EKSEKUSI BARANG SITAAN BERUPA ASET TIDAK
BERGERAK HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
ATAS NAMA TERPIDANA DARIANUS LUNGGUK SITORUS
TESIS
OLEH :
TULUS YUNUS ABDI 097005061 / HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
EKSEKUSI BARANG SITAAN BERUPA ASET TIDAK
BERGERAK HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
ATAS NAMA TERPIDANA DARIANUS LUNGGUK SITORUS
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH :
TULUS YUNUS ABDI 097005061 / HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
JUDUL TESIS : EKSEKUSI BARANG SITAAN BERUPA ASET TIDAK BERGERAK HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ATAS NAMA TERPIDANA DARIANUS LUNGGUK SITORUS
NAMA : TULUS YUNUS ABDI
N.I.M. : 097005061
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING
Ketua
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum
Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM Dr. Madiasa Ablisar, SH, MH
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum
Telah Diuji Pada
Tanggal : 22 Februari 2012
PANITIA PENGUJI TESIS :
Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum
Anggota : 1. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM
2. Dr. Madiasa Ablisar, SH, MH
3. Dr. M. Hamdan, SH, MH
ABSTRAK
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL Sitorus terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi mengerjakan dan menggunakan kawasan hutan yang dilakukan secara bersama-sama dan dalam bentuk sebagai perbuatan berlanjut. Hakim pada Mahkamah Agung RI menghukum terdakwa DL Sitorus dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dengan ketentuan (subsidiair) apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Eksekusi putusan untuk menyita objek perkara seluas ± 47.000 hektar di Areal Register 40 Padang Lawas secara materil mengalami hambatan-hambatan dari warga setempat.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: pertama, apakah keputusan
Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus telah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dan telah memenuhi rasa keadilan? kedua, bagaimanakah eksekusi
putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus terhadap barang sitaan
berupa aset tidak bergerak di Areal Register 40 Padang Lawas? ketiga, apakah
hambatan-hambatan yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukan dalam eksekusi putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus di Areal Register 40 Padang Lawas?
Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dan melakukan identifikasi data lapangan.
Kesimpulan menggambarkan bahwa putusan Mahkamah Agung RI tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dengan menerapkan kebijakan implementatif berupa kebijakan criminal forfeiture menurut undang-undang tindak pidana korupsi dan secara yuridis telah memenuhi rasa keadilan walaupun keadilan yang diinginkan masyarakat setempat belum terpenuhi. Eksekusi putusan dilakukan secara materil di Areal Register 40 Padang Lawas untuk menyita objek perkara
berupa kawasan hutan seluas ± 47.000 hektar. Hambatan yang dihadapi secara
internal terkait dengan ketidaksiapan, kesalahpahaman, dan ketidakjelasan rencana dari Tim Eksekusi, secara eksternal terkait dengan penolakan massa dan/atau karyawan dengan membawa berbagai macam benda tajam. Tim Eksekusi melakukan upaya pembatalan kegiatan eksekusi dan melakukan upaya sosialisasi melalui pendekatan untuk menjelaskan kepada massa dan/atau karyawan mengenai kejelasan eksekusi.
ABSTRACT
Based on the Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number; 2642 K/Pid/2006 on behalf of the convicted, DL Sitorus, who has been legally and convincingly proven guilty of committing corruption by jointly working on and using the forest area in the form of continuous action. The judge of the Indonesian Supreme Court punished the convicted DL Sitorus 8-year imprisonment and fine of Rp. 5,000,000,000.00 (five billions rupiah) with the subsidiary of if the fine is not paid, it will be replaced by 6-month imprisonment. The decision to execute the confiscation of the case object of about 47,000 hectares in the Register 40 area in Padang Lawas materially had constraints performed by the local residents.
The purpose of this study was to analyze: first, whether the decision made by the Indonesian Supreme Court on behalf of the convicted, DL Sitorus, has met the existing applicable provisions and the sense of justice; second, how the execution of
the decision made by the Indonesian Supreme Court on behalf of the convicted, DL Sitorus, were implemented on the confiscated goods in the form of immovable
assets in Register 40 area in Padang Lawas; and third, the constraints faced and efforts done in the execution of the decision made by the Indonesian Supreme Court on behalf of the convicted, DL Sitorus, in Register 40 area in Padang Lawas.
This study used the normative legal research method referring to the legal norms and principles stated in the regulations of legislation and court decision. The data for this study were obtained by studying the relevant documents and doing data identification in the field.
The result of this study showed that the decision made by the Indonesian Supreme Court has met the existing applicable provisions of law by applying the implemental policy in the form of criminal forfeiture in accordance with the law on corruption and juridically, this decision has met the sense of justice even though the justice desired by the local residents are not yet met. The execution of the decision was materially done in Register 40 area in Padang Lawas to confiscate the case object in the form of a forest area of about 47,000 hectares. The constraints faced were internally related to the unpreparedness, misunderstanding and unclear plan of the Execution Team, and externally related to the rejection of mass and/or employees who were armed with various sharp objects. The Execution Team cancelled the execution activity and approached the mass and/or the employees to socialize and explain the decision of execution to them.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan studi untuk
memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) di Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian
tentang, “Eksekusi Barang Sitaan Berupa Aset Tidak Bergerak Hasil Tindak Pidana
Korupsi Dalam Putusan Makamah Agung Republik Indonesia Atas Nama Terpidana
Darianus Lungguk Sitorus” dan telah dinyatakan lulus dalam yudisium dengan baik
dan tepat pada waktunya pada tanggal 22 Pebruary 2012.
Dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, M.Sc (CTM). Sp.A (K);
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung
Sitepu, SH, M.Hum;
3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH, telah
banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan selalu mengingatkan
tesis sampai pada akhirnya meja hijau;
4. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
5. Syafaruddin S. Hasibuan, SH, MH DFM, selaku Anggota Komisi Pembimbing I
juga telah banyak memberikan koreksi untuk perbaikan dan mengarahkan penulis
sampai kepada selesainya penelitian ini;
6. Dr. Madiasa Ablisar, SH, MH, selaku Anggota Komisi Pembimbing II juga telah
banyak memberikan koreksi untuk perbaikan dan mengarahkan penulis sampai
kepada selesainya penelitian ini;
7. Seluruh Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh teman-teman
Mahasiswa Pascasarjana USU yang telah banyak memberikan dukungan dan
bantuannya;
8. Seluruh Pegawai Adminstrasi Pascasarjana Ilmu Hukum yang membantu dalam
dalam melancarkan segala urusan berkenaan dengan administrasi dan informasi;
9. Orang Tua ku, Ayahanda: F.M. Tampubolon dan Ibunda: A. Sibuea, yang setiap
waktu dan sepanjang hari tidak lupa mendoakan penulis agar mencapai
cita-citanya;
10.Kakanda: R. Mawarni br. Tampubolon beserta abang ipar: W. Marpaung,
kembaranku: Asrina br. Tampubolon besera iparku: H. Panjaitan yang selalu
mendukung penulis dalam meraih cita-cita;
11.Adek-adekku: David Tampubolon dan Andre Tampubolon, semoga dengan
melihat abangnya meraih cita-cita hingga meraih Magister hendaknya menjadi
dorongan memunculkan semangat bagi mereka dan termotivasi untuk maju dalam
Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini
memberi manfaat bagi semua pihak dan menambah serta memperkaya wawasan ilmu
pengetahuan.
Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan substansi dalam penelitian
ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan
ke depannya. Semoga penulis lebih giat lagi menambah wawasan ilmu pengetahuan
di masa-masa yang akan datang. Tuhan Yesus Memberkati. Amen.
Medan, Pebruary 2012
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Tulus Yunus Abdi, SH
Tempat/Tanggal Lahir : Medan/02 Agustus 1986.
Jenis Kelamin : Laki-Laki.
Agama : Kristent .
Alamat : Jl. Pelajar No. 35 Kelurahan Teladan Timur
Kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara.
Pendidikan Formal : - Sekolah Dasar Santo Antonius VI Medan (Lulus
Tahun 1998);
- Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Medan (Lulus
Tahun 2001);
- Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Medan (Lulus
Tahun 2004);
- S-1 Fakultas Hukum Universitas Pembangunan
Panca Budi (Lulus Tahun 2009);
- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 16
E. Keaslian Penelitian ... 17
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 17
1. Kerangka Teori... 17
2. Landasan Konsepsional ... 29
G. Metode Penelitian ... 30
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 31
2. Sumber Data ... 31
3. Teknik Pengumpulan Data ... 32
BAB II : PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI ATAS NAMA TERPIDANA DL SITORUS MENURUT KETENTUAN YANG
BERLAKU DAN RASA KEADILAN ... 34
A. Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh DL Sitorus ... 34
B. Putusan Terhadap Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh DL Sitorus ... 41
1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ... 41
2. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ... 44
3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ... 47
C. Perbedaan Penafsiran Dalam Amar Putusan PT DKI Jakarta Dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ... 49
D. Putusan Mahkamah Agung RI Menurut Ketentuan yang Berlaku dan Rasa Keadilan ... 61
BAB III : EKSEKUSI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI ATAS NAMA TERPIDANA DL SITORUS TERHADAP BARANG SITAAN BERUPA ASET TIDAK BERGERAK DI AREAL REGISTER 40 PADANG LAWAS ... 82
A. Eksekusi Putusan Pengadilan ... 82
B. Objek dan Pihak-Pihak yang Dilibatkan Dalam Eksekusi Berupa Aset Tindak Bergerak di Areal Register 40 Padang Lawas ... 88
C. Ketidakjelasan Batas-Batas Objek yang Dieksekusi... 94
D. Eksekusi Putusan Mahkamah Agung RI Terhadap Barang Sitaan
BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI DAN UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM EKSEKUSI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI ATAS NAMA TERPIDANA DL
SITORUS DI AREAL REGISTER 40 PADANG LAWAS ... 107
A. Hambatan Internal ... 107
B. Hambatan Eksternal ... 110
C. Upaya-Upaya yang Dilakukan Dalam Menghadapi Hambatan-Hambatan ... 111
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 117
A. Kesimpulan ... 117
B. Saran ... 119
ABSTRAK
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL Sitorus terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi mengerjakan dan menggunakan kawasan hutan yang dilakukan secara bersama-sama dan dalam bentuk sebagai perbuatan berlanjut. Hakim pada Mahkamah Agung RI menghukum terdakwa DL Sitorus dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dengan ketentuan (subsidiair) apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Eksekusi putusan untuk menyita objek perkara seluas ± 47.000 hektar di Areal Register 40 Padang Lawas secara materil mengalami hambatan-hambatan dari warga setempat.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: pertama, apakah keputusan
Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus telah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dan telah memenuhi rasa keadilan? kedua, bagaimanakah eksekusi
putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus terhadap barang sitaan
berupa aset tidak bergerak di Areal Register 40 Padang Lawas? ketiga, apakah
hambatan-hambatan yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukan dalam eksekusi putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus di Areal Register 40 Padang Lawas?
Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dan melakukan identifikasi data lapangan.
Kesimpulan menggambarkan bahwa putusan Mahkamah Agung RI tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dengan menerapkan kebijakan implementatif berupa kebijakan criminal forfeiture menurut undang-undang tindak pidana korupsi dan secara yuridis telah memenuhi rasa keadilan walaupun keadilan yang diinginkan masyarakat setempat belum terpenuhi. Eksekusi putusan dilakukan secara materil di Areal Register 40 Padang Lawas untuk menyita objek perkara
berupa kawasan hutan seluas ± 47.000 hektar. Hambatan yang dihadapi secara
internal terkait dengan ketidaksiapan, kesalahpahaman, dan ketidakjelasan rencana dari Tim Eksekusi, secara eksternal terkait dengan penolakan massa dan/atau karyawan dengan membawa berbagai macam benda tajam. Tim Eksekusi melakukan upaya pembatalan kegiatan eksekusi dan melakukan upaya sosialisasi melalui pendekatan untuk menjelaskan kepada massa dan/atau karyawan mengenai kejelasan eksekusi.
ABSTRACT
Based on the Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number; 2642 K/Pid/2006 on behalf of the convicted, DL Sitorus, who has been legally and convincingly proven guilty of committing corruption by jointly working on and using the forest area in the form of continuous action. The judge of the Indonesian Supreme Court punished the convicted DL Sitorus 8-year imprisonment and fine of Rp. 5,000,000,000.00 (five billions rupiah) with the subsidiary of if the fine is not paid, it will be replaced by 6-month imprisonment. The decision to execute the confiscation of the case object of about 47,000 hectares in the Register 40 area in Padang Lawas materially had constraints performed by the local residents.
The purpose of this study was to analyze: first, whether the decision made by the Indonesian Supreme Court on behalf of the convicted, DL Sitorus, has met the existing applicable provisions and the sense of justice; second, how the execution of
the decision made by the Indonesian Supreme Court on behalf of the convicted, DL Sitorus, were implemented on the confiscated goods in the form of immovable
assets in Register 40 area in Padang Lawas; and third, the constraints faced and efforts done in the execution of the decision made by the Indonesian Supreme Court on behalf of the convicted, DL Sitorus, in Register 40 area in Padang Lawas.
This study used the normative legal research method referring to the legal norms and principles stated in the regulations of legislation and court decision. The data for this study were obtained by studying the relevant documents and doing data identification in the field.
