• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lahan seluas ± 47.000 Ha dan berikut bangunan yang ada di atasnya dalam putusan Mahkamah Agung RI No.2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL Sitorus tersebut ditegaskan “Dirampas untuk negara dalam hal ini Departemen Kehutanan”.81 Dianalisis bahwa dalam hal perampasan aset, jika dikaitkan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK)

mengenai perampasan aset, berbeda dengan perampasan aset dalam model civil

forfeiture.82

81

Ibid, hal. 106 dari 107 halaman.

Perampasan aset yang dikenal di dalam UU No.31 Tahun 1999 junto UU

82

Bismar Nasution, “Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, Pengembalian Aset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang- Undangan Indonesia, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Hotel Millenium Jakarta 28-29 November 2007, hal. 6. Civil forfeiture adalah suatu model yang menggunakan pembalikan beban pembuktian, dan memfokuskan pada gugatan terhadap aset bukan mengejar pelaku (tersangka atau terdakwa) sehingga aset negara dapat diselamatkan meski tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia. Bismar mencontohkan misalnya dalam hal pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan dari si koruptor dan membandingkan dengan jumlah aset yang dimilikinya. Jika aset tersebut melebihi dari jumlah pendapatan si koruptor, maka tugas si koruptorlah untuk membuktikan bahwa aset tersebut dia dapat melalui jalur yang sah. Lihat juga: Tambok Nainggolan, Kerugian

No.20 Tahun 2001 adalah model criminal forfeiture yaitu dengan menggunakan jalur hukum pidana untuk memutuskan perkara kemudian baru dilakukan eksekusi terhadap barang-barang sitaan dan/atau hasil tindak pidana. UUPTPK menentukan bahwa perampasan aset hanya dinyatakan sebagai pidana tambahan. Tampak dinyatakan dalam Pasal 18 UUPTPK menentukan bahwa perampasan aset termasuk

sebagai pidana tambahan. Bukan seperti perampasan model civil forfeiture yang

menggunakan jalur perdata dan pidana secara sekaligus.

Ketentuan perampasan aset dalam perkara tindak pidana korupsi dalam Pasal 18 UUPTPK ditentukan:

(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud

atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama

dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1

(satu) tahun;

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan

seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk

membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman

Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar, Tesis, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2010), hal. 25.

maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang- undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Berdasarkan rumusan Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 di atas, selain pidana

tambahan yang ditentukan dalam Bab II KUH Pidana83

UU No.31 Tahun 1999 menempatkan perampasan aset (barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak) sebagai pidana tambahan bukan menempatkannya sebagai pidana pokok. Pidana tambahan yang dimaksud adalah pidana tambahan yang ditentukan dalam Pasal 10 huruf b KUH Pidana dan Pasal 18 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999.

untuk perkara tindak pidana korupsi ditentukan pula pidana tambahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU.No 31 Tahun 1999. Pidana tambahan berupa perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

84

Pidana tambahan yang ditentukan dalam Pasal 10 huruf b KUH Pidana adalah sebagai berikut:85

1. Pencabutan hak-hak tertentu, yang menurut Pasal 35 ayat (1) KUH Pidana

terdiri dari: ”Hak orang yang bersalah yang dapat dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam peraturan umum yang lain yaitu:

a. Menjabat segala jabatan atas jabatan tertentu;

83

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hal. 34. Jenis-jenis pidana tambahan menurut KUH Pidana yaitu: 1) Pencabutan beberapa hak tertentu; 2) Perampasan barang tertentu; dan Pengumuman keputusan hakim.

84

Ermansyah Djaja, Op. cit, hal. 209.

85

b. Menjadi militer;

c. Memilih dan dapat dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena undang-

undang umum;

d. Menjadi penasihat atau wali atau wali pengawas atau pengampu atau

pengampu pengawas atas orang lain dari pada anaknya sendiri;

e. Kekuasaan bapak, perwalian dan pengampuan atas anaknya sendiri;

f. Melakukan pekerjaan yang ditentukan.

2. Perampasan barang-barang tertentu yang oleh Pasal 39 ayat (1) KUH Pidana

ditentukan dapat dirampas:

a. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dengan kejahatan

boleh dirampas; dan

b. Barang-barang kepunyaan terpidana yang dengan sengaja dipakai untuk

mengerjakan kejahatan boleh dirampas.

3. Pengumuman keputusan hakim.

Pidana tambahan yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 terdiri dari:86

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau

perampasan barang yang tidak bergerak yang tidak berwujud yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga yang menggantikan barang-barang tersebut.

2. Pembayaran uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda

yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

3. Penutupan seluruhnya atau sebahagian aset perusahaan untuk waktu paling

lama 1 (satu) tahun.

