• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASSESSMENT DANWAWANCARA DALAM PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ASSESSMENT DANWAWANCARA DALAM PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL."

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

Assessment

dan

wawancara

dalam

PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL DAN

KESEJAHTERAAN SOSIAL

(2)

assessment

&

wawancara

dalam

PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL DAN

KESEJAHTERAAN SOSIAL

(3)

ISBN: 978-602-9238-51-8

assessment

dan wawancara

dalam PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL dan KESEJAHTERAAN SOSIAL

© 2015 Santoso T. Raharjo

Cetakan Kedua

Hak cipta yang dilindungi ada pada penulis Hak penerbitan ada pada Unpad Press

Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang Tlp.(022) 843 88812

Website: lppm.unpad.ac.id Email:lppm.unpad.ac.id Bandung, 2015

1 Jil., 184 hlm., 17,5 cm X 24 cm ISBN: 978-602-9238-51-8 Cetakan kedua Maret 2015

ISBN: 978-602-9238-51-8

9 7 8 - 6 0 2 - 9 2 3 8

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbillalamin patut penulis panjatkan

kehadirat Allah Subhannahuwatala, atas selesainya penulisan buku ini. Buku ini merupakan bagian dari upaya untuk memperkaya tulisan-tulisan dalam bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial. Buku ini secara khusus memberikan gambaran dan penjelasan mengenai penggunaan teknik wawancara dan asesmen dalam praktek pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial.

Di dalamnya juga menggambarkan mengenai

kemampuan pekerja sosial dalam melakukan wawancara atau konseling dalam pelayanan manusia seringkali dianggap kemampuan penting dan utama dalam pekerjaan sosial.

Kehadiran buku ini diharapkan dapat menjawab atas langkanya buku-buku teks pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial, terutama mengenai wawancara dalam praktek pekerjaan sosial. Sekaligus pula, harapan dari penulisan buku ini dapat mendorong para ahli dan praktisi pekerjaan sosial lainnya membuat banyak tulisan yang sejenis, dalam rangka memperbanyak bahan-bahan tulisan.

Mudah-mudahan karya ini dapat memotivasi penulis untuk terus berkarya dan berkontribusi kepada masyarakat, bangsa dan negara, serta agama. Amiin...

Jatinangor, Maret 2015

(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

iv

Daftar Tabel

vi

Daftar gambar

vii

1.

Pembuka:Praktik Generalis Pekerjaan Sosial

1

2. Prinsip Dasar dan Prinsip Praktik Pekerjaan Sosial

Mikro 25

3. Assessment Berbasis pada Kekuatan 33

4. Engagement and Tool Assessment dalam Perspektif

Praktek Generalist 89

5. Wawancara dalam Praktek Pekerjaan Sosial 103

6. Komunikasi Verbal dan Non Verbal Dalam

Konseling 123

7. Pencatatan Dalam Praktik Pekerjaan Sosial 151

8. Negosiasi 163

(6)

Daftar Tabel

Tabel 1 Aspek Utama Sistem Mikro dan Makro 4 Tabel 2 Intervensi Utama Mikro-Generalis 5 Tabel 3 Ketiga Intervensi Level Makro 8 Tabel 4 Dimensi Asesmen Bio-Psycho-Socio-Spiritual 46 Tabel 5 Indentifikasi Kekuatan: Menggunakan ROPES 48 Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari Perspektif Kekuatan 49 Tabel 7 Temuan assessment dan Intervensi yang

direkomendasikan 87 Tabel 8 Isyarat Nonverbal dalam Hubungan Komunikasi 124 Tabel 9 Perilaku Peran dan Tanggapan Verbal Sesuai Tahapan

(7)

Daftar Gambar

Gambar 1 Elaborasi dari sistem klien, sistem pelaksana perubahan, sistem sasaran, dan sistem kegiatan

menurut model Pincuss-Minahan 67

Gambar 2 Contoh gabungan dan tumpangtindihnya

beragam sistem dalam model Pincuss-Minahan 68

Gambar 3 Tahap pertama dari pendekatan sistem analisis

terhadap kasus Jojo 70

Gambar 4 Assesmen data dalam kasus Jojo 71

Gambar 5 Penentuan. sasaran dan tujuan hasil dalam kasus

Jojo 72

Gambar 6 Penentuan. tujuan strategi/metode dalam kasus

(8)

1

PEMBUKA:

PRAKTIK GENERALIS PEKERJAAN SOSIAL

A. PENDAHULUAN

Bagian awal ini menjelaskan tentang konsep dan prinsip praktik pekerjaan sosial secara umum, yaitu bagaimana hubungan pertolongan yang terbangun dalam pekerjaan sosial generalis baik ketika bekerja dengan sistem klien perseorangan, keluarga, kelompok, organisasi maupun masyarakat. Kemudian secara umum akan dijelaskan bagaimana praktik generalis melakukan intervensi dalam level mikro dan level makro. Walau demikian pada kenyataannya pekerja sosial generalis akan melakukan praktik/intervensinya secara simultan, yaitu bergerak baik pada level mikro maupun level makro.

Pentingnya peranan ‘diri’ pekerja sosial dalam praktik pekerjaan sosial generalis merupakan hal mendasar; khususnya kemampuan ‘diri’ dalam upaya memberikan dukungan, meningkatkan motivasi, memperkuat komitmen, menggerakkan kekuatan dan meningkatkan pemahaman serta memfasilitasi komunikasi bersama-sama klien.

(9)

klien untuk membangun suatu hubungan pertolongan dan terlibat dalam proses pertolongan.

Umumnya praktik pekerjaan sosial berbasiskan-lembaga adalah terpusat pada masalah (problem-focused). Klien cenderung dipandang lemah dan mengalami masalah patologis yang memerlukan pengobatan untuk memperbaiki keberfungsian (Saleebey, 2002). Dalam perkembangan terkini mulai bermunculan suatu pendekatan praktik yang berbasis pada kekuatan pada diri klien. Pendekatan berbasis-kekuatan

(the strenghts-based approach) adalah berbeda, fokusnya adalah

pada kekuatan-kekuatan, sumber-sumber, dan kemampuan dalam diri klien. Klien dipandang mampu melakukan perubahan. Mereka adalah rekan (partner) dan partisipan aktif dalam perubahan. Pekerja sosial bukan pemecah masalah

(problem-solver). Fungsi utama pekerja sosial generalis adalah

membantu klien mengenali, mengerahkan dan meningkatkan kekuatan dan kemampuan inheren mereka. (Weick et al., 1989). Dalam pendekatan berbasis-kekuatan, klien adalah ahli

(expert) dengan pengetahuan dan mampu memenuhi

perubahan yang dibutuhkan. Fokus praktik pekerjaan sosial adalah pada memberdayakan klien dan memantapkan hubungan pertolongan (yang) kolaboratif.

(10)

sistem klien adalah yang bermanfaat bagi klien, yang seluruhnya berfokus pada kekuatan dan sumber-sumber klien.

B. JENIS INTERVENSI PEKERJAAN SOSIAL GENERALIS

Klasifikasi intervensi dari praktik pekerjaan sosial generalis dapat dilihat dalam tabel 1. Dengan konseptualisasi ini, tugas-tugas intervensi dikategorisasikan dengan level sistem (individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau masyarakat). Praktik generalis selalu memerlukan intervensi secara simultan pada setiap level (multilevel). Dalam situasi intervensi perubahan kasus tertentu, anda dan klien anda mungkin akan terlibat dengan sejumlah individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau masyarakat.

(11)

mikro adalah meningkatkan keberfungsian dan keberdayaan klien. Kedua tujuan tersebut saling berkaitan dalam penerapannya dengan klien-klien individu, pasangan, keluarga, dan kelompok kecil.

Tabel 1. Aspek Utama Sistem Mikro dan Makro

Level sistem

Sistem klien Maksud hubungan Pertolongan

(12)

keluarga-keluarga, dan kelompok-kelompok kecil. Umumnya intervensi level mikro oleh pekerja sosial generalis dibagi menjadi dua kelompok besar, konseling dan manajemen kasus (Tabel 1). Intervensi konseling terdiri dari supportive counseling

dan pendidikan-pelatihan. Manajemen kasus terdiri dari hubungan pelayanan (service linkage), kordinasi pelayanan, negosiasi pelayanan, mobilisasi sumber, dan advokasi klien. Tabel 2. menggambarkan secara umum intervensi mikro generalis.

Tabel 2 Intervensi Utama Mikro-Generalis

Intervensi Penjelasan

Konseling

Konseling dukungan

Pekerja sosial dan klien terlibat dalam suatu proses terapis dan konseling secara kolaboratif. Tujuan dari intervensi ini adalah membantu klien

mengatasi perhatian dan tantangan, meningkatan kamampuan, memperbaiki keberfungsian. Pendidikan

dan pelatihan

Pekerja sosial membantu klien belajar dan ahli dengan konsep-konsep dan keterapilan baru

Manajemen kasus

Hubungan pelayanan

Pekerja sosial membantu klien mengidentifikasi dan membangun hubungan (contact) dengan program-program dan pelayanan-pelayanan lain. Koordinasi

pelayanan

Pekerja sosial mengkoordinasikan berbagai macam pelayanan dan para profesional yang terlibat dalam kehidupan klien untuk memastikan bahwa

(13)

Lanjutan Tabel 2 Intervensi Utama Mikro - Generalis

Negosiasi pelayanan

Pekerja sosial membantu klien yang mengalami kesulitan berhadapan dengan program-program dan pelayanan-pelayanan lain.