The result of this study showed that the decision made by the Indonesian Supreme Court has met the existing applicable provisions of law by applying the implemental policy in the form of criminal forfeiture in accordance with the law on corruption and juridically, this decision has met the sense of justice even though the justice desired by the local residents are not yet met. The execution of the decision was materially done in Register 40 area in Padang Lawas to confiscate the case object in the form of a forest area of about 47,000 hectares. The constraints faced were internally related to the unpreparedness, misunderstanding and unclear plan of the Execution Team, and externally related to the rejection of mass and/or employees who were armed with various sharp objects. The Execution Team cancelled the execution activity and approached the mass and/or the employees to socialize and explain the decision of execution to them.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Praktik-praktik korupsi yang diekspos oleh media semakin meningkatkan
persepsi terhadap korupsi sudah seperti sebuah penyakit apalagi di akhir masa orde
baru bahkan pada orde reformasi korupsi hampir dapat ditemui dimana-mana.
Korupsi selalu bermula dan berkembang di sektor publik dengan menggunakan
kekuasaan, pejabat publik dapat menekan pelayanan jasa pemerintah.1 Bahkan
Juniadi Soewartojo, mengatakan, tindak pidana korupsi di Indonesia sedemikian
parah dan akut seperti “penyakit sosial”.2
Secara historis, fenomena korupsi sejak lama sudah ada tetapi baru menarik
perhatian dunia sejak berakhirnya perang dunia kedua dan dapat dikatakan bahwa
korupsi sudah menjadi masalah bangsa dari masa ke masa dalam rentang waktu yang
cukup lama.
3
1
Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hal. 1.
Korupsi bahkan sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, buktinya
pada jaman penjajahan kolonial dikenal adanya tradisi memberikan upeti oleh
beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat. Setelah perang dunia
2
Juniadi Soewartojo, Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan Dalam Penanggulangannya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 4. Lihat juga: Ermansyah Djaja,
Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 1. Lihat juga: Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1977), hal. 99. Korupsi berkaitan erat dengan kekuasaan, dengan menyalahgunakan kekuasaan, menyebabkan perkembangan korupsi sulit diberantas, sebab sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan tidak terawasi secara baik. Landasan hukum yang digunakan pun mengandung banyak kelemahan dalam implementasinya. Didukung pula oleh sistem check and balances yang lemah di antara ketiga kekuasaan pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) membuat korupsi menjadi membudaya.
3
kedua, muncul era baru yakni gejolak korupsi di negara-negara yang sedang
berkembang.4
Nampaknya semakin ditindak kasus-kasus korupsi itu semakin meluas pula
modus operandinya, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Korupsi semakin terpola dan tersistematis serta terorganisir, lingkupnya meluas ke
seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara, korupsi secara nasional
disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), tetapi juga
kejahatan transnasional.
5
Korupsi semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku
maupun dari modus operandinya, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkupnya,
korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim yang menyengsarakan rakyat,
menghancurkan perekonomian negara, mengurangi kepercayaan publik dan investor
luar negeri.6
Fenomena korupsi yang semakin terjadi saat ini mengganggu dan
menghambat pembangunan nasional karena korupsi telah mengakibatkan terjadinya
kebocoran keuangan negara yang justru sangat memerlukan dana yang besar di masa
terjadinya krisis ekonomi dan moneter. Terpuruknya perekonomian Indonesia yang
terus menerus dapat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat,
berbangsa dan bernegara.7
4 Ibid.
5
Marwan Effendy, ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, hal. 1.
6
Harian Medan Bisnis, tanggal 3 Desember 2009, ”Fenomena Korupsi di Indonesia”.
Korupsi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi khususnya di negara
miskin, menghalangi perkembangan ekonomi berdampak pada semakin
memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Berbeda halnya dengan
korupsi di negara maju tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian negaranya,
tetapi korupsi di negara maju tetap saja dapat menggoyahkan keabsahan politik di
negara demokrasi yang maju industrinya. Korupsi dapat pula menghancurkan
negara-negara yang sedang berkembang (mengalami transisi) seperti di Indonesia, apabila
tidak dihentikan, korupsi dapat menghambat pelaksanaan demokrasi dan stabilitas
ekonomi pasar di Indonesia.8
Korupsi mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak
lembaga-lembaga, nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika, dan keadilan serta menghambat
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bagi negara-negara yang
menghadapi fenomena korupsi.9 Perkembangan korupsi saat ini bahkan dapat disertai
dengan tindak pidana lain terkait dengan upaya menyembunyikan aset-aset hasil
korupsi melalui pencucian uang (money laundering).10 Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) mendiskripsikan korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas
dan keamanan masyarakat, melemahkan institusi, dan merusak demokrasi.11
8
Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hal. 1-2.
9
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 1.
10
Ibid., hal. 47.
11
Korupsi dilakukan oleh orang-orang yang menduduki kekuasaan tertentu dan
orang-orang yang memiliki kekuasaan dari segi finansial, seolah-olah pelakunya tidak
menunjukkan rasa malu dan tidak takut bahkan memamerkan hasil korupsinya.12
Dampaknya dapat membahayakan stabilitas keamanan negara dan masyarakat,
membahayakan pembangunan sosial, politik, ekonomi masyarakat, dan dapat pula
merusak nilai-nilai demokrasi, serta menurunkan tingkat kepercayaan negara-negara
di dunia untuk turut serta berinvestasi dalam dunia bisnis.13
Tindak pidana korupsi berpola pada tindakan yang tidak bermoral, tidak etis,
dan melanggar hukum itu,14 karenanya harus diberantas dengan melibatkan
keterpaduan institusi atau lembaga dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System)15 secara optimal dan terpadu meliputi serangkaian tindakan Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai suatu sub sistim
hukum yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lainnya.16
Sehubungan dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia
sebagaimana diuraikan di atas, persoalan yang tidak kalah pentingnya terjadi pada
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL
Sitorus dengan objek perkara di Areal Register 40 Padang Lawas. Putusan tersebut
telah berkekuatan hukum tetap yang diputuskan Mahkamah Agung RI tanggal 12
12
Soetanto Soepiadhy, ”Gerakan Indonesia Patut”, Artikel Mingguan Pada Kolom Opini
Suara Sejati, Jakarta, Edisi 10 Tahun I Tanggal 16-18 September 2005, hal. 2.
13
Ermansyah Djaja, Op. cit., hal. 3.
14
Juniadi Soewartojo, Op. cit., hal. 5.
15
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 135.
