantren. Selain pertanyaan melakukan apa yang diperlukan, pertanyaan mendasar lainnya seperti kapan akan melakukan kegiatan, bagaimana kegiatan itu akan dilakukan, siapa yang akan melakukan kegiatan itu, dan berbagai pertanyaan lain dalam pembuatan rencana merupakan perihal esensial. Dengan istilah lain, pembuatan rencana mempunyai komponen yang muncul pada pertanyaan 5W dan 1H yaitu: apa (what), kapan (when), mengapa (why), dimana (where), siapa (who), dan bagaimana (how).
Sederhananya, perencanaan pendidikan dirumuskan sebagai suatu proses membuat ketetapan pencapaian tujuan yang diinginkan, penetapan tindakan, dan pengerahan seluruh esensi dari organisasi demi tercapainya tujuan sesuai ketetapan yang dibuat secara efektif dan efisien.38 Dari rumusan tersebut, terdapat tiga aktivitas perencanaan pemberdayaan partisipasi alumni di pesantren antara lain; (1) membuat rumusan dalam pencapaian tujuan yang diinginkan pondok pesantren. (2) membuat ketentuan dan pemilihan program aksi untuk tercapainya tujuan. (3)
37Suhadi Winoto, Komite Sekolah/Madrasah dan Manajemen Mutu Pendidikan (Yogyakarta:
Bildung, 2021), 62
38Suhadi Winoto, Komite Sekolah …, 63
mengenali dan mencurahkan semua sumber daya yang memiliki batas jumlah dalam pencapaian tujuan pemberdayaan partisipasi alumni.
Beberapa rumusan rencana sebagai dasar untuk memahami rencana antara lain sebagai berikut:
a. Buforddan Bedeian dalam Suhadi39, perencanaan diartikan sebagai proses menetapkan tujuan organisasi dan pemilihan capaian yang dihasilkan tindakan.
b. Allen dalam manulang40 mendefinisikan perencanaan ialah penetapan rangkaian aksi guna tercapainya suatu hasil yang diinginkan.
c. Gordon berpendapat perencanaan ialah proses menentukan terlebih dahulu apa yang harus dicapai dan bagaimana hal itu harus direalisasikan.
d. Stoner41 mendefinisikan bahwa perencanaan merupakan prosesi penentuan tujuan dan aksi yang diperlukan dalam pencapaian tujuan.
e. Koontz dan Donnel dalam Manulang,42 perencanaan merupakan fungsi seorang manajer yang berkaitan dengan pemilihan alternatif-alternatif tujuan, kebijakan, prosedur dan program.
f. Atmosudirjo dalam Suhadi43 berpendapat bahwa perancanaan adalah kegiatan untuk menetapkan apa yang ingin dicapai, apa yang harus
39 Suhadi Winoto, Komite Sekolah …, 63
40 Manullang, Dasar-Dasar Manajemen (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 47
41Stoner J. AF., Manajemen. Terjemahan W. Bakowatun (Jakarta: Intermedia, 1982), 10
42 Manullang,Dasar-Dasar…, 48
43Suhadi Winoto, Komite Sekolah …,64
dilakukan, peralatan apa yang dibutuhkan, mengapa perlu dicapai dan dioperasikan, kapan dan bagaimana melakukannya.
Sementara itu, Gordon dalam Suhadi44 juga menerangkan bahwa pernyataan berikut ini harus dapat terjawab dengan perencanaan.
a. What activities are required to accomplish the objectives?
b. When should these activities be carried out?
c. Who is responsible for doing what?
d. Where should the activities he carried out?
e. When should the action be accomplish?
Melihat pengertian perencanaan dari banyak ahli tersebut, sederhananya perencanaan pemberdayaan partisipasi alumni dapat dirumuskan sebagai proses dan aktivitas manajerial pemberdayaan alumni yang digunakan untuk penetapkan tujuan aktivitas yang akan dilaksanakan, dan sumber daya yang digunakan termasuk pengadaan fasilitas dan lingkungan tertentu dalam rangka pemenuhan pencapaian tujuan pemberdayaan partisipasi alumni yang sudah ditentukan secara efektif dan efisien di pondok pesantren. Dari definisi perencanaan pemberdayaan partisipasi alumni tersebut pokok-pokok bahasan yang terkandung antara lain: (1) pembuatan rencana pemberdayaan partisipasi alumni adalah landasan dari fungsi manajemen, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan program pesantren.
(2) perencanaan pemberdayaan partisipasi alumni yang mengacu ke masa yang akan datang, dengan cara meramal (forcasting) bentuk dan sifat yang diinginkan pesantren di masa lampau, masa kini, dan masa mendatang. (3) pada pembuatan
44Suhadi Winoto, Komite Sekolah …,64
rencana pemberdayaan partisipasi alumni membutuhkan tindakan sebagai wujud penerapan dari perencanaan dan dilakukan oleh perorangan ataupun organisasi yang bertindak sebagai pelaksana. (4) perencanaan pemberdayaan alumni adalah berbagai usaha untuk mencapai tujuan pesantren agar lebih efektif dan efisien.
