• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN/ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

A. Perusahaan/Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan subyek hukum pidana, dalam hal ini yaitu dengan menetapkan dan menempatkan pelaku tindak pidana sebagai subyek hukum pidana dalam ketentuan perundang- undangan agar pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain yang menjadi korbannya.187

Istilah “subyek hukum” sendiri memiliki arti yang luas dan tidak terbatas pada manusia saja. Kata “orang” dalam hukum perdata berarti pembawa hak atau subyek hukum (subjectum juris). Namun, orang atau manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum (natuurlijke persoon), karena masih ada subyek hukum lain yang menurut hukum dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia, mempunyai kekayaan sendiri dan dengan perantaraan pengurusnya dapat digugat dan menggugat di muka sidang pengadilan. Subyek hukum dimaksud yaitu badan hukum (rechtpersoon), artinya orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum atau korporasi itu misalnya, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk

187

perseroan terbatas, perserikatan orang atau yayasan, atau bentuk-bentuk korporasi lainnya.188

Harold F. Lusk et al. dalam bukunya yang berjudul Business Law, sehubungan dengan sejarah perkembangan korporasi sebagai subyek hukum, menyatakan:189

Korporasi yang telah menjadi subyek hukum tidak langsung dikenal sebagai subyek hukum pidana. Meskipun di masa sebelum Revolusi Perancis, pertanggungjawaban kolektif dari suatu kota atau gilde (kumpulan tukang ahli) sudah dikenal, dan gilde tersebut dapat dijatuhi pidana. Namun, pengakuan terhadap korporasi sebagai subyek hukum pidana dalam konteks hukum zaman sekarang baru mulai dirasakan dewasa ini, sebagai dampak dari peranan korporasi yang kian meluas.

“The general idea is very old that a corporation is a fictious legal person distinct from the actual persons who compose it. The Romans recognized the corporation, and in England the corporate form was used extensively even before A.D. 1600, although most early characters were granted to municipalities or to ecclesiastical, educational, or charitable bodies.”

(Ide umum yang sangat tua bahwa suatu korporasi merupakan suatu subyek hukum fiktif yang berbeda dari manusia yang membentuknya. Orang Romawi mengenal korporasi, dan di Inggris bentuk korporasi digunakan secara umum bahkan sebelum tahun 1600 Sesudah Masehi, walaupun kebanyakan dari bentuk-bentuk awal ini hanya diakui untuk kota-kota tertentu atau organ- organ religius, pendidikan atau amal).

190

Salah satu faktor pemicu pengakuan korporasi sebagai subyek hukum pidana tersebut salah satunya pada tahun 1985 dilaksanakan Kongres PBB VII yang

188

Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, (Malang: PT Bayumedia, 2006), hal. 201. Lihat juga Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1984), hal. 21

189

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 36

190

membicarakan jenis kejahatan dalam tema “Dimensi Baru Kejahatan dalam Konteks Pembangunan”. Pembicaraan ini melihat gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dimana korporasi banyak berperan di dalamnya, seperti terjadinya penipuan pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan asuransi, pemalsuan invoice yang dampaknya dapat merusak sendi- sendi perekonomian suatu negara. Melihat perkembangan dan pertumbuhan korporasi yang berdampak negatif, maka kedudukan korporasi mulai bergeser dari subyek hukum biasa menjadi subyek hukum pidana.191

Selain perubahan pada peranan korporasi masa kini, penempatan korporasi sebagai subyek dalam hukum pidana tidak lepas dari modernisasi sosial. Menurut Satjipto Rahardjo, modernisasi sosial dampaknya pertama harus diakui, bahwa semakin modern masyarakat itu semakin kompleks sistem sosial, ekonomi dan politik yang terdapat di dalamnya, maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula. Kehidupan sosial tidak dapat lagi diserahkan kepada pola aturan yang santai, melainkan dikehendaki adanya pengaturan yang semakin rapi terorganisasi, jelas dan terperinci. Sekalipun cara-cara seperti ini mungkin memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat yang semakin berkembang namun persoalan-persoalan yang ditimbulkan tidak kurang pula banyaknya.192 191 Ibid, hal. 42 192 Ibid, hal. 43

Pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana diterapkan di negara- negara pada masa yang berbeda-beda dengan dilatarbelakangi sejarah dan pengalaman yang berbeda di tiap-tiap negara, termasuk Indonesia. Namun pada ujungnya ada suatu kesamaan pandangan, yaitu sehubungan dengan perkembangan industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan yang telah mendorong pemikiran bahwa subyek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah saja (natural persoon), tetapi juga meliputi korporasi, karena untuk tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi.193

Pengakuan terhadap korporasi sebagai subyek hukum pidana sudah mulai mendunia. Hal itu dibuktikan antara lain dengan diselenggarakannya konferensi internasional ke-14 mengenai Criminal Liability of Corporation di Athena dari tanggal 31 Juli hingga 6 Agustus tahun 1994. Hasilnya antara lain Finlandia yang semula tidak mengatur korporasi sebagai subyek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan.

194

Pengakuan terhadap korporasi sebagai subyek hukum pidana juga dapat ditemukan di dalam sistem hukum Inggris dan Australia. Meskipun pengakuan ini awalnya masih ragu, tetapi sekarang hukum Inggris dan Australia telah mengakui bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, walaupun tidak untuk semua kejahatan. Menurut Gillies, korporasi adalah orang atau manusia dalam mata hukum yang mampu melakukan sesuatu sebagaimana yang dapat dilakukan oleh

193

Arief Amrullah, Op. Cit., hal. 205

194

manusia sehingga diakui oleh hukum seperti memiliki kekayaan, melakukan kontrak dan dapat dipertanggungjawabkan atas kejahatan yang dilakukan.195

Tidak hanya Inggris dan Australia, Amerika Serikat yang menganut sistem hukum Common Law, juga telah mengakui korporasi sebagai subyek hukum pidana. Indikasi ke arah itu sehubungan dengan dapat dipertanggungjawabkannya korporasi atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh agennya, yaitu dengan ketentuan bahwa:196

1. perbuatan yang dilakukan itu berada dalam lingkup pekerjaannya; 2. perbuatan itu untuk kepentingan korporasi.

Penggabungan konsep antara pertanggungjawaban perdata dan pidana itu dapat mengobati pemikiran para sarjana hukum yang telah lama merasa terganggu dengan adanya pendikotomian antara kedua konsep pertanggungjawaban tersebut.197

Pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia pada hakikatnya telah diterapkan dalam hukum adat melalui pidana denda sejak tahun 1988. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang pernah dilakukan J.E. Sahetapy bahwa di beberapa daerah di kepulauan Indonesia, sering kali terjadi bahwa kampung si penjahat atau kampung terjadinya suatu pembunuhan atau pencurian terhadap orang asing, dikenakan kewajiban membayar denda atau kerugian kepada golong familinya orang

195

Peter Gillies, Criminal Law, Second Edition, (Sydney: The Law Book Company Limited, 1990), hal. 125

196

John C. Coffe Jr., Op. Cit., hal. 253

197 Ibid

yang dibunuh atau kecurian. Jadi pidana terhadap kolektivitas atau untuk masa kini korporasi bukanlah suatu yang baru bagi orang Indonesia.”198

Walaupun pengakuan korporasi sebagai subyek hukum pidana tengah menyebar di dunia, dalam ketentuan umum hukum pidana positif di Indonesia (KUHP) sampai saat ini masih belum mengenal “korporasi” sebagai subyek tindak pidana. Subyek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP positif adalah orang dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non protest, artinya badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana, maka pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechspersoonlijkheid) tidak berlaku dalam bidang hukum pidana. Dengan demikian, prinsip pertanggungjawaban korporasi tidak dikenal dalam KUHP di Indonesia, padahal KUHP ini mempunyai kedudukan sentral sebagai induk peraturan hukum pidana yang dapat diberlakukan secara umum (disebut undang-undang pidana umum atau hukum pidana umum “commune strafrecht”).199

KUHP dalam rumusannya juga tidak memperluas kejahatan yang juga dapat dilakukan oleh korporasi. Padahal jenis-jenis kejahatan yang dapat dilakukan oleh korporasi pada tataran perkembangan kejahatan sudah lama dan seringkali terjadi dengan dampak korban yang sangat kompleks. Oleh karenanya, perlu adanya pembaharuan KUHP agar dapat menjawab segala permasalahan kejahatan terkait dengan perkembangannya, sehingga memenuhi syarat keadilan dan daya guna.

198

Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit., hal. 42

199

Sepatutnya diketahui bahwa kebijakan hukum pidana mencakup pula kebijakan pembaharuan hukum pidana (penal reform). Maka kebijakan hukum pidana “penal policy” dengan membuat peraturan hukum pidana materiel/substantif merupakan upaya yang dapat memberikan perlindungan korban kejahatan korporasi, salah satunya kejahatan korporasi di bidang lingkungan, karena dapat memberikan rasa adil bagi korban serta menimbulkkan deterrent effect bagi korporasi untuk melakukan kejahatan.200

Saat ini, pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana hanya dapat ditemukan dalam perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP, ataupun perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana. Akan tetapi, tetap saja terlihat masih ada ketidaktuntasan pembentuk undang-undang (kebijakan formulasi) dalam merumuskan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dijatuhi pidana. Hal itu tidak sejalan dengan ide bahwa subyek hukum pidana tidak lagi dibatasi pada manusia alamiah saja.

201

Akibat prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) di Indonesia tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP di Indonesia), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus adalah bahwa kebijakan formulasi yang menyangkut subyek tindak pidana korporasi tidak berlaku secara umum, tetapi Adapun ketidaktuntasan tersebut adalah mengenai kapan suatu korporasi dianggap harus bertanggung jawab, ataupun bagaimana cara pertanggungjawabannya.

200

Ibid, hal. 77

201

terbatas dan hanya berlaku terhadap beberapa perundang-undangan khusus di luar KUHP, salah satunya diatur dalam perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Konsekuensi yuridis dengan tidak diaturnya korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam Buku I KUHP (sebagai ketentuan umum hukum pidana), adalah pengaturannya dalam undang-undang di luar KUHP menjadi sangat beraneka ragam.202

Menurut Barda Nawawi Arief, dalam perundang-undangan selama ini (undang-undang pidana khusus) terlihat hal-hal sebagai berikut:

203

1. banyak yang memasukkan “korporasi” sebagai subyek tindak pidana, namun dengan berbagai variasi istilah;

2. ada korporasi yang dijadikan subyek tindak pidana, tetapi undang-undang yang bersangkutan tidak membuat ketentuan pidana atau “pertanggungjawaban pidana” untuk korporasi;

3. dalam hal Undang-Undang membuat pertanggungjawaban korporasi, belum ada pola aturan pemidanaan korporasi yang seragam dan konsisten, antara lain terlihat hal-hal sebagai berikut:

a. ada yang merumuskan dan ada yang tidak merumuskan “kapan korporasi melakukan tindak pidana dan kapan dapat dipertanggungjawabkan”; b. ada yang merumuskan dan ada yang tidak merumuskan, “siapa yang dapat

dipertanggungjawabkan”; c. jenis sanksi:

1) ada yang pidana pokok saja; ada yang pidana pokok dan tambahan; dan ada yang ditambah lagi dengan tindakan “tata tertib”;

2) pidana denda ada yang sama dengan delik pokok; ada yang diperberat; 3) ada yang menyatakan dapat dikenakan tindakan tata tertib, tetapi tidak

disebutkan jenis-jenisnya.

Contoh ketentuan yang menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan, yaitu:204

202

Muhammad Topan, Op. Cit., hal. 75

203

Ibid, hal. 75-76

204

1. Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15)

2. Undang-Undang No. 6 Tahun 1984, tentang Pos (Pasal 19 ayat (3)).

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Pasal 5 ayat (3)). 4. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 20).

5. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 4 ayat (1)).

6. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup (Pasal 116).

Pembaharuan hukum pidana di Indonesia ditandai dengan penyusunan Rancangan KUHP. Pasal 47 Rancangan KUHP menyatakan secara tegas bahwa: “korporasi merupakan subyek tindak pidana”. Adanya ketentuan yang menyatakan secara tegas bahwa “korporasi merupakan subyek tindak pidana”, menunjukkan adanya upaya untuk menjangkau pertanggungjawaban pidana korporasi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dan telah menunjukkan adanya akses perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi untuk memperoleh keadilan, yakni penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan.205

Ketentuan penetapan dan penempatan korporasi sebagai subyek hukum pidana dan pertanggungjawaban pidana korporasi dapat diberlakukan umum sebagai sistem aturan umum hukum pidana materil dengan dicantumkannya ketentuan ini dalam rancangan KUHP. Hal ini merupakan kebijakan ius constituendum dalam politik hukum pidana di Indonesia, yakni usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

205

waktu dan untuk masa-masa yang akan dating. Oleh karenanya, pemikiran-pemikiran terhadap pembaharuan hukum pidana (rancangan KUHP) yang sudah lama dilakukan harus secepatnya bisa diselesaikan dan direalisasikan.206

Penetapan dan penempatan korporasi sebagai subyek tindak pidana dan bisa dijatuhi pidana (dipertanggungjawabkan) tidak diikuti dengan peraturan yang mengatur tentangnya. Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut, masih belum ada yang jelas mengatur mengenai kapan suatu korporasi dapat dikatakan melakukan tindak pidana. Hal inilah yang menyebabkan proses penegakan hukum yang menyangkut korporasi sebagai pelakunya dalam praktik sulit sekali ditemukan. Bahkan dalam beberapa putusan pengadilan yang seharusnya korporasi dapat dituntut, tetapi dalam putusannya yang dituntut dan dipidana yaitu pengurus dari korporasi tersebut. Hal ini membawa konsekuensi sulitnya ditemukan yurisprudensi tentang korporasi sebagai subyek tindak pidana.207

Korporasi dalam melakukan perbuatannya harus melalui manusia yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan itu atas nama korporasi. Hal ini dikarenakan manusialah yang melakukan perbuatan untuk korporasi, maka pembebanan pertanggungjawaban pidana pada korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang itu dapat dijatuhi, apabila dipenuhi semua unsur-unsur atau syarat-syarat sebagai berikut:208

206

Ibid, hal. 115

207

Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit., hal. 96

208

1. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commision maupun ommision) dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi yang di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi, yaitu personil yang memiliki posisi sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan sah untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari atasannya. Pertanggungjawaban korporasi hanya dapat diberlakukan dalam hal tindak pidana:

a. Dilakukan oleh pengurus, yaitu mereka yang menurut anggaran dasar secara formal menjalankan pengurusan korporasi, dan/atau

b. Dilakukan oleh mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar korporasi bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat korporasi secara hukum berdasarkan: 1) Pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan

pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu untuk melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi, atau

2) Pemberian kuasa oleh pengurus atau oleh mereka sebagaimana disebut di atas untuk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi.

c. Diperintahkan oleh mereka yang tersebut dalam huruf ‘a’ dan ‘b’ di atas, agar dilakukan oleh orang lain.

6. Tindak pidana yang dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi. Kegiatan tersebut berupa kegiatan intra vires yaitu kegiatan yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditentukan dalam anggaran dasarnya.

7. Tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Artinya, apabila tindak pidana itu tidak berkaitan dengan tugas pelaku atau tