• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prospek Penegakan HAM di Myanmar Dengan Adanya Kebijakan HAM PBB

Dalam dokumen A. Latar Belakang Dan Penelitian (Halaman 169-187)

PERKEMBANGAN POSITIF PENEGAKAN HAM DI MYANMAR PASKA DIJALANKANNYA KEBIJAKAN PBB DI MYANMAR

E. Prospek Penegakan HAM di Myanmar Dengan Adanya Kebijakan HAM PBB

untuk menekan, akan tetapi sebagai alat untuk membuka dialog dan negosiasi dengan Pemerintah Junta militer Myanmar, sekaligus sebagai alat ukur sejauh mana perkembangan, khususnya perkembangan situasi penegakan HAM di Myanmar. Sehingga kebijakan PBB selama ini melalui UNHRC, berdasarkan fakta-fakta di lapangan, serta berdasarkan sudut pandang di atas, telah berjalan efektif dalam mendorong Pemerintah Junta militer Myanmar melakukan usaha- usaha berdasarkan model dan pendekatannya sendiri, untuk memulai dan menjalankan proses transisi politik di Myanmar menuju demokrasi. Pemerintahan demokratis yang nanti akan terbentuk paska pemilu 2010 di Myanmar, akan menjadi tolak ukur sebenarnya dalam melihat perkembangan penegkan HAM di Myanmar.

E. Prospek Penegakan HAM di Myanmar Dengan Adanya Kebijakan HAM PBB

Proses transisi politik yang terjadi di Myanmar tidak akan berjalan dengan lancar. Strategi berikutnya dari proses transisi politik di Myanmar akan melibatkan pembagian kekuasaan antara SPDC dan kelompok oposisi, atau proses “reformasi rezim” secara bertahap, dengan kecilnya keterlibatan secara langsung dari masyarakat luas atau kekuatan oposisi. Meskipun taktik yang digunakan kelompok oposisi akan berubah-ubah tergantung kepada kenyataan yang terjadi, beberapa strategi yang digunakan oleh kelompok oposisi ini terlihat sama.

Bagaimanapun juga dan kapanpun perubahan tersbut dijalankan, seluruh kelompok-kelompok sosial di Myanmar harus siap untuk bertindak.

Secara umum, strategi kelompok oposisi telah dipusatkan kepada tingkat elit politik, dibandingkan melakukan proses demokratisasi pada tataran akar rumput. Bagaimanpun juga, kedua pendekatan tersebut sama pentingnya. Perubahan pada tataran nasional sangat dibutuhkan dengans egera, akan tetapi proses transisi menuju demokrasi yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika disertai dengan partisipasi lokal dan “pembangunan dari bawah”.

Diantara ketiga pihak dalam negosiasi tripartite di Myanmar (SPDC, NLD/kelompok oposisi pro demokrasi, dan kelompok etnis nasional), kelompok etnis nasional secara khusus bisa mendapatkan manfaat dari kombinasi pada tingkatan elit, dalam rangka penguatan masyarakat sipil. Walaupun berdasarkan kepada para aktifis dan pengamat Myanmar di luar negeri, terdapat asumsi yang menyatakan bahwa tidak ada masyarakat sipil di Myanmar, hal ini jauh dari kebenaran. Kemunculan kembali jaringan lokal didalam dan diantara komunitas- komunitas etnis nasional selama beberapa dekade terakhir, telah menjadi salah satu aspek paling berpengaruh dalam situasi politik dan sosial di Myanmar. Usaha-usaha dalam membangun demokrasi lokal saat ini sedang berjalan – di dalam wilayah-wilayah pengawasan pemerintah, di beberapa populasi etnis nasional yang telah melakukan gencatan senjata dengan pemerintah dan di daerah perang, dan di negara-negara tetangga. Bagaimanapun juga inisiatif ‘bottom-up’ ini tidak akan membawa perubahan yang substansial tanpa disertai adanya reformasi ‘top-down’ pada tataran nasional.

Komunitas etnis nasional terdiri dari tiga elemen. Sebagaian besar 65 calon wakil legislatif yang mewakili kelompok-kelompok etnis nasional, dicalonkan melalui United Nationalities Alliance (UNA, sebelumnya bernama

United Nationalities League for Democracy), yang telah melakukan kerjasama erat dengan NLD. Kemudian terdapat 14 kelompok etnik bersenjata yang telah sepakat melakukan gencatan senjata dengan pemerintah sejak tahun 1989 (ditambah 10 kelompok lagi dan beberapa bekas kelompok pemberontak yang telah melakukan kesepakatan lokal dengan Tatmadaw). Elemen ketiga dari etnis nasional adalah komunitas-komunitas etnis nasional yang terdiri dari kelompok- kelompok pemberontak yang masih melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah, yang merupakan anggota atau sekutu dari National Democratic Front

(NDF). Dalam hal ini, banyak sekutu dari NDF, seperti The Kachin Independence Organisation (KIO), dan New Mon State Party (NMSP), telah berpartisipasi dan bergabung di dalam Ethnic Nationalities Solidarity and Coordination Committee

(ENSCC), yang dibentuk pada tahun 2001, sebagai perwakilan dari kelompok etnis nasional dalam negosiasi tiga pihak dalam rangka pembentukan Konvensi Nasional.179

Sampai sejauh ini, serta berdasarkan fakta yang ada, bahwa penegakan HAM di Myanmar tidak akan sepenuhya tercapai sebelum pemerintahan militer di Myanmar jatuh. Untuk menuju ke arah tersebut, telah tercapai kesepakatan, baik pada tataran domestik, maupun pada tataran internasional (antara Pemerintah

179

Ashley South, “Roadmaps and Political Transition in Burma: The need for two-way traffic”, artikel pada http://www.burmalibrary.org/docs/Ashley-South_Political_Transition.htm, diakses tanggal 7 Juni 2009.

Junta militer Myanmar dengan PBB sebagai representasi dunia internasional) untuk melakukan sebuah transisi politik yang akan berujung kepada pengalihan kekuasaan dari kelompok militer ke tangan kelompok masyarakat sipil dalam sebuah pemerintahan yang demokratis. Dalam hal ini, PBB melalui UNHRC telah menjalankan kebijakan dan pendekatan yang dapat diterima oleh pemerintah Myanmar, sehingga membuka pintu negosiasi dan asistensi bagi berjalannya proses transisi politik di Myanmar. 7-steps roadmaps to democracy yang dijalankan oleh pemerintah Myanmar, merupakan perkembangan positif sekaligus kunci keberhasilan penegakan HAM di Myanmar. Selain itu usulan Pelapor Khusus PBB mengenai pemenuhan empat elemen utama HAM Myanmar sebelum dilaksanakannya pemilu 2010, yang kemudian ditanggapi secara positif oleh pemerintah Myanmar (walaupun belum dijalankan secara maksimal), menunjukan sikap pemerintah Myanmar yang mulai terbuka terhadap masukan- masukan dari dunia internasional melalui PBB.

Jika mengacu kepada pembahasan sebelumnya, diketahui bahwa kendala utama penegakan HAM di Myanmar adalah sikap tertutup pemerintah Myanmar terhadap berbagai masukan, permintaan, terlebih lagi tekanan-tekanan yang datrang dari luar. Dan diketahui juga, bahwa ternyata sikap pemerintah Myanmar yang demikian sangat dipengaruhi oleh seberapa besar tekanan dan kecaman yang mereka terima dari dunia internasional, sekaligus dipengaruhi oleh perkembangan situasi geopolitik global yang pada ahkirnya memposisikan Pemerintah Junta militer Myanmar sebagai the true decision maker dalam penyelesaian masalah di Myanmar.

Berdasarkan perkembangan dan pandangan yang demikian, maka prospek penegakan HAM di Myanmar dalam sepuluh tahun ke depan akan berjalan secara positif, jika faktor-faktor berikut ini dipertahankan, yaitu:

1) PBB tetap memposisikan diri sebagai jembatan antara Myanmar dengan dunia internasional, dan mampu menyuarakan dan menggambarkan berbagai perkembangan positif yang dicapai pemerintah Myanmar dalam proses transisi politik yang sedang dijalankan. Di sisi lain, pemerintah Myanmar terus membuka diri terhadap berbagai masukan dari PBB terkait dengan proses transisi politik yang sedang dijalankan;

2) Penurunan tekanan dari dunia internasional terhadap Pemerintah Junta militer Myanmar terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dijalankannya;

3) Terus terkonsolidirnya seluruh elemen kekuatan nasional di Myanmar yang mendukung berjalannya proses transisi politik di Myanmar, dengan PBB sebagai penjamin sekaligus pengawas independen proses transisi politik di Myanmar (atas dasar kesepakatan seluruh pihak); 4) Terbukanya akses masuk dan keamanan bagi pihak-pihak, baik dari

dalam negeri maupun luar negeri, yang akan memberikan bantuan kemnusiaan sekaligus melakukan pembangunan demokrasi masyarakat sipil pada tataran lokal dalam rang mempersiapkan masyarakat Myanmar memasuki iklim demokrasi serta dalam rangka mempersiapkan dasar-dasar penegakan HAM pada tataran lokal; dan

5) Terbangunnya komitmen dan kesepakatan yang erat atas dasar saling menghormati dan rasa saling percaya antara Pemerintah Junta militer Myanmar dengan PBB untuk melakukan proses transisi politik yang sebenarnya di Myanmar, dalam kerangka tindak lanjut berbagai hasil- hasil yang sudah dicapai oleh pemerintah (ex., pencabutan dan perubahan berbagai peraturan hukum yang bertentangan dengan Konstitusi baru Myanmar).

Jika faktor-faktor tersebut di atas, yang saat ini sudah terpenuhi, dapat terus dipertahankan eksistensinya, maka proses transisi politik di Myanmar akan dapat berjalan dengan baik, yang pada akhirnya akan berdampak positif terhadap proses penegakan HAM di Myanmar. Myanmar telah melewati beberpa perubahan penting dalam beberpa tahun terakhir dan akan terus menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Pelaksanaan dan perlindungan terhadap HAM di Myanmar akan terus menjadi tantangan utama bagi Myanmar di masa yang akan datang. Dalam konteks ini, konsep tradisional tentang saling ketergantungan dan tak terpisahkan antara hak-hak masyarakat sipil dalam budaya, ekonomi, politik, dan sosial, masih relevan untuk diterapkan. Transisi dari pemerintahan militer ke pemerintahan sipil yang demokratis membutuhkan beberapa perubahan struktural untuk menjamin keterlibatan seluruh sektor masyarakat Myanmar dalam proses transisi politik tersebut180.

180 Op. cit.,

United Nations General Assembly, “Situation of Human Rights in Myanmar”, dokumen no. A/63/341, hlm. 15-16.

BAB V KESIMPULAN

Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, kebijakan PBB dalam bentuk resolusi dikeluarkan oleh UNHRC atau Dewan HAM PBB yang dalam kaitannya dengan situasi pelanggaran HAM di Myanmar, dikeluarkan sebagai tanggapan atas momentum tertentu yang membuat situasi HAM di Myanmar menjadi sorotan dunia internasional, dalam hal ini momentum yang masih relevan dalam hal waktu kejadian adalah peristiwa rangkaian aksi demonstrasi damai yang dilakukan oleh para biksu di Myanmar untuk menentang pemerintah sepanjang bulan Agustus-September 2007. Dalam hal ini, pemerintah Myanmar menanggapinya dengan aksi pembubaran secara paksa yang disertai juga dengan berbagai tindak kekerasan seperti penembakan dan pemukulan. Menanggapi hal tersebut, maka PBB melalui UNHRC mengeluarkan 5 resolusi, yaitu: Res. S-5/1 (tanggal 2 Oktober 2007), Situation on Human Rights in Myanmar; Res. 6/33 (tanggal 14 Desember 2007), Follow-up the report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar; Res. 7/31 (tanggal 28 Maret 2008), Situation of Human Rights in Myanmar; Res. 7/31 (tanggal 28 Maret 2008), Mandate of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar; dan Res. 8/14 (tanggal 18 Juni 2008), Situation of human rights in Myanmar.

Secara umum, isi utama dari kelima resolusi tersebut adalah:

1) Menjamin penghormatan penuh terhadap HAM dan kebebasan- kebebasan mendasar dan untuk menyelidiki dan membawa para pelaku pelanggaran HAM dalam peristiwa demonstrasi damai pada September 2007 ke pengadilan;

2) Membebaskan dengan segera, orang-orang yang ditangkap dan ditahan pada saat peristiwa demonstrasi damai tersebut, dan untuk membebaskan seluruh tahanan politik di Myanmar, termasuk Sekretaris Umum NLD, Daw Aung San Suu Kyi, dan untuk menjamin penahanan tersebut telah memenuhi standar-standar internasional, termasuk menjamin kemungkinan untuk dapat menjenguk para tahanan;

3) Menghapuskan segala larangan terhadap aktifitas politik yang dilakukan secara damai oleh seluruh orang melalui, memberikan jaminan terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di depan umum dan kebebasan berekspresi, termasuk menjamin kebebasan dan independensi media, dan untuk menjamin tidak dibatasinya akses kepada media informasi bagi seluruh masyarakat Myanmar;

4) Segera melaksanakan dialog nasional dengan seluruh pihak dengan pandangan untuk mencapai rekonsiliasi nasional yang sebenarnya, demokratisasi dan tercapainya penegakan hukum; dan

5) Bekerjasama secara penuh dengan organisasi-organisasi kemanusiaan, termasuk dengan memberikan jaminan penuh, keselamatan, dan akses bantuan kemanusiaan bagi seluruh masyarakat Myanmar yang membutuhkan.

Kebijakan berikutnya yang dilakukan oleh PBB melalui UNHRC terkait dengan situasi HAM di Myanmar adalah melalui pengiriman Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar yang memiliki tugas dan kewajiban utama melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan resolusi yang dikeluarkan oleh PBB sekaligus melakukan langkah-langkah negosiasi dan dialog dengan pemerintah dan para stakeholders di Myanmar dalam rangka melancarkan pelaksanaan resolusi PBB tersebut. Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar ini telah dikirim oleh PBB sejak tahun 1992 dengan estimasi waktu sebagai berikut: Paulo Sergio Pinheiro (Brazil) dari tahun 1992-April 2008 dan Tomas Ojea Quintana (Argentina) dari Mei 2008-saat ini181.

Secara umum kegiatan yang dilakukan oleh Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar ini adalah:

1) Melakukan dialog-dialog dengan pemerintah Junta militer Myanmar terkait dengan pelaksanaan resolusi PBB sekaligus mendampingi, termasuk memberikan rekomendasi-rekomendasi tertentu kepada pemerintah Junta militer Myanmar dalam pelaksanaan penegakan HAM di Myanmar;

181

OHCHR, “United Nations Special Procedures; Fact and Figures 2008”, hlm. 2, http://www.ohchr.org, diakses tanggal 7 Juni 2009.

2) Melakukan dialog dengan para tokoh kelompok oposisi, dalam hal ini adalah kelompok pro-demokrasi, seperti para petinggi NLD Aung San Suu Kyi, Min Ko Naing, dan lain-lain, dalam rangka mencari jalan tengah penyelesaian masalah, khususnya masalah penegakan HAM di Myanmar;

3) Melakukan berbagai kunjungan ke tempat-tempat tertentu, seperti penjara-penjara di Myanmar, lokasi bencana alam (badai/topan Nargis) di Myanmar, wilayah-wilayah tempat terjadinya konflik etnis di Myanmar, sekaligus melakukan wawancara secara acak dalam rangka mengumpulkan berbagai informasi penting terkait dengan penegakan HAM di Myanmar; dan

4) Menerima berbagai laporan dari berbagai sumber terkait dengan penegakan HAM di Myanmar dalam rangka mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang situasi penegakan HAM di Myanmar, untuk kemudian memetakan kondisi lapangan, menentukan masalah- masalah yang penting dan mendesak, yang nantinya akan disusun ke dalam sebuah laporan, untuk kemudian diserahkan dan dilaporkan kepada Dewan HAM PBB dan dijadikan bahan pertimbangan bagi Dewan HAM PBB untuk mengeluarkan resolusi selanjutnya.

Kemajuan penting dalam proses penegakan HAM di Myanmar mulai terlihat pada saat masa tugas Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar yang kedua yaitu, Tomas Ojea Quintana, dimana pemerintah Myanmar telah menjalankan beberapa tahapan menuju konsolidasi demokrasi samapi

kepada tahapan referendum dan penetapan Konstitusi baru Myanmar yang memberikan jalan serta ruang bagi terciptanya pemerintahan sipil yang demokratis serta berjalannya proses penegakan HAM d Myanmar dengan baik. Terkait dengan kemajuan dan tahapan yang sedang dilalui atau dijalankan oleh pemerintah Myanmar tersebut, maka Pelapor Khusus PBB memberikan rekomendasi pemenuhan empat elemen utama HAM di Myanmar sebelum dilaksanakannya pemilu tahun 2010. empat elemen tersebut yaitu:

1) Peraturan hukum atau undang-undang di Myanmar yang dijadikan dasar hukum bagi pemerintah Myanmar untuk melakukan tindakan atau mengeluarkan kebijakan yang melanggar HAM. Beberapa peraturan tersebut adalah: State Protection Act (1975); Emergency Provisions Act (1950); Printers and Publishers Act (1962); Law Protecting the Peaceful and Systematic Transfer of State Responbility and the Successful Performance against Disturbance and Opposition

(No. 5) (1996); Law Relating to Forming of Organizations (1998);

Television and Video Law (1985); Motion Picture Law (1996);

Computer Science Development Law (1996); Unlawful Association Act; Electronik Communication Law; dan Pasal 143, 145, 152, 505, 505(b), dan 295-A Penal Code.182

2) Penangkapan dan penahanan para demonstran yang melakukan aksi- aksi demonstrasi menentang kebijakan pemerintah atau aksi-aksi

182

United Nations General Assembly, “Situation of Human Rights in Myanmar”, dokumen no. A/63/341, tanggal 5 September 2008, hlm. 18, http://daccess- ods.un.org/TMP/2007607.html, diakses tanggal 7 Juni 2009.

demonstrasi yang mengkritisi kebijakan pemerintah, serta penangkapan dan penahanan para aktifis politik pro demokrasi secara brutal tanpa adanya dasar hukum yang jelas dan tanpa pernah melewati proses persidangan yang terbuka dan adil dalam hal penjatuhan hukuman tahanan. Beberapa kategori tahanan yang menurut Pelapor Khusus PBB perlu segera dibebaskan dalam rangka penegakan HAM adalah sebagai berikut: tahanan yang berusia lanjut; tahanan dengan kondisi kesehatan yang terbatas (mengalami penyakit serius); tahanan yang merupakan anggota berbagai organisasi politik dan para pemimpin etnis nasional di Myanmar; para tahanan dengan masa hukuman yang panjang (75-100 tahun ke atas masa tahanan); tahanan yang merupakan pemimpin atau anggota dari organisasi keagamaan (seperti biksu dan bikhuni); para wanita yang memiliki anak; para tahanan yang dikirim ke kamp-kamp tenaga kerja paksa; para tahanan yang tidak bersalah atau belum pernah menjalani proses persidangan; para tahanan yang tidak pernah memiliki catatan kriminal sebelumnya; dan para tahanan rumah termasuk dan yang paling utama adalah pemimpin NLD Aung San Suu Kyi. Termasuk para tahanan yang ditangkap dan ditahan dari peristiwa-peristiwa khusus, seperti aksi-aksi demonstrasi.183

3) Angkatan bersenjata Myanmar atau yang disebut dengan Tatamadaw. Di dalam Konstitusi baru Myanmar yang dilegitimasi melalui

183

pelaksanaan referendum tahun 2008184, Tatamadaw tetap akan memainkan peranan penting di dalam pemerintahan baru hasil pemilu tahun 2010 nanti, yang menurut Konsitusi baru Myanmar merupakan pemerintah sipil yang demokratis dengan sistem multipartai. Oleh karena itu, militer Myanmar yang selama ini menjadi aktor utama dalam berbagai kasus pelanggaran HAM di Myanmar harus melakukan pembenahan internal agar bisa menjalankan amanat konstitusi serta dalam rangka mendukung pemerintahan sipil yang demokratis dimana salah satu ciri atau elemen dalam sebuan negara/pemerintahan yang demokratis adalah tegaknya HAM.

4) Lembaga peradilan Myanmar; sebagai ekses dari pemerintahan militer yang otoriter, maka seluruh lembaga pemerintahan pun menjadi tidak bisa menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya secara objektif. Salah satu lembaga dalam pemerintahan yang penting dan utama dalam usaha-usaha penegakan HAM adalah lembaga peradilan. Selama ini lembaga peradilan Myanmar menjadi salah satu lembaga yang memberikan dasar hukum bagi berbagai tindakan penahanan terhadap para aktifis anti pemerintah, kelompok-kelompok masyarakat yang menyuarakan kritik, para biksu dan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi, dan lain-lain, melalui proses peradilan yang tidak objektif

184

Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, referendum dilaksankan sebanyak dua kali yaitu pada tanggal 10 Mei dan 24 Mei 2008. berdasarkan pengumuman pemerintah, bahwa hasil referendum menyatakan bahwa dari total 22 juta pemilih pada pelaksanaan referendum tersebut, sekitar 92.4% pemilih menyatakan menerima rancangan draft Konstitusi baru Myanmar yang disusun oleh Konvensi Nasional.

dan tidak berimbang, serta peradilan yang tertutup dan over intervention dari pemerintah/penguasa.

Kedua, kendala utama penegakan HAM di Myanmar adalah sikap-sikap pemerintah yang belum mau membuka diri sepenuhnya terhadap penegakan HAM dengan alasan perlu adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk mencapai sebuah kondisi masyarakat dan negara dimana demokrasi dan HAM dapat berjalan dengan baik, dan untuk menjaga proses tersebut, perlu adanya pengawasan dan pengaturan dari pemerintah yang kuat, dalam hal ini pemerintahan militerlah yang mampu menjalankan tanggung jawab tersebut. Hal ini sejalan dengan prinsip discipline-flourishing democracy yang dicanangkan oleh pemerintah, yang pada akhirnya membuat proses penegakan HAM sulit untuk dilakukan di Myanmar, atau paling tidak masih membutuhkan waktu yang panjang agar penegakan HAM dan demokrasi yang sebenarnya bisa terwujud di Myanmar.

