• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERBASIS YANG PADA KEKUATAN

B. PERSPEKTIF PADA KEKUATAN ( STRENGTHS

PERSPECTIVE)

Selama beberapa dekade terakhir, pekerjaan sosial dan profesi pertolongan lainnya telah memusatkan fokus utamanya pada pendiagnosaan pathology, shortcomings, dan dysfunctions klien. Salah satu alasannya mungkin bahwa psikologi Freud digunakan sebagai teori utama dalam menganalisis perilaku manusia. Psikologi Freud didasarkan pada model medis dan

dengan demikian memiliki konsep yang berupaya

mengidentifikasi kesakitan atau pathology. Sebagaimana diuraikan dalam tulisan sebelumnya, pekerjaan sosial saat ini telah beralih pada model sistem dalam menilai perilaku

manusia. Model tersebut memfokuskan diri pada

pengidentifikasian baik kekuatan maupun kelemahan.

Hal terpenting bahwa para pekerja sosial memasukan kekuatan atau kelebihan klien dalam proses asesmen. Dalam bekerja bersama dengan klien, para pekerja sosial fokus pada kekuatan dan sumber-sumber klien guna membantu mereka mengatasi permasalahannya sendiri. Untuk memanfaatkan kekuatan atau kelebihan klien secara efektif, para pekerja sosial pertama-tama harus mengidentifikasi kekuatan- kekuatan tersebut.

Sayangnya, Maluccio (1979) menemukan bahwa banyak para pekerja sosial fokus perhatiannya terlalu banyak pada kelemahan-kelemahan klien dan memandang rendah

atau buta dengan kekuatan-kekuatannya. Maluccio

menyimpulkan bahwa terdapat suatu tuntutan untuk mengubah fokus perhatian pendidikan dan praktik pekerjaan sosial dari masalah atau patologi beralih kepada kekuatan,

sumber-sumber, dan potensi-potensi dalam kehidupan manusia dan lingkungannya.

Terlalu focus pada kelemahan dapat memperburuk kapasitas seorang pekerja sosial untuk mengetahui potensi pertumbuhan klien. Para pekerja sosial berkeyakinan kuat bahwa klien memiliki hak (dan sebaiknya digali) untuk mengembangkan potensialitas dirinya secara penuh. Memfokuskan pada penyakit (pathology) selalu melemahkan nilai tanggung jawab tersebut.

Alasan lainnya adalah untuk memelihara kekuatan- kekuatan (kelebihan-kelebihan) klien yaitu bahwa banyak klien perlu dibantu meningkatkan harga dirinya. Banyak yang merasa tak berdaya, merasa tidak adil, merasa bersalah, dan tidak memiliki kepercayaan serta harga diri. Glasser (1972) mencatat bahwa harga diri yang rendah seringkali mengarah atau menimbulkan kesulitan emosional, mudah menyerah, atau bertindak kriminal. Bantulah klien untuk memandang dirinya lebih positif, pekerja sosial pertama-tama harus

memandang kliennya sesuai dengan kekuatan dan

kemampuannya. Berwick (1980) menilai rendah poin ini dalam bekerja bersama orang tua yang mengabaikan anak- anak yang sulit berkembang:

Harga-diri yang menyurut rendah di orang tua anak- anak tersebut, dan keberhasilan rumah sakit memelihara seorang anak saat si ibu gagal yang hanya meratapi penderitaan….Bahkan dalam beberapa kasus yang membutuhkan layanan perawatan, tugas perawatan kesehatan berupaya mencari kekuatan dan mengembangkan pemikiran kompetensi baik orang

tua dan anak yang akan memungkinkan hubungan pemeliharaan yang sinkron terus tumbuh.

Perspektif kekuatan sangat erat kaitannya dengan pemberdayaan (empowerment). Empowerment sebagaimana didefinisikan oleh Barker (1995) sebagai “the process of helping individuals, families, groups, and communities to increase their personal, interpersonal, socioeconomic, and political strength and to

develop influence toward improving their circumstances” (p.20).

Perspektif ini berupaya mengidentifikasi, memanfaatkan, membangun, dan memperkuat kekuatan dan kemampuan yang mereka punya. Hal tersebut berlawanan dengan perspektif patologis, yang cenderung fokus pada kelemahan dan ketidakmampuan mereka. Perspektif kekuatan berguna untuk melihat lingkaran kehidupan dan melintasi seluruh tahap proses pertolongan—assessment, intervention, and

evaluation. Fokus tersebut menekan pada kemampuan orang,

nilai-nilai, minat, keyakinan, sumber-sumber, prestasi dan aspirasi seseorang (Weick, Rapp, Sulivan, & Kisthardt, 1989)

Menurut Saleebey (1997, pp. 12-15), terdapat lima prinsip yang mengarahkan asumsi perspektif kekuatan tersebut:

Pertama. Setiap individu, kelompok, keluarga dan masyarakat memiliki kekuatan. Perspektif kekuatan melihat sumber-sumber tersebut. Saleebey mencatat bahwa di tahap akhir, klien ingin mengetahui bahwa anda benar-benar membantu mereka, bahwa bagaimana melihat diri anda berbeda, bahwa anda akan mendengarkan mereka, bahwa anda akan menghargai diri mereka tidak perduli latar belakang mereka, dan bahwa anda yakin bahwa mereka dapat

membangun sesuatu yang bernilai dengan sumber-sumber yang ada dalam diri dan di sekitar mereka. Tetapi yang terpenting, klien ingin mengetahui bahwa anda yakin bahwa mereka dapat mengatasi kemalangan dan mulai menapaki ke arah perubahan dan pertumbuhan (p.12)

Kedua. Trauma, siksaan, sakit, dan perjuangan dapat membuat luka, tetapi hal tersebut dapat dijadikan sumber tantangan dan kesempatan/peluang. Klien yang telah menjadi korban dipandang sebagai individu aktif dan berkembang, melalui trauma, mereka belajar keterampilan dan atribut pengembangan diri yang membantu mereka menghadapi persoalan yang sama di masa mendatang. Kehormatan akan ditemui ketika mampu mengatasi hambatan-hambatan. Kita akan cepat tumbuh berkembang apabila kita mampu melewati krisis dan mampu mengatasi situasi secara efektif di setiap periode kehidupan.

Ketiga. Diasumsikan bahwa anda sama sekali tidak mengetahui batas atas dari kapasitas untuk terus tumbuh dan berubah, dan melakukan aspirasi individu, kelompok dan masyarakat secara serius. Prinsip ini berarti bahwa pekerja social harus memegang harapan yang tinggi terhadap klien dan mengikatnya dengan visi, impian, dan nilai-nilainya. Individu, keluarga, dan masyarakat memeiliki kapasitas untuk memantulkan dan memulihkan persoalan. Ketika pekerja sosial menghubungkannya dengan harapan dan impian klien, klien secara tepat memiliki keyakinan yang lebih besar. Sehingga seterusnya mereka mampu menempatkan upaya-upaya yang dibutuhkan untuk memenuhi harapan dan impian mereka sendiri.

Keempat. Kita lakukan pelayanan terbaik kepada klien dengan berkolaborasi dengannya, yang lebih besar akan dirinya sendiri. Seorang pekerja sosial akan lebih efektif jika

dilihat oleh klien sebagai kolaborator atau konsultan daripada sebagai seorang ahli atau seorang professional. Sikap mental kolaboratif oleh seorang pekerja sosial membuat dia lebih rentan dengan beragam akibat kelemahan dari hubungan

expert-inferior, termasuk pemolaan, victim-blaming, dan pesolek

pandangan klien.

Kelima. Setiap lingkungan penuh dengan sumber- sumber. Dalam setiap lingkungan (tidak perduli seberapa kerasnya) terdapat individu-individu, kelompok-kelompok, asosiasi, dan institusi dengan sesuatu untuk pemberian, dan dengan sesuatu kebutuhan lainnya mungkin menyedihkan. Perspektif kekuatan berupaya mengidentifikasi sumber- sumber tersebut dan membuat mereka keberadaannya bermanfaat bagi individu, keluarga, dan kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Prinsip-prinsip tersebut begitu esensial penerapannya, khususnya berkaitan dengan proses awal pertolongan pekerjaan sosial, yaitu assessment. Hasil dari assessment ini akan ditentukan bersama (antara pekerja sosial dan klien) mengenai rencana kegiatan (plan of treatment) yang sekiranya tepat sesuai dengan sumber—sumber dan potensi yang dimiliki klien dan yang ada di sekitar klien. Namun, sebelum berlanjut perlu pula untuk melihat suatu kerangka assessment,

yang telah ada dan berkembang baik yaitu asesmen dengan kerangka bio-psiko-sosio-spiritual’; yang mencoba untuk secara menyeluruh melihat beragam dimensi dalam asesmen.

Kerangka Bio-Psiko-Sosio-Spiritual

Langkah pertama untuk melakukan asesmen yang bermakna adalah dengan memperluas cara pandangnya. Kebanyakan orang melihat diri mereka sebagai gabungan dari

berbagai kualitas yang kompleks, dengan berbagai dimensi, yang sebagian diketahui orang lain, sebagian lagi tidak diketahui. Semua manusia dipengaruhi oleh dan berdiri paling sedikit dalam 4 dimensi utama, biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Kebanyakan teori-teori praktik, bahkan dalam pekerjaan sosial, menekankan pada dua dimensi pertama, dan praktik asesmen tradisional, terutama DSM, sedikit atau bahkan tidak menghiraukan dua dimensi terakhir. Yang menarik adalah bahwa dalam dimensi sosial dan spiritual tersebutlah substansi dari kehidupan individu itu ditampilkan. Yaitu dimana makna dikonstruksi dan hubungan

dikembangkan. Terutama dimensi sosiallah dimana

individual dapat berinteraksi dengan lingkungannya, dan menemukan lingkungan tersebut sebagai sumber yang berlimpah atau meningkatkan perkembangan atau penuh tekanan dan melemahkan.

Kapan seorang klien menjadi bukan seorang klien?

Akan membantu untuk memahami bahwa tidak setiap orang menyebut klien adalah seorang klien. Sebagai contoh, saya bertaruh bahwa tidak ada itu kasus klien yang tidak kooperatif atau klien yang mendapatkan mandat, dan dengan anggapan tersebut menyarankan bahwa ada pemikiran delusional di sisi praktisi dan menjamin munculnya perilaku “tidak kooperatif” (de Shazer, 1985; Walter & Peller, 1992). Hal tersebut lebih masuk akal lagi ketika seseorang memahami bahwa banyak individu yang dilihat oleh seorang pekerja sosial bukan sebagai klien, tapi sesuatu atau seseorang lain.

Ada 5 tipe individu yang dipandang pekerja sosial sebagai klien: pengeluh, pengunjung, sasaran, pasien dan klien (de Shazer, 1985; Pincus & Minahan, 1973).

Pengeluh adalah orang dengan sebuah keluhan, dan mereka

ingin sesuatu atau lebih umum, seseorang untuk berubah. Terapi perkawinan dan keluarga seringkali menemukan mereka memiliki satu atau lebih keluhan, individu yang ingin pasangan atau anak mereka berubah.

Pengunjung adalah orang yang pada intinya sedang melewati;

mereka tidak mengeluh maupun tertarik pada sesuatu. Pekerja sosial sekolah melihat banyak anak yang paling tidak, diawalnya adalah sebagai pengunjung.

Sasaran adalah orang-orang yang diinginkan berubah oleh

orang lain. Banyak anak-anak yang diterapi adalah sasaran, begitu juga dengan banyak pasangan, dan klien yang disebut tidak kooperatif, menolak dan dimandatkan.

Pasien adalah penerima perawatan medis. Pekerja sosial tidak

memberikan pelayanan medis, dan menyebut klien sebagai pasien menciptakan ruang epistemologi dan prasangka yang tidak sesuai dengan etika.

Klien didefinisikan oleh dua kriteria yang sangat penting: a)

mereka mempunyai keluhan, dan b) mereka masuk ke dalam kontrak dengan pekerja sosial untuk melakukan sesuatu dengan keluhan mereka.

Memahami siapa yang ditemui mengubah keseluruhan pengalaman dan hasil dari proses asesmen. Sebagai contoh, memahami seseorang sebagai sebuah sasaran secara lengkap akan mengubah makna interaksi yang dikonstruksikan secara sosial, dan ekspektasi yang dimiliki seseorang atas interaksi tersebut. “melawan” atau kurang kooperatif dipandang sebagai cara sasaran untuk mengajarkan pemberi pelayanan bagaimana bekerja dengan sasaran tersebut (O’Hanlon & Wilk, 1987).

Identitas, Atribut Dan Perilaku: Atau Menjadi, Memiliki Dan Melakukan

Perspektif berdasarkan kekuatan tidak menghiraukan

atau meminimalisasi diagnosa atau keterampilan-

keterampilan diagnosa, tapi menekankan bahwa mereka harus dipandang kontekstual dan sebagai bagian dari proses yang lebih besar. “Setelah melakukan asesmen, dampaknya pekerja sosial perlu meyakinkan bahwa diagnosis tidak menjadi sudut identitas diri” (Saleebey, 1996, hal. 303). Sehingga, pertimbangan penting lainnya dalam proses asesmen adalah memahami perbedaan antara identitas, atribut, dan perilaku. Sebagai contoh, pertimbangkan bagaimana ketiga pernyataan berikut memiliki dampak kepada persepsi diri klien dan persepsi pekerja sosial terhadap mereka: “dia adalah rata- rata”. “dia memiliki disorder kepribadian borderline”. Dan “kadang-kadang dia sangat baik, kadang-kadang dia sangat kritis”. Atau contoh lainnya: “Saya seorang alkoholik”, “saya memiliki penyakit yang disebut alkoholisme”, dan “Kebiasaan

minum saya menciptakan masalah dalam kehidupan saya”. Di setiap contoh, ketiga pernyataan berasal dari asumsi epistemologi dan ontologi yang berbeda, dan dampaknya terhadap persepsi sedikit tapi sangat besar signifikansinya, dan sangat beragam dengan individu yang terkena. Mendeklarasikan seseorang sebagai seorang alkoholik adalah perubahan yang sangat kritis untuk sebagian orang, sementara menyebutkan seseorang itu rata-rata mungkin akan mendapatkan reaksi diskriminasi dari pemberi pelayanan, dan juga berbahaya bagi perasaan diri indvidu tersebut.

Pekerja sosial harus memahami bagaimana perbedaan ini mempengaruhi cara mereka melihat dan berhubungan dengan orang-orang yang memerlukan pelayanan, dan bagaimana klien-klien tersebut melihat dirinya sendiri dalam dunia ini. Label memiliki kekuatan tidak saja menjelaskan, namun juga mempenjarakan dan mempersempit serta memperberat klien dengan cara mengurangi fakta-fakta berarti dari kehidupan mereka menjadi fakta tidak penting.

Tabel 4. Dimensi Asesmen Bio-Psycho-Socio-Spiritual

Biological Basic need—food, clothing, shelter

Comprehensive health

Physical attributes and abilities Physical environment

Psychological Individual history

Personality style and makeup Intelligence and mental abilities Self-concept and identity

Lanjutan:Tabel 4 Dimensi Asesmen Bio-Psycho-Socio-Spiritual

Sociocultural Family (through biology, choice, or

circumstance) Community Ethnicity Social environment Political environment Economic environment

Spiritual Sense of self, in relation to the world

Sense of meaning and purpose Value base

Religious life

Sumber: Graybeal, 2001

Graybeal (2001;p237-238) mengusulkan penggunaan Model ROPES (resources, options, possibilities, exceptions,

solutions) dalam melakukan asesmen yang berbasis pada

kekuatan. Model ini digunakan sebagai alat praktis untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber-sumber dan kekuatan-kekuatan personal dan lingkungan. Kerangka model tersebut digunakan untuk memandu baik perspektif secara umum maupun pertanyaan khusus bagi para praktisi. Yaitu ketika para praktisi mengalami kebuntuan, kurang inspirasi, atau tidak mampu menentukan pemanfaatan kekuatan. Maka ROPES, dapat dipahami sebagai alat mnemonic yang dapat memberi arah panduan bertindak.

Tabel 5 Indentifikasi Kekuatan: Menggunakan ROPES

Resources Pribadi (personal) Keluarga (family)

Lingkungan sosial (social environment) Keorganisasian (organizational)

Komunitas (community) Options Fokus saat ini (present focus)

Penentuan pilihan (Emphasis on choice) Apa yang dapat diakses saat ini? (what can be accessed now?)

Apa yang tersedia dan belum dicoba atau digunakan? (what is available and hasn’t been or tried or utilized?) Possibilities Fokus masa depan(future fokus)

Imaginasi (imagination) Kreativitas (creativity)

Visi masa depan (Vision of the future) Lakukan (play)

Apa yang anda berfikir dicobakan tapi belum dilakukan

Exceptions Saat masalahnya tidak juga terjadi? Saat permasalahan berbeda?

Saat bagian dari hipotesis di masa depan terjadi? Bagaimana anda selamat, bertahan, dan terus berjuang?

Solutions Fokus pada konstruksi solusi bukan pada pemecahan masalah

Apanya yang dapat berjalan? Apa keberhasilan anda?

Apa yang anda lakukan ketika anda ingin terus melanjutkan ?

Mukjizat apa yang terjadi?

Apa yang akan anda lakukan sekarang untuk membuat potongan mukjizat tersebut? Sumber: Graybeal, 2001

Tantangannya bagi para pekerja sosial adalah bagaimana memasukan perspektif kekuatan tersebut, bahkan dalam sebuah setting dimana hanya terdapat sedikit relevansi pemahaman, pengakuan, atau penerimaan. Pada sisi inilah nilai-nilai dasar dan etika pekerjaan sosial seharusnya melandasi pilihan bertindak, karena hati, pemikiran, gagasan dan perilaku tindakan tersebut dapat memperkuat dan mempertahankan paradigma berfikir tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya advokasi agar mempercepat perubahan paradgima tersebut baik dalam level kebijakan maupun praktik.

Menghadapi form isian asesmen yang tradisional, adalah memungkinkan untuk menggeser cara penulisannya, melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada klien, dan memberi ruang khusus pada respon-respon pengecualian, harapan, dan kemungkinannya. Dalam bagian berikut Graybeal (2001) juga memperlihatkan contoh bagaimana pergeseran yang dapat dilakukan dari asesmen tradisional kemudian bergeser pada asesmen berbasis pada kekuatan dengan menambahkan informasi tambahan.

Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari Perspektif Kekuatan Jenis Area

Informasi Informasi tradisional Informasi tambahan

Keberadaan masalah Gambaran detail permasalahan Daftar simpton Status msental Strategi koping Menekankan pada bahasanya klien Pengecualian permasalahan Eksplorasi sumber Menekankan pada solusinya klien Pertanyaan mukjizat

Lanjutan: Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari Perspektif Kekuatan

Jenis Area Informasi

Informasi

tradisional Informasi tambahan

Sejarah masalah Onset and duration Course of development Interactional sequences Previous teratment history

Exceptions: When was the probem not happening, orhappening differently?

Include “future history” ---vision of when problem is solved Sejarah pribadi Developmental

miletones Medical history Pshysical, emotional, sexual abuse Diet, exercise Physical, psychological, social, spiritual, enviromental assets. “how did you do that?” “how have you

managed to overcome your adversities?” “what have you learned that you would want others to know?” Substance Abuse History Patterns of use: onset, frequency, quantity Drugs/habits of choice: alcohol, drugs, caffeine, nicotine, gambling Consequences: physical, social, psychological

“How does using help?” Periods of using less (difference)

Periodes of abstinence (exceptions)

Persosn and family rituals---what has endured despite use/abuse? Sumber: Graybeal, 2001

Lanjutan: Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari Perspektif Kekuatan

Jenis Area Informasi

Informasi

tradisional Informasi tambahan

Sejaran keluarga Age and health of parents, siblings Descriptions of relationships Cultural and ethic influences History of illness, mental illness Family rituals (mealtimes/holidays) Role models---nuclear and extended

Strategies for enduring Important family stories Pekerjaan dan Pendidikan Educational history Employment history Achievements, patterns, and problems

List of skill and interests Homemaking, parenting skills

Community involment Spiritual and ritual involment Ringkasan dan rekomendasi treatment Summary and prioritization of concern Diagonis: DSM-IV, PIE Recomended treatment strategies Expanded narrative- reduce focus on

diagnosis and problems Summary of resources, options, possibilities, exceptions, and solutions.

Recommendations to other professionals for how to utilize strengths in work with client Sumber: Graybeal, 2001

Penting untuk memahami bahwa seorang klien mungkin berpartisipasi dalam proses asesmen pada salah satu hari terburuk yang pernah dialaminya. Dia mungkin sedang mengalami kehilangan, trauma, keterasingan, kemiskinan, kekerasan, kekurangan gizi dan psikosis. Dia mungkin tidak pernah perlu meminta pertolongan sebelumnya, dan merasa malu, bersalah, dan/atau tidak kompeten. Pertanyaan- pertanyaan yang diberikan oleh pekerja sosial adalah kritikal. Pertanyaan yang diajukan mungkin dapat memperburuk keadaan, atau dapat membimbing klien untuk mengenali dan mengakui perasaan mereka dan harga diri serta kemungkinan yang ada. Dan penemuan yang paling penting bagi pekerja sosial ialah bahwa pertanyaan yang diajukan tidak menghiraukan masalah atau patologi, namun menempatkan kekhawatiran dalam konteks kepercayaan bahwa klien juga memegang petunjuk-petunjuk dan kreatifitas yang dapat mengarah pada penyelesaian masalah. Belajar mengajukan pertanyaan yang dapat membuka kemungkinan aalah sebuah bentuk seni yang berada dalam tataran praktik. Untungnya, sekarang banyak berkembangan sumber-sumber untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut, (Tomm, 1987; Cowger, 1994; DeJong & Miller, 1995; DeJong & Berg, 1998). Para pekerja sosial didukung untuk mendedikasikan paling tidak waktu yang sama untuk mempelajari keterampilan ini seperti mempelajari keterampilan diagnostic berdasar pada patologi.

Struktur terkini dari format asesmen tradisional seringkali dibuat berdasarkan pada permintaan peraturan pemerintah dan praktik-praktik penagihan asuransi. Ini juga dipengaruhi oleh hegemoni yang luar biasa dari model medis

dalam praktik kesehatan mental, dengan penekanan pada masalah-masalah, patologi dan diagnosis. Namun begitu, pengalaman menyebutkan bahwa tidak saja mungkin menggunakan format tradisional dalam cara yang berbeda, tapi juga memulai perubahan di tingkat institusi. Saya memiliki beberapa siswa dan kolega yang telah menulis ulang format asesmen lembaga dan menggunakannya secara efektif

untuk mempengaruhi praktik ke arah yang lebih

mengakomodasi perspektif kekuatan.

C.

SUMBER-SUMBER INFORMASI

Data yang dimanfaatkan dalam membuat asesmen berasal dari berbagai sumber. Berikut sumber-sumber informasi utama berkaitan dengan assessment.

1) Catatan Pembicaraan Klien

Sebuah catatan verbal klien adalah selalu menjadi sumber utama dan dalam sejumlah kasus menjadi satu-satunya data. (Misalkan, pekerja sosial yang bekerja dalam seting khusus terkadang memenuhi informasinya hanya dari klien). Berbagai informasi mungkin dapat diperoleh dengan cara ini: deskripsi masalah, perasaannya terhadap masalah, pandangannya mengenai sumber-sumber kepribadiannya untuk menghadapi masalah, motivasi untuk mengatasi masalah, sejarah masalah, pandangan penyebab masalah, gambaran mengenai upaya apa yang telah dilakukan dalam mengatasi masalah, dst.

Meski klien umumnya telah secara akurat menjelaskan kesulitan-kesulitann dan sumber-sumber, pekerja sosial seharusnya menyadari bahwa laporan verbal terkadang terdirstorsi oleh rasa keraguan, bias, persepsi yang mendirstorsi, perasaan emosional yang kuat. Contoh, seorang istri yang ditinggal suaminya yang menikah dengan orang lain mungkin memiliki reaksi emosional yang amat kuat sehingga dia mungkin tidak objektif terhadap peran yang dia mainkan dalam memutuskan pernikahannya. Dalam sejumlah seting tertentu klien berupaya untuk menyembunyikan, atau bahkan mengubah informasi. Orang tua yang abusif, misalkan, mungkin akan menyangkal bahwa mereka telah melakukan penganiayaan terhadap anak-anaknya. Alkoholik, mungkin karena sifat dari proses adiktifnya, akan menyangkal bahwa ia memiliki masalah dengan minuman keras. Klien

tindak pidana mungkin akan menyangkal atau

menyembunyikan aktifitas kriminalnya.

Laporan verbal klien sebaiknya dihargai dengan valid hingga diperoleh informasi tambahan lainnya. Dalam sejumlah setting, seperti dalam pelayanan protektif, selalu diperlukan verifikasi terhadap penyangkalan klie terhadap permasalahan yang dihadapi dengan mencek sumber-sumber lainnya seperti tetangga, kerabat, dan pihak sekolah.

2) Lembar Isian Asesmen

Banyak badan pelayanan sosial, sebelum atau sesudah wawancara pertama, meminta klien untuk melengkapi form (lembar isian) tertentu yang memuat informasi mengenai nama, alamat, nomor telepon, pekerjaan, riwayat pendidikan, status pernikahan, gambaran masalah, nama anggota

keluarga, dan seterusnya. Informasi-informasi tersebut sangat efisien jika klien mengisi form tersebut.

Beberapa laporan pribadi (self-report) juga digunakan dalam proses asesmen. Sejumlah klien, khususnya remaja, mungkin akan lebih nyaman dan lebih percaya diri jika mereka dapat menjawab pertanyaan pada suatu form, sementara untuk memastikannya para profesional dari badan pelayanan akan membantu melihat jawabannya. Misalkan dari dua jenis instrumen pertanyaan dengan cara mengulang pertanyaan secara berbeda sehingga penguji mengetahui reliabilitas pertanyaan tersebut, yaitu terdapat kesamaan jawaban dari pertanyaan dengan cara yang sama. Instrumens tersebut juga mesti valid.

Jika seorang pekerja sosial memilih untuk memanfaatkan instrumen laporan pribadi, dia harus mengetahui isntrumen tersebut dan cara penggunaannya. Penelitian terhadap reabilitas dan validitas sebaiknya dilakukan secara hati-hati dalam rangka mengevaluasi nilainya. Juga pekerja sosial harus menggunakan akal