Mobilisasi sumber

Pekerja sosial membantu klien memenuhi sumber-sumber yang dibutuhkan, seperti tempat tinggal, pakaian, makanan, furnitur, dukungan keuangan, atau perawatan kesehatan

Advokasi klien

Pekerja sosial mendidik klien tentang hak-haknya, mengajari mereka keterampilan-keterampilan advokasi, dan melakukan tekanan kepada badan-badan sosial dan sumber-sumber untuk merespon kebutuhan klien

Sumber: Zastrow, 2010

Intervensi level-makro berfokus pada perubahan keorganisasian dan komunitas/ masyarakat. Sejumlah penulis memasukan perubahan kemasyarakatan dalam kategori praktik makro dan menempatkan perubahan keorganisasian dalam pada level-mezzo (Milley, O’Melia and Dubois, 1998). Banyak yang membatasi definisi praktik makro sebagaimana bekerja bersama kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi masyarakat, perencanaan dan pengembangan program, dan implementasi, administrasi, dan evaluasi program (Connaway and Gentry, 1998; Kirst-Ashman and

Hull, 1993; Specht, 1988) nampaknya cenderung

menggambarkan secara lebih realistik apa yang dilakukan oleh pekerja sosial generalis dalam praktik aktual.

(14)

struktur pembuatan keputusan organisasi. Pekerja sosial biasanya berpartisipasi dalam kelompok kerja yang dikelola secara resmi, seperti halnya kelompok-kelompok satuan tugas atau komite-komite. Sistem klien mungkin juga para pembuat keputusan organisasi, yaitu para administrator dan supervisor. Jadi, para pekerja sosial generalis mengupayakan perubahan cara pandang pembuat keputusan organisasi atau struktur pembuatan keputusan sebagai sistem klien.

Pada level keoganisasian, tujuan praktik level-makro adalah meningkatkan keberfungsian organisasi, memperbaiki pelayanan dan penyedian pelayanan, atau membangun pelayanan-pelalayanan baru. Ketiga tujuan tersebut meliputi perubahan organisasi atau badan (agency). Para pekerja sosial generalis cenderung berbasis pada badan-badan dan bekerja dalam suatu kerangka keorganisasian. Ini bukan berarti bahwa perubahan keorganisasian tidak bisa dilakukan dari luar sistem (Chavis, Florin, and Felix, 1993). Sudah merupakan tradisi yang lama atau umum dalam praktik pekerjaan sosial bahwa terjadinya perubahan berasal dari luar. Tradisi tersebut kembali kepada awal permulaan dan pekerjaan sosial dan pembaharu-pembaharu sosial di era progresif (Haynes and Mickelson, 1991: Reeser and Epstein, 1990).

(15)

dibutuhkan. Para pekerja sosial generalis yang terlibat dalam perubahan masyarakat biasanya bekerja sama dengan profesional atau kelompok-kelompok masyarakat. Beberapa kelompok terkadang terdiri dari anggota profesional dan warga masyarakat. Para pekerja sosial yang terlibat dalam praktik masayarakat memandang kelompok dimana mereka bekerja bersama sebagai sistem klien. Dengan kata lain, sistem klien adalah satuan tugas profesional, kelompok ketetanggaan, atau koalisi masyarakat yang berupaya melakukan perubahan atau meningkatkan masyarakat.

Para pekerja sosial generalis terlibat dalam suatu intervensi keorganisasian dan kemasyarakatan yang luas. Sebagaimana terlihat dalam Tabel 3, intervensi makro yang digunakan oleh pekerja sosial generalis terutama terdiri dari pendidikan dan pelatihan, perencanaan program dan pengembangan masyarakat.

Tabel 3 Ketiga Intervensi Level Makro

Intervensi Penjelasan

Pekerja sosial membantu meningkatkan kondisi masyarakat dan memberdayakan warga untuk mau & mampu melakukan perubahan

(16)

C. MANFAAT DIRI SENDIRI (SELF)

Manfaat diri sendiri merujuk pada keterampilan dan interaksi pekerja sosial dengan sistem klien (Goldstein, 1995; Northen, 1995). Para pekerja sosial mengintervensi dengan cara membangun hubungan dengan cara membantu sistem klien dalam rangka pencapaian tujuan perubahan yang jelas. Hasil penelitian membuktikan secara konsisten terhadap bukti yang kuat dari perubahan klien melalui hubungan pertolongan (Marziali and Alexander, 1991; Russell, 1990). Artinya melalui hubungan pertolongan maka perubahan bisa dilakukan. Karena pekerja sosial berinteraksi dengan sistem klien, kualitas interaksi dalam memfasilitasi (mempermudah) perubahan klien. Pekerja sosial memanfaatkan dirinya untuk berkomunikasi.

- Memahami - Penuh harapan - Sensitifitas - Setiakawan - Menghargai - Dukungan - Penerimaan - Komitmen - Empati - Keyakinan

- Perhatian untuk bekerjasama

(17)

kelompok-kelompok ketetanggaan. Pekerja sosial melakukan berbagai tugas intervensi dengan memanfaatkan diri dan aktifitas-aktifitas perubahan sistem. Efektivitas keterampilan-keterampilan interpersonal dalam praktik pekerjaan sosial generalis diperlukan untuk mempermudah perubahan pada level-level individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat

D. KLIEN-KLIEN PEKERJAAN SOSIAL

Praktik generalis melibatkan kerjasama dengan sistem klien dari semua ukuran (level). Sistem klien utama mungkin seorang individu, sebuah keluarga, sekelompok kecil, suatu organisasi, atau sebuah masyarakat. Sistem klien utama nampaknya tidak hanya menjadi satu-satunya sistem klien yang dibantu atau yang mejadi sasaran perubahan. Secara tipikal, praktik generalis bekerja dengan sejumlah sistem klien yang saling berhubungan.

Praktik pekerjaan sosial generalis yang bertumpu pada kekuatan menggunakan pendekatan ekosistem (a ecosystems

perspective). Perspektif ini memusatkan perhatian asesmen dan

intervensinya pada transaksi (baca: pertukaran/timbal-balik)

masalah antara individu dengan lingkungannya.

Permasalahan transaksi tersebut menjadi sistem sasaran yang klien dan pekerja sosial upayakan perubahannya (Pincus and Minahan, 1973). Sistem sasaran bisa berupa sistem klien individu atau individu lainnya, keluarga, kelompok, organisasi, atau masyarakat dimana sistem klien berada

(person-in-environment). Beberapa atau semua sistem dalam

(18)

1) Jenis-jenis Klien

Seorang klien potensial untuk dapat menjadi klien hanya jika dan ketika terjadi kesepakatan yang jelas antara seseorang dengan pekerja sosial mengenai tujuan kerjasama mereka. Selanjutnya secara ideal, klien adalah seseorang yang sepakat untuk bekerjasama dengan pekerja sosial dalam rangka mencapai suatu hasil yang jelas. Terdapat tiga jenis klien: sukarela (voluntary), bukan sukarela (involuntary), dan tidak sukarela (nonvoluntary) (Garvin and Seabury, 1997). Namun demikian dalam konteks praktik di Indonesia saat sekarang ini masih sulit ditemukan klien yang secara sadar dan sukarela

untuk menemui pekerja sosial berkenaan dengan

permasalahan yang sedang dihadapinya. Tentunya hal ini masih berkait dengan community sanction (kewenangan dan pengakuan yang diberikan oleh masyarakat) yang belum mewujud sepenuhnya serta pengakuan pemerintah yang terwujud dalam perekrutan dan penghargaan yang diberikan kepada para lulusan sekolah-sekolah pekerjaan sosial.

Selanjutnya, klien sukarela adalah yang mencari pelayanan dari pekerja sosial atau badan-badan sosial atas

dasar keinginan sendiri karena mereka memang

(19)

Klien tidak sukarela (nonvoluntary) yaitu yang ditekan atau dipaksa untuk mencari bantuan oleh seseorang yang mereka kenal dekat, bisa anggota keluarga ataupun bukan. Mereka tidak memperoleh mandat dari pengadilan atau hukum atau badan sosial untuk memperoleh bantuan. Seorang teman, kerabat, atau koleganya meyakini bahwa dia atau mereka memiliki masalah; tetapi dia atau mereka sendiri mungkin tidak mengakuinya atau menyadarinya. Bahkan seandainya pun mereka mengakui keberadaan masalah, namun mereka tidak berkeinginan mencari bantuan. Mereka datang ke pekerja sosial karena “they may suffer unpleasant consequences if

they refuse” (Garvin and Seabury, 1997, p.132). Seorang ibu

muda yang dipaksa oleh suaminya untuk memperoleh bantuan dari pekerja sosial terhadap masalah perilaku kecanduan obat-obatan adalah contoh dari klien yang tidak sukarela (nonvoluntary). Dia datang ke pekerja sosial hanya karena suaminya mengancam untuk meninggalkannya dan perawatan anak mereka. Dia secara esensial telah dipaksa oleh suaminya untuk memperoleh bantuan profesional terhadap masalahnya dan memenuhi harapan suaminya agar dia tidak meninggalkan dirinya dan memungkinkan memperoleh hak perawatan atas anak mereka.

(20)

Namun demikian apakah klien tersebut termasuk kategori sukerela, tidak sukarela atau bukan sukarela, mereka tetap harus membuat semacam kontrak atau kesepakatan dengan pekerja sosial dalam rangka menjadi klien yang siap bekerja sama dengan pekerja sosial untuk mengatasi masalahnya. Mereka harus mengetahui dan menyadari partisipasinya dalam proses pertolongan. Jelas, akan lebih mudah mencapai kesepakatan dengan klien sukarela daripada dengan klien tidak sukarela atau bukan sukarela. Klien sukarela memiliki motivasi untuk mencari pertolongan. Sedangkan yang lainnya, pada kontak awal, mungkin belum mengambil keputusan untuk mencari pertolongan dan terlibat kerjasama dalam proses pertolongan.

Menurut Zastrow (2004) kemajuan klien melalui lima tahap dalam inisiatif diri, dengan bantuan profesional: prakontemplasi, kontemplasi, persiapan, aksi, dan pemeliharaan. Prakontemplasi adalah tahapan yang mana belum ada keinginan untuk berubah dimasa depan. Para klien pada tahap ini biasanya tidak menyadari masalahnya dan tidak serius terhadap adanya pertolongan. Mereka tidak memiliki pilihan untuk mencari pertolongan atau mungkin tidak senang dengan pertolongan yang sedang dijalaninya.

Kontemplasi adalah tahap dimana klien menyadari adanya

(21)

memiliki motivasi untuk membuat perubahan yang diperlukan. Aksi adalah pada tahap mana individu-individu melakukan modifikasi perilakunya, pengalamannya, atau lingkungannya dalam rangka mengatasi masalahnya. Selama tahap ini klien telah terlibat dalam proses pertolongan dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka mencapai perubahan yang diinginkan. Pemeliharaan adalah tahap dimana orang-orang berupaya mencegah terjadinya kemunduran dan mengkonsolidasikan usaha-usaha yang telah dicapai selama aksi. Dalam hal ini pemeliharaan adalah suatu fase keberlanjutan dari fase kegiatan. Klien secara aktif

berusaha mencegah terjadinya kemunduran dan

mempertahankan (meningkatkan) kemajuan yang telah dicapai.

(22)

2) Penolakan Klien

Para pekerja sosial biasanya akan bekerja dengan klien-klien yang berada pada tahap prakontemplasi dan tidak berminat memperoleh bantuan. Sebelumnya klien-klien seperti itu dipandang sebagai “penolakan” (reluctant) dan seringkali dituduh tidak dapat bekerjasama dengan pekerja sosial (Anderson and Stewart, 1983). Dalam perspektif kekuatan (strengths) penolakan merupakan hal alami dan dapat dipahami sebagai upaya mekanisme pertahanan

(coping). Banyak klien baik, yang akan melakukan penolakan

untuk terlibat dalam suatu hubungan pertolongan (Rooney, 1992). Baru pada diskusi/pembicaraan berikutnya dibahas sejumlah faktor yang mempengaruhi kesadaran dan

kemampuan klien untuk terus beranjak ke tahap

prakontemplasi dalam proses pertolongan.

(23)

berbagi visi mengenai proses pertolongan. Dan mungkin akan lebih bijak untuk berasumsi bahwa anda dan klien anda memiliki visi dan harapan yang masing-masing berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut yang perlu dicari kesamaan maknanya (rekonsialiasi) sebelum kegiatan dimulai.

3) Keragaman Budaya dan Etnik

Masyarakat Indonesia dicirikan dengan keragaman budaya dan etnik. Dengan demikian adalah tidak mengherankan apabila klien pekerja sosial memiliki latar belakang budaya dan keyakinan yang berbeda-beda. Nilai-nilai dan keyakinan dari kelompok budaya yang berbeda dapat menimbulkan konflik dengan nilai-nilai budaya dominan atau dengan nilai dan keyakinan pekerja sosial sendiri. Namun demikian pekerja sosial dan klien mesti memiliki kesepakatan bersama, tetap satu dari keragaman dan heteroginitas. Pandang klien sebagai individu yang unik dengan keyakinan dan nilai berbeda, dan memandang mereka memiliki sistem keyakinan yang berbeda dengan anda merupakan hal penting.

Latar belakang budaya dan etnik yang berbeda ini mempengaruhi cara mereka menjadi klien. Kesamaan penerimaan akan mendorong pemahaman, empati dan

kepercayaan. Perbedaan penerimaan mungkin agak

(24)

percaya dengan penerimaan yang berbeda. Kecenderungan terhadap ketidakpercayaan dari seseorang yang memiliki ragam perbedaan etnik dan budaya merupakan tantangan bagi semua pekerja sosial untuk mengatasinya.

Sejumlah perbedaan potensial antara anda dengan klien anda merupakan hal tidak pernah ada akhirnya. Perbedaan nilai-nilai, perspektif, dan pengalaman menciptakan hambatan

komunikasi dan kepercayaan. Hal ini merupakan

tanggungjawab anda, sebagai penolong profesional, untuk mengakui sepenuhnya perbedaan dan berkomunikasi dengan menghormati keyakinan dan nilai-nilai klien anda. Daripada memandang perbedaan budaya sebagai ancaman, lebih baik pandang mereka sebagai sumber yang menambah perspektif dan opsi dari keakraban dengan klien anda (Miley, O’Melia, and DuBois, 1998). Upaya mengatasi perbedaan pekerja sosial—klien diperlukan bahwa anda mengakui perbedaan sebagaimana juga mengkomunikasi-kan pemahaman anda terhadap nilai-nilai, persepsi dan keyakinan klien. Nilai klien anda dengan berbeda. Tunjukkan penghargaan dan apresiasi terhadap keragaman. Perbedaan akan tetap ada; yang akan berubah adalah persepsi yang menghambat komunikasi dan kepercayaan mereka. Pengakuan perbedaan secara langsung pada tahap awal dalam proses pertolongan meningkatkan kesesuaian yang mendorong individu menjadi seorang klien. Mengabaikan perbedaan budaya dan etnik cenderung akan

memperburuk makna perbedaan dan menghambat

terbangunnya kepercayaan.

(25)

pertanyaan dengan posisi tidak tahu. Selalu bersikap penasaran (serba ingin tahu), dan tunjukkan perhatian anda secara jujur terhadap apa yang klien ucapkan. Klien, yang memang bukan pekerja sosial, adalah expert terhadap persepsi dan pengalaman-pengalamannya sendiri. Keahlian klien juga membawa serta persepsi dan pengalaman-pengalaman budaya, etnik, dan ras.

Jika kita mendengarkan klien kita, bersikaplah terbuka terhadap pengalaman-pengalaman mereka, dan ambil posisi belajar dengan mereka dan bukan yang paling mengetahui,

maka peluang mengatasi perbedaan-perbedaan akan

meningkat.

Faktor penting lainnya dalam praktik lintas-budaya adalah kesadaran diri dan ciri budaya etnik sendiri. Sadar terhadap identitas etnik dan budaya sendiri akan meningkatkan tingkat keyakinan dalam bekerja dengan klien dari latar belakang budaya dan etnik berbeda. Seseorang yang sadar-budaya sendiri akan mampu mengenali dan mengakui perbedaan. Pekerja sosial yang tidak menyakini nilai-nilai dan keyakinannya sendiri lebih banyak memaksakan nilai-nilai dan keyakinannya terhadap klien mereka dan merasa terancam dengan dengan perbedaan klien mereka. Makin anda ingin mengetahui diri anda sendiri, membuat anda ingin belajar mengenai klien anda.

4) Pengetahuan dan Keterampilan Klien

(26)

umumnya terjadi setelah klien melakukan segala upaya untuk mengatasi persoalannya sendiri. Mereka memiliki sejumlah pengalaman menghadapi masalahnya sendiri. Mereka tahu mana yang berhasil dan mana yang tidak. Mereka mungkin memiliki ide mana isyu yang sulit diatasi dan mana yang berhasil diatasi. Bersikap terbukalah, dan manfaatkan pengetahuan tersebut.

Klien membawa-serta keterampilan uniknya dalam hubungan pertolongan. Setiap klien memiliki keterampilan interpersonal dan kompetensi. Klien telah membangun strategi bertahan dan memiliki cara untuk mengatasi tekanan tuntutan hidup dan situasi-situasi tertentu. Mereka telah membangun cara yang unik beradaptasi dengan pegalaman hidupnya. Pada level tertentu, mereka telah berhasil dalam mengatasi kesulitan-kesulitannya. Mereka mungkin telah berjuang dan memperoleh bantuan, atau mungkin mereka telah mampu mengelola untuk bertahan dan menghadapi tantangan situasi. Semua klien membawa-serta kekuatan dan keterampilan untuk hubungan pertolongan.

Klien berdaya jika pekerja sosial mengakui kekuatan, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan klien. Mereka juga terdorong. Klien memperoleh harapan ketika mereka dipandang sebagai individu yang kapabel dan kompeten. Miley, O’Melia dan DuBois menyatakan bahwa klien mampu untuk “articulate thoughts and feelings; skills in thinking, planning, and organizing; competencies in giving and receiving support—all are general skills for living that may have relevance for

overcoming any challenging situation” (1998, p.127). Dengan

demikian pada dasarnya klien mampu untuk

(27)

kompeten dalam memberi dan menerima dukungan—semua keterampilan umumnya bagi kehidupan yang mungkin relevan dalam menghadapi tantangan situasi tertentu. Tanpa mengesampingkan level keberfungsian, kondisi kesulitan kehidupan yang dihadapi klien, serta makna persoalan yang harus segera ditangani, pengetahuan dan keterampilan klien dapat mendukung pemecahan situasi masalah yang dihadapinya. Cari kekuatan dan kemampuannya. Ini adalah tugas pekerja sosial dalam membantu klien mengenali dan

mengartikulasikan pengetahuan-pengetahuan dan

keterampilan-keterampilan yang mereka bawa ke dalam proses pertolongan. Mengenali kekuatan-kekuatan tersebut akan membantu terpeliharanya hubungan pekerja sosial-klien yang kolaboratif dengan meningkatkan kesadaran klien untuk terlibat dalam proses pertolongan.

Tidak menjadi masalah apakah seorang klien adalah sukarela, tidak sukarela atau bukan sukarela, serta situasi apapun yang membawa seorang klien bertemu dengan seorang pekerja sosial generalis, klien memiliki pilihan untuk ikut serta dalam proses pertolongan. Dalam hal ini, klien harus memiliki kemajuan paling sedikit ke tahap persiapan dari perubahan. Tantangan bagi pekerja sosial generalis adalah membantu klien untuk bergerak menuju tahap prakontemplasi dan kontemplasi, sehingga klien tidak mundur atau terus bergerak menuju perubahan tanpa benar-benar terlibat dalam proses pertolongan.

(28)

juga pengalaman dengan pertolongan profesional lainnya mempengaruhi perasaan-perasaan tersebut. Hal terbaiknya adalah sebagian besar klien umumnya mampu mengatasi perasaan-perasaannya untuk bekerja sama dengan seorang pekerja sosial. Pekerja sosial harus mengkomunikasikan

pemahaman dari perasaan-perasaan tersebut dan

menciptakan suatu harapan sehingga memungkinkan perubahan agar klien terlibat dalam proses pertolongan. Sensitif atas harapan-harapan klien dan peran-perannya dalam proses pertolongan dan jelaskan sifat kolaboratif dari kerja bersama anda akan mendukung partisipasi klien.

SIMPULAN

Praktik pekerjaan sosial generalis meliputi keterampilan dan intervensi praktik dalam lingkup luas. Hal ini berkaitan dengan praktik dalam level mikro dan level makro. Fokus intervensi mikro pada individu-individu, pasangan-pasangan, keluarga, dan kelompok kecil. Sedangkan fokus intervensi makro pada satuan tugas dan komite-komite lembaga, satuan tugas profesional, koalisi masyarakat, dan kelompok-kelompok ketetanggaan.

Hubungan pertolongan dalam intervensi mikro diarahkan langsung pada peningkatan keberfungsian dan pemberdayaan sistem klien. Hubungan pertolongan dalam intervensi makro pada level organisasi terfokus pada peningkatan peningkatan organisasi dan pelayanannya seperti mengembangkan pelayanan-pelayanan baru. Pada level masyarakat, fokusnya adalah meningkatan kondisi masyarakat, memberdayaan

warga setempat, mengembangkan sumber-sumber,

(29)

Para pekerja sosial generalis harus terampil dalam memanfaatkan diri berkaitan dengan level sistem intervensi. Pemanfaatan diri secara luas untuk membantu individu, keluarga, dan kelompok kecil merupakan bagian fundamental

dari praktik mikro (langsung). Kemampuan untuk

memberikan dukungan , meningkatan motivasi, memelihara harapan, memperkuat komitmen, menggerakkan kekuatan, meningkatan pemahaman, dan memfasilitasi komunikasi merupakan hal penting berkenaan dengan ukuran sistem klien. Proses pertolongan perseorangan, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat membutuhkan para pekerja sosial generalis yang dapat memanfaatkan diri sendiri untuk membantu klien melakukan perubahan.

Praktik generalis dilakukan dengan sistem klien individu, keluarga, kelompok kecil, organisasi, dan masyarakat. Jadi, para pekerja sosial generalis dipersiapkan untuk menangani persoalan-persoalan baik level-mikro maupun level-makro. Selanjutnya untuk bekerja dengan sistem klien dari beragam ukuran, para ahli generalis seringkali bekerja dengan sistem klien berganda. Para ahli generalis bekerja dengan sejumlah sistem klien yang berbeda secara simultan. Contohnya, para ahli generalis yang bekerja dengan sistem klien individu seringkali akan berkaitan dengan sistem klien keluarga seperti halnya juga dengan organisasi dan kelompok-kelompok masyarakat dalam lingkup sistem klien individual. Sistem sasaran tersebut dalam lingkungan sistem klien yang menjadi sasaran untuk perubahan atau intervensi.

Klien bisa yang sukarela, tidak sukarela dan bukan sukarela. Berkenaan dengan situasi yang membawa seorang klien melakukan kontak dengan seorang ahli generalis, klien

(30)

pertolongan. Untuk hal ini, mesti terdapat kemajuan pada diri klien paling tidak hingga tahap persiapan dari perubahan. Tantangan bagi para pekerja sosial generalis adalah

membantu klien untuk bergerak ke depan tahap

prakontemplasi dan kontemplasi sehingga klien tidak terhenti atau sedikitnya terus mengikuti proses pertolongan.

Sejumlah faktor yang mempengaruhi kemampuan klien untuk terlibat dalam hubungan pertolongan. Salah satu faktor adalah bagaimana perasaan mereka tentang memperoleh pertolongan dan seberapa besar stigma yang mereka rasakan tentang perlunya peranan batuan orang asing. Nilai-nilai

budaya dan keyakinan demikian pula pengalaman

memperoleh pertolongan sebelumnya berpengaruh terhadap perasaan-perasaan tersebut. Hal yang terbaik adalah sebagian besar klien dapat mengatasi perasaan-perasaan tersebut untuk bekerja dengan seorang pekerja sosial. Mengkomunikasikan

pemahaman akan perasaan-perasaan tersebut dan

menciptakan harapan perubahan adalah memungkinkan hal kritis agar klien mau terlibat dalam proses pertolongan. Sensitif terhadap harapan-harapan klien dan peranannya dalam proses pertolongan dan mengklarifikasi sifat bekerja sama secara kolaboratif juga membantu partisipasi klien.

(31)
(32)

2

PRINSIP DASAR PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL MIKRO

A. PENGERTIAN

Konseling dalam pekerjaan sosial seringkali dikaitkan dengan praktik pekerjaan sosial dalam mikro. Sebelum membahas lebih jauh prinsip-prinsip praktik dalam praktik mikro, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu apa batasan atau definisi dari pekerjaan sosial mikro itu sendiri. Beberapa penulis menyebut praktik mikro itu sendiri dengan istilah bimbingan sosial perorangan atau case work. Mary Richmond, salah seorang perintis case work ilmiah, mendefinisikannya sebagai berikut:

“social casework consist of those processes which develop personality through adjusments consciously effected, individual by individual, between men and their environent” (dalam Skidmore, p.49)

(33)

Lebih jauh lagi Skidmore (1994) menegaskan bahwa

casework merupakan suatu teknik pertolongan, yaitu:

“Social casework is a methode of helping people based knowledge, understanding, and the use of techniques skillfully applied to helping people to solve problem” (p. 50)

Bahkan sebagian praktisi tenaga pengembangan masyarakat menyatakan bahwa semua upaya pekerjaan sosial klinis (mikro) mengupayakan kepada pengayaan/peningkatan dan pemeliharaan keberfungsian psikologis individu, keluarga, dan kelompok-kelompok kecil. Sehingga kemampuan-kemampuan metode mikro ini dalam konteks makro

seringkali sangat bermanfaat, bahkan menentukan

keberhasilan sebuah kegiatan pengembangan masyarakat. Seringkali para praktisi para pengembangan masyarakat

menemui para tokoh-tokoh berpengaruh, dengan

memanfaatkan kemampuan teknik mikronya, agar tujuan kegiatan pengembanga masyarakat tersebut dapat tercapai. Sebab, keberhasilan kegiatan pengembangan masyarakat seringkali ditentukan oleh para tokoh berpengaruh yang ada ditengah-tengah masyarakatnya.

B. KERANGKA PRAKTIK

Dalam suatu praktik mikro setidaknya terdapat maksud (tujuan), nilai-nilai, sanksi, pengetahuan, dan metode-metode yang seringkali merupakan jantung dari praktik casework

(34)

1) Maksud/tujuan

Elemen maksud atau tujuan ini mengemukakan mengenai alasan-alasan untuk bertindak; yaitu dapat berupa upaya pencegahan dan perawatan yang ditimbulkan dari keretakan atau gangguan hubungan harmonis antara perorangan dan keluarganya atau kelompoknya. Membantu orang untuk mengenali dan mengatasi permasalahan-permasalahan dalam hubungannya (sosial), paling tidak meminimalisasi akibat-akibat yang diimbulkannya. Kemudian pekerjaan sosial berupaya untuk memperkuat potensi maksimal dari individu, kelompok, dan masyarakat. Pekerja sosial juga membantu klien untuk menemukan sumber-sumber potensial disekitar klien yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk membantu permasalahan yang dihadapi oleh klien. Dengan perspektif kekuatan, maka dalam diri klien dan di lingkungan sekitar klien terdapat sejumlah kekuatan yang dapat dijadikan sebagai sumber untuk memperkuat perbaikan kondisi dan kekuatan klien itu sendiri dalam rangka mengatasi permasalahannya.

2) Nilai dan Prinsip Dasar Pekerjaan Sosial

Nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar pekerjaan sosial, yang tentunya sesuai dengan konteks masyarakat dan persoalan sangat menentukan sikap dan pendekatan para pekerja sosial. Profesi pekerjaan sosial memiliki asumsi akan pentingnya harga diri dan potensi individu serta saling berkaitannya antara individu dan masyarakat lingkungannya. Beberapa nilai dasar umum kemanusiaan yang dapat mempengaruhi praktek pekerjaan sosial antara lain:

(35)

2. Penghargaan terhadap hak manusia untuk menentukan ‘nasibnya’ sendiri;

3. Penghargaan terhadap adanya kesempatan yang sama bagi setiap manusia

4. Tanggung jawab sosial.

Nilai-nilai dasar tersebut umumnya hampir terdapat dalam setiap masyarakat di belahan bumi ini, tidak terkecuali di Indonesia. Dari nilai-nilai dasar tersebut memuncul sejumlah asumsi dasar mengenai nilai filosofis (umum) dalam praktek pekerjaan sosial, yaitu:

Nilai dan harga diri (martabat) seseorang adalah penting (terpenting);

Manusia dan masyarakat saling bergantung satu sama lainnya, dan juga memiliki tanggung jawab satu sama lainnya.

Sementara itu juga tetap memandang perbedaan dan keunikan setiap orang begitu penting, setiap orang perlu berbagi dengan lainnya

Potensi setiap orang adalah nyata, dan setiap diri seseorang menerima atau memiliki tanggungjawab sosial yang aktif untuk turut serta dalam urusan kemasyarakatan.

Jika seseorang tidak mampu berfungsi, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mengatasi

hambatan-hambatan yang membatasi tumbuh-kembang

seseorang tersebut.

(36)

1. Asumsi nilai terhadap martabat dan kapasitas individu Martabat manusia menempatkan setiap individu dalam posisi yang unggul/ utama

Nilai martabat menunjukkan bahwa setiap individu

memiliki kemampuan untuk mengendalikan

tindakannya, dan berpotensi untuk meraih tujuan dan kemajuannya.

Berdasarkan hal tersebut pekerjaan sosial berupaya memperkuat –kapasitas, potensi martabat, serta sumber-sumber-- manusia

2. Nilai keunikan

Keyakinan akan keunikan individu dan menunjukkan suatu pendekatan penerimaan pekerjaan sosial dan

memandang perbedaan sebagai suatu asset.

Secara individu baik pekerja sosial dan klien individu atau keluarga saling menegaskan akan engagement

(perjanjian keikutsertaan untuk terlibat), dimana tenaga pekerja sosial dan klien akan saling berkomunikasi untuk membangun hubungan yang bermakna, dan proses pekerjaan sosial diterapkan. Dalam bimbingan sosial persorangan (casework) individualitas menempati posisi yang utama; berbeda dengan keseragaman.

3. Postulat nilai penentuan nasib sendiri (self-determination)

Sebagai penerapan dalam proses pekerjaan sosial konsep nilai tersebut secara jelas mengakui bahwa klien adalah manusia yang berdiri ‘sendiri’. Apakah akan diterima atau tidaknya suatu pelayanan (dalam batas tertentu) merupakan keputusan klien.

Self-determination berarti bahwa klien akan

(37)

Para pekerja sosial secara perasaan dan mental tetap harus bersikap netral, tetapi dapat membagi pemikiran (gagasan), perasaan, pengalaman, sepanjang dilakukan secara menarik, penuh perhatian, simpati dan empati. Pengalihan kebebasan memilih dan self – determination

akan merusak hubungan dan mengurangi pemecahan masalah klien dan kapasitasnya. .

3) Sanksi

Sanksi merupakan kewenangan dan penghargaan masyarakat terhadap kegiatan (setiap ekspresi) pekerjaan sosial dalam pengaturan struktural, hukum, dan pernyataan kebijakan. Kewenangan terhadap pelayanan adalah diberikan oleh hukum, atau seperangkat pembuatan kebijakan dalam aturan

dan perundang-undangan badan-badan sosial yang

mencerminkan harapan-harapan masyarakat yang

mendukung pelayanan sosial dijalankan badan-badan sosial.

4) Pengetahuan

Pengetahuan di sini adalah yang memberikan dasar pengetahuan mengenai fakta, konsep, dan prinsip-prinsip praktik; yaitu teori yang mendasari pekerjaan sosial secara mendasar yang berasal dari profesi pekerjaan sosial dan dari praktik pekerjaan sosial.

Beberapa sumbangan pengetahuan penting yang berasal dari disiplin tertentu, diantaranya: psikologi dinamik, psikologi ego, dan berbagai pengembangan teoritis dalam sosiologi, piskologi sosial, psikiatri, dan antropologi budaya.

(38)

pekerjaan sosial itu sendiri menata, mengatur, menyesuaikan dan menentukan tekanan mana yang akan digunakan berkait dengan praktek pekerjaan sosial.

(39)
(40)

3

ASSESSMENT

BERBASIS YANG PADA KEKUATAN

A. PENDAHULUAN

Dalam praktek pekerjaan sosial terdapat sebuah paradigma sederhana mengenai proses pemecahan masalah yang dalam profesi pekerjaan sosial dikenal dengan pola :

assessment intervention termination and evaluation.

Dalam proses tersebut seringkali proses assessment dipahami sebagai tahapan yang secara prosedural harus dilalui saja. Padahal assessment merupakan tahap yang penting (mungkin terpenting) dalam proses pekerjaan sosial.

Asesmen merupakan proses kritis dalam praktik pekerjaan sosial. Penentuan tujuan dan intervensi amat tergantung pada asesmen. Sehingga proses ini merupakan proses penting bahkan krusial dalam praktek pekerjaan sosial, sebab assessment yang tidak tepat atau tidak lengkap mungkin akan berakibat pada penetapan tujuan yang tidak tepat dan penetapan intervensi yang tidak tepat. Karena

assessment yang dibuat tidak tepat atau tidak lengkap,

perubahan positif yang diharapkan dari klien nampaknya tidak akan terjadi.

(41)

Asesmen adalah proses pengumpulan, penganalisaan dan mensistesakan data kedalam suatu formulasi yang menekankan dimensi vital sebagai berikut: (1) sifat permasalahan klien, termasuk perhatian khusus terhadap peran-peran yang klien dan hal penting lainnya yang sulit dijalankan; (2) keberfungsian klien (kekuatan, keterbatasan, aset pribadi dan kekurangan) serta hal penting lainnya; (3) motivasi klien untuk mengatasi masalah; (4) relevansi faktor lingkungan yang turut mendukung timbulnya masalah; dan (5) sumber-sumber yang tersedian atau dibutuhkan untuk mengurangi/ menghilangkan kesulitan klien. (p.165)

Asesmen terkadang menunjukkan sebagai suatu psychosocial diagnosis (Hollis, 1972). Namun istilah diagnosis terlalu fokus pada apa kesalahan-kesalahan klien, keluarga, atau kelompok yang didiagnosis—seperti dianggap mengidap penyakit, mengalami masalah disfungsional dan mental. Karena diagnosis cenderung memiliki konotasi negatif, banyak para pendidik pekerjaan sosial, termasuk saya, lebih suka menggunakan istilah assessment. Asesmen tidak hanya mempertanyakan apa persoalan klien tetapi juga sumber-sumber, kekuatan-kekuatan, motivasi, komponen fungsional, dan faktor positif lainnya yang dapat digunakan dalam mengatasi kesulitan, meningkatkan keberfungsian, dan mendukung pertumbuhan. Dalam kenyataannya, asesmen memiliki arti yang lebih luas bagi pengembangan rencana intervensi.

(42)

tetap serupa. Seorang pekerja sosial yang bekerja pada sebuah rumah perawatan (nursing home) yang melakukan asesmen pada klien potensial akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan pekerja sosial dalam seting pelayanan perlindungan yang melakukan asesmen pemeliharaan anak-anak korban kekerasan.

(43)

Asesmen terkadang merupakan suatu hasil (product) atau terkadang merupakan proses berjalan (an ongoing process). Sebagai suatu produk/hasil, aseemen merupakan suatu formulasi berdasarkan waktu berkenaan dengan sifat kesulitan dan sumber-sumber potensial klien. Sebagai ilustrasinya adalah hasil dari status asesmen mental pada rumah sakit jiwa. Misalkan pertama-tama asesmen terfokus pada penentuan apakah klien sehat jiwa atau psikotik. Jika klien dinilai psikotik, seorang psikiater memberinya label dan merekomendasikan suatu pendekatan pengobatan tertentu. Bahkan saat suatu assessment merupakan suatu produk,

assessment biasanya akan selalu diperbarui dan direvisi

perbulan atau terkadang tiap tahun. Esensinya, assessment

adalah suatu hipotesa kerja (proposisi) mengenai kesulitan-kesulitan dan sumber-sumber klien berdasarkan pada data terkini. Seiring dengan waktu, klien akan berubah dan

selanjutnya faktor-faktor lingkungan sosial

mempengaruhinya. Berdasarkan perubahan tersebut,

assessment harus diperbarui dan direvisi secara periodik.

Assessment juga dapat dilihat sebagai proses yang

berjalan dari sejak mulai wawancara hingga fase terminasi kasus. Lama waktu yang dibutuhkan untuk menerima klien mungkin seminggu, sebulan, atau setahun. Selama waktu tersebut, profesional bekerja dengan kasus yang secara terus-menerus menerima dan menganalisis informasi baru yang secara gradual muncul. Dalam tahap awal kontak dengan klien, fokus utamanya adalah mengumpulkan informasi untuk menilai (to assess) masalah dan sumber-sumber klien. Pada suatu tentatif waktu tertentu, fase pemecahan (problem

solving) memiliki penekanan yang lebih besar---sebagai

(44)

kemudian satu atau lebih strategi yang terpilih dan diimplementasikan. Namun apabila dalam fase pemecahan masalah, informasi baru berkaitan dengan kesulitan dan sumber-sumber klien yang sesuai muncul, maka perlu dilakukan revisi terhadap assessment. Dalam kenyataannya, seiring kontak antara profesional dan klien yang terus berjalan, klien mungkin membuka tambahan permasalahan yang perlu dinilai dan diperbaiki. Biasanya dalam kontak awal umumnya klien akan menahan informasi penting karena takut atau khawatir menerima kritikan dari profesional. Misalkan sorang tua yang melakukan kekerasan anak di awal nampaknya akan menyangkal kejadian tindak kekerasan tersebut. Seiring berjalannya waktu, jika orang tua mulai percaya kepada pekerja sosial, orang tua tersebut mungkin akan membuka diri bahwa terkadang ia lepas kendali dan kemudian memukul anaknya. Sesuai informasi yang baru tersedia, assessment di awal perlu direvisi.

Hepworth dan Larsen (1986) mencatat bahwa asesmen terus dilakukan bahkan hingga fase terminasi.

Proses asesmen berlanjut hingga fase akhir pelayanan. Selama akhir wawancara, praktisi secara hati-hati mengevaluasi kesiapan klien untuk mengakhiri pelayanan, menilai kesulitan-kesulitan yang mash tersisa yang di masa depan mungkin menyebabkan kesulitan, serta mengidentifiasi reaksi emosional yang mungkin muncul terhadap terminasi pelayanan.

Praktisi juga mempertimbangkan kemungkinan

(45)

B. PERSPEKTIF PADA KEKUATAN (STRENGTHS

PERSPECTIVE)

Selama beberapa dekade terakhir, pekerjaan sosial dan profesi pertolongan lainnya telah memusatkan fokus utamanya pada pendiagnosaan pathology, shortcomings, dan dysfunctions klien. Salah satu alasannya mungkin bahwa psikologi Freud digunakan sebagai teori utama dalam menganalisis perilaku manusia. Psikologi Freud didasarkan pada model medis dan

dengan demikian memiliki konsep yang berupaya

mengidentifikasi kesakitan atau pathology. Sebagaimana diuraikan dalam tulisan sebelumnya, pekerjaan sosial saat ini telah beralih pada model sistem dalam menilai perilaku

manusia. Model tersebut memfokuskan diri pada

pengidentifikasian baik kekuatan maupun kelemahan.

Hal terpenting bahwa para pekerja sosial memasukan kekuatan atau kelebihan klien dalam proses asesmen. Dalam bekerja bersama dengan klien, para pekerja sosial fokus pada kekuatan dan sumber-sumber klien guna membantu mereka mengatasi permasalahannya sendiri. Untuk memanfaatkan kekuatan atau kelebihan klien secara efektif, para pekerja sosial pertama-tama harus mengidentifikasi kekuatan-kekuatan tersebut.

Sayangnya, Maluccio (1979) menemukan bahwa banyak para pekerja sosial fokus perhatiannya terlalu banyak pada kelemahan-kelemahan klien dan memandang rendah

atau buta dengan kekuatan-kekuatannya. Maluccio

(46)

sumber-sumber, dan potensi-potensi dalam kehidupan manusia dan lingkungannya.

Terlalu focus pada kelemahan dapat memperburuk kapasitas seorang pekerja sosial untuk mengetahui potensi pertumbuhan klien. Para pekerja sosial berkeyakinan kuat bahwa klien memiliki hak (dan sebaiknya digali) untuk mengembangkan potensialitas dirinya secara penuh. Memfokuskan pada penyakit (pathology) selalu melemahkan nilai tanggung jawab tersebut.

Alasan lainnya adalah untuk memelihara kekuatan-kekuatan (kelebihan-kelebihan) klien yaitu bahwa banyak klien perlu dibantu meningkatkan harga dirinya. Banyak yang merasa tak berdaya, merasa tidak adil, merasa bersalah, dan tidak memiliki kepercayaan serta harga diri. Glasser (1972) mencatat bahwa harga diri yang rendah seringkali mengarah atau menimbulkan kesulitan emosional, mudah menyerah, atau bertindak kriminal. Bantulah klien untuk memandang dirinya lebih positif, pekerja sosial pertama-tama harus

memandang kliennya sesuai dengan kekuatan dan

kemampuannya. Berwick (1980) menilai rendah poin ini dalam bekerja bersama orang tua yang mengabaikan anak-anak yang sulit berkembang:

(47)

tua dan anak yang akan memungkinkan hubungan pemeliharaan yang sinkron terus tumbuh.

Perspektif kekuatan sangat erat kaitannya dengan pemberdayaan (empowerment). Empowerment sebagaimana didefinisikan oleh Barker (1995) sebagai “the process of helping individuals, families, groups, and communities to increase their personal, interpersonal, socioeconomic, and political strength and to

develop influence toward improving their circumstances” (p.20).

Perspektif ini berupaya mengidentifikasi, memanfaatkan, membangun, dan memperkuat kekuatan dan kemampuan yang mereka punya. Hal tersebut berlawanan dengan perspektif patologis, yang cenderung fokus pada kelemahan dan ketidakmampuan mereka. Perspektif kekuatan berguna untuk melihat lingkaran kehidupan dan melintasi seluruh tahap proses pertolongan—assessment, intervention, and

evaluation. Fokus tersebut menekan pada kemampuan orang,

nilai-nilai, minat, keyakinan, sumber-sumber, prestasi dan aspirasi seseorang (Weick, Rapp, Sulivan, & Kisthardt, 1989)

Menurut Saleebey (1997, pp. 12-15), terdapat lima prinsip yang mengarahkan asumsi perspektif kekuatan tersebut:

(48)

membangun sesuatu yang bernilai dengan sumber-sumber yang ada dalam diri dan di sekitar mereka. Tetapi yang terpenting, klien ingin mengetahui bahwa anda yakin bahwa mereka dapat mengatasi kemalangan dan mulai menapaki ke arah perubahan dan pertumbuhan (p.12)

Kedua. Trauma, siksaan, sakit, dan perjuangan dapat membuat luka, tetapi hal tersebut dapat dijadikan sumber tantangan dan kesempatan/peluang. Klien yang telah menjadi korban dipandang sebagai individu aktif dan berkembang, melalui trauma, mereka belajar keterampilan dan atribut pengembangan diri yang membantu mereka menghadapi persoalan yang sama di masa mendatang. Kehormatan akan ditemui ketika mampu mengatasi hambatan-hambatan. Kita akan cepat tumbuh berkembang apabila kita mampu melewati krisis dan mampu mengatasi situasi secara efektif di setiap periode kehidupan.

Ketiga. Diasumsikan bahwa anda sama sekali tidak mengetahui batas atas dari kapasitas untuk terus tumbuh dan berubah, dan melakukan aspirasi individu, kelompok dan masyarakat secara serius. Prinsip ini berarti bahwa pekerja social harus memegang harapan yang tinggi terhadap klien dan mengikatnya dengan visi, impian, dan nilai-nilainya. Individu, keluarga, dan masyarakat memeiliki kapasitas untuk memantulkan dan memulihkan persoalan. Ketika pekerja sosial menghubungkannya dengan harapan dan impian klien, klien secara tepat memiliki keyakinan yang lebih besar. Sehingga seterusnya mereka mampu menempatkan upaya-upaya yang dibutuhkan untuk memenuhi harapan dan impian mereka sendiri.

(49)

dilihat oleh klien sebagai kolaborator atau konsultan daripada sebagai seorang ahli atau seorang professional. Sikap mental kolaboratif oleh seorang pekerja sosial membuat dia lebih rentan dengan beragam akibat kelemahan dari hubungan

expert-inferior, termasuk pemolaan, victim-blaming, dan pesolek

pandangan klien.

Kelima. Setiap lingkungan penuh dengan sumber-sumber. Dalam setiap lingkungan (tidak perduli seberapa kerasnya) terdapat individu-individu, kelompok-kelompok, asosiasi, dan institusi dengan sesuatu untuk pemberian, dan dengan sesuatu kebutuhan lainnya mungkin menyedihkan. Perspektif kekuatan berupaya mengidentifikasi sumber-sumber tersebut dan membuat mereka keberadaannya bermanfaat bagi individu, keluarga, dan kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Prinsip-prinsip tersebut begitu esensial penerapannya, khususnya berkaitan dengan proses awal pertolongan pekerjaan sosial, yaitu assessment. Hasil dari assessment ini akan ditentukan bersama (antara pekerja sosial dan klien) mengenai rencana kegiatan (plan of treatment) yang sekiranya tepat sesuai dengan sumber—sumber dan potensi yang dimiliki klien dan yang ada di sekitar klien. Namun, sebelum berlanjut perlu pula untuk melihat suatu kerangka assessment,

yang telah ada dan berkembang baik yaitu asesmen dengan kerangka bio-psiko-sosio-spiritual’; yang mencoba untuk secara menyeluruh melihat beragam dimensi dalam asesmen.

Kerangka Bio-Psiko-Sosio-Spiritual

(50)

berbagai kualitas yang kompleks, dengan berbagai dimensi, yang sebagian diketahui orang lain, sebagian lagi tidak diketahui. Semua manusia dipengaruhi oleh dan berdiri paling sedikit dalam 4 dimensi utama, biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Kebanyakan teori-teori praktik, bahkan dalam pekerjaan sosial, menekankan pada dua dimensi pertama, dan praktik asesmen tradisional, terutama DSM, sedikit atau bahkan tidak menghiraukan dua dimensi terakhir. Yang menarik adalah bahwa dalam dimensi sosial dan spiritual tersebutlah substansi dari kehidupan individu itu ditampilkan. Yaitu dimana makna dikonstruksi dan hubungan

dikembangkan. Terutama dimensi sosiallah dimana

individual dapat berinteraksi dengan lingkungannya, dan menemukan lingkungan tersebut sebagai sumber yang berlimpah atau meningkatkan perkembangan atau penuh tekanan dan melemahkan.

Kapan seorang klien menjadi bukan seorang klien?

(51)

Ada 5 tipe individu yang dipandang pekerja sosial sebagai klien: pengeluh, pengunjung, sasaran, pasien dan klien (de Shazer, 1985; Pincus & Minahan, 1973).

Pengeluh adalah orang dengan sebuah keluhan, dan mereka

ingin sesuatu atau lebih umum, seseorang untuk berubah. Terapi perkawinan dan keluarga seringkali menemukan mereka memiliki satu atau lebih keluhan, individu yang ingin pasangan atau anak mereka berubah.

Pengunjung adalah orang yang pada intinya sedang melewati;

mereka tidak mengeluh maupun tertarik pada sesuatu. Pekerja sosial sekolah melihat banyak anak yang paling tidak, diawalnya adalah sebagai pengunjung.

Sasaran adalah orang-orang yang diinginkan berubah oleh

orang lain. Banyak anak-anak yang diterapi adalah sasaran, begitu juga dengan banyak pasangan, dan klien yang disebut tidak kooperatif, menolak dan dimandatkan.

Pasien adalah penerima perawatan medis. Pekerja sosial tidak

memberikan pelayanan medis, dan menyebut klien sebagai pasien menciptakan ruang epistemologi dan prasangka yang tidak sesuai dengan etika.

Klien didefinisikan oleh dua kriteria yang sangat penting: a)

(52)

Memahami siapa yang ditemui mengubah keseluruhan pengalaman dan hasil dari proses asesmen. Sebagai contoh, memahami seseorang sebagai sebuah sasaran secara lengkap akan mengubah makna interaksi yang dikonstruksikan secara sosial, dan ekspektasi yang dimiliki seseorang atas interaksi tersebut. “melawan” atau kurang kooperatif dipandang sebagai cara sasaran untuk mengajarkan pemberi pelayanan bagaimana bekerja dengan sasaran tersebut (O’Hanlon & Wilk, 1987).

Identitas, Atribut Dan Perilaku: Atau Menjadi, Memiliki Dan Melakukan

Perspektif berdasarkan kekuatan tidak menghiraukan

atau meminimalisasi diagnosa atau

(53)

minum saya menciptakan masalah dalam kehidupan saya”. Di setiap contoh, ketiga pernyataan berasal dari asumsi epistemologi dan ontologi yang berbeda, dan dampaknya terhadap persepsi sedikit tapi sangat besar signifikansinya, dan sangat beragam dengan individu yang terkena. Mendeklarasikan seseorang sebagai seorang alkoholik adalah perubahan yang sangat kritis untuk sebagian orang, sementara menyebutkan seseorang itu rata-rata mungkin akan mendapatkan reaksi diskriminasi dari pemberi pelayanan, dan juga berbahaya bagi perasaan diri indvidu tersebut.

Pekerja sosial harus memahami bagaimana perbedaan ini mempengaruhi cara mereka melihat dan berhubungan dengan orang-orang yang memerlukan pelayanan, dan bagaimana klien-klien tersebut melihat dirinya sendiri dalam dunia ini. Label memiliki kekuatan tidak saja menjelaskan, namun juga mempenjarakan dan mempersempit serta memperberat klien dengan cara mengurangi fakta-fakta berarti dari kehidupan mereka menjadi fakta tidak penting.

Tabel 4. Dimensi Asesmen Bio-Psycho-Socio-Spiritual

Biological Basic need—food, clothing, shelter

Comprehensive health

Physical attributes and abilities Physical environment

Psychological Individual history

(54)

Lanjutan:Tabel 4 Dimensi Asesmen Bio-Psycho-Socio-Spiritual

Sociocultural Family (through biology, choice, or

circumstance) Community Ethnicity

Social environment Political environment Economic environment

Spiritual Sense of self, in relation to the world

Sense of meaning and purpose Value base

Religious life

Sumber: Graybeal, 2001

Graybeal (2001;p237-238) mengusulkan penggunaan Model ROPES (resources, options, possibilities, exceptions,

solutions) dalam melakukan asesmen yang berbasis pada

(55)

Tabel 5 Indentifikasi Kekuatan: Menggunakan ROPES Options Fokus saat ini (present focus)

Penentuan pilihan (Emphasis on choice) Apa yang dapat diakses saat ini? (what can be accessed now?)

Apa yang tersedia dan belum dicoba atau digunakan? (what is available and hasn’t been or tried or utilized?) Possibilities Fokus masa depan(future fokus)

Imaginasi (imagination) Kreativitas (creativity)

Visi masa depan (Vision of the future) Lakukan (play)

Apa yang anda berfikir dicobakan tapi belum dilakukan

Exceptions Saat masalahnya tidak juga terjadi? Saat permasalahan berbeda?

Saat bagian dari hipotesis di masa depan terjadi? Bagaimana anda selamat, bertahan, dan terus berjuang?

Solutions Fokus pada konstruksi solusi bukan pada pemecahan masalah

Apanya yang dapat berjalan? Apa keberhasilan anda?

Apa yang anda lakukan ketika anda ingin terus melanjutkan ?

Mukjizat apa yang terjadi?

(56)

Tantangannya bagi para pekerja sosial adalah bagaimana memasukan perspektif kekuatan tersebut, bahkan dalam sebuah setting dimana hanya terdapat sedikit relevansi pemahaman, pengakuan, atau penerimaan. Pada sisi inilah nilai-nilai dasar dan etika pekerjaan sosial seharusnya melandasi pilihan bertindak, karena hati, pemikiran, gagasan dan perilaku tindakan tersebut dapat memperkuat dan mempertahankan paradigma berfikir tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya advokasi agar mempercepat perubahan paradgima tersebut baik dalam level kebijakan maupun praktik.

Menghadapi form isian asesmen yang tradisional, adalah memungkinkan untuk menggeser cara penulisannya, melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada klien, dan memberi ruang khusus pada respon-respon pengecualian, harapan, dan kemungkinannya. Dalam bagian berikut Graybeal (2001) juga memperlihatkan contoh bagaimana pergeseran yang dapat dilakukan dari asesmen tradisional kemudian bergeser pada asesmen berbasis pada kekuatan dengan menambahkan informasi tambahan.

Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari Perspektif Kekuatan

Jenis Area

Informasi Informasi tradisional Informasi tambahan

(57)

Lanjutan: Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari Perspektif

(58)

Lanjutan: Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari Perspektif

Sejaran keluarga Age and health of parents, siblings

(59)

Penting untuk memahami bahwa seorang klien mungkin berpartisipasi dalam proses asesmen pada salah satu hari terburuk yang pernah dialaminya. Dia mungkin sedang mengalami kehilangan, trauma, keterasingan, kemiskinan, kekerasan, kekurangan gizi dan psikosis. Dia mungkin tidak pernah perlu meminta pertolongan sebelumnya, dan merasa malu, bersalah, dan/atau tidak kompeten. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh pekerja sosial adalah kritikal. Pertanyaan yang diajukan mungkin dapat memperburuk keadaan, atau dapat membimbing klien untuk mengenali dan mengakui perasaan mereka dan harga diri serta kemungkinan yang ada. Dan penemuan yang paling penting bagi pekerja sosial ialah bahwa pertanyaan yang diajukan tidak menghiraukan masalah atau patologi, namun menempatkan kekhawatiran dalam konteks kepercayaan bahwa klien juga memegang petunjuk-petunjuk dan kreatifitas yang dapat mengarah pada penyelesaian masalah. Belajar mengajukan pertanyaan yang dapat membuka kemungkinan aalah sebuah bentuk seni yang berada dalam tataran praktik. Untungnya, sekarang banyak berkembangan sumber-sumber untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut, (Tomm, 1987; Cowger, 1994; DeJong & Miller, 1995; DeJong & Berg, 1998). Para pekerja sosial didukung untuk mendedikasikan paling tidak waktu yang sama untuk mempelajari keterampilan ini seperti mempelajari keterampilan diagnostic berdasar pada patologi.

(60)

dalam praktik kesehatan mental, dengan penekanan pada masalah-masalah, patologi dan diagnosis. Namun begitu, pengalaman menyebutkan bahwa tidak saja mungkin menggunakan format tradisional dalam cara yang berbeda, tapi juga memulai perubahan di tingkat institusi. Saya memiliki beberapa siswa dan kolega yang telah menulis ulang format asesmen lembaga dan menggunakannya secara efektif

untuk mempengaruhi praktik ke arah yang lebih

mengakomodasi perspektif kekuatan.

C.

SUMBER-SUMBER INFORMASI

Data yang dimanfaatkan dalam membuat asesmen berasal dari berbagai sumber. Berikut sumber-sumber informasi utama berkaitan dengan assessment.

1) Catatan Pembicaraan Klien

(61)

Meski klien umumnya telah secara akurat menjelaskan kesulitan-kesulitann dan sumber-sumber, pekerja sosial seharusnya menyadari bahwa laporan verbal terkadang terdirstorsi oleh rasa keraguan, bias, persepsi yang mendirstorsi, perasaan emosional yang kuat. Contoh, seorang istri yang ditinggal suaminya yang menikah dengan orang lain mungkin memiliki reaksi emosional yang amat kuat sehingga dia mungkin tidak objektif terhadap peran yang dia mainkan dalam memutuskan pernikahannya. Dalam sejumlah seting tertentu klien berupaya untuk menyembunyikan, atau bahkan mengubah informasi. Orang tua yang abusif, misalkan, mungkin akan menyangkal bahwa mereka telah melakukan penganiayaan terhadap anak-anaknya. Alkoholik, mungkin karena sifat dari proses adiktifnya, akan menyangkal bahwa ia memiliki masalah dengan minuman keras. Klien

tindak pidana mungkin akan menyangkal atau

menyembunyikan aktifitas kriminalnya.

Laporan verbal klien sebaiknya dihargai dengan valid hingga diperoleh informasi tambahan lainnya. Dalam sejumlah setting, seperti dalam pelayanan protektif, selalu diperlukan verifikasi terhadap penyangkalan klie terhadap permasalahan yang dihadapi dengan mencek sumber-sumber lainnya seperti tetangga, kerabat, dan pihak sekolah.

2) Lembar Isian Asesmen

(62)

keluarga, dan seterusnya. Informasi-informasi tersebut sangat efisien jika klien mengisi form tersebut.

Beberapa laporan pribadi (self-report) juga digunakan dalam proses asesmen. Sejumlah klien, khususnya remaja, mungkin akan lebih nyaman dan lebih percaya diri jika mereka dapat menjawab pertanyaan pada suatu form, sementara untuk memastikannya para profesional dari badan pelayanan akan membantu melihat jawabannya. Misalkan dari dua jenis instrumen pertanyaan dengan cara mengulang pertanyaan secara berbeda sehingga penguji mengetahui reliabilitas pertanyaan tersebut, yaitu terdapat kesamaan jawaban dari pertanyaan dengan cara yang sama. Instrumens tersebut juga mesti valid.

Jika seorang pekerja sosial memilih untuk memanfaatkan instrumen laporan pribadi, dia harus mengetahui isntrumen tersebut dan cara penggunaannya. Penelitian terhadap reabilitas dan validitas sebaiknya dilakukan secara hati-hati dalam rangka mengevaluasi nilainya. Juga pekerja sosial harus menggunakan akal sehatnya dalam menginterpretasi hasilnya. Demikian pula bagian lain dari dari proses assessmen, suatu hasil test baru merupakan permulaan, bukan akhir dari proses.

3) Daftar Isian Assessment Berbasis-Komputer

Computer juga dapat dimanfaatkan untuk mengukur skala

(63)

anak-anaknya, hubungan keluarga, perilaku anak, dan lain-lain. Semuanya tergantung pada preferensi klien, semuanya dapat dilengkapi dengan skala manual atau menggunakan komputer.

Program komputer dapat mengakomodasi berbagai tipe skala yang berbeda, termasuk single-item, multiple-item,

checklist, skala rating muldimensional, dan lain-lain.

Hepworth, Rooney, and Larsen (1997) mencatat:

Dukungan komputer layak memperoleh perhatian para pekerja sosial. Respon klien terhadap penggunaan tekonoli ini cukup baik. Potensi terbesar dari pemanfaatkan alat ini adalah dorongan dari

kemampuan komputer untuk memproses,

menggabungkan, dan mensisntesa data dari sumber imformasi yang luas. Selain itu juga tujuan komputer adalah mengurangi kesalahan evaluatif akibat interpretasi subjektif terhadap data oleh praktisi.

4) Sumber-sumber Kolateral

Informasi terkadang dikumpulkan dari berbagai sumber kolateral: teman, kerabat, tetangga, dokter pribadi, badan pelayanan sosial lain, guru, dan lainnya yang mungkin menyediakan informasi yang relevan. Dalam sejumlah kasus, klien telah menerima pelayanan dari sejumah badan pelayanan sosial lain. Informasi singkat mengenai klien tersebut dapat diperoleh dari badan sosial tersebut.

(64)

menyediakan waktu yang cukup untuk mengumpulkan informasi kolateral. Dalam praktik pekerjaan social, seorang praktisi perlu berlatih secara hat-hati dalam memutuskan tentang informasi apa yang dibutuhkan. Dalam banyak situasi tertentu, hal penting untuk diingat yaitu memperoleh persetujuan verbal klien dan memperoleh tanda tangan klien untuk memperoleh informasi sebelum melakukan kontak dengan sumber-sumber kolateral.

5) Hasil Tes Psikologi

Terdapat beragam jenis tes psikologi yang telah dibuat, yang umumnya dibuat oleh para psikolog. Namun demikian, terdapat pula beberapa tes yang dikembangkan oleh para pekerja sosial klinis. Namun begitu sebuah pengecualian adalah tes yang dikembangkan oleh Hudson (1992) untuk pekerja social klinis.

Namun demikian sebaiknya hati-hati dalam

menggunakan tes psikologi karena sebagian besar alat test tidak didisain untuk dapat dikelola dan diinterpreasi oleh ara

pekerja sosial. Beberapa pengadministrasian dan

penginterpretasian merupakan tanggungjawab psikolog. Selain itu sebagian besar tes kepribadian memiliki validitas dan reabilitas yang rendah.

6) Perilaku Non Verbal

Gambar

Tabel 1 Aspek Utama Sistem Mikro dan Makro
Tabel 1. Aspek Utama Sistem Mikro dan Makro
Tabel 2 Intervensi Utama Mikro-Generalis
Tabel 3 Ketiga Intervensi Level Makro
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini ada- lah mengetahui sampai sejauh mana masyarakat desa sekitar hutan terlibat dalam kegiatan Perhutanan Sosial ini (baik dalam

Ketika posisi telah dicapai maka mereka dapat melakukan interaksi dengan habitus untuk menghasilkan sikap-sikap yang berbeda dan memiliki efek tersendiri pada

1) Peserta didik dapat menggambarkan pembelajaran mereka sendiri dan cara-cara memperbaikinya. 2) Peserta didik dapat terlibat bekerja pada tingkat kompleksitas yang

Kajian ini juga ditumpukan kepada staf akademik dan bukan akademik yang terlibat secara langsung dengan makmal atau bengkel kejuruteraan untuk menilai tahap kesedaran mereka

Faktor perbezaan sosial memberikan kesan juga terhadap komunikasi. Berkomunikasi dengan anak-anak ada perbezaannya mengikut tahap umur masing-masing, begitu juga bersama dengan

penitipan anak yang menjadi tahap pertama mereka adalah mengenal lembaga sekolah dimana lingkungan rumah akan sangat berbeda dengan lingkungan sekolah dan mereka harus

pendidikan ibu, nilai aset, pendapatan per kapita, dan pengeluaran per kapita keluarga merupakan variabel yang memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kesejahteraan keluarga

Hakikat As-sunnah memang satu yang bikin As-sunnah berbeda ketika masing- masing dari tokoh yang menganut As-sunnah ingin mengembangkan diri sehingga membentuk yayasan masing-masing.6