• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majelis Hakim tingkat banding dalam Putusan PT. DKI Jakarta menyatakan bahwa Surat dakwaan JPU dengan register perkara No. Pds-01 Jkt.Pst/03/2006 tertanggal 6 Maret 2006 tidak dapat diterima dengan alasan karena perkara tersebut adalah hanya bermuatan “perselisihan persengketaan hak” sehingga terdakwa DL Sitorus dibebaskan dari tahanan. Hakim pada Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa masalah surat dakwaan tidak dapat diterima adalah termasuk dalam ruang

lingkup eksepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 KUHAP.71

Dakwaan tidak dapat diterima bukan berarti upaya hukum terhenti di PT. DKI Jakarta namun masih ada upaya hukum yakni mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI yang menurut Andi Hamzah, ada 3 (tiga) alasan untuk melakukan kasasi yaitu:72

1. Apabila terdapat kelalaian dalam beracara (vormverzuim);

2. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya; dan

3. Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang

ditentukan undang-undang.

Menurut Hakim pada Mahkamah Agung RI, putusan PT. DKI Jakarta yang menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima melampaui batas wewenangnya. Seharusnya dipertimbangkan ketika dalam memeriksa permohonan perlawanan

71

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 358.

72

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 307. Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(eksepsi) terhadap putusan sela PN Jakpus yang menyatakan surat dakwaan JPU telah memenuhi syarat formil dan materil dan seharusnya hal ini dituangkan dalam bentuk penetapan73

Pasal 156 ayat (4): Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima oleh Pengadilan Tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, Pengadilan Tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan memerintahkan Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu.

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) dan ayat (5) huruf a KUHAP sebagai berikut:

Pasal 156 ayat (5) huruf a: Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya kepada Pengadilan Tinggi, maka dalam waktu empat belas hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan terdakwa, Pengadilan Tinggi dengan keputusan membatalkan putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan menunjuk pengadilan yang berwenang.

Padahal PN Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan mengenai pokok perkara sebagaimana dalam putusan PN Jakpus No.481/Pid.B/2006/PN.Jkt.Pst. tertanggal 28 Juli 2006. Oleh karena itu Hakim Mahkamah Agung RI menyatakan dalam putusannya bahwa Majelis Hakim Banding tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya. Mengenai muatan apabila Majelis Hakim Banding menyebutkan karena perselisihan persengketaan hak dinilai Hakim Mahkamah Agung RI seharusnya Hakim Majelis Banding memberi putusan lepas dari segala tuntutan. Sebagaimana Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menegaskan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan”.

73

Apabila alasan PT. DKI Jakarta terletak pada perselisihan persengketaan hak sebenarnya hal ini masuk dalam ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat. Menurut M. Yahya Harahap, pelepasan dari segala tuntutan hukum didasarkan pada 2 (dua) kriteria: apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan; dan tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. Berdasarkan kriteria itu, di sini tampak hal yang melandasi putusan pelepasan, terletak pada kenyataan apa yang didakwakan dan yang telah terbukti tersebut, “tidak merupakan tindak pidana” tetapi masuk dalam ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat.74

Kekeliruan Majelis Hakim Banding yang menyatakan perselisihan persengketaan hak juga dinilai Hakim Mahkamah Agung RI karena hutan negara kawasan Padang Lawas adalah hutan negara yang diperuntukkan sebagai hutan tetap dan berfungsi sebagai hutan produksi berdasarkan:

1. Gouvernment Besluit (GB) No.50/1924 tertanggal 25 Juni 1924;

2. Berita Acara Penyerahan tanah kawasan hutan Padang Lawas dari masyarakat

kepada Gubernur: tertanggal 20 Mei 1981 seluas 12.000 Ha; tertanggal 26 Mei 1981 seluas 10.000 Ha; dan tertanggal 6 Juni 1981 seluas 8.000 Ha;

3. Keputusan Menteri Kehutanan No. 923/Kpts/Um/12/1982 pada tanggal 27

Desember 1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara;

74

4. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Tingkat I Sumatera Utara tahun 2003- 2018;

5. Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor 14 Tahun 1998 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Selatan. Majelis Hakim pada tingkat banding yang memutuskan karena hanya “perselisihan persengketaan hak” dengan alasan bahwa untuk membuktikan suatu area adalah kawasan hutan atas wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap antara lain yaitu perlu mempertimbangkan ketentuan yang tercantum dalam bab III perihal Pengukuhan Kawasan Hutan yang ditentukan dalam Pasal 15 UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengukuhan kawasan hutan tersebut harus dilakukan melalui: Penunjukan kawasan hutan, Penataan batas kawasan hutan, Pemetaan kawasan hutan, dan Penetapan kawasan hutan. Menurut Hakim Mahkamah Agung RI adalah keliru

dan salah atau melampaui batas wewenangnya (vormverzium) sebab dalam pasal-

pasal lainnya dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak ada yang menyatakan bahwa apabila proses pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan belum dilaksanakan, maka suatu kawasan dalam kenyataannya sebagai hutan menjadi bukan kawasan hutan.

Majelis Hakim PT. DKI juga menyatakan bahwa perselisihan persengketaan hak atas tanah tersebut adalah tanah adat atau tanah ulayat yang diserahkan oleh tokoh (Raja Adat Kepadan) melalui Akta Notaris Setyawali, SH masing-masing

No.65/I/1998 dan No.186/I/1998 yang kemudian tanah adat/ulayat tersebut oleh terdakwa DL Sitorus diserahkan kepada Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan berdasarkan Akta Notaris Setyawati, SH No.323/I/1998 tertanggal 30 September 1998 dan oleh pengurus Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan ditanami kelapa sawit dengan dana dari DL Sitorus sebagai Bapak Angkat.

Majelis Hakim pada Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa lahan yang menjadi objek perkara tersebut bukan merupakan tanah adat/ulayat karena menurut

Mahkamah Agung RI:75

1. Tidak ada Peraturan Daerah yang menetapkannya sebagai tanah ulayat

sebagaimana dipersyaratkan dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

2. Tidak termasuk dalam kategori tanah ulayat sebagaimana disyaratkan dalam

ketentuan: Pasal 2 ayat (2)76, Pasal 5 ayat (1)77, dan Pasal 678

75

Putusan Mahkamah Agung RI No.2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL Sitorus, hal. 84, Lihat juga: Surat Tuntutan JPU No. Pds-01 Jkt.Pst/03/2006 tertanggal 6 Maret 2006, hal. 178-179.

Peraturan

76

Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menyatakan hak ulayat masyarakat hukum adat masih ada apabila:

a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;

b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan

c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.

77

Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, menegaskan: Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar

Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tertanggal 24 Juni 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menegaskan bahwa hak ulayat hukum adat masih ada apabila:

1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum

adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;

2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga

persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan;

3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan

penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.

Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menegaskan: “Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat dan instansi-instansi yang

hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.

78

Pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang bersatan.

mengelola sumber daya alam”. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan.79

Majelis Hakim pada mahkamah Agung RI juga mendasarkan putusannya dengan alasan bahwa seluruh kawasan hutan Padang Lawas dilarang untuk diperjualbelikan atau dihibahkan atau dipindahtangankan dalam bentuk apapun dengan didasarkannya kepada ketentuan yang terdapat dalam Surat Gubernur Sumatera Utara Nomor 593/15634 tertanggal 27 Juli 1984 perihal Pencabutan Wewenang Kepala Kecamatan untuk memberikan ijin membuka lahan yang ditujukan kepada Bupati, Walikota Madya, Kepala Daerah Tingkat II di seluruh Sumatera Utara yang pada pokoknya menyatakan agar para Camat tidak lagi dibenarkan memberikan ijin membuka lahan dalam bentuk apapun.

