• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

B. Deskripsi Permasalahan Penelitian

1. Persepsi Masyarakat Sekitar Desa Cokro Mengenai Tradisi Padusan

Pesan yang diterima oleh setiap individu akan berbeda-beda tergantung dari bagaimana cara tersebut dimaknai oleh penerimanya. Tingkah laku selalu didasarkan pada makna sebagai hasil persepsi terhadap kehidupan para pelakunya.

commit to user

Persepsi merupakan pencapaian makna yang diperoleh seseorang melalui pancaindera dan makna ini mempengaruhi tindakan sehingga membentuk pola- pola dan sistem pemikiran. Pada masyarakat Jawa (Tengah), setiap kali menjelang bulan Ramadhan, ada suatu tradisi tahunan yang dilakukan selain Nyadran

(berziarah ke makam), yaitu tradisi padusan (dari kata adus atau mandi).

Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Cokro yang masih tetap menjalankan kebudayaan asli. Masyarakat Cokro, yang dalam hal ini juga termasuk dalam masyarakat atau suku jawa, memiliki tradisi yang telah sekian lama bertahan hingga sekarang. Tradisi tersebut adalah tradisi padusan yang dilaksanakan setiap setahun sekali menjelang bulan puasa. Begitu juga dengan padusan ini. Setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai tradisi padusan. Seperti halnya yang diungkapkan salah satu informan yang peneliti temui. Secara langsung pak Dm mengungkapkan :

“secara simbolis tradisi padusan bertujuan untuk mensucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa”(W/Dm/17/11/2009).

Berbeda dengan apa yang diungkapkan Jk :

“Padusan itu tidak mensucikan diri, karena pada kenyataannya air yang digunakan untuk mandi para pengunjung malah kotor karena saking ramainya pengunjung. Banyak para pengunjung yang membuang sampah sembarangan di sekitar umbul, bahkan tidak sedikit dari para pengunjung yang membuang sampah ke dalam air. Pada waktu padusan ada juga pengunjung yang malah memanfaatkan situasi ini untuk mabuk-mabukan yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran agama dan dilarang agama, padahal itu menjelang bulan puasa, apakah itu yang dinamakan mensucikan diri?” (W/Jk/21/12/2009).

Kutipan pernyataan informan di atas bisa dilihat bagaimana informan

memandang padusan itu tidak mensucikan diri tetapi dimanfaatkan untuk mabuk- mabukan yang jelas bertentangan dengan norma agama. Untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan seharusnya hal-hal seperti itu harus dihindari. hampir sama dengan pernyataan Jk, Ar juga menambahkan :

padusan itu semacam mandi bersih bertujuan mensucikan diri mbak,

commit to user

setahun sekali, karena itu sudah dilaksanakan sejak jaman nenek moyang kita, itu keturunan. Seperti wayang gitu ya mbak itu kan sejak jaman dahulu dan harus dilestarikan, sampai sekarang kan masih tetap dilestarikan. Untuk itu harus tetap dilestarikan jangan sampai diambil oleh Negara lain. Kalau bukan kita sendiri yang menjaganya terus siapa lagi. Terutama warga sekitar sini. Tetapi selain itu kadang padusan juga dipakai untuk mabuk-mabukan mbak, biasanya anak-anak muda” (W/Ar/27/11/2009).

Selain itu Pak Sy selaku perangkat desa Cokro menuturkan :

“tradisi padusan itu merupakan adat kebiasaan yang turun-temurun yang diadakan masyarakat setempat bertujuan untuk mensucikan diri, diadakan setian setahun sekali menjelang bulan suci yang diislamkan menjadi budaya daerah Cokro. Biasanya dikemas dengan hiburan atau tontonan yang berupa reog, karnaval, dan biasanya ada kirab tapi tidak rutin tergantung pengelola dan dana yang ada. Tradisi padusan hanya berupa simbol mensucikan diri secara lahiriyah. Menrut cerita yang saya dengar ya mbak yang bisa dikaitkan dengan segi agama tradisi padusan ini diadakan oleh para wali saat menyebarkan agama islam” (W/Sy/11/01/2010).

