• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.4 Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi lingustik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang pedang dan pembeli di

pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi adalah sebuah peristiwa tutur.

Dell Hymes (1972), seorang pakar sosiolingustik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah (diangkat dari Wadhaugh 1990):

S (= Setting and scene) P (= Participants)

E (= Ends : purpose and goal) A (= Act sequences)

K (= Key : tone or spirit of act) I (= Instrumentalities)

N (= Norms of interaction and interpretation) G (= Ganres)

Setting and scene. Di sisni setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara pada saat pertandingan bola dilapangan akan jauh berbeda saat berbicara di dalam perpustakaan.

Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam tuturan, bisa pembicara dengan pendengar, penyapa, dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat diganti peran sebagai pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah di masjid, khotip sebagai pembicara dan Jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran.

Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun, para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.

Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan anatara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.

Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengece, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukan dengan gerak tubuh dan isyarat.

Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, ragam, atau register.

Norms of interaction and interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

Dari yang dikemukakan Hymes itu dapat kita lihat betapa kompeksnya terjadinya peristiwa tutur yang kita lihat, atau kita alami sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari. Komponen tutur yang diajukan Hymes itu dalam rumusan lain tidak berbeda dengan yang oleh Fishman disebut sebagai pokok pembicaraan sosiolingustik, yaitu “who spek, what language, to whom, when, and what end”. 2.5 Campur Kode

Seseorang yang menguasai banyak bahasa akan lebih banyak mempunyai kesempatan campur kode dalam berkomunikasi daripada seseorang yang hanya menguasai satu bahasa atau dua bahasa. Namun, tidak semua seseorang yang menguasai banyak bahasa akan melakukan campur kode.

Campur kode atau code mixing adalah percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu (Nababan, 1991: 32). Menurut Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 1995: 115) Campur kode adalah jika dalam suatu peristiwa tutur klausa-klausa dan frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri. Pendapat Thelander didukung oleh Fasold (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 115) yang mengatakan bahwa dapat dikatakan campur kode jika seseorang menggunakan satu kata atau satu frasa dari satu bahasa.

Menurut Nababan (1986: 32), ciri yang paling menonjol dalam campur kode ini ialah kesantaian atau situasi informal. Berdasarkan definisi menurut beberapa pakar, dapat disimpulkan bahwa campur kode adalah penggunaan dua bahasa (varian) atau lebih dalam tindak tutur dengan penyusupan unsur-unsurbahasa yang satu ke dalam yang lain, unsur itu berupa kata, frasa, atau klausa.

Menurut Muysken, 2000 (dalam jurnal Yuliana, Nana dkk) campur kode dibagi menjadi tiga tipe yaitu:

1. Memasukan (kata atau frasa) adalah proses kode-mixing yang dipahami sebagai sesuatu yang mirip untuk meminjam: penyisipan asing leksikal atau phrasal kategori ke dalam struktur yang diberikan.

2. Pergiliran (klausa) itu terjadi antara klausa berarti bahwa pergantian digunakan ketika pembicara campuran nya bahasa dengan frasa

3. Dialek adalah pengaruh dialek dalam menggunakan bahasa. 2.6 Jenis-Jenis Campur Kode

Berdasarkan asal unsur serapannya, campur kode dapat dibedakan menjadi tiga jenis menurut Suandi (2014: 140-141) campur kode ke dalam (Inner code mixing), campur kode ke luar (outer kode mixing), dan campur kode campuran (hybrid kode mixing).

1. Campur kode ke dalam (Inner code mixing)

Campur kode ke dalam (Inner code mixing) adalah jenis campur kode yang menyerap unsur-unusr bahasa asli yang masih sekerabat. Misalnya dalam peristiwa campur kode tuturan bahasa Indonesia terdapat

di dalamnya unsur-unsur bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan bahasa daerah lainnya.

2. Campur kode ke luar (outer code mixing)

Campur kode ke luar (outer code mixing) adalah campur kode yang menyerap unsur-unsur bahasa asing, misalnya gejala campur kode pada pemakaian bahasa Indonesia terdapat sisipan bahasa Belanda, Inggris, Arab, bahasa Sansekerta, dll.

3. Campur kode campuran (hybrid code mixing)

Campur kode campuran (hybrid code mixing) ialah campur kode yang di dalamnya (mungkin klausa atau kalimatnya) telah menyerap unsur bahasa asli (bahasa-bahasa daerah) dan bahasa asing.