Selain itu untuk memperluas pengetahuan, di bawah ini penjabaran beberapa pakar mengenai definisi perencanaan pendidikan, antara lain:
a. Guruge dalam Suhadi45, perencanaan pendidikan merupakan proses untuk menyiapkan kegiatan di masa yang akan datang dalam bidang pengembangan pendidikan.
b. Coombs dalam Sa’ud dan Makmun, perencanaan pendidikan merupakan suatu implementasi yang masuk akal dan sistematis dalam proses pengembangan pendidikan yang tujuannya sebagai upaya peningkatan efektifitas dan efisiensi pendidikan.
c. Fatah mengungkapkan, perencanaan pendidikan merupakan keputusan untuk mengambil tindakan dalam jangka waktu tertentu untuk menjadikan pendidikan lebih efektif dan efisien serta out put yang dihasilkan berupa lulusan berkualitas terkait dengan kebutuhan pembangunan.46
45 Suhadi Winoto, Komite Sekolah …, 65
46 Nanang Fattah, Konsep Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 50
c. Prinsip-Prinsip Perencanaan Pendidikan
Terry menjelaskan bahwa prinsip sebagai pernyataan dasar yang memandu tindakan.47 Dari sudut pandang Terry, dapat dilihat jika menyangkut prinsip-prinsip perencanaan pendidikan, ini merupakan nilai, norma, dan landasan yang memandu tindakan dalam menyiapkan rencana pendidikan di semua tingkatan. sekolah, madrasah ataupun pesantren.
Berbagai prinsip perencanaan pendidikan antara lain sebagai berikut:
a. Efektif dan efisien: prinsip ini memiliki kandungan makna yaitu setiap pembuatan rencana pendidikan harus diarahkan pada tercapainya tujuan organisasi pendidikan. Selain itu, sumber daya yang digunakan harus diusahakan secara efektif pada pencapaian tujuan organisasi.
b. Interdisipliner: pendidikan pada dasarnya adalah upaya membangun esensial manusia. Oleh sebab itu, pembuatan rencana pendidikan diharapkan dilaksanakan dengan kemampuan sepenuhnya, sifat teliti yang tinggi, dan tindakan yang mampu mengartikan kebutuhan di masa yang akan datang dan bermanfaat untuk peserta didik di masa depan.
Untuk itu, diperlukan beragam rumpun ilmu pengetahuan dalam penyusunan dan pembuatan rencana pendidikan.
c. Fleksibel: pendidikan diharapkan dapat selalu merespon terhadap tuntutan masyarakat. Hal ini berarti bahwa pendidikan diwajibkan mampu menangkap aspirasi masyarakat melalui perencanaan yang luwes, dinamis, lentur, dan aspiratif sesuai kebutuhan masyarakat.
47 George Robbert Terry, Principle of Management (USA: Richart D. Irwin, Inc., 1968), 12
d. Objektif, masuk akal, dan berdasarkan data: perencanaan pendidikan harus berdasar pada kepentingan peserta didik, dan dilandaskan pada data dan informasi yang berorientasi pada obyek dan masuk akal.
e. Kompetitif: perencanaan pendidikan pada semua aspek esensial pendidikan diharapkan selalu mendapat perhatian.
f. Dilandaskan pada kekuatan sendiri: pembuatan rencana pendidikan sepatutnya memperhatikan kelemahan, kekuatan, dan potensi yang dimiliki organisasi pendidikan. Oleh sebab itu, perencanaan pendidikan harus dilandaskan pada berbagai kekuatan yang dimiliki organisasi.
g. Menggabungkan kekuatan dengan organisasi sebagai aturan umum:
perencanaan pendidikan adalah proses menggabungkan kekuatan internal dan eksternal dalam suatu institusi untuk pencapaian tujuannya.
h. Dilandaskan sumber daya yang ada. Perencanaan pendidikan diharapkan berlandaskan sumber daya yang dipunyai organisasi, baik sumber daya manusia maupun sumber daya yang lain.
d. Fungsi Perencanaan Pendidikan
Pada dasarnya pembuatan rencana pendidikan ialah kegiatan manajerial pertama dan utama dalam berbagai praktek manajemen. Sedikitnya ada empat fungsi perencanaan pendidikan,48 sebagaimana berikut:
a. Pengarahan yang jelas, pembuatan rencana pendidikan memiliki fungsi sebagai pedoman dan pengarah pada tujuan tercapainya pendidikan.
Dalam sudut pandang pesantren, perencanaan pendidikan adalah acuan
48Suhadi Winoto, Komite Sekolah …, 67