4. Pencabutan seluruhnya atau sebahagian hak-hak tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana dan penghapusan seluruhnya atau sebahagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Terkait ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No.31 Tahun 1999, Ermansjah Djaja menyarankan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:87

86

Ibid, hal. 209-210.

87

1. Penjatuhan pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) KUH Pidana, barang-barang yang dapat dirampas hanya kepunyaan terpidana. Demikian juga untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999, barang-barang yang dapat dirampas hanya kepunyaan terdakwa. Kepastian bahwa hanya barang-barang kepunyaan terdakwa yang dapat dirampas dapat dilihat dari ketentuan Pasal 19 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa ”Putusan pengadilan mengenai perampasan barang- barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan”.

2. Penjatuhan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) KUH Pidana tidak dapat dilakukan terhadap barang yang tidak berwujud karena yang dimaksud dengan barang dalam Pasal 39 ayat (1) KUH Pidana adalah hanya barang berwujud, sedangkan perampasan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 18 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 dapat dilakukan terhadap barang-barang yang tidak berwujud.

3. Alat-alat bukti yang sah antara lain seperti keterangan ahli sebagaimana

dimaksud dengan Pasal 184 ayat (1) KUH Pidana dapat memberikan kesaksian atau pembuktian mengenai jumlah kekayaan yang diperoleh terdakwa tindak pidana korupsi, karena pelaksanaan pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No.31 Tahun

1999, pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

4. Maksud dari ”...harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No.31 Tahun 1999, jangan diartikan hanya sebatas harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang masih dikuasai oleh terpidana pada saat majelis hakim memutuskan perkaranya, tetapi harus diartikan termasuk pula harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi yang pada saat majelis hakim memutuskan perkaranya, harta benda tersebut sudah dialihkan kekuasaannya kepada pihak lain.

5. Pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c UU

No.31 Tahun 1999, ”Penuntutan seluruh atau sebahagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun”, yang dimaksud dengan ”penutupan seluruh atau sebahagian perusahaan”adalah pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan. Tetapi di dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf c UU No.31 Tahun 1999 tidak secara jelas ditegaskan apakah perusahaan yang dimaksud perusahaan milik terpidana atau tindak pidana korupsi yang dilakukan di dalam lingkungan perusahaan dari perusahaan yang ditutup tersebut.

6. Maksud dari ”...hak-hak tertentu....” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

ayat (1) huruf d UU No.31 Tahun 1999 bukan hanya pencabutan hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) KUH Pidana tetapi termasuk hak-

hak yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana yang tidak termasuk hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) KUH Pidana. Maksud dari ”...keuntungan tertentu...” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d UU No.31 Tahun 1999 pada dasarnya perumusannya sama dengan perumusan Pasal 7 ayat (1) huruf c UU Darurat No.7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yaitu ”Pencabutan seluruh atau sebahagian hak-hak tertentu atau hak-hak penghapusan seluruh atau sebahagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubungan dengan perusahaannya untuk waktu selama-lamanya 2 (dua) tahun.

7. Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c dan

huruf d UU No.31 Tahun 1999 pada dasarnya adalah merupakan pidana tambahan yang berupa pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b angka 1 KUH Pidana.

8. Sebagai suatu pidana tambahan, ketentuan yang diatur dalam Pasal 38 ayat (2) KUH Pidana berlaku juga untuk ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c dan huruf d UU No.31 Tahun 1999, maksudnya adalah pidana tambahan yang berupa penutupan perusahaan, pencabutan hak-hak tertentu dan penghapusan keuntungan tertentu tersebut, mulai diberlakukan sejak pada hari putusan pidana tambahan tersebut dijalankan dan bukan mulai berlaku pada hari mulai terpidana menjalankan pidana tambahan. Sehingga pelaksanaan atau eksekusi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 18 ayat (1) huruf c dan huruf d UU No.31 Tahun 1999 tidak diperlukan, karena sudah dijalankan atau dilaksanakan oleh terpidana sejak pada hari putusan pidana tambahan dibacakan oleh majelis hakim.

Ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU No.31 Tahun 1999, terdapat beberapa ketentuan agar terpidana tindak pidana korupsi yang dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No.31 Tahun 1999 dapat dipidana dengan pidana penjara, apabila terpidana tidak ada lagi memiliki harta benda untuk membayar uang pengganti kerugian keuangan negara dan hasil lelang harta benda kepunyaannya pun tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut. Selain itu, pidana penjara dimaksud terhadap terpidana yang tidak memiliki harta benda untuk membayar uang pengganti tersebut, tidak boleh melebihi ancaman maksimum dari ketentuan dalam undang-undang.