Berdasarkan Surat Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor 591/2962 tertanggal 18 Mei 1987 ditujukan kepada Camat sekabupaten Tapanuli Selatan dan para Lurah, Kepala Desa dilarang melaksanakan jual beli / ganti rugi tanah adat kepada orang yang bukan berdomisili di desa letak tanah tersebut dan bukan masyarakat adat daerah yang bersangkutan, tidak dibenarkan memutasikan tanah, membuat keterangan dan melegalisir semua transaksi tanah adat yang statusnya belum jelas dan tidak melalui prosedur yang berlaku. Pembebasan tanah masyarakat oleh perusahaan harus seizin Gubernur Sumatera Utara cq. Bupati Tapanuli Selatan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.

79

Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Perselisihan persengketaan hak menurut Majelis Hakim PT. DKI Jakarta dengan pertimbangan karena adanya gugatan KPKS Bukit Harapan melawan Menteri Kehutanan Republik Indonesia tentang Pembatalan Surat Menteri Kehutanan Nomor 419/Menhut-II/2004 tertanggal 12 Oktober 2004 yang mencabut izin prinsip yang telah diberikan dalam Surat Nomor 1680/Menhut-III/2002 tertanggal 26 September 2002 dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam putusannya Nomor 12/G/2006/PTUN.Jkt tertanggal 12 Juli 2006 bahwa perkara Nomor 12/G/2006/PTUN.Jkt dimaksud saat ini dalam masih dalam proses banding dan belum memiliki kekuatan hukum tetap.

Namun menurut Majelis Hakim Mahkamah Agung RI, apapun keputusan PTUN dalam gugatan KPKS Bukit Harapan melawan Menteri Kehutanan RI, kawasan hutan Padang Lawas tetap tidak berubah sebagai hutan negara sebab yang dipermasalahkan dalam gugatan tersebut adalah menyangkut surat yang dikeluarkan oleh Inspektur Jenderal Departemen Kehutanan dengan Nomor 1680/Menhut- III/2002 tertanggal 26 September 2002 atas permohonan Jonggi Sitorus selaku Ketua KPKS Bukit Harapan untuk memohon Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) dan bukan merubah fungsi kawasan hutan menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Surat yang dikeluarkan oleh Inspektur Jenderal Departemen Kehutanan dengan Nomor 1680/Menhut-III/2002 tersebut masih harus ditindaklanjuti dan yang berhak untuk itu adalah Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan.

Terkait dengan adanya gugatan KPKS Bukit Harapan, Majelis Hakim Mahkamah Agung RI mempersalahkan Majelis Hakim PT. DKI dalam menerapkan

hukum sebab berdasarkan Pasal 53 ayat (1) UU No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berikut ini:

Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

Berdasarkan Pasal 53 ayat (1) UU No.9 Tahun 2004 tentang PTUN di atas, PTUN hanya berwenang untuk menyatakan batal atau tidak sah suatu Keputusan Tata

Usaha Negara. Oleh sebabnya, putusan a quo dalam hubungannya dengan gugatan

yang diajukan oleh pengurus Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan melawan Menteri Kehutanan RI tidak akan membuat ketetapan yang mengubah kawasan hutan Padang Lawas sebagai hutan negara.

Majelis Hakim Banding telah salah dan melampaui batas kewenangannya karena Majelis Hakim Banding dalam putusannya memerintahkan agar terdakwa DL Sitorus segera dikeluarkan dari tahanan dengan alasan surat dakwaan tidak dapat diterima. Padahal menurut Mahkamah Agung RI untuk mengeluarkan terdakwa dari tahanan seharusnya didasarkan pada putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana dalam Pasal 191 jo Pasal 192 ayat (1) KUHAP.

Majelis Hakim Banding telah salah dan melampaui batas kewenangannya juga disebabkan karena Majelis Hakim Banding memerintahkan untuk mengembalikan barang-barang sitaan. Padahal menurut Mahkamah Agung RI untuk mengembalikan barang-barang sitaan harus didasarkan pada putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana dalam Pasal 191 jo Pasal 192 ayat (1) KUHAP.

