GAMBARAN DAN PERKEMBANGAN KASUS PELANGGARAN HAM DI MYANMAR
B. Perkembangan Politik dan Demokrasi di Myanmar Sejak Masa Pemerintahan Junta Militer
2. Perkembangan HAM dan Demokrasi di Myanmar
Semenjak mencapai kemerdekaannnya pada tahun 1948, Myanmar tidak pernah mencapai tingkat stabilitas nasional. Berbagai permasalahan serius yang berimplikasi kepada seluruh masyarakat Myanmar selalu mengiringi perjalanan Myanmar sebagai sebuah bangsa dan negara. Pada awal kemerdekaannya, Myanmar dihadapkan kepada sebuah konfiik etnis yang berlanjut hingga saat ini. Konflik etnis yang terjadi ini didasarkan kepada rasa ketidakpuasan etnis-etnis minoritas di Myanmar akibat hegemoni dan dominasi etnis mayoritas (etnis Burma) yang telah meegasikan hak-hak mereka sebagai salah satu bagian dari negara Myanmar. Hal ini dapt ditelusuri dari Konstitusi Myanmar tahun 1947 yang dibuat secara terburu buru – hanya dalam beberapa bulan, dalam sebuah situasi yang sangat tidak stabil, sebuah periode traumatik setelah U Aung San dan sebagian besar anggota dari Dewan eksekutif sementara Myanmar, terbunuh pada
107
Hal ini mengacu kepada Bo Aung Gyaw Declaration tahun 1990 antara NLD dan UNLD untuk mendirikan sebuah negara federal-demokratik, dan Manerplaw Agreement tahun 1991 antara National Coalition Government of the Union of Burma (NCGUB) dan organisasi-organiasai kelompok etnis perlawanan bersenjata.
bulan Juli 1947.108 Kelompok komunis di Myanmar pada saat itu menyatakan bahwa negosiasi terhadap kemerdekaan Myanmar sama saja dengan dengan sebuah transaksi jual beli, dan mereka mengancam untuk melakukan sebuah revolusi bersenjata untuk mencapai kemerdekaan yang sebenarnya.109
Konstitusi Perserikatan tahun 1947, memberikan bentuk negara Myanmar sebagai sebuah negara semi-kesatuan: Kementrian Myanmar menduduki posisi sebagai unit “Negara Pusat” – Pyi-Ma. Terdapat juga tambahan, 4 unit sub- ordinat110: Divisi Khusus Chin, Propinsi Kachin, Propinsi Shan, dan Propinsi Karenni, yang memiliki badan pemerintah dan badan legislatifnya sendiri, akan tetapi tidak memiliki konstitusi sendiri. Kewenangan atau tanggun jawab dan otonomi masing-masing unit tersebut ditetukan dan dinyatakan di dalam Konstitusi Perserikatan tahun 1947 – yang secara praktek merupakan konstitusi
108
Op. Cit.,Otive Igbuzor, “The Role of State Constitutions in Protecting Minority Rights under Federalism; Dialogues in Support of a Democratic Transition in Burma”, report to International IDEA, 2002, hlm. 14.
109
Kelompok komunis Myanmar saat itu menyatakan hak untuk melakukan sebuah revolusi bersenjata setelah kemerdekaan, membawa Myanmar ke dalam situasi perang sipil. Untuk semakin memperumit masalah, etnis Karen juga mengangkat senjata untuk melawan apa yang mereka sebut dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh para pemimpin etnis Burma (sebagian besar mereka yang menduduki jabatan di dalam pemerintahan) untuk menghilangkan eksistensi mereka. Hilangnya kepercayaan dan munculnya rasa permusuhan ini berakar pada masa ketika Jepang mengusir Inggris dari Myanmar pada saat perang dunia ke II. Etnis Karen sangat loyal kepada Inggirs dan menolak pendudukan Jepang pada saat itu. Sedangkan etnis Burma dan para pemimpinnya sangat berpihak kepada kemenanan Jepang atas Inggris. Terjadi beberapa kali pembantaian massal terhadap etnis Karen semasa terjadinya perang sipil di Myanmar, yang dilakukan oleh milisi-milisi etnis Burma. Setelah perang, usaha-usaha untuk melakukan perdamaian antara etnis Karen dan Burma, sudah dilakukan oleh kedua belah pihak, tetapi gagal pada atahapan proses. Hal ini kembali membuat etnis Karen mengangkat senjata untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai negara yang dodominasi oleh etnis Burma yang memiliki agenda untuk memusnahkan etnis Karen.
110
Sesungguhnya hanya terdapat 4 bagian negara (termasuk divisi khusus Chin). Pada tahun 1950, Propinsi Karen dibentuk dan ditambahkan di dalam struktur pemerintahan, dan secara paradoks, Propinsi Rakhine dan Mon dibentuk oleh Ne Win pada masa pemerintahannya.
dari Pyi-Ma. Akibatnya, negara-negara bagian dari negara kesatuan Myanmar merupakan subordinat dari Negara Pusat.111
Walaupun negara serikat Myanmar saat itu bersifat semi-kesatua, terdapat klausul di dalam Konstitusi Perserikatan tahun 1947 yang mengijinkan pemisahan wilayah dari Myanmar.112 Pemerintah negara bagian Kachin dalam faktanya pada pertengahan tahun 1950, mengumumkan berdirinya negara Kachin dan mengklaim bahwa ketentuan hak unutk memisahkan diri dari negara serikat akan menjadi “duri” bagi kelompok militer. Hal ini membuat para pimpinan militer dan Jendral Ne Win melakukan tindakan: sebuah tugas untuk mencegah terjadinya pemisahan diri dan bubarnya negara serikat Myanmar secara keseluruhan.
Walaupun Konstitusi Negara Serikat Myanmar tahun 1947 tidak sejalan dengan semagat dari Panglong Accord yang ditandatangani pada bulan Februari 1947, hal tersebut dapat dimengerti bahwa konstitusi tersebut dapat dirubah di masa yang akan datang. Pada awal tahun 1960, negara-negara bagian yang dipimpin oleh Sao Shwe Thaike, berinisiatif untuk merubah Konstitusi Negara Serikat Myanmar, untuk membuat konstitusi tersebut benar-benar menjaddi konstitusi negara federal. Menanggapi hal tersebut, Jendral Ne Win melakukan kudeta terhadap kekuasaan, mengklaim bahwa kelompok militer harus melakukan langkah-langkah dalam rangka mencegah rencana pemisahan diri, dan untuk
111
Pengaturan ini sama dengan pengaturan yang berlaku antara Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia dengan Inggris yang memiliki posisi dominan sebagai Negara Pusat, samapai terjadinya perubahan terhadap konstitusi Inggris.
112
Klausul pemisahan wilayah tersbut dimasukan di dalam konstitusi karena U Aung San, pahlawan kemerdekaan Myanmar, menyatakan bahwa Negara serikat yang dibentuk ini bersifat sementara dan Negara-negara bagian dapat keluar dari perserikatan ini setelah berjalan selama sepuluh tahun di bawah bendera yang sama, bendera Negara serikat Myanmar.
“membersihkan kotoran” yang dibuat oleh para politisi yang korup, tidak populis dan tidak kompeten.113 Dengan naiknya Jendral Ne Win dan kelompok militer sebagai penguasan dalam pemerintahan Myanmar, maka berakhirlah era demokrasi di Myanmar yang diikuti dengan berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran terhadap HAM sebagai konsekuensi logis berkuasanya pemerintahan militer yang otoriter di Myanmar hingga saat ini.
Berikut ini berbagai fakta seputar perkembangan HAM dan demokrasi di Myanmar:
1) Akibat konflik etnis dan diskriminasi etnis yang dilakukan oleh etnis mayoritas berkuasa, etnis burma, terhadap etnis-etnis minoritas sejak masa kemerdekaan hingga saat ini, membuat banyak etnis minoritas yang pergi meninggalkan Myanmar ke negara-negara seperti Thailand, Bangladesh, Cina, dan Malaysia untuk mencari pekerjaan dan suaka politik. Sekitar 150,000 warga Myanmar hidup di sembilan kamp pengungsian di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar, dan sekitar 28,000 warga Myanmar terdaftar di dua kamp pengungsian di Bangladesh. Secara kasar terdapat sekitar 40,000 warga Myanmar (sebagian besar etnis Chin dan Rohingya) terdaftar di dalam United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) di Malaysia.114
113 Op. Cit.,
Otive Igbuzor, “The Role of State Constitutions in Protecting Minority Rights under Federalism; Dialogues in Support of a Democratic Transition in Burma”, report to International IDEA, 2002, hlm. 15.
114
US Bureau of East Asian and Pacifik Affairs, “Burma”, Desember 2008, hlm. 5, http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/35910.htm, diakses tanggal 27 Mei 2009.