Hakim pada Mahkamah Agung RI menghukum terdakwa DL Sitorus dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dengan ketentuan (subsidiair) apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Denda yang dimaksud dalam putusan Mahkamah Agung RI tersebut pada esensinya sebenarnya sebagai uang pengganti bukan perampasan aset. Sebab jika dibandingkan jumlah denda Rp.5.000.000.000,- dengan keuntungan yang diperoleh terpidana DL Sitorus atas lahan tersebut dinilai terlalu kecil sehingga lebih tepatnya disebut sebagai uang pengganti bukanlah perampasan aset yang mengharuskan seluruh harta terpidana harus dirampas.

Pasal-pasal yang dikenakan Hakim Mahkamah Agung RI dalam putusannya adalah terdakwa DL Sitorus bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 huruf c UU No.3 Tahun 1971 jo Pasal 43A UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) jo Pasal 55 a (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana, dan melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UUPTPK.

Terkait dengan Pasal 28 jo Pasal 34 huruf c UU No.3 Tahun 1971 yang

dikenakan sebagai berikut:

Barang siapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud Pasal 1 ayat (1) sub a, b, c, d, e dan ayat (2) Undang-undang ini, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 30 (tiga puluh) juta rupiah. Selain dari pada itu dapat dijatuhkan juga hukuman tambahan tersebut dapat Pasal 34 sub a, b, dan c Undang-undang ini.88

Sementara dalam Pasal 34 huruf c ditegaskan: “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.89

Jika beberapa perbuatan berhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi Berdasarkan kedua pasal di atas jelas dimengerti bahwa denda sebanyak Rp.5.000.000.000,- tersebut hanya sebagai pembayaran uang pengganti bukanlah sebagai harta rampasan. Dalam hal ini Hakim Mahkamah Agung RI juga mengenakan Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana yang menentukan:

88

Garis bawah dari penulis.

89

kejahatan atau pelanggaran. Jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukuman utamanya.90

Dalam hal peraturan yang terberat hukuman utamanya tidak terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI No.2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL Sitorus. Bahkan dalam putusan tersebut disertakan pula Pasal 43A UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui UU No.20 Tahun 2001 tentang UUPTPK yang ditegaskan berikut:

Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan91 ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut Pasal 43A UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui UU No.20 Tahun 2001 tentang UUPTPK justru jika diikutkan tidak sejalan (tidak cocok di-junto-kan) dengan Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana sebab Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana pada intinya jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah ”peraturan yang terberat hukuman utamanya” sementara di sisi lain ditentukan yakni memberlakukan UU No.3 Tahun 1971 “yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan”.

Dinilai agak aneh jika kedua pasal (Pasal 64 ayat 1 dan Pasal 43A UUPTPK) disertakan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No.2642 K/Pid/2006 atas nama

90

Garis bawah dari penulis.

91

terpidana DL Sitorus. Pasal-pasal yang dilanggar tidak jelas karena terlalu banyak pasal berlapis yang dikenakan yang sebenarnya ada beberapa pasal yang tidak saling terkait seharusnya jika mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku dikenakan Pasal 43A UUPTPK yang menguntungkan terdakwa namun apabila diperhatikan filosofi dan asas-asas pemberantasan tindak pidana korupsi seharusnya yang diberlakukan adalah Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana yakni menghukum terdakwa dengan hukuman yang terberat.

Pengenaan Pasal 55 a (1) ke-1 KUH Pidana terkait dengan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No.2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL Sitorus dianalisis bahwa dalam hukum pidana, ragam bentuk pernyertaan diatur dalam Pasal 55-56 KUH Pidana terdapat terdapat 5 (lima) bentuk penyertaan, yaitu sebagai berikut:

1. Mereka yang melakukan (dader). Satu orang atau lebih yang melakukan

tindak pidana. Pertanggungjawaban masing-masing peserta dinilai atau dihargai sendiri-sendiri atas segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan, dimana masing-masing pihak berdiri sediri dan masing-masing pihak memenuhi seluruh unsur.92

2. Menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam bentuk menyuruh-melakukan,

penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain. Pada prinsipnya, orang yang mau disuruh melakukan tindak pidana adalah orang-orang tidak normal, yaitu anak-anak

92

H.A.K. Moch. Anwar, Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama KUHP, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 39.

dan orang gila. Namun, menurut doktrin, orang yang berada dibawah ancaman atau kekerasan (ada dasar penghapus pidana) juga masuk dalam golongan tidak normal. Yang bisa dipidana hanyalah orang yang menyuruh, karena yang mempunyai niat adalah orang yang menyuruh; walaupun yang memenuhi unsur tindak pidana adalah orang yang disuruh. Jadi, walaupun ada dua pihak yang menyebabkan terjadinya delik, yang dimintai

pertanggungjawaban adalah yang menyuruh.93

3. Mereka yang turut serta (medeplegen). Adalah seseorang yang mempunyai

niat sama dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang diinginkan.94

93

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Pidana Indonesia,(Yogyakarta: Liberty, 2002), hal. 121.