16
Februari 2007. Namun, kemudian muncul persoalan dalam hal pelaksanaan
(eksekusi) putusan terkait dengan kasus tindak pidana korupsi atas nama terdakwa
Darianus Lungguk Sitorus (DL Sitorus) yang diajukan kasasi ke Mahkamah Agung
Republik Indonesia (Mahkamah Agung RI) oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Perbuatan terdakwa DL. Sitorus, PT. Torus Ganda (PT. Torganda), Pengurus
Koperasi Persadaan Masyarakat Ujung Batu (Parsub), dan pengurus Koperasi
Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan dilakukan secara bertahap,
berlanjut, dan berlangsung secara terus-menerus hingga bulan Nompember 2004
selesai ditanami kelapa sawit ± 24.000 Ha.17 Terhadap perbuatan terdakwa tersebut
telah merugikan lahan atau sebagai objek perkara atas kawasan hutan Negara hingga
sampai ± 47.000 Ha menyebabkan berkurangnya luas areal hutan Negara Kawasan
Hutan Produksi Padang Lawas, hilangnya tegakan Kayu Bulat Besar (KKB) jenis
kayu meranti berdiameter 30 cm ke atas yang diperhitungkan sebanyak 27,99 m2/Ha
dan Kayu Bulat Sedang (KBS) berdiameter antara 20-29 cm yang diperhitungkan
sebanyak 2,10 m2
17
Sesuai dengan surat yang dibuat dan ditandatangani oleh terdakwa DL. Sitorus No.164/Ta/Menhut/XI/2004 tanggal 25 Nopember 2004, yang menyatakan telah menanami kelapa sawit seluas ± 24.000 Ha di Kawasan Hutan Produski Padang Lawas. Lihat juga: Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2642 K/Pid/2006, hal. 43 dari 107 halaman.
/Ha. Selain itu, perbuatan terdakwa menimbulkan hilangnya
menimbulkan kerugian rehabilitasi yang harus ditanggung oleh Pemerintah Cq.
Departemen Kehutanan RI.18
Terhadap objek perkara yang diputus oleh Hakim Mahkamah Agung RI
tersebut meliputi: Perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Padang Lawas seluas ±
23.000 Ha yang dikuasai oleh Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit
Harapan dan PT. Torganda beserta seluruh bangunan yang ada di atasnya; dan
Perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Padang Lawas seluas ± 24.000 Ha yang
dikuasai oleh Koperasi Persadaan Masyarakat Ujung Batu (Parsub) dan PT.
Torganda. Sehingga total lahan yang akan dieksekusi adalah ± 47.000 Ha berikut
bangunan yang ada di atasnya. Lahan seluas ± 47.000 Ha dan berikut bangunan yang
ada di atasnya tersebut telah dieksekusi secara formil (administratif) di Kejaksaan
Negeri (Kejari) Padang Sidimpuan Propinsi Sumatera Utara namun secara materil di
lapangan terkendala oleh berbagai faktor dari warga atau masyarakat setempat tidak
setuju dilakukan eksekusi.
Putusan Hakim Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 telah
berkekuatan hukum tetap. Sebab, berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK)
Mahkamah Agung RI No.39 PK/Pid.Sus/2007 tertanggal 16 Juni 2008 yang
dimohonkan oleh terdakwa DL. Sitorus, Mahkamah Agung RI menolak permohonan
PK tersebut.19
18
Ibid., hal. 44 dari 107 halaman.
Hakim Mahkamah Agung RI tetap beralasan dalam putusannya yang
19
menyatakan terdakwa DL Sitorus terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah
melakukan tindak pidana korupsi ”mengerjakan dan menggunakan kawasan hutan
secara tidak sah yang dilakukan secara bersama-sama dan dalam bentuk sebagai
perbuatan berlanjut”. Hakim pada Mahkamah Agung RI menghukum terdakwa DL
Sitorus dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda
Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dengan ketentuan (subsidiair) apabila denda
tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.20
Berdasarkan tuntutan JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanggal 28 Juli
2006, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusannya
No.481/Pid.B/2006/PN.Jkt.Pst sependpat dalam putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 2642 K/Pid/2006 atas nama terpidana DL Sitorus, menjatuhkan putusan
sebagai berikut:
21
1. Menyatakan terdakwa DL Sitorus bersalah melakukan tindak pidana korupsi
secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) sub a
jo Pasal 28 jo Pasal 34 huruf c UU No.3 Tahun 1971 jo Pasal 43A UU No.31
Tahun 1999 sebagaimana telah direvisi melalui UU No.20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) jo Pasal 55 a (1)
ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UUPTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo
Pasal 64 ayat (1) KUHP;
20
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2642 K/Pid/2006, hal. 91 dari 107 halaman.
21
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa DL Sotorus dengan pidana penjara 12
(dua belas) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan
perintah supaya terdakwa ditahan, dan membayar denda sebesar
Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidiair 6 (enam) bulan kurungan;
3. Membayar uang pengganti sebesar Rp.323.655.640.000 (tiga ratus dua puluh
tiga milyar enam ratus lima puluh lima juta enam ratus empat puluh ribu
rupiah), jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam
waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal terpidana tidak mempunyai harta
benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana
penjara selama 5 (lima) tahun.
Ketentuan pemberlakuan UU No.3 Tahun 1971 menurut ketentuan peralihan
Pasal 43A ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah direvisi melalui UU
No.20 Tahun 2001 menegaskan bahwa UU No.3 Tahun 1971 dapat diberlakukan
apabila melanggar Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 13
UU No.31 Tahun 1999. Selain itu, Pasal 43A ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 hanya
dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi
yang nilainya kurang dari Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Terhadap putusan Majelis Hakim PN Jakpus tersebut, terdakwa DL Sitorus
melalui kuasanya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan oleh
11 Oktober 2006 menjatuhkan putusan terhadap kasus korupsi DL Sitorus tersebut
dengan manyatakan: membatalkan putusan Majelis Hakim PN Jakpus
No.481/Pid.B/2006/PN.Jkt.Pst tertanggal 28 Juli 2006 yang dimintakan banding
tersebut sebagaimana disebutkan di atas. Majelis Hakim PT. DKI Jakarta juga
menyatakan Surat Dakwaan JPU dengan register No.: PDS-01/Jkt.Pst/03/2006
tertanggal 06 Maret 2006 tidak dapat diterima dan memerintahkan agar terdakwa DL
Sitorus segera dikeluarkan dari tahanan.22
Berdasarkan putusan Majelis Hakim PT. DKI Jakarta
No.194/Pid/2006/PT.DKI tertanggal 11 Oktober 2006 yang membatalkan dakwaan
JPU tersebut, JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat kemudian mengajukan kasasi.
Mahkamah Agung RI setelah membaca, memeriksa, dan mengadili perkara korupsi
atas terdakwa DL Sitorus mengabulkan permohonan kasasi dari JPU Kejaksaan
Negeri Jakarta Pusat, membatalkan putusan Majelis Hakim PT. DKI Jakarta
No.194/Pid/2006/PT.DKI tertanggal 11 Oktober 2006 yang telah membatalkan
putusan PN Jakpus No.481/Pid.B/2006/PN.Jkt.Pst tertanggal 28 Juli 2006. Sehingga
dalam putusan Mahkamah Agung RI diputuskan bahwa terdakwa DL Sitorus terbukti
secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi
”mengerjakan dan menggunakan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan
secara bersama-sama dan dalam bentuk sebagai perbuatan berlanjut”. Hakim pada
Mahkamah Agung RI menghukum terdakwa DL Sitorus dengan pidana penjara
22
selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)
dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan
selama 6 (enam) bulan.23
Menurut Mahkamah Agung yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut
menyatakan dalam putusan Majelis Hakim PT. DKI Jakarta
No.194/Pid/2006/PT.DKI tertanggal 11 Oktober 2006, Hakim PT. DKI Jakarta keliru
dengan alasan: Surat Dakwaan JPU register No.: PDS-01/Jkt.Pst/03/2006 tertanggal
06 Maret 2006 tidak dapat diterima karena masalah Surat Dakwaan tidak dapat
diterima termasuk dalam ruang lingkup eksepsi dalam Pasal 156 KUHAP sehingga
Majelis Hakim PT. DKI Jakarta memutus perkara tersebut di luar kewenangannya
atau melampaui batas kewenangan. Majelis Hakim PT. DKI Jakarta juga keliru
menyatakan terdapat perselisihan persengketaan hak yang dirujuknya kepada Pasal 15
UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya mengenai penunjukan dan
penetapan kawasan hutan. Semua alasan-alasan yang diuangkapkan oleh Majelis
Hakim PT. DKI Jakarta dijawab berdasarkan alasan-alasan hukum oleh Mahkamah
Agung RI dan membatalkan putusan PT. DKI Jakarta No.194/Pid/2006/PT.DKI
tertanggal 11 Oktober 2006 tersebut.
Suatu hal yang menarik dilakukan penelitian dalam kasus korupsi atas nama
terpidana DL Sitorus berkaitan dengan disparitas atau perbedaan alasan hukum yang
diungkapkan oleh PT. DKI Jakarta dengan Mahkamah Agung. Selain itu, terkait pula
kendala atau hambatan-hambatan dalam pelaksanaan putusan Mahkamah Agung RI
23
Nomor: 2642 K/Pid/2006 yang menghukum terdakwa DL Sitorus karena telah
terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi
”mengerjakan dan menggunakan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan
secara bersama-sama dan dalam bentuk sebagai perbuatan berlanjut”.
Putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus telah
memperoleh kekuatan hukum tetap pada tanggal 12 Februari 2007. Menteri
Kehutanan RI melalui Surat Nomor: S.539/Menhut-IV/2009 tertanggal 13 Juli 2009
menunjuk Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sebagai koordinator dalam persiapan
eksekusi terhadap putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006.24
Berdasarkan Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan (P-48) Nomor:
Print-223/N.2/Fuh.1/08/2009 tertanggal 25 Agustus 2009 sehari setelah
dikeluarkannya P-48 tersebut dilakukan penandatanganan Berita Acara Penyerahan
Barang Rampasan (BA-22) oleh Agus Djaya, SH (Asisten Tindak Pidana Khusus
Kejati Sumut) selaku pihak pertama dan Ir. J. B. Siringo-Ringo (Kepala Dinas
Kehutanan Provinsi Sumut) selaku pihak kedua yang disaksikan oleh pihak
Kejaksaan, Kehutanan, Polda, DPRD, Pangdam, dan Gubernur Sumut pada tanggal
26 Agustus 2009 di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.
Eksekusi materil terhadap putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642
K/Pid/2006 atas objek eksekusi seluas ± 47.000 Ha di Areal Kawasan Hutan Register
40 Padang Lawas mengalami hambatan-hambatan dari warga setempat. Ketika
24
sosialisasi pertama dilakukan antara bulan Oktober s/d Desember 2010, masyarakat
setempat yang terdiri dari lebih kurang 9.500 KK25
Perekonomian masyarakat setempat sangat bergantung kepada pengelolaan
Areal Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas yang dijadikan DL. Sitorus menjadi
lahan perkebunan sawit seluas ± 47.000 Ha tersebut. Sosialisasi dilakukan dalam 3
(tiga) tahapan. Sosialisasi I tanggal 21 Agustus 2008 sekitar pukul 12.00 WIB Tim
Peninjau Lokasi dan Sosialisasi dihadang massa pendemo yang terdiri dari karyawan
PT. Torganda sebanyak ± 5.000 orang dengan memegang egrek, dodos, dan bambu
runcing serta menyanyikan lagu wajib Maju Tak Gentar yang dipimpin oleh Nimrot
Sitorus (wakil pendemo) selaku Sekretaris Umum PT. Torganda merangkap sebagai
Juru Bicara dan Hendrik Siburian sebagai Pimpro Bukit Harapan I. Gerbang masuk
telah diblokir oleh pendemo dengan lima unit turck colt diesel dan diantara truk-truk
tersebut disisipkan para karyawan pendemo.
melakukan demonstrasi di
hadapan Tim Eksekutor dan mengatakan tidak setuju dan menolak eksekusi tersebut.
26
Pendemo yang diwakili oleh Nimrot Sitorus tidak memberikan kesempatan
bicara pada saat Nazar Makmur, SH. MM (Kasi Intel) hendak menjelaskan maksud
kedatangan ke lokasi objek tersebut. Nimrot Sitorus mengatakan pihak PT. Torganda
25
Laporan Hasil Rapat Persiapan Pelaksanaan Eksekusi Putusan Mahkamah Agung RI No.2642 K/PID/2006, Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Marendal-Medan, Nomor: S. 28 /BBKSDA SU-1/RHS/2008, hal. 1. Lihat juga: Riwayat Penanganan Perkara an. Terpidana Darianus Lungguk Sitorus, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, hal. 5.
26
bersama karyawan tidak menyetujui adanya eksekusi dan tetap tidak mau
mendengarkan penjelasan dari Tim Sosialisasi yang dipimpin oleh Kejaksaan
tersebut. Putusan Hakim Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 atas nama
terpidana DL. Sitorus dinilainya tidak sah dengan alasan putusan tersebut berbeda
atau bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Agung RI Reg. No.
134/TUN/2007 yang menyebutkan batalnya surat Menteri Kehutanan No.
S.419/Menhut-II/2004 tanggal 13 Oktober 2004.
Pelaksanaan sosialisasi tahap II dilaksanakan pada tanggal 18 September 2008
tetap mengalami kendala yang sama bahkan telah dilakukan eksekusi tahap III pada
bulan Oktober 2008 namun warga masyarakat tetap juga menolak eksekusi. Hasil
peninjauan lapangan dan sosialisasi tahap III dijadikan sebagai dasar penyusunan
rencana pengamanan oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara yang melibatkan
Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan. Hingga sampai saat dilakukan
penelitian ini, eksekusi secara fisik (materil) belum terlaksana sesuai dengan yang
diharapkan.
Dalam eksekusi tahap III seperti yang diberitakan media massa Kejaksaan
Tinggi Sumatera Utara bersama-sama pihak terkait membahas langkah yang akan
diambil menjelang eksekusi serta pembentukan Tim sebagai pendamping pihak
Kejaksaan selaku Eksekutor di lapangan. Erbindo mengatakan, salah satu langkah
yang disepakati, Tim dibentuk akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat
amuk massa saat eksekusi dilaksanakan.27 Walaupun eksekusi fisik dilaksanakan,
secara hajat hidup tidak akan mengganggu mata pencaharian masyarakat yang
mengelola lahan tersebut. Sebab Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan
(Dephut) RI tetap akan menunggu hingga lahan yang ditanami sawit selesai masa
panen.28
Sehubungan dengan uraian di atas, menarik perhatian untuk dikaji dan penting
untuk dilakukan penelitian tentang ”Eksekusi Barang Sitaan Berupa Aset Tidak
Bergerak Hasil Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Atas Nama Terpidana Darianus Lungguk Sitorus”. Mengingat bahwa
apabila eksekusi terhadap lahan seluas ± 47.000 Ha tersebut tidak terlaksana, menurut
risalah penanganan perkara oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, maka total
kerugian Negara atas masih dikuasainya asset Negara oleh DL. Sitorus terhitung
sejak putusan Hakim Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 tertanggal 12
Februari 2007 diperkirakan ± Rp.409.689.000.000,- (empat ratus sembilan milyar
enam ratus delapan puluh sembilan juta rupiah).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, diperoleh tiga
pokok permasalahan yang diteliti, yaitu:
27
Harian Analisa, Kamis, Tanggal 30 September 2010. ”Kejatisu Eksekusi Fisik Lahan DL. Sitorus, Oktober 2010”, hal. 7.
1. Apakah keputusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus telah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan telah memenuhi rasa keadilan?
2. Bagaimanakah eksekusi putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana
DL Sitorus terhadap barang sitaan berupa aset tidak bergerak di Areal
Register 40 Padang Lawas?
3. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukan
dalam eksekusi putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana DL Sitorus
di Areal Register 40 Padang Lawas?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukan penelitian terkait dengan eksekusi putusan MA atas
tindak pidana korupsi yang dilakukan DL. Sitorus tersebut adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami keputusan Mahkamah Agung RI atas nama
terpidana DL Sitorus menurut ketentuan yang berlaku dan rasa keadilan.
2. Untuk mengetahui dan memahami eksekusi putusan Mahkamah Agung RI
atas nama terpidana DL Sitorus terhadap barang sitaan berupa aset tidak
bergerak di Areal Register 40 Padang Lawas.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dan upaya-upaya yang
dilakukan dalam eksekusi putusan Mahkamah Agung RI atas nama terpidana
D. Manfaat Penelitian
Manfaat suatu penelitian yang penting adalah memberikan kontribusi terhadap
pihak-pihak terkait, baik secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir
dalam memahami serta mendalami permasalahan hukum khususnya
pemahaman tentang eksekusi putusan Mahmakah Agung atas tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh terpidana DL. Sitorus; dan
2. Secara praktis, bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum yakni:
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, Kementerian Kehutanan RI, lembaga
atau instansi terkait misalnya DPR, DPRD, Gubernur, Bupati, agar dapat lebih
mengetahui dan memahami tentang peranannya sebagai institusi yang
diharapkan dalam pelaksanaan putusan Mahkamah Agung RI atas tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana DL. Sitorus serta melakukan
koordinasi lebih lanjut secara terpadu.
E. Keaslian Penulisan
Keaslian penelitian ini dibuat bertujuan untuk menghindari terjadinya
duplikasi penelitian terhadap judul dan permasalahan yang sama. Oleh sebabnya,
terlebih dahulu telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera
Utara dan di perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Hasil dari
penelusuran tidak ditemukan satupun judul dan masalah yang sama dengan penelitian
pidana korupsi (studi kasus: putusan Mahkamah Agung RI nomor: 2642 K/Pid/2006
tanggal 12 Februari 2007 an. terpidana Darianus Lungguk Sitorus) baru pertama kali
dilakukan penelitian tentang judul dan permasalahan dimaksud. Sehingga dengan
demikian, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini adalah asli dan tidak
mengandung unsur plagiat terhadap karya tulis milik orang lain.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Tindak pidana korupsi merupakan suatu tindakan yang melanggar
norma-norma hukum yang berlaku seperti mengabaikan rasa kasih sayang dan
tolong-menolong dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat dengan mementingkan diri
pribadi atau keluarga atau kelompok atau golongannya dan yang tidak mengikuti atau
mengabaikan pengendalian diri sehingga kepentingan lahir dan batin, jasmani dan
rohaninya tidak seimbang, tidak serasi, dan tidak selaras. Mengutamakan kepentingan
lahir berupa meletakkan nafsu duniawi yang berlebihan sehingga merugikan
keuangan atau kekayaan negara dan/atau kepentingan masyarakat atau negara, baik
secara langsung maupun tidak langsung.29
Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh DL. Sitorus, PT. Torus Ganda
(PT. Torganda), Pengurus Koperasi Persadaan Masyarakat Ujung Batu (Parsub), dan
pengurus Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan yang menanami
sawit tanpa ijin dari instansi terkait atas kawasan hutan Negara hingga sampai ±
29
47.000 Ha menyebabkan berkurangnya luas areal hutan Negara Kawasan Hutan
Produksi Padang Lawas, hilangnya perolehan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH),
Dana Reboisasi (DR), menimbulkan kerugian rehabilitasi yang harus ditanggung oleh
Pemerintah Cq. Departemen Kehutanan RI.30
Dalam Pasal 23 Bab VIII UUD 1945 tentang “Hal Keuangan”, pengaturan
keuangan negara dalam UUD 1945 yang sangat singkat tersebut menjadi titik awal
pengaturan keuangan negara di Indonesia. Meskipun rumusannya sangat singkat,
tidak berarti pasal tersebut tidak mengandung makna secara filosofis, yuridis, maupun
historis.
Dengan demikian perbuatan tersebut
menyebabkan kerugian keuangan negara.
31
30
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2642 K/Pid/2006, Op. Cit, hal. 44 dari 107 halaman.
Definisi keuangan negara bersifat plastis, tergantung kepada sudut
pandang, apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah, maka yang
dimaksud keuangan negara adalah APBN, apabila berbicara keuangan negara dari
sudut pemerintah daerah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBD, demikian
seterusnya dengan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Negara maupun Perum. Dengan
kata lain definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD,
Perusahaan Jawatan, Perusahaan Negara maupun Perum dan sebagainya. Keuangan
31
negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang
mengelola dan mempertanggungjawabkannya.32
Memperhatikan bahwa kerugian yang ditimbulkan dari kawasan hutan Negara
yang dikelola DL. Sitorus hingga sampai ± 47.000 Ha tersebut dapat dikatakan bahwa
tindakan tersebut merugikan keuangan negara. Pendekatan yang digunakan diambil
dari teori keuangan negara yang dikemukakan Erman Rajagukguk dalam
merumuskan keuangan negara meliputi sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Sisi
obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta
segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sisi subyek yang
dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek adalah dimiliki oleh
negara dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan
negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Keuangan negara jika dipandang dari sisi prosesnya mencakup seluruh rangkaian
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas
mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban. Keuangan negara dari sisi tujuannya meliputi seluruh
kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
32
penguasaan obyek. Erman Rajagukguk mendefinisikan keuangan negara demikian
luas.33
Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam
bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya
segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:34
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah;
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
M. Solly Lubis, berpendapat sama bahwa yang termasuk keuangan negara
adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.35
33
Erman Rajagukguk, “Pengerian Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara”, Makalah yang Disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Makalah pada Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006, hal. 4.
Pendapat M. Solly
Lubis tersebut mirip dengan pengertian keuangan negara secara yuridis dalam Pasal 1
Ayat (1) UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut
dengan UU Keuangan Negara), secara tegas dinyatakan, ”keuangan negara adalah
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
34
Ibid., hal. 3. Lihat juga: Efi Laila Kholis, Op. cit., hal. 65-66.
35
Lebih jelasnya keuangan negara diperluas dalam Pasal 2 UU Keuangan
Negara, meliputi:
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, defenisi keuangan negara dapat dipahami
dan ditafsirkan sebagai berikut:36
a. Pengertian keuangan negara diartikan secara sempit, yang hanya meliputi
keuangan yang bersumber dari APBN; dan
b. Keuangan negara dalam arti luas, yang meliputi keuangan negara berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara merupakan sebagai suatu sistem keuangan negara.
Apabila tujuan dalam menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan
untuk mengetahui sistem pengurusan dan pertanggungjawabannya, maka pengertian
keuangan negara itu adalah sempit, selanjutnya untuk mengetahui sistem pengawasan
dan pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara adalah
dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN,
36
APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara merupakan
objek pemeriksaan dan pengawasan.37
Oleh karena keuangan negara termasuk semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatunya baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 UU Keuangan
Negara, maka terhadap perbuatan yang menanami sawit tanpa ijin dari instansi terkait
di kawasan hutan Negara hingga sampai ± 47.000 Ha Padang Lawas menyebabkan
kerugian keuangan negara yang dapat dinilai dengan uang berupa potensi lahan seluas
± 47.000 sebagai milik negara.
Kerugian keuangan negara tersebut berupa berkurangnya luas areal hutan
Negara Kawasan Hutan Produksi Padang Lawas, hilangnya perolehan Provisi Sumber
Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR), menimbulkan kerugian rehabilitasi yang
harus ditanggung oleh Pemerintah Cq. Departemen Kehutanan RI.38
Sebagai pihak eksekutor terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642
K/Pid/2006 yang telah berkekuatan hukum tetap ini adalah pihak Kejaksaan. UU
No.6 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) Terhadap aset
negara berupa barang yang tidak bergerak yang provisinya hilang akibat tindak
pidana korupsi, maka melalui putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap harus dilakukan eksekusinya.
37 Ibid.
38
mengamanahkan kepada Jaksa untuk melaksanakan putusan tersebut. Pasal 1 angka 1
UU Kejaksaan menegaskan “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag
oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang
lain berdasarkan undang-undang”. Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut,
Pasal 33 UU Kejaksaan menegaskan pula bahwa Kejaksaan harus membina
hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara
atau instansi lainya.
Tim yang dibentuk untuk pelaksanaan sosialisasi putusan Mahkamah Agung
Nomor: 2642 K/Pid/2006 yang akan mendampingi Jaksa pelaksana eksekusi
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK.599/Menhut-II/2010
tertanggal 21 Oktober 2010 tentang Pembentukan Tim Pendamping Pelaksanaan
Eksekusi Fisik Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 K/Pid/2006 yang terdiri dari:
a. Penanggung Jawab: Menteri Kehutanan RI, Gubernur Sumatera Utara, dan
Bupati Padang Lawas Utara;
b. Tim Pusat:
1) Staf Ahli Bidang Antar Lembaga, Kementerian Kehutanan selaku
koordinator;
2) Staf Ahli Bidang Keamanan Hutan, Kementerian Kehutanan;
3) Direktur Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi Jampidsus Kejagung
RI;
5) Direktur Penyidikan dan Perlindungan Hutan, Direktorat Jenderal PHKA,
Kementerian Kehutanan.
c. Tim Daerah:
1) Kepala Kejaksaan tinggi Sumatera Utara, selaku koordinator;
2) Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara;
3) Panglima Komando Daerah Militer I Bukit Barisan;
4) Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Sumatera Utara;
5) Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara;
6) Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera
Utara;
7) Kepala Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan;
8) Kepala Kepolisian Resor Tapanuli Selatan;
9) Komandan Kodim 121 Tapanuli Selatan;
10)Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Padang Lawas Utara; dan
11)Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Padang Lawas Utara.
Hukum harus mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen
pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang
penegakan hukum. Hukum tersusun dari sub sistem hukum yakni, struktur hukum,
substansi hukum, dan budaya hukum. Struktur hukum menekankan kepada kinerja
aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum
menyangkut segala aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan,
Sub-sub sistim sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan
baik atau tidak.39
Indonesia seolah-olah terpaksa menggunakan konsep tujuan hukum barat,
walaupun saat ini hukum di Indonesia sudah mulai berkembang ke arah konsep
menciptakan hukum yang harmonis dalam masyarakat, namun dengan adanya
perundang-undangan yang masih tetap berlaku, menunjukkan fakta bahwa Indonesia
tetap mengadopsi tujuan hukum barat yakni ”kepastian”.
40
Achmad Ali, mangatakan, harus ada dua unsur yang harus dimiliki aparatur
dalam sistim hukum untuk menciptakan hukum yang pasti itu.
41
Tujuan hukum di
negara Indonesia memiliki kesamaan dengan konsep tujuan hukum barat, sebab
sistim hukum yang berlaku adalah civil law hal ini dikenal dengan adanya asas
konkordansi dalam penciptaan hukum yang ”pasti”.42
Koordinasi dan keterikatan masing-masing instansi dalam proses penegakan
hukum membutuhkan profesionalisme. Kelambatan, kekeliruan, tidak profesional,
dan tidak memiliki kepemimpinan, pada satu instansi mengakibatkan rusaknya
jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum. Konsekuensinya
39
Lawrence M. Friedman, dalam Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9. Lihat juga: Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204.
40
Wishnu Basuki, Ibid., hal. 213.
41
Achmad Ali, Ibid, hal. 204. Yakni: pertama, profesionalisme, mencakup kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok aparat penegak hukum; dan kedua, kepemimpinan, mencakup kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum.
42
adalah instansi yang bersangkutan dalam menangani perkara atau melaksanakan
putusan pengadilan yang tidak berjalan, akan memikul tanggung jawab.
Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia.
Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor yang tidak bisa diabaikan
karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang
diharapkan.43
Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam mendukung program
Pemerintah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi ini. Pasal 41
ayat (1) UUPTPK menegaskan kepada pihak masyarakat dapat berperan serta
membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasakan
ketentuan Pasal 41 ayat (1) UUPTPK ini dalam hal pemberantasan, masyarakat harus Warga masyarakat Padang Lawas Utara sebagai pihak ketiga terikat
dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan DL. Sitorus dkk menolak dan
tidak setuju dilakukan eksekusi terhadap lahan ± 47.000 Ha beserta bangunan yang
ada di atasnya. Namun, demikian tidak berarti putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
2642 K/Pid/2006 tertanggal 12 Februari 2007 dihentikan eksekusinya. Keberatan
apapun yang muncul dari pihak ketiga tidak berarti bahwa putusan tersebut tidak
dieksekusi. UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) menegaskan pula dalam Pasal 19 ayat (3) bahwa
keberatan dari pihak ketiga tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan
putusan pengadilan.
43
turut serta membantu kelancaran program Pemerintah yang baik dan bersih (Good
Goverment) melalui eksekusi putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 K/Pid/2006
tersebut seharusnya warga yang bertempat tinggal dan sebagai karyawan PT.
Torganda milik DL. Sitorus harus menyadari bahwa lahan ± 47.000 Ha tersebut
bukan milik DL. Sitorus karena telah diputuskan oleh Hakim Mahkamah Agung RI.
Walaupun demikian faktanya, pada eksekusi putusan Mahkamah Agung
Nomor: 2642 K/Pid/2006 tersebut Pemerintah tetap memperhatikan Hak Asasi
Manusia dalam pelaksanaan seperti yang dilakukan pada tahap sosialisasi I, II, dan III
yang disampaikan bahwa eksekusi itu dilakukan tidak akan berakibat atau membuat
perekonomian warga atau karyawan yang bekerja di PT. Torganda menjadi terhenti
sebab Pemerintah tetap memberikan kesempatan kepada warga untuk memperoleh
hasil dari sawit-sawit yang ditanami tersebut dengan ketentuan bahwa Pemerintah
tetap memperhatikan pula hak-hak yang menjadi milik Negara.
Apabila dianalisis dari sisi teori-teori keadilan bahwa para penganut
paradigma hukum alam berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk
mewujudkan ”keadilan”.44 Kenyataannya, keadilan bukan satu-satunya istilah yang
digunakan untuk menunjukkan tujuan hukum. Karena dalam suatu negara hukum
modern, tujuan hukum adalah untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare state).45
44
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20.
45
Plato, mengatakan keadilan sebagai nilai kebijakan yang paling tertinggi.46 H.L.A.
Hart, mengatakan keadilan itu sebagai nilai kebajikan yang paling legal. 47
Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan sebagai suatu kebijakan
individual. Oleh karena itu, apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice)
di dalam kehidupan, maka sektor hukumlah yang sangat berperan untuk menemukan
kembali keadilan yang telah hilang, inilah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan
korektif.
48
John Rawls mengistilahkannya dengan keadilan yang mesti dikembalikan
oleh hukum. Menurutnya, keadilan akan diperoleh jika dilakukan maksimum
penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian
masing-masing, prinsipnya: terpenuhinya hak yang sama dan perbedaan perekonomian sosial
harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu: terciptanya keuntungan
maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap yang lemah; dan
terciptanya kesempatan bagi semua orang.49
Keadilan menurut utilitarian adalah jika mesin diukur dari manfaatnya
(utility), maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur dari
manfaatnya itu.50
46
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92.
Menyangkut bahwa keuangan negara termasuk semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatunya baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat
(1) dan Pasal 2 UU Keuangan Negara, maka secara umum, keadilan adalah kondisi
kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau
orang dan berlaku bagi seluruh makhluk hidup maupun bagi benda-benda yang ada di
alam semesta. Hal ini dikarenakan oleh adanya keterikatan yang terjadi secara
alamiah, sehingga seluruh makhluk harus berlaku adil kepada yang lainnya, sebagai
salah satu jalan mempertahankan keseimbangan yang alami tersebut.
2. Landasan Konsepsional
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan
konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi
atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Tindak Pidana Korupsi adalah segala tindakan yang dimaksud dalam
UUPTPK yang merugikan keuangan negara atau kekayaan negara dan/atau
kepentingan masyarakat atau negara, baik secara langsung maupun tidak
langsung;
b. Keuangan Negara adalah segala harta atau kekayaan negara termasuk segala
hak-hak negara yang dapat dinilai dengan uang, benda-benda lain baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak yang dapat diformulasikan dalam
bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta termasuk pula Pendapatan
c. Kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung
jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan
publik yang ditunjuk,51
d. Eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
dalam hal ini Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
e. Barang sitaan adalah segala sesuatu barang yang dapat dijadikan bukti baik
yang bergerak maupun yang tidak bergerak; dan
f. Aset Tidak Bergerak adalah barang yang tidak bisa berpindah tempat dari satu
tempat ke tempat lainnya misalnya lahan atau tanah, bangunan-bangunan,
rumah, pabrik dan telah dilakukan penyitaan terhadap barang atau aset tidak
bergerak tersebut.
G. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang
menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.52 Penelitian
adalah suatu kegiatan ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara
sistematis, metodologis dan konsisten.53
51
Penjelasan Pasal 1 ayat (1) UUPTPK.
Penelitian hukum adalah suatu kegiatan
ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang
52
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.
53
bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan
cara menganalisisnya.54
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Sehingga dengan demikian metode penelitian adalah upaya
ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode
tertentu.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.55
2. Sumber Data
Putusan pengadilan yang diteliti adalah putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642
K/Pid/2006 atas terdakwa DL. Sitorus, PT. Torus Ganda (PT. Torganda), Pengurus
Koperasi Persadaan Masyarakat Ujung Batu (Parsub), dan pengurus Koperasi
Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan di Padang Lawas Utara.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder
yang meliputi:
1. Bahan hukum primer, yaitu UU No.3 Tahun 1971 jo UU No.31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah melalui UU No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK);
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
54
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.
55
terhadap bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah hasil-hasil
seminar, putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006, majalah,
jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, dan surat kabar, bahkan
dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan
dengan objek penelitian ini; dan
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ensiklopedia), dan Kamus Bahasa
Inggris sepanjang memuat penjelasan yang relevan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang
relevan dengan penelitian ini di perpustakaan (library research) dan melakukan
identifikasi data lapangan (field research) terhadap kasus yang yang berhubungan
dengan eksekusi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/Pid/2006 atas nama
terpidana DL Sitorus di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Data yang diperoleh
melalui penelitian kepustakaan dan lapangan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah
guna memperoleh pasal-pasal dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi yang mengandung kaedah-kaedah dan norma-norma hukum yang kemudian
dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti hingga disistematisasikan untuk
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas,
norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang
relevan dengan permasalahan. Kemudian data dianalisis secara deskriptif dalam
bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis
data dan dikemukakan secara deduktif (penalaran logika dari umum ke khusus)