Undang-undang tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “dakwaan tidak dapat diterima” dan tidak menjelaskan pula apa yang dijadikan alasan dakwaan tidak dapat diterima. Andi Hamzah mengatakan, apabila dakwaan yang diajukan mengandung cacat formil atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure) dalam hal ini bisa cacat mengenai orang yang didakwa, keliru susunan atau bentuk surat dakwaan yang diajukan JPU.80

Mahkamah Agung RI berpendapat dalam putusannya bahwa dakwaan- dakwaan yang diajukan JPU tidak mengandung cacat formil maupun kekeliruan beracara dan telah memenuhi syarat formil dan materil surat dakwaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 142 ayat (2) KUHAP yaitu: “Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah”.

Alasan-alasan yang dikemukakan Mahkamah Agung RI pada pokoknya didasarkan pada:

1. Tindak pidana yang didakwakan itu tidak tergantung dalam tindak pidana

yang sedang dalam pemeriksaan di Pengadilan Negeri lainnya;

2. Orang yang diajukan sebagai terdakwa adalah pelaku tindak pidana yang

sebenarnya sehingga in casu pada dakwaan tidak terkandung cacat atau

kekeliruan;

80

3. Dakwaan tersebut memuat tanggal dan tanda tangan sehingga dinyatakan secara lengkap identitas terdakwa, menyebut locus delicti dan tempus delicti

serta dengan cermat, jelas, dan lengkap diuraikan tindak pidana yang didakwakan, dengan pengertian bahwa dalam dakwaan telah tercantum: semua delik yang dirumuskan dalam pasal pidana yang didakwakan; dan Cara tindak pidana yang dilakukan telah disebutkan dengan cermat dan jelas.

Terkait dengan penguasaan hutan atau perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan jika ditelaah Pasal 4 UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menentukan:

1. Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

2. Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi

wewenang kepada pemerintah untuk:

a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,

kawasan hutan, dan hasil hutan;

b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan

hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan

c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang

dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

3. Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum

adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Apabila ditelaah ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menegaskan bahwa: ”Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu”. Berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 19 ayat (1) UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut di atas dapat dipahami bahwa untuk menetapkan status wilayah

tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan bukan hutan, dengan memperhatikan hubungan-hubungan antara orang dengan hutan, perbaikan-perbaikan hukum mengenai kekuatan, perubahan peruntukan dan fungsi hutan harus melalui adanya penetapan dari Pemerintah sehingga in casu apabila jika ada pernyataan “keseluruhan Padang Lawas” bukan tanah Negara atau perubahan fungsinya harus dibuktikan oleh adanya penetapan Pemerintah.

Keterangan saksi-saksi yang mempersaksikan bersesuaian satu sama lainnya dan sesuai pula dengan alat bukti berupa surat-surat bukti yaitu:

1. Gouvernment Besluit (GB) No.50/1924 tertanggal 25 Juni 1924;

2. Berita Acara Penyerahan tanah kawasan hutan Padang Lawas dari masyarakat

kepada Gubernur: tertanggal 20 Mei 1981 seluas 12.000 Ha; tertanggal 26 Mei 1981 seluas 10.000 Ha; dan tertanggal 6 Juni 1981 seluas 8.000 Ha;

3. Keputusan Menteri Kehutanan No. 923/Kpts/Um/12/1982 pada tanggal 27

Desember 1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara;

4. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2003 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Tingkat I Sumatera Utara tahun 2003- 2018;

5. Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor 14 Tahun 1998 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Selatan. Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan alat-alat bukti yang ada, terbuka bahwa Padang Lawas masih merupakan hutan yang dikuasai Negara dan bersatu

bersatu sebagai kawasan hutan produksi yang secara yuridis, Pemerintah belum merubah peruntukan dan fungsinya. Sehingga menurut Majelis Hakim pada Mahkamah Agung RI tidak beralasan untuk dipersengketakan mengenai status Padang Lawas melainkan sebagai kawasan hutan produksi yang masih dikuasai oleh Negara dalam hal ini Departemen Kehutanan RI.

D. Putusan Mahkamah Agung RI Menurut Ketentuan yang Berlaku dan Rasa