Ketiga, upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Junta militer Myanmar dengan adanya kebijakan PBB adalah melaksanakan tahapan atau langkah-langkah menuju pemerintahan sipil yang demokratis serta penegakan HAM di Myanmar, yang dituangkan oleh pemerintah dalam 7-step’s roadmap to democracy sebagai berikut:

1) Pembentukan Konvensi Nasional; yang sudah dimulai pemerintah sejak tahun 2003 untuk menyusun sebuah konstitusi baru. Konvensi Nasional baru bisa berjalan secara efektif mulai tahun 2005. Konvensi Nasional ini secara ideal merupakan perwakilan dari setiap kelompok

atau elemen bangsa di Myanmar, akan tetapi dalam kenyataannya, para perwakilan yang duduk di dalam Konvensi Nasional adalah mereka yang telah berafiliasi dengan pemerintah, termasuk beberapa kelompok etnis nasional yang pada awalnya melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah, lalu kemudian melakukan gencatan senjata dengan pemerintah. Sedangkan kelompok oposisi yang merupakan kelompok pro-demokrasi, yang pada pemilu tahun 1990 memenangkan mayoritas kursi di parlemen, justru tidak dilibatkan, bahkan pemimpinnya Aung Saan Suu Kyi dan Tin Oo hingga saat ini masih menjadi tahanan rumah pemerintah;

2) Penyusunan Konstitusi baru Myanmar; dimulai sejak tahun 2005, maksud dari penyusunan konstitusi baru ini, menurut pemerintah Myanmar adalah untuk menciptakan sebuah dasar hukum bagi proses transisi politik dan konsolidasi demokrasi di Myanmar, sehingga perubahan yang terjadi di Myanmar dapat bersifat mendasar dan menyeluruh. Pada tanggal 19 Februari 2008, Pemerintah mengumumkan bahwa draft Konstitusi baru akan selesai pada tanggal 9 April 2008, dan referendum untuk menerima atau menolak konstitusi tersebut akan dilaksanakan pada tangal 10 Mei 2008185;

3) Pelaksanaan referendum untuk Konstitusi baru; setelah draft konstitusi baru selesai dibuat, pemerintah Myamar segera melaksanakan

185

Op. Cit.,United Nations General Assembly, “Situation of Human Rights in Myanmar”, dokumen no. A/63/341, hlm. 6.

referendum untuk menentukan apakah draft konstitusi tersebut dapat diterima oleh masyarakat atau tidak. Pada tanggal 10 Mei 2008 referendum dilaksanakan oleh pemerintah di seluruh provinsi dan daerah di Myanmar, kecuali 40 kota di divisi Yangon dan 7 kota di Irrawady, dimana referendum di kota-kota tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 24 Mei 2008. Kepala Komisi pelaksana Referendum, Aung Toe, mengumumkan bahwa draft konstitusi telah diterima oleh 92.4% dari total 22 juta pemilih. Dalam hal ini NLD menolak hasil referendum186;

4) Pengesahan Konstitusi baru;

5) Pelaksanaan pemilu pada tahun 2010;

6) Pembentukan pemerintahan baru hasil pemilu 2010; dan

7) Pembangunan negara dan pemerintahan yang demokratik (langkah lanjutan).

Keempat, kebijakan PBB dalam bentuk resolusi dan fasilitasi (pengawasan dan negosiasi) telan berjalan dengan efektif, dalam pengertian kebijakan PBB sebagai pendorong bagi Pemerintah Myanmar pada khususnya, dan para aktor- aktor politik penting di Myanmar pada umumnya, untuk melakukan tahapan- tahapan penting menuju pemerintahan sipil yang demokratis, yang pada akhirnya memungkinkan bagi perkembangan positif penegakan HAM di Myanmar.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa respon penting yang diberikan oleh Pemerintah Myanmar terhadap kebijakan PBB terkait dengan penegakan

186

HAM di Myanmar adalah dilaksanakannya ketujuh langkah menuju demokrasi,

Dalam dokumen A. Latar Belakang Dan Penelitian (Halaman 169-187)