2) Pada masa pemerintahan Jendral Ne Win bersama dengan BSPP, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat seperti bisnis, media, produksi dan lain-lain, dinasionalisasi dan berada di bawah pengaturan dan pengawasan pemerintah. Hal ini membuat masyarakat Myanmar tidak memiliki hak dalam hal pengaturan ekonomi dan dalam melakukan usaha-usaha mandiri, selain itu kebebasan masyarakat untuk berekspresi dan menyatakan pendapat juga tidak ada semasa pemerintahan Ne Win. Pemerintahan militer juga melaksanakan pemilu dengan sistem satu partai, yang menghalangi aspirasi-aspirasi politik dari kelompok-kelompok oposisi.115
3) Pada bulan Maret 1988, terjadi aksi demonstrasi mahasiswa di Rangoon untuk menyikapi buruknya situasi perekonomian negara dan menuntut terjadinya pergantian rezim pemerintahan. Aksi demonstrasi ini terus meluas dan berlangsung selama dua bulan lebih, yang kemudian direspon pemerintah melalui aksi pembubaran demonstrasi dengan menggunakan kekerasan. Sepanjang aksi demonstrasi yang terjadi pada tanggal 8 Agustus 1988, militer Myanmar membunuh sekitar 1,000 demonstran. Aksi demonstrasi tersebut mengakibatkan pengunduran diri Jendral Ne Win. Paska pengunduran diri tersebut, militer yang dipimin oleh Jendral Saw Maung melakukan kudeta terhadap pemerintahan sementara yang didukung oleh kelompok pro
115
Op. Cit., Myint-U, Thant (2006). “The River of Lost Footsteps”, ISBN 0-374-16342- 1.
demokrasi dan membentuk pemerintahan militer yang disebut dengan
State Law and Order Restoration Council (SLORC), yang dengan segera mengirimkan pasukan militer ke jalanan untuk membubarkan berbagai aksi demonstrasi yang masih berlangsung di seluruh negeri. Dalam peristiwa ini, sekitar 3,000 orang terbunuh akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh pasukan militer dan sekitar 10,000 mahasiswa lari menuju ke hutan dan pegunungan serta wilayah- wilayah perbatasan, dan sebagaian lagi pergi ke luar negeri untuk menghindari penangkapan dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pasukan militer.116
4) Pada tahun 1990 SLORC melaksanakan pemilu untuk pertama kalinya. Dalam pemilu ini NLD yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi memenangkan sebagian besar kursi di parlemen. SLORC tidak mengakui hasil pemilu tersebut dan melakukan tindakan penangkapan dan penahanan kepada para aktifis politik pro-demokrasi, termasuk Aung San Suu Kyi dengan alasan dan dasar hukum yang tidak jelas.117 5) Pada tahun 1997 SLORC berubah nama menjadi State Peace and
Development Council (SPDC). Pada tahun 2000 SPDC mulai melakukan dialog dengan kelompok oposisi pro-demokrasi yang diwakili oleh Aung San Suu Kyi, serta membebaskan Aung San Suu Kyi dari tahanan rumahnya dan memberikan sedikit kebebasan bagi
116 Op. Cit.,
US Bureau of East Asian and Pacifik Affairs, “Burma”, Desember 2008, hlm. 6.
117 Ibid.
NLD untuk melakukan aktifitas politknya. Pada tanggal 30 Mei 2003, ketika Aung San Suu Kyi beserta para pendukungnya melakukan konvoy mengelilingi negeri, rombongan tersebut diserang oleh kelompok milisi pro pemerintah yang mengakibatkan banyaknya anggota rombongan yang tewas, terluka, dan hilang. Akibat peristiwa ini dan dengan alasan mengganggu kedamaian dan ketertiban di masyarakat, Aung San Suu Kyi kembali ditangkap dan dijadikan tahnan rumah oleh pemerintah hingga saat ini, bersama dengan para anggota NLD lainnya yang ditahan secara terpisah.118
6) Sepanjang tahun 2004 sampai 2006 SPDC membebaskan beberapa tahanan politik dan ribuan aktifis politik pro-demokrasi. Dengan dibebaskannya para tahanan politik ini, kegiatan pengorganisiran masyarakat mulai dilakukan kembali oleh para tokoh dan aktifis politik pro-demokrasi. Dengan kenaikan harga minyak dan buruknya situasi perekonomian Myanmar pada tahun 2007, kelompok pro- demokrasi memanfaatkan momentum ini untuk melakukan aksi demonstrasi anti pemerintah yang dimulai pada tanggal 15 Agustus 2007. Menangggapi aksi ini pemerintah kembali melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 150 aktifis pro-demokrasi dari tanggal 15 Agustus sampai dengan 11 September 2007. Menanggapi aksi pemerintah ini, para biksu di Myanmar melakukan aksi demonstrasi damai anti pemerintah yang dimulai pada tanggal 18
118 Ibid.
September 2007. Menanggapi aksi tersebut, pemerintah kembali melakukan pembubaran demonstrasi dengan menggunakan kekerasan yang dilakukan pada tanggal 26 dan 27 September 2007 melalui tindakan pemukulan, penembakan, dan penangkpan secara brutal. Dalam peritiwa ini ribuan biksu dan demonstran ditangkap serta ditahan, biara-biara penting diseluruh Myanmar dijaga ketat dan ditutup oleh pasukan keamanan. Menurut laporan Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar, dalam peristiwa ini sedikitnya 31 orang tewas.119
Tindakan kekerasan dan pelanggaran terhadap HAM dan demokrasi oleh pemerintah militer Myanmar tersebut, dapat terus berlangsung tidak terlepas dari adanya berbagai peraturan hukum atau undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi pemerintah Myanmar untuk melakukan tindakan-tindakan represif terhadap masyarakat maupun terhadap para oponen politiknya. Dalam hal ini Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar mencatat ada beberapa peraturan hukum atau undang-undang yang digunakan oleh pemerintah Myanmar sebagai dasar hukum bagi berbagai tindakan dan kebijakannya yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum HAM internasional, hingga saat ini. Peraturan- peraturan hukum tersebut adalah sebagai berikut:120
119
Ibid, hlm. 6-7. 120
United Nations General Assembly, “Situation of Human Rights in Myanmar”, dokumen no. A/63/341, tanggal 5 September 2008, hlm. 18, http://daccess- ods.un.org/TMP/2007607.html, diakses tanggal 7 Juni 2009.
1) State Protection Act (1975); digunakan untuk melakukan tindakan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok etnis minoritas nasional serta dijadikan dasar hukum bagi dilakukannya aksi-aksi militer terhadap berbegaia gerakan yang membahayakan kedudukan dan kekuasaan pemerintah;
2) Emergency Provisions Act (1950); sama halnya dengan State Protection Act, peraturan ini digunakan untuk melakukan berbagai aks-aksi militer terhadap kelompok-kelompok yang dianggap membahayakan kedudukan dan kekuasaan pemerintah;
3) Printers and Publishers Act (1962); perturan yang digunakan untuk melakukan sensor terhadap berbagai bentuk publikasi tulisan yang dianggap melawan pemerintah atau bersifat menghasut publik utnuk melawan pemerintah, atau tulisan-tulisan yang hanya sekedar mengkritisi kebijakan pemerintah;
4) Law Protecting the Peaceful and Systematic Transfer of State Responsibility and the Successful Performance against Disturbance and Opposition (No. 5) (1996); digunakan oleh pemerintah untuk melawan gerakan dan mengahncurkan gerakan-gerakan politik kelompok oposisi;
5) Law Relating to Forming of Organizations (1998); diguakan oleh pemerintah untuk membatasi ruang lingkup gerakan kelompok oposisi, khususnya kelompok pro-demokrasi dalam hal pembentukan organisasi-organisasi massa maupun politik;
6) Television and Video Law (1985); digunakan oleh pemerintah untuk membatasi dan melakukan sensor terhadap berbagai tayangan televisi dan pencitraan dalam bentuk video;
7) Motion Picture Law (1996); digunakan oleh pemerintah untuk membatasi kebebasan bereskpresi dan berkesenian;
8) Computer Science Development Law (1996); digunakan oleh pemerintah untuk membatasi arus informasi dan telekomunikasi yang menggunakan media komputer;
9) Unlawful Association Act; digunakan pemerintah untuk membatasi kebebasan masyarakat dalam berasosiasi;
10) Electronic Communication Law; sama halnya dengan Computer Science Development Law, peraturan hukum ini digunakan oleh pemerintah untuk membatasi penggunaan elektronik untuk kepentingan-kepentingan gerakan yang dapat membahayakan kepentiangn dan kekuasaan pemerintah; dan
11) Pasal 143, 145, 152, 505, 505(b), dan 295-A Penal Code; digunakan oleh pemerintah untuk mengidentikan gerakan-gerakan politik dan berbagai tindakan masyarakat yang cenderung mengkritisi dan anti pemerintah, ke dalam sebuah tindakan kriminal atau kejahatan.
3. Gerakan menuju transisi politik dan konsolidasi demokrasi di Myanmar