• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN/ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

B. Pertanggungjawaban Pidana Korporas

Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa setelah ditentukan siapa yang dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana dan apa yang menjadi subyek tindak pidananya, maka selanjutnya yaitu menentukan bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidananya.211

Masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan. Unsur kesalahan menurut Idema merupakan jantung dari pertanggungjawaban

209

Clinard, Marshall B and Peter C, Corporate Crime, (New York: The Free Press, 1983), hal. 113

210

Peter Gillies, Op. Cit., hal. 134

211

pidana.212 Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Sauer ada Trias, atau tiga pengertian dasar dalam hukum pidana, yaitu: 213

a. Sifat melawan huku m (unrecht); b. Kesalahan (schuld);

c. Pidana (straf).

Penjatuhan pidana atas suatu tindakan terkait pada tujuannya. Tujuan (pemidanaan) ini sangat penting, karena yang mengadili harus mengetahui arti dari apa yang dilakukannya itu. Arti “mempertanggungjawabkan” yaitu keputusan apa yang dalam keadaan konkret dilakukan terhadap pelaku delik. Dengan demikian pengertian subyek tindak pidana meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana (pelaku delik), dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini tergantung dari cara atau sistem pertanggungjawaban yang diikuti oleh pembuat undang-undang.214

Menurut Barda Nawawi Arief, “pertanggungjawaban pidana setiap orang berdasarkan unsur kesalahan sebenarnya berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh manusia alamiah sebagai subyek hukum pidana”. Sedangkan pertanggungjawaban pidana berdasarkan unsur kesalahan terhadap korporasi bukan

212

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990), hal. 86

213

Sauer dalam Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 62

214

hal yang mudah, karena korporasi sebagai subyek hukum pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk).215

Korporasi sebagai suatu subyek hukum yang semu, pertanggungjawabannya dapat berasal dari perundang-undangan atau ketentuan umum lainnya, dari tindakan atau kelalaian para direktur, pekerja atau agennya. Meski demikian, tidak dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban seorang direktur atau agen itu sepenuhnya dapat langsung dilimpahkan pada korporasinya, karena secara umum harus ditemukan terlebih dahulu pelanggaran dari peraturan tertentu oleh korporasi barulah dipertanyakan siapa yang melakukan kesalahan atau kelalaian tersebut untuk dimintakan pertanggungjawaban.216

Keperluan untuk memidanakan korporasi memang sering dikaitkan dengan masalah finansial, namun sebenarnya hal ini mengandung tujuan yang lebih jauh. Dalam kerangka langkah-langkah yuridis, sekalipun pada umumnya pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi merupakan primum remedium dan hukum pidana sebagai ultimum remedium, namun diharapkan dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

217

1. The degree of loss to the public (tingkat kerugian terhadap masyarakat).

215

Muhammad Topan, Op. Cit., hal.116

216

Alvi Syahrin, I, Op. Cit., hal. 41

217

Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, dalam

tanggal 23 Juni 2013

Apabila terjadi suatu peristiwa atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang mengakibatkan kerugian yang sangat besar terhadap masyarakat, diharapkan penegakan hukum pidana dapat langsung diutamakan demi kepentingan masyarakat umum.

2. the level of complicity by high corporate managers (tingkat keterlibatan oleh pejabat/manajer tinggi perusahaan).

Dalam hal menemukan kebenaran materiil tentang keterlibatan seorang pejabat tinggi suatu korporasi yang melakukan tindakan melawan hukum, maka sebaiknya penggunaan hukum pidana dapat diutamakan agar kejelasan tentang siapa “dalang” di balik tindakan melawan hukum tersebut dapat diketahui dan sanksi pidana dapat dijatuhi secara tepat sasaran.

3. the duration of the violation (durasi pelanggaran)

Apabila suatu korporasi melakukan pelanggaran hukum dalam jangka waktu yang relatif lama, maka sebaiknya penggunaan hukum pidana dapat dilakukan segera tanpa didahului oleh penggunaan hukum lain.

4. the frequency of the violation by the corporation (frekuensi pelanggaran oleh korporasi)

Penggunaan hukum pidana dapat diutamakan terhadap korporasi yang sangat sering melakukan pelanggaran hukum dengan tujuan agar korporasi tersebut tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Apabila sejak awal ditemukan adanya niat korporasi yang dapat dibuktikan untuk melakukan suatu pelanggaran untuk mencapai tujuan tertentu, maka dalam hal ini terhadap korporasi tersebut dapat ditindaklanjuti sesuai hukum pidana dikarenakan telah ada niatan yang nyata dan dapat dibuktikan untuk melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum atau tindak pidana yang dapat merugikan orang lain.

6. evidence of extortion, as in bribery cases (bukti pemerasan, seperti dalam kasus suap)

apabila suatu korporasi terbukti melakukan pemerasan kepada pihak lain yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan, maka penegakan hukum pidana dapat diutamakan terhadap korporasi tersebut.

7. the degree of notoriety engedment by the media (tingkat keterlibatan ketenaran oleh media)

Penegakan hukum pidana juga sebaiknya diutamakan terhadap kasus korporasi terkemuka yang telah mendapat banyak perhatian dari media dan masyakat mengenai suatu isu tertentu.

8. precedent in law (preseden dalam hukum)

Apabila penegakan hukum terhadap korporasi sebelumnya, dimana hukum pidana selalu dipakai sebagai cara terakhir, telah menimbulkan preseden yang buruk dalam hukum, maka sebaiknya hal tersebut diubah dengan menggunakan

hukum pidana sebagai langkah awal dalam penyelesaian masalah hukum agar tercipta hukum yang adil dan efisien.

9. the history of serious violation by the corporation (sejarah pelanggaran yang serius oleh korporasi)

Apabila suatu korporasi yang pernah memiliki sejarah pelanggaran yang sangat serius di masa lalu dan kemudian melakukan pelanggaran lain lagi, maka terhadap korporasi tersebut sebaiknya diproses langsung dengan hukum pidana tanpa didahului oleh penggunaan hukum perdata atau hukum administrasi. 10.deterrence potential (potensi pencegahan)

Apabila pengutamaan penggunaan hukum pidana dapat meningkatkan potensi pencegahan terhadap suatu kasus yang lebih besar oleh korporasi, maka sebaiknya pengutamaan tersebut harus dilakukan.

11.the degree of cooperation evinced by corporation (tingkat kerja sama yang diperlihatkan oleh korporasi)

Apabila suatu korporasi tidak mau bekerja sama dalam melakukan proses investigasi kasus yang dilakukannya sehingga menimbulkan kesulitan bagi penyelesaian kasus tersebut, maka penggunaan hukum pidana dapat didahulukan dari hukum lain agar kasus tersebut cepat terselesaikan dan tidak merugikan orang lain.

Tujuan dari pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu memberikan suatu dampak penting bagi direktur untuk mengatur manajemen yang efektif agar korporasinya berjalan sesuai dengan kewajiban korporasi tersebut.218

Pada dasarnya pemidanaan korporasi memiliki tujuan yang sama dengan hukum pidana pada umumnya. Tujuan pertama jelas untuk menghentikan dan mencegah kejahatan di masa yang akan datang. Tujuan kedua mengandung unsur penghukuman yang mencerminkan kewajiban masyarakat untuk menghukum siapapun yang membawa kerugian. Tujuan ketiga yaitu untuk merehabilitasi para penjahat korporasi. Tujuan keempat yaitu pemidanaan korporasi harus mewujudkan sifat kejelasan, dapat diprediksi dan konsistensi dalam prinsip hukum pidana secara umum. Tujuan kelima adalah efisiensi, dan yang terakhir adalah keadilan.219

Pengaturan mengenai hukum pidana juga diatur di dalam undang-undang di luar KUHP. Pengaturan itu menyangkut tiga persoalan, yaitu pidana dan pertanggungjawaban pidana korporasi yang aktivitasnya dijalankan oleh para pengurus seperti manajer maupun direktur korporasi. Ketiga persoalan pokok tersebut yaitu perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, dan pidana.

220

218

Alvi Syahrin, I, Op. Cit., hal. 41

219

Anca Iulia Pop, Criminal Liability of Corporations – Comparative Jurisprudence, (Michigan State University College of Law, 2006), hal. 3-4

220

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungajwaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability and Vicarious Liability), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 4

Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan berkaitan dengan pengaturan hukum positif serta pemikiran yang berkembang maupun kecenderungan internasional hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:221

Pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut, dapat didasarkan kepada hal- hal berikut ini:

1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya;

2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity);

3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employees) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi- punishment provision);

4. Terdapat kesalahan manajemen Main korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of- a statutory or regulatory provision;

5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggung jawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;

6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa di Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan corporate imprisonment yang mengandung pengartian larangan suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan- pembatasan lain terhadap langkah-langkah korporasi dalam berusaha;

7. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan;

8. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan korporasi, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan (power of decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepted) oleh korporasi tersebut.

222

221

Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Loc. Cit., dalam tanggal 23 Juni 2013

222

Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: CV Utomo, 2004), hal. 66

1. atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial;

2. atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945;

3. untuk memberantas anomie of success (kesuksesan tanpa aturan); 4. untuk perlindungan konsumen;

5. untuk kemajuan teknologi.

Pada dasarnya pertanggungjawaban korporasi di negara-negara Anglo-Saxon dapat disamakan dengan pertanggungjawaban orang pribadi, namun tetap terdapat beberapa pengecualian, seperti dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, yaitu:223

1. Dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misalnya bigamy, perkosaan, sumpah palsu.

2. Dalam perkara yang satu-satunya pidana dapat dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara atau pidana mati.

Hal tersebut didukung oleh pendapat A. Z. Abidin yang menyatakan pada umumnya di Amerika Serikat menganut pendapat bahwa korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap delik-delik yang menyangkut personal violence seperti melakukan kekerasan terhadap orang lain (assault and battery) atau karena kelalaian menyebabkan matinya orang lain (manslaughter) dan delik-delik yang menyangkut actual malice atau evil intent (semacam dolus premiditatus). Hampir serupa tentang delik-delik yang tidak dapat dilakukan korporasi, Sudarto juga menyatakan dalam sistem hukum Inggris korporasi bisa dipertanggungjawabkan secara umum.224

223

Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 137

224

Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit., hal. 97

Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi, sebagai berikut:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab; 2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab; dan

3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.

Pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya merupakan kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Dasar pemikiran dari konsep ini yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik itu. Oleh karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.225

225

Ibid, hal. 84

KUHP menganut sistem yang pertama ini, dengan pendirian bahwa oleh karena korporasi tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dan tidak dapat memiliki kalbu yang salah (guilty mind), tetapi yang melakukan perbuatan tersebut adalah pengurus korporasi yang di dalam melakukan perbuatan itu dilandasi oleh sikap kalbu tertentu baik yang berupa kealpaan atau kesengajaan, maka pengurus itulah yang harus

bertanggungjawab sekalipun perbuatan itu dilakukan untuk dan atas nama korporasi yang dipimpinnya.226

Pada model korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab, harus ditegaskan bahwa korporasi sebagai pembuat, sedangkan pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggung jawab. Hal ini berkenaan dengan pandangan bahwa apa yang dilakukan oleh korporasi merupakan apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan orang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu yaitu onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggung jawab secara pidana, terlepas dari apakah dia mengetahui atau tidak mengenai dilakukannya perbuatan itu. Pandangan ini juga sejalan dengan pandangan Roeslan Saleh yang setuju bahwa prinsip ini hanya berlaku untuk pelanggaran saja.227

Pada model pertanggungjawaban korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab, yang menjadi motivasinya yaitu dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri. Ternyata untuk beberapa delik tertentu, ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Penjatuhan denda sebagai hukuman kepada pengurus dalam delik ekonomi tidaklah mustahil, jika dibandingkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat,

226

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 59

227

atau yang diderita saingannya, keuntungan dan/atau kerugian itu lebih besar jumlahnya daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh undang-undang itu.228

Keuntungan dari penerapan bentuk pertanggungjawaban pribadi direktur dan manajer jelas agar mereka dapat mematuhi hukum yang berlaku sehingga menghindarkan mereka dari sikap yang dapat membahayakan korporasi, para stakeholder, dan lingkungan hidup serta masyarakat sekitar.

229

Penerapan pertanggungjawaban terhadap para direktur dan manajer suatu korporasi sesuai peraturan akan menciptakan suatu kondisi bagi mereka untuk taat pada hukum. Pertanggungjawaban derivatif, secara terminologi, berasal dari pertanggungjawaban korporasi itu sendiri. Oleh sebab itu, haruslah dicari terlebih dahulu pertanggungjawaban korporasi itu sehingga tidak ada penyangkalan, barulah direkturnya dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi.230

Pertanggungjawaban pidana juga dapat diterapkan kepada para pemegang saham maupun komisaris. Model pertanggungjawaban ini berasal dari doktrin piercing the corporate veil. Doktrin ini mengharuskan adanya penerapan kearifan, kehati-hatian dan pemikiran dalam suatu cakrawala hukum dengan visi yang

228

Ibid, hal. 87

229

Alvi Syahrin, I, Op. Cit., hal. 41

230

perspektif dan responsif pada keadilan. Penerapan prinsip ini juga harus dikaitkan dengan prinsip keterpisahan badan hukum.231

Penetapan korporasi sebagai pelaku tindak pidana mengakibatkan juga korporasi dapat dijadikan sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Pada penetapan korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup, teori dasar hukum pidana tetap berlaku, yaitu tidak hanya sebatas penetapan dan penempatan korporasi sebagai “subyek hukum pidana” saja, tetapi perlu adanya ketentuan khusus tentang “pertanggungjawaban pidana” untuk korporasi. Pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban setiap orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Maksudnya yaitu harus ada tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan baru dapat dipertanggungjawabkan terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana tersebut.

232

Oleh karena itu, yang dipertanggungjawabkan setiap orang yaitu tindak pidana lingkungan hidup yang telah dilakukannya. Akan tetapi tidak selalu setiap orang yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup dapat dipidana, karena untuk memenuhi syarat agar dapat dipertanggungjawabkannya setiap orang atas tindak pidana yang dilakukan harus adanya unsur kesalahan sebagai wujud rasa keadilan. Dirasakan tidak adil apabila setiap orang dijatuhi pidana padahal sama sekali tidak bersalah. Adanya unsur kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana inilah yang

231

Robert W. Hamilton, Cases and Materials on Corporations Including Partnerships and Limited Liability Companies, (American Casebook Series, West Group, 2001), hal 298 – 355

232

dalam hukum pidana dikenal sebagai asas kesalahan (geen straf zonder schuld), yakni asas tiada pidana tanpa kesalahan.233

Hal ini juga senada dengan pendapat bahwa hukum pidana dapat memberikan sumbangan dalam perlindungan hukum bagi lingkungan hidup, namun demikian perlu diperhatikan batasan-batasan yang secara inheren terkandung dalam penerapan hukum pidana tersebut, seperti asas legalitas maupun asas kesalahan.234

C. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Perusahaan Induk Terhadap