Pak Sy mengungkapkan bahwa tradisi padusan awalnya merupakan adat kebiasaan turun-temurun yang dilaksanakan sejak nenek moyang yang kemudian tradisi tersebut diislamkan sebagai simbol mensucikan diri secara lahiriyah menjelang bulan puasa dan akhirnya menjadi budaya desa Cokro. Biasanya dalam acara padusan disuguhkan beberapa hiburan yang berupa reog, karnaval, dll yang tujuaannya tak lain untuk memamerkan kepada masyarakat kebudayaan yang telah dimiliki oleh masyarakat setempat.

Pak Dm juga menambahkan pernyataan pak Sy :

bahwa tradisi padusan merupakan ritual yang sifatnya turun-menurun,

dari jaman nenek moyang sampai sekarang masih dilestarikan. Konon ceritanya mengapa Umbul Ingas sebagai tempat pelaksanaan tradisi padusan karena pada jaman dahulu, umbul Ingas digunakan untuk tempat pemandian putri keraton Surakarta. Pada tahun 1926 keraton Surakarta bekerjasama dengan Belanda membangun saluran air dari Umbul Ingas untuk dialirkan menuju keraton Surakarta. Sampai sekarang air yang digunakan oleh warga Solo sekitar keraton Surakarta bersumber dari mata air umbul Ingas yang saat ini dikelola oleh pihak PDAM. Tradisi padusan hanya merupakan sebuah imajinasi atau penggambaran kebiasaan para putri keraton pada jaman dahulu yang

commit to user

sering mandi di Umbul Ingas untuk membersihkan diri, kemudian dikemas dalam satu acara atau tradisi padusan tersebut yang tujuannya untuk mensucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa. Padusan bisa dilaksanakan di kolam renang, sungai, kamar mandi atau

dimanapun tidak harus di Umbul atau sumber mata air tertentu

(W/Dm/17/11/2009).

Hampir sama dengan apa yang diungkapkan oleh Pak Sy, seorang pedagang yang kesehariaannya berjualan di umbul Cokro yaitu ibu Nw juga mengatakan :

padusan niku kados persiapan sakderenge wulan siam mbak, kados

ngresiki awak saking jenis kotoran, kebiasaan niki sampun ket nenek moyang, dadi teko seprene tetep dilestarikan, kepercayaan tiyang mbien

kados niku mbak, saiki para generasi muda katah sing lali karo

kebudayaane dewe, nek mboten tiyang sepuh sing mbantu nguru-uri,

nggih kados padusan niki salah setunggalipun” (W/NW/27/11/2009).

(Padusan itu semacam persiapan sebelum bulan puasa, jadi sampai sekarang tetap dilestarikan, kepercayaan orang dahulu seperti itu, sekarang para generasi muda banyak yang lupa dengan kebudayaannya sendiri, kalau tidak orang tua yang membantu merawat, seperti padusan ini salah satunya).

Pernyataan mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di kota Solo mendukung pernyataan bu NW diatas bahwa seperti yang diungkapkan langsung

oleh Hr mahasiswa UMS di rumahnya:

Padusan itu untuk mensucikan diri sebelum puasa guna mendekatkan diri

dengan sang pencipta, karena ini sudah menjadi keyakinan daerah sini

mbak”. Menurutnya “tradisi Padusan perlu dilestarikan karena jaman

sekarang budaya daerah sendiri harus tetap dijaga mbak, tetapi menurut agama padusan tidak harus dilestarikan soalnya itu musyrik mbak, kalau ingin mensucikan diri ya ga harus mandi ke pemandian, saya pribadi seh

setuju dilestarikan agar tidak punah mbak”(W/Hr/11/01/2010).

Pernyataan Hr di atas maksudnya yaitu bahwa tradisi padusan bertujuan untuk mensucikan diri sebelum bulan puasa karena tradisi padusan sudah menjadi keyakinan atau kebiasaan daerah Cokro. Tradisi padusan harus tetap dilestarikan apalagi di jaman sekarang, kebudayaan daerah sendiri harus tetap di jaga, tetapi apabila dilihat dari segi agama, padusan itu musyrik karena untuk mensucikan diri tidak harus datang ke pemandian untuk melaksanakan padusan. Sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Rz :

commit to user

“Padusan itu ya mbak dilaksanakan setiap tahun menjelang bulan Ramadhan merupakan warisan dari nenek moyang terdahulu. Tujuan dari padusan itu sendiri yaitu membersihkan jiwa raga guna menghadapi dan menjalankan ibadah puasa, agar dalam menjalankan ibadah puasa jiwa raga dalam kondisi benar-benar bersih. Tradisi Padusan harus tetap dilestarikan, jangan sampai hilang seiring perkembangan jaman. Tidak semua daerah memiliki potensi seperti ini, jadi kita sebagai warga pemilik kebudayaan harus tetap menjaga kelestarian budaya kita sendiri jangan

sampai musnah atau malah bisa-bisa diambil orang lain”

(W/Rz/27/11/2009).

Menurut Rz padusan itu dilaksanakan setiap tahun menjelang bulan Ramadhan, merupakan warisan nenek moyang. Padusan bertujuan untuk membersihkan jiwa raga guna menyambut bulan puasa supaya dalam menjalankan ibadah puasa jiwa raga dalam keadaan bersih. Tradisi padusan juga harus tetap dilestarikan karena tidak setiap daerah memiliki potensi seperti ini.

Selain apa yang diungkapkan Rz, gadis pelajar SMA yaitu NL juga menambahkan :

“aku yowes pernah ning padusan mbak, ning Wonolelo, terus sing terakhir wingi ning Cokro, tapi aku lagi sepisan wingi padusan ning Cokro mbak, dijak konco-koncoku. Tujuanku padusan kui sing pertama yo mergo dijak konco-koncoku, terus yo golek hiburan mbak soale rame

banget, terus yo karo membersihkan dosa-dosa sebelum puasa”. (saya

juga sudah pernah padusan, ke Wonolelo, terus yang terakhir ke Cokro, tetapi saya baru pertama kalinya kemarin padusan ke Cokro, diajak teman- teman saya. Tujuan saya padusan itu yang pertama karena diajak teman- teman, kemudian nyari hiburan karena ramai banget kemudian sekalian membersihkan dosa-dosa sebelum puasa). NL juga mengatakan bahwa

padusan dilaksanakan satu atau dua hari sebelum bulan puasa”.

Menurut NL, padusan harus tetap dilestariakn jangan sampai punah,

sayang banget mbak nek sampe ora rutin dilaksanakan” (sayang banget

kalau sampai tidak rutin dilaksanakan). (W/NL/16/12/2009).

NL mengungkapkan kalau padusan itu ajang mencari hiburan dan selain itu untuk membersihkan diri sebelum puasa.

Dari semua uraian di atas dapat diambil kesimpulan akhir, bahwa persepsi masyarakat sekitar desa Cokro mengenai tradisi padusan, seperti yang diungkapkan pak Sy selaku perangkat desa, pak Dm selaku pengelola dinas pariwisata Umbul Cokro dan ketua pelaksanaan tradisi padusan, Ibu Nw padagang

commit to user

di Umbul Cokro, Rz, Ar selaku perngunjung, dan yang terakhir NL, Hr, Jk mengungkapkan bahwa tradisi padusan adalah mensucikan atau membersihkan diri secara simbolis sebelum menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali yang telah dilaksanakan sejak nenek moyang secara turun-temurun dan harus dilestarikan karena merupakan kebudayaan bangsa. Tetapi ada pernyataan lain yaitu Jk bahwa tradisi padusan tidak mensucikan diri karena air yang dipakai untuk mandi airnya malah kotor karena banyaknya pengunjung yang membuang sampah sembarangan dan ada juga pengunjung yang malah mabuk-mabukan di kawasan umbul tempat pelaksanaan padusan.