Pihak yang terlibat adalah satu pihak, yang dapat terdiri dari banyak orang, niat dimiliki semua orang dalam pihak tersebut, yang memenuhi unsur, pendapat pertama menyatakan cukup salah satu orang saja yang memenuhi unsur lalu semuanya dianggap memenuhi unsur pula. Pendapat kedua menyatakan tindakan berbeda yang dilakukan orang-orang itu jika digabungkan menjadi memenuhi unsur. Pertanggungjawaban pidana dipegang oleh semuanya. Hal ini dikarenakan kerjasama yang dilakukan bersama-sama secara sadar dan secara kerjasama fisik.

94

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hal. 588-589.

4. Penggerakan (uitlokking). Penggerakan atau dikenal juga sebagai Uitlokking diatur dalam pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Menurut H.A.K. Moch. Anwar, Penggerakan adalah:95

a. Setiap perbuatan menggerakan atau membujuk orang lain untuk

melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang atau diancam dengan hukuman;

b. Dalam membujuk itu harus digunakan cara-cara atau daya upaya

sebagaimana disebutkan dalam pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Dengan demikian di dalam uitlokking setidaknya ada dua pihak, yaitu pihak yang membujuk dan pihak yang terbujuk, dimana pihak yang membujuk melakukan penggerakan dengan cara-cara yang telah ditentukan dalam Pasal 55 Ayat (1) ke-2 KUHP untuk melakukan sesuatu perbuatan yang melawan hukum.

5. Pembantuan (medeplichtigheid). Pada pembantuan pihak yang melakukan

membantu mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia bantu. Niat dari pelaku pembantuan adalah memberikan bantuan untuk melakukan kejahatan kepada pelaku. Tanpa adanya pembantuan tersebut, kejahatan tetap akan terlaksana. Pertanggungjawaban pidana pembantu hanya sebatas pada

kejahatan yang dibantunya saja.96

95

H.A.K. Moch. Anwar, Op. cit, hal. 32.

Wirjono Prodjodikoro membagi pembantuan menjadi dua golongan yakini, perbuatan bantuan pada waktu

96

Loebby Loqman, Percobaan Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta: Universitas Tarumanagara UPT Penerbit, 1995), hal. 80.

tindak pidana dilakukan, dan perbuatan bantuan sebelum pelaku utama bertindak, dan bantuan itu dilakukan dengan cara memberikan kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan golongan pertama tersebut sering dipersamakan dengan turut serta. Sedangkan pembantuan golongan kedua sering dipersamakan dengan penggerakan.97

Berdasarkan ketentuan dalam KUH Pidana, pengenaan Pasal 55 a (1) ke-1 KUH Pidana terkait dengan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No.2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL Sitorus sangat tepat digunakan sebab tindak pidana korupsi yang dilakukan di lahan Regirter 40 Padang Lawas termasuk tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagai tindak penyertaan dimana DL Sitorus adalah sebagai pihak yang bertindak sebagai doen plegen (orang yang menyuruh melakukan). Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh DL. Sitorus, PT. Torus Ganda (PT. Torganda), Pengurus Koperasi Persadaan Masyarakat Ujung Batu (Parsub), dan pengurus Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan beserta warga setempat yang menjadi karyawan yang menanami sawit tanpa ijin dari instansi terkait atas kawasan hutan Negara hingga sampai ± 47.000 Ha.

Dalam putusan Mahkamah Agung RI No.2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL Sitorus juga dikenakan Pasal 2 ayat (1) UUPTPK yaitu:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

97

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, cet. 3, (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2003), hal. 126.

lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh DL. Sitorus, PT. Torus Ganda (PT. Torganda), Pengurus Koperasi Persadaan Masyarakat Ujung Batu (Parsub), dan pengurus Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan yang menanami sawit tanpa ijin dari instansi terkait atas kawasan hutan Negara hingga sampai ± 47.000 Ha menyebabkan berkurangnya luas areal hutan Negara Kawasan Hutan Produksi Padang Lawas, hilangnya perolehan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR), menimbulkan kerugian rehabilitasi yang harus ditanggung oleh

Pemerintah Cq. Departemen Kehutanan RI.98 Dengan demikian perbuatan tersebut

menyebabkan kerugian keuangan negara. Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa