• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III CITRA PERAN GANDA PEREMPUAN PERIODE 1986-1993

4. Perempuan dan Pembangunan

Wacana pembangunan dan kemajuan teknologi media massa memungkinkan perempuan untuk mengekpresikan dan mengaktualisasikan diri. Konsep perempuan

sebagai kaum “kelas kedua” bertransformasi menjadi lebih memiliki otonomi dan

kebebasan. Namun dalam prosesnya justru timbul sebuah paradoks, karena pada dasarnya iklan semata-mata berorientasi untuk mengejar keuntungan sehingga tubuh perempuan merupakan komoditi bernilai yang pantas diperjualbelikan. Berikut ini

132

Fetitisme komoditas merupakan pemujaan terhadap suatu barang tertentu berdasarkan simbol dan merek dari produk industri, yang dapat mencerminkan status sosial si pemakai. Dengan demikian, nilai manfaat benda yang sesungguhnya menjadi hilang karena si pemakai lebih merasakan kenikmatan semu dari simbol, merek, ataupun harga produk. Misalnya, ketika seseorang membeli sepatu olahraga Nike, yang dipuja cenderung bukan manfaat penggunaan melainkan simbol ataupun merek serta harga mahal dari produk tersebut. Lihat Bedjo Riyanto, op.cit, hlm. 31. Lihat juga Mike Featherstone, 2008, Postmodernisme dan Budaya Konsumen, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, hlm. 32.

133

Irwan Abdullah, 1998, “Kematian Perempuan dalam Rimba Lelaki, Sepenggal Tubuh Perempuan dalam Iklan” dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), op.cit, hlm. 352.

catatan mengenai beberapa permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan pada periode 1986 hingga 1993.

a. Konsep Kecantikan Global

Penggabungan Indonesia ke dalam kapitalisme dunia bukan hanya menghasilkan kebebasan ekonomi, melainkan juga membuahkan kondisi serta kesadaran baru sebagai bagian dari sistem global.134 Berbagai pusat perbelanjaan yang seringkali melibatkan modal asing mulai bermunculan, sehingga memudahkan akses masyarakat kepada produk-produk global, seperti kosmetik ataupun alat-alat olahraga. Sementara itu, membanjirnya produk global yang disertai foto model iklan berwajah Barat menyebarkan pemahaman baru mengenai tubuh.135 Hal ini dapat kita amati melalui peningkatan jumlah iklan produk kecantikan dan kosmetik yang dimuat dalam majalah Femina dan Gadis. Jika di tahun 1984, jumlah iklan hanya sebanyak 125 buah namun di tahun 1990 meningkat menjadi 155 buah.136

134

Ibid, hlm. 353.

135

Bedah plastik merupakan budaya masyarakat kontemporer menggunakan kemajuan ilmu dan teknologi untuk menciptakan pengelolaan maupun rekayasa tubuh melalui jalan operasi atau implan silikon. Meskipun semula ditujukan untuk anak-anak penyandang cacat, dalam perkembangannya operasi plastik menjadi jawaban bagi ketakutan kaum perempuan menghadapi penuaan atau mendapati ketidaksempurnaan pada tubuhnya yang menandakan ketidakcantikan. Susan Bordo, 1993, “‟Material Girl‟: The Effacement of Postmodern Culture” dalam Cathy Schwichtenberg (ed.), The Madonna Connection: Representational Politics, Subculture Identities, and Cultural Theory, New South Wales: Westview Ress, hlm. 653-656. Lihat juga Naomi Wolf, 2002, The Beauty Myth, New York: Harper Collins, hlm. 4.

136

Prosesnya, menghitung jumlah iklan produk kecantikan dan kosmetik dari satu bundel majalah, baik Femina maupun Gadis, yang sama-sama terbit pada tahun 1984 dan 1990.

Akhir periode 1980-an, intensitas dan kompleksitas pengelolaan tubuh bagi perempuan menjadi lebih penting.137 Usaha tersebut bukan hanya demi memenuhi kriteria penampilan modis dalam komunitas, namun supaya memudahkan dikontrol menurut kepentingan kekuasaan, sekaligus sebagai perpanjangan tangan beroperasinya ideologi kecantikan global.138 Konsep kecantikan mulai melampaui batas nasional dan menerima penghayatan baru mengenai internasionalisme, yang memutarbalikkan kriteria sehingga tidak lagi memiliki ketulenan.139

Misalnya, Tempo menemukan bahwa di tahun 1987 setiap tahunnya seratus perempuan Indonesia melakukan bedah plastik untuk mendapatkan perut langsing, payudara kencang dan vagina yang rapat di rumah sakit Jujin, Jepang.140 Sementara itu, pada tahun 1991 jutaan perempuan Barat memutuskan untuk menanam silikon

dalam payudaranya setelah menonton “the perfect breast” dari tubuh aktris pornografi.141 Dengan demikian, konsep kecantikan tidak lebih dari sebuah konstruksi sosial yang di baliknya hidup tangan-tangan ideologi kapitalisme dan dominasi kekuasaan patriarki. Laki-laki berperan utama untuk mempengaruhi

137

Irwan Abdullah, loc.cit.

138

Idi Subandy Ibrahim, 1998, “Komodifikasi “Aura” “Cewek Kece” dan “Cowok Macho” dalam Industri Kebudayaan Pop Hegemoni di Balik “Euphoria” Pemujaan Tubuh” dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), op.cit, hlm. 363. Baca juga Daniel Dhakidae, 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 574.

139

Ibid, hlm. 366. Lihat juga Naomi Wolf, op.cit, hlm. 12.

140Baca Laporan Utama “Menjadi Cantik dari Salon ke Salon”,

Tempo No. 3 Tahun XVII terbitan 21 Maret 1987, hlm. 57.

141

perempuan supaya mewujudkan konsep kecantikan tersebut.142 Dalam hal ini, pemerintah justru melanggengkan konstruksi sosial tersebut dengan menyebutnya

secara cantik sebagai “peran ganda perempuan”, yang dijelaskan pada bagian selanjutnya.

b. Penggandaan Peran Perempuan

Mengutip gagasan Ivan Illich, bahwasanya dalam kehidupan industrial semua manusia hakikatnya sama.143 Artinya, industrialisme menyeragamkan kebutuhan perempuan maupun laki-laki secara baku. Pada tahap ini seturut dengan menguatnya perekonomian Indonesia, pemerintah melalui GBHN 1988 menetapkan bahwa peran perempuan dalam pembangunan bersifat ganda.144 Perempuan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki namun harus tetap mengingat kodratnya sebagai penjaga nilai-nilai kesejahteraan keluarga. Dalam wawancaranya kepada Femina, Umar Kayam mengungkapkan bahwa pergeseran sistem nilai tradisional disebabkan adanya perubahan perilaku masyarakat yang mulai konsumtif dan pertumbuhan kelas ekonomi menengah.145 Hal tersebut tampak dalam laporan Statistik Indonesia yang mencatat adanya peningkatan pengeluaran rata-rata

142

Ibid, hlm. 12.

143

Ariel Heryanto, 1998, “Wanita Korban Pembangunan” dalam (ed.) Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto, op.cit, hlm. 38.

144

Mayling Oey-Gardiner, “And The Winner is… Indonesian Women in Public Life” dalam Kathryn Robinson dan Sharon Bessell (ed.), Women in Indonesia: Gender, Equity and Development, Singapura: Seng Lee Press, hlm. 103.

145 Lihat artikel “Kini Saatnya: Emansipasi Keluarga,

Femina No. 50 Tahun XIII terbitan 24 Desember 1985, hlm. 33-34.

per kapita untuk kebutuhan non konsumsi dari 39,72% di tahun 1987 menjadi 39,64% pada tahun 1990.146

Apabila semula perempuan hanya mengemban tugas untuk mengasuh dan mendidik anak, kini dapat berperan serta sebagai pencari nafkah meskipun hingga tahun 1991 gaji yang diterima masih bawah jumlah rata-rata nafkah hidup secara umum.147 Sebaliknya, peran laki-laki dalam pengelolaan rumah tangga mulai bergeser karena bersedia berbagi tugas dan merambah ranah domestik. Dalam sebuah angket yang respondennya merupakan perempuan, Femina melaporkan bahwa 52% suami bersedia memandikan anak dan 72,7% menyanggupi tugas antar-jemput anak sekolah.148 Akan tetapi, tindakan heroik sang ayah terpatahkan karena 44,9% perempuan sepakat untuk membolos kerja bila anak sakit149. Berdasarkan hasil angket tersebut, Femina menyimpulkan bahwa seiring meningkatnya jumlah perempuan yang masuk dalam angkatan kerja maka harapan mengenai perubahan pola pengelolaan rumah tangga akan berwujud nyata. Artinya, kaum perempuan tak perlu merisaukan kembali kewajiban “peran ganda” ketika hendak mengembangkan cita-

146

Biro Pusat Statistik, 1990, Statistik Indonesia 1990, Jakarta: Biro Pusat Statistik, hlm. 507.

147

Kathryn Robinson, 2000, “Indonesian Women: from Orde Baru to Reformasi” dalam Louise Edwards (ed.), Women in Asia: Tradition, Modernity, and Globalisation, Australia: Allen&Unwin, hlm. 151.

148 Baca kolom Aksen “Hasil Angket 20 Tahun Femina: Wanita Bekerja Telah

Berubah”, Femina No. 4 Tahun XXI terbitan 28 Januari 1993, hlm. 29.

149

citanya.150 Harapan ini seakan menemukan pintu terangnya ketika muncul dua figur perempuan yang menjadi perbincangan publik.

c. Perempuan dalam Ruang Publik

Seiring dengan perubahan zaman, penerimaan sosial akan keberadaan perempuan sebagai figur semakin meningkat meskipun berjalan lambat, terlebih jika menyangkut politik. Kehadiran figur publik mampu memecah domestikasi perempuan yang selalu diragukan untuk tampil, baik sebagai tokoh maupun pemimpin. Kedudukan perempuan dalam ruang publik cenderung diabaikan, kecuali

jika melibatkan hubungannya bersama “pangeran”, terutama sebagai landasan

genealogis, misalnya Princess Diana dan Pangeran William. Pada periode 1986-1993 hadir dua figur perempuan yang berhasil mengukir prestasi dan tampil di publik sebagai dirinya sendiri, yaitu astronot Pratiwi Pujilestari Sudarmono dan pebulu tangkis Susi Susanti.151

Akan tetapi ketika negara mendesak perempuan supaya terlibat dalam proses pembangunan, pada kesempatan lain, melalui sebuah pidatonya di tahun 1993 Soeharto justru mengembalikan posisi subordinasi perempuan dengan berkata,

“meningkatnya jumlah ibu-ibu yang bekerja juga menyebabkan kurangnya waktu bagi mereka terhadap kehidupan keluarga... maka kaum pria perlu memperluas

150

Ibid.

151

Pratiwi Pujilestari Sudarmono merupakan salah satu calon awak satelit Palapa yang akan dilepaslandaskan pada tahun 1987. Sementara itu, Susi Susanti berhasil memenangkan medali emas pada Olimpiade Barcelona.

kehidupannya dalam keluarganya”.152 Secara tersembunyi, Soeharto kembali memperjelas bahwa peran ataupun keberadaan perempuan hanya bernilai oleh adanya laki-laki.153 Selain itu, pada kenyataannya memperlihatkan ada banyak institusi sosial belum berfungsi optimal untuk mendukung proses tersebut.154 Salah satunya dapat kembali kita amati melalui iklan pembalut dalam Gadis dan Femina yang terbit pada periode 1986-1993. Bagian selanjutnya memaparkan visualisasi iklan pembalut berkaitan dengan rekonstruksi kehidupan perempuan, yang terpengaruh oleh kebijakan negara dalam pembangunan.

Dokumen terkait