• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Kepada Stakeholder dalam Restrukturisasi Perseroan Terbatas Melalui Pemisahan Perseroan

BAB IV AKIBAT HUKUM RESTRUKTURISASI PERSEROAN TERBATAS MELALUI PEMISAHAN PERSEROAN

AKIBAT HUKUM RESTRUKTURISASI PERSEROAN TERBATAS MELALUI PEMISAHAN PERSEROAN

C. Perlindungan Hukum Kepada Stakeholder dalam Restrukturisasi Perseroan Terbatas Melalui Pemisahan Perseroan

86

Seperti kita ketahui perseroan terbatas didirikan berdasarkan perjanjian. Perjanjian ini pada pokoknya merupakan perjanjian kerjasama dari para pendiri perseroan. Para pihak selaku pendiri perseroan terbatas tidaklah sama. Hal ini kemudian menimbulkan kelompok pemegang saham mayoritas pada satu sisi dan kelompok pemegang saham minoritas pada sisi lain dalam perseroan. Kelompok pemegang saham mayoritas cenderung memonopoli pelaksanaan jalannya perseroan terbatas.

Sebagai salah satu pilar penggerak kemajuan negara, kehadiran Perseroan Terbatas sangatlah diperlukan. Eksistensi sebuah Perseroan Terbatas berhubungan langsung dengan penyerapan tenaga kerja di masyarakat sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran di negeri tercinta ini, di samping berhubungan juga dengan pajak yang diperoleh dari Perseroan Terbatas tersebut yang diperuntukkan bagi kas negara dan selanjutnya berguna untuk membangun berbagai infrastruktur di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, “Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang serta peraturan pelaksana lainnya”. Di sini dapat dikatakan bahwa kelangsungan serta kemajuan dari Perseroan Terbatas ditentukan oleh faktor modal yang paling utama.

Perseroan Terbatas didirikan sesuai perjanjian, dimana syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya perjanjian pendirian Perseroan Terbatas haruslah memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Perseroan Terbatas merupakan suatu badan usaha yang sempurna baik sebagai satu kesatuan ekonomi maupun sebagai kesatuan hukum. PT sebagai kesatuan ekonomi ditata oleh pranata hukum agar dapat berfungsi dan bertanggung jawab secara sempurna pula. Sebaliknya PT sebagai kesatuan hukum mempunyai kedudukan sebagai Badan Hukum yaitu sebagai subyek yang ma mpu melakukan perbuatan hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban di dalam lalu lintas hukum. Dalam hal ini kedudukannya saling mengisi dan melengkapi tanpa dapat dipisahkan.87

Sementara menurut Dhaniswara K. Harjono “PT merupakan subjek hukum yang mandiri, yang eksistensinya tidak bergantung kepada keberadaan pemegang saham , direksi, dan komisaris. Pengertian “terbatas” harus diartikan bahwa pertanggungjawaban pemegang saham terbatas kepada saham yang dimilikinya”.88

Perseroan Terbatas memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri, hal ini dilakukan demi kelangsungan dan kemajuan dari PT itu sendiri. Keunggulan PT dibanding bentuk usaha lainnya yaitu mampu melakukan kapitalisasi modal dimana dana bisa dihimpun tanpa mengganggu eksistensinya.

87

Sri Redjeki Hartono,Kapita Selekta Hukum Perusahaan

(

Bandung: Mandar Maju,2000), hlm.5.

88

Dhaniswara K.Harjono, Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Pengusaha (Jakarta: RajaGrafindoPersada,2006), hlm.32.

Kemampuan mengembangkan diri ini bisa dilakukan dengan cara restrukturisasi Perseroan Terbatas.

Menurut Zaeni Asyhadie,bahwa restrukturisasi badan usaha berarti melakukan perombakan secara mendasar seluruh mata rantai bisnis yang bertujuan untuk mencapai daya saing dan kompetisi, yang berarti bahwa tidak semata-mata menjadikan badan usaha tetap eksis, namun juga tetap memenuhi tuntutan pasar.89 Perombakan badan usaha tidak hanya menyangkut aspek bisnis, tetapi menyangkut usaha, organisasi, manajemen, keuangan, maupun aspek hukumnya. Bagi badan usaha yang mengalami kesulitan keuangan dan terancam pailit, maka melakukan upaya restrukturisasi badan usaha merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan.

Restrukturisasi Perseroan Terbatas terdiri dari penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan perseroan, semuanya diatur di dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Restrukturisasi Perseroan Terbatas akan memberikan pengaruh kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan perseroan tersebut. Menurut Sri Redjeki Hartono, bahwa “dalam hal merger, konsolidasi dan akuisisi, akibat hukum yang timbul adalah hak dan tanggung jawab baik di antara para pihak dan juga terhadap pihak ketiga secara langsung dan masyarakat luas secara tidak langsung”.90

Demi menghormati kepentingan para pihak, campur tangan hukum sangat diperlukan dalam hal ini. Perlindungan hukum terhadap para pihak akibat terjadinya restrukturisasi Perseroan Terbatas yaitu penggabungan, peleburan,

89

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,2009), hlm.138.

90

pengambilalihan atau pemisahan Perseroan haruslah diperhatikan dan diberikan agar tercipta situasi yang kondusif antara Perseroan Terbatas dan para pihak.

Pengelolaan perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) adalah apabila organ-organ Perseroan Terbatas, yaitu RUPS, Komisaris dan Direksi dalam menjalankan fungsinya selalu mengacu kepada Undang-Undang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar Perusahaan, dan Peraturan Perusahaan”,91

termasuk dalam melaksanakan restrukturisasi Perseroan.

Restrukturisasi PT terdiri dari penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan perseroan, semuanya diatur di dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dimana menurut Pasal 1 ayat 9 :

Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Sementara itu menurut Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas:

“Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu perseroa n baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum”.

91

Erman Rajagukguk,Jurnal Hukum Bisnis (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis,2007), hlm.27.

Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 1 ayat 11 mengatakan bahwa:

“Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut.”

Dan berdasarkan Pasal 1 ayat 12 Undang-UNdang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas:

“Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva pasiva perseroan beralih karena hukum kepada dua perseroan atau lebih atau sebagian aktiva pasiva perseroan beralih karena hukum kepada satu perseroan atau lebih”.

Penggabungan, peleburan, pengambilalihan Perseroan Terbatas semula diatur oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, namun karena Undang-Undang tersebut dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini maka Undang-Undang tersebut diganti dengan Undang-Undang-Undang-Undang No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan ada penambahan yaitu tentang pemisahan Perseroan terbatas.

Restrukturisasi Perseroan terbatas yang terdiri dari penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), pengambilalihan serta pemisahan mengakibatkan PT yang menggabungkan, meleburkan diri, yang diambil alih atau yang dipisahkan berakhir demi hukum sehingga aktiva dan pasiva PT yang melakukan restrukturisasi beralih pada PT yang menerima penggabungan, juga

beralih pada PT hasil peleburan, serta beralih juga pada PT yang mengambil alih, terpisah, demikian juga pemegang sahamnya.

Rancangan penggabungan, peleburan, pengambilalihan serta pemisahan Perseroan Terbatas dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Direksi Perseroan Terbatas yang melakukan restrukturisasi perusahaan tersebut mempunyai kewajiban untuk mengumumkan melalui surat kabar tentang rancangan strukturisasi juga wajib mengumumkan secara tertulis kepada para karyawan tentang rancangan penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan PT tersebut. Hal tersebut wajib dilakukan direksi dalam jangka 30 hari sebelum pemanggilan oleh RUPS.

Rancangan penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan PT yang telah disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham harus dituangkan dalam akta penggabungan, peleburan, pengambialihan atau pemisahan serta harus dibuat di hadapan notaris dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Perbuatan hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan para pihak yaitu pihak pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor dan mitra usaha perseroan lainnya, serta masyarakat sekitarnya. Hal tersebut harus dilakukan demi menjaga kelangsungan hidup dari Perseroan Terbatas tersebut.

Bagi pemegang saham yang tidak menyetujui keputusan Rapat Umum Pemegang Saham mengenai penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan boleh menggunakan haknya yaitu sahamnya dibeli dengan harga yang wajar. Demikian juga kreditor dapat mengajukan keberatan kepada perseroan

paling lambat empat belas hari setelah pengumuman mengenai penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan dari perseroan tersebut.

Restrukturisasi Perseroan Terbatas sangat berpengaruh terhadap keberadaan dari Perseroan Terbatas tersebut, dimana Perseroan Terbatas setelah melakukan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), pengambilalihan atau pemisahan akan mengalami perubahan-perubahan yang mendasar terhadap organ Perseroan dan pendukungnya, juga akan berpengaruh terhadap kepemilikan saham dan komposisi pemilikan saham, demikian terhadap kekayaan perusahaan, tanggung jawab dan kewajiban terhadap pihak ketiga juga akan berpengaruh . Kewajiban bagi Perseroan Terbatas sebelum melakukan penggabungan, peleburan, pengambialihan atau pemisahan perseroan yaitu memberikan pengumuman bahwa Perseroan Terbatas tersebut akan melakukan restrukturisasi, hal ini dilakukan dalam rangka melakukan publikasi kepada para pihak khususnya pihak ketiga dan masyarakat pendukung perseroan.

Perlindungan hukum terhadap para pihak akibat restrukturisasi Perseroan Terbatas yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 sudah memberikan ketentuan dimana perbuatan hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Perseroan Terbatas harus memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan dan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha. Selain itu penggabungan, peleburan, pengambialihan atau pemisahan Perseroan Terbatas tidak mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar.

Sebagai suatu perusahaan kerja sama yang pengelolaan manajemennya diserahkan kepada pemegang saham mayoritas, tidaklah mengherankan jika setiap

penyusunan kebijakan pengurusan, pengelolaan, dan pelaksanaan operasional perusahaan kerjasama patungan banyak mengacu kepada kebijakan, pengurusan, dan pengelolaan bahkan juga kepentingan dari pemegang saham mayoritas. Oleh karena itu, guna melindungi kepentingan dari pemegang saham minoritas dari peran pemegang saham mayoritas yang sangat dominan, perlu untuk diberikan pengaturan mengenai beberapa hal dalam perjanjian kerjasama, maupun dalam anggaran dasar perseroan terbatas yang dibentuk.92

Jika kita lihat perusahaan sebagai suatu perseroan dengan legal entity yang berdiri sendiri, pemegang saham seharusnya dapat melakukan pengawasan terhadap jalannya perusahaan dengan menempatkan orang yang dipercaya di dalam Dewan Komisaris Perseroan. Lewat Dewan Komisaris, setidaknya pemegang saham tersebut dapat melakukan pengawasan lewat suatu persetujuan yang harus diperoleh dari Direksi sebelum Direksi dapat melakukan perbuatan-perbuatan perseroan tertentu yang dianggap penting bagi perseroan (para pihak). Persetujuan ini hanya akan efektif bagi pemegang saham minoritas tersebut, jika ia dapat turut menentukan pemberiannya. Dan karena itu, untuk melindungi kepentingannya, maka sebaiknya keabsahan dari setiap persetujuan Dewan Komisaris haruslah menyertakan persetujuan dari salah satu Komisaris yang dipilih dari calon yang diajukan olehnya93. Hak pemegang saham Minoritas untuk meminta kembali kepada pemegang saham mayoritas untuk membeli kembali seluruh saham yang dimiliki olehnya atau disebut juga dengan buy back guarantee. 92 Ibid., hlm.180. 93 Ibid., hlm.183.

Jalannya perusahaan kerjasama patungan tersebut dilaksanakan sepenuhnya oleh Direksi perseroan yang identik dengan pemegang saham mayoritas dan bahwa salah satu bentuk pengawasan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan hak-hak tertentu kepada Dewan Komisaris perseroan untuk memberikan persetujuan atas tindakan-tindakan perseroan tertentu yang dianggap penting. Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa setiap anggota Dewan Komisaris dapat melaksanakan kegiatan pengawasan setiap saat atas segala kegiatan Direksi dalam menjalankan perseroan, namun dalam prakteknya setiap bentuk pengawasan ini tidak akan dapat berjalan optimum, terlebih lagi jika suara mayoritas dalam Dewan dipegang oleh pemegang saham mayoritas.

Oleh karena itu, untuk menjaga kepentingan investasi dari pemegang saham minoritas, dalam hal terdapat perselisihan kepentingan yang tidak dapat diselesaikan, sudah selayaknya jika pihak pemegang saham minoritas diberikan hak atau opsi (option) untuk meminta kepada pemegang saham mayoritas agar bagian penyertaannya dibeli kembali (buy back), atau diusahakan untuk dibeli oleh pihak ketiga dalam suatu jangka waktu tertentu,94 berdasarkan suatu rumusan harga yang harus disepakati sejak awal perjanjian kerjasama ditandatangani.

Berdasarkan UUPT secara tegas telah merumuskan perlindungan kepada pemegang saham minoritas atas tindakan direksi, dewan komisaris, dan atau pemegang saham mayoritas perseroan yang diduga merugikannya. Salah satu ketentuan yang cukup penting adalah dengan pemberian hak kepada pemegang saham minoritas yang mewakili sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) saham perseroan yang telah dikeluarkan untuk tindakan-tindakan berikut :

94

1. meminta diselenggarakannya Rapat Umum Pemegang Saham perseroan (Pasal 66 ayat 2);

2. meminta diadakannya pemeriksaan terhadap perseroan, dalam hal terdapat dugaan bahwa perseroan, anggota direksi atau komisaris perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga (Pasal 110 ayat 3) ;

3. memohonkan pembubaran perseroan (Pasal 117 ayat 1);

4. mewakili perseroan untuk mengajukan gugatan terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menerbitkan kerugian terhadap perseroan (Pasal 85 ayat 3);

5. mewakili perseroan untuk mengajukan gugatan terhadap komisaris perseroan yang karena kesalahan atau kelalaiannya menerbitkan kerugian terhadap perseroan (Pasal 98 ayat 2);

Sedangkan kepada setiap pemegang saham untuk :95

1. mengajukan gugatan terhadap perseroan, bila mereka dirugikan karena tindakan perseroan yang tidak adil dan tanpa alasan yang wajar, sebagai akibat keputusan Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, atau Komisaris perseroan (Pasal 54 ayat 2);

2. meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar, bila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang saham atau perseroan, yang berupa :

a) Perubahan Anggaran Dasar;

95

b) Penjualan, penjaminan, pertukaran sebagaian besar atau seluruh kekayaan perseroan;

c) Penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan perseroan (Pasal 55 ayat 1).

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat kita lihat bahwa selain dari perlindungan yang sejak awal telah harus diperhatikan oleh setiap pemegang saham minoritas, undang-undang perseroan terbatas dalam berbagai rumusannya, juga secara langsung maupun tidak langsung telah berupaya melindungi kepentigan minoritas. Secara langsung dengan meminta diadakannya pembelian kembali (buy back) oleh perseroan, maupun untuk memohonkan pembubaran perseroan, maupun secara tidak langsung dengan membebankan kewajiban kepad Direksi dan Dewan Komisaris perseroan untuk menjalankan perusahaan secara profesional. Dengan adanya berbagai ketentuan tersebut diharapkan setiap perusahaan yang dikelola secara profesional, terlepas dari pihak yang mencalonkannya, dengan hanya memperhatikan kepentingan perusahaan semata-mata (yang nota bene juga merupakan kepentingan dari pemegang saham secara keseluruhan). Setiap penyimpangan dari kewajiban tersebut yang menyebabkan kerugian terhadap perseroan dan atau pemegang saham yang menyebabkan kerugian terhadap perseroan dan atau pemegang saham (minoritas) akan membawanya kepada pertanggungjawaban terhadap seluruh harta kekayaan pribadi miliknya.

Menurut undang-undang, surat saham dipandang sebagai barang bergerak (Pasal 511 ayat (4) KUHPdt). Pemegang saham yang memiliki saham mempunyai hak kebendaan terhadap saham tersebut. Dalam hal ini sebagai

subyek hukum, pemegang saham mempunyai hak dan kewajiban yang timbul atas saham tersbut. Hak dan kewajibannya terhadap perseroan dan pemegang saham lainnya berada dalam hubungan perikatan dimana diatur dalam UU No.1 Tahun 1995 dan dalam Anggaran Dasar. Dalam Pasal 54 ayat (1) UU No.1 Tahun 1995 juga dinyatakan bahwa saham merupakan benda bergrak dan memberikan hak kepemilikan kepada pemegangnya. Kepemilikan atas saham sebagai benda bergerak memberikan hak kebendaan kepada pemegangnya. Hak tersebut dapat dipertahankan tehadap setiap orang.

Dengan demikian pemegang saham selaku subyek hukum mempunyai hak perseorangan atau personal right yang dapat dipertahankan serta dapat menuntut pelaksanaan haknya.96 Dalam Pasal 54 ayat (2) UU No.1 Tahun 1995 disebutkan bahwa setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan melalui pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan. Gugatan terhadap perseroan diajukan apabila yang bersangkutan dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan yang wajar, sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi dan Komisaris. Gugatan yang diajukan pada dasarnya dimaksudkan untuk memohon agar perseroan menghentikan tindakan-tindakan yang merugikan dan mengambil langkah-langkah baik untuk mengatasi akibat yang sudah timbul maupun untuk mencegah tindakan serupa dkemudian hari. Dalam hal ini jelas bahwa ketentuan UUPT tersebut memberi perlindungan yang baik kepada pemegang saham. Namun demikian, yang lebih memperoleh peluang dalam memanfaatkan ketentuan itu adalah pemegang saham minoritas karena pemegang saham minoritas bisa menolk

96

suatu tindakan yang hendak dilakukan oleh perseroan meskipun telah diputuskan oleh RUPS. Menurut ketentuan sebelum berlakunya Undang-Undang PT, pemegang saham minoritas tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menurut. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang PT , pemegang saham minoritas bisa melakukan gugatan atau menyatakan :

1. perubahan Anggaran Dasar;

2. penjualan, penjaminan, pertukaran sebagian besar atau seluruh kekayaan perseroan;

3. penggabungan, peleburan atau pengambilalihan perseroan.

Dengan demikian, sekurang-kurangnya pemegang saham masih bisa menutup kerugiannya jika ia memutuskan untuk meninggalkan perseroan. Namun, apabila perseroan tidak bisa membeli, perseroan wajib mengusahakan supaya sisa saham bisa dibeli oleh pihak lain. Tetapoi apabila hal ini juga tidak dapat terlaksana, pemegang saham minoritas dapat kembali memanfaatkan ketentuan Pasal 54 yaitu menggugat perseroan ke pengadilan negeri.

Kedudukan hukum para pemegang saham minoritas yang jauh lebih lemah dan tidak mampu menghadapi tindakan Direksi atau Komisaris yang merugikan perseroan, justru disebabkan oleh kedudukan pemegang saham mayoritas yang identik dengan kedua organ perusahaan tersebut baik secara fisik maupun kepentingan. Hal lain yang juga menghambat pemegang saham minoritas untuk mewakili kepentingan perseroan atau PT adalah prinsip “persona standi in

judicio” yaitu hak untuk mewakili perseroan, baik didalam maupun diluar

pengadilan, yang tiada lain dilakukan oleh organ perseroan tersebut.97

97

http://fikiwarobay.blogspot.com/2012/05/perlindungan-hukum-terhadap-pemegang.html (diakses tanggal 07 Mei 2015).

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang PT bahwa Pasal 85 ayat (3) jo Pasal 98 ayat (2) memberi hak suara khusus kepada pemegang saham minoritas guna dapat melakukan tindakan-tindakan atau bertindak selaku wakil perseroan dalam memperjuangkan kepentingan perseroan terhadap tindakan perseroan yang merugikan sebagai akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh direksi dan atau komisaris. Hak yang diberikan kepada pemegang saham tersebut dinamakan hak derivatif. Dalam hal ini, hak untuk melakukan gugatan atas nama perseroan dapat dilakukan oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah ke pengadilan negeri terhadap anggota direksi dan atau komisaris yang karena kesalahan menimbulkan kerugian pada perseroan.

Pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah atau suatu jumlah yang kecil sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan, dapat meminta untuk diselenggarakan RUPS (Pasal 66 ayat (2) UU No.1 Tahun 1995). Ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan dapat memberikan izin kepada pemohon untuk :98

1. Melakukan sendiri pemanggilan RUPS tahunan atas permohonan pemegang saham apabila direksi atau komisaris tidak menyelenggarakan RUPS tahunan pada waktu yang telah ditentukan;

2. Melakukan sendiri pemanggilan RUPS lainnya atas permohonan pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), apabila Direksi atau Komisaris setelah lewat waktu tiga puluh hari terhitung sejak permintaan,

98

tidak melakukan pemanggilan RUPS lainnya (Pasal 67 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1995).

Penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang memberi izin kepada pemohon untuk melakukan sendiri pemanggilan RUPS merupakan penetapan instansi pertama dan terakhir, Pasal 67 ayat (4),yang karena itu tidak dapat dimintakan banding seperti yang biasanya selalu dimungkinkan terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Disini tampak adanya kekhususan yang diberikan oleh undang-undang dalam rangka penegakan kepentingan pemegang saham minoritas agar pelaksanaan RUPS tidak tertunda.

Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang No.1 tahun 1995 menyebutkan bahwa : atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.

Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1995 berbunyi sama, hanya saja gugatannya ditujukan terhadap Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan. Apabila pemohon meminta langsung kepada perseroan tentang data atau keterangan yang diperlukan namum ditolak atau tidak diperhatikan jalan keluarnya yaitu pemeriksaan terhadap perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa:99

1. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga;

99

2. Anggota Direksi atau Komisaris melakukan perbuatan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga (Pasal 110 Undang-Undang No.1 Tahun 1995).

Pemeriksaan diatas dilakukan oleh pemegang saham atas nama perseroan, apabila mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan. Jalan keluar lainnya adalah Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan atas permohonan satu orang pemegang saham atau lebih yang mewakili jumlah yang sama seperti diatas, yaitu paling sedikit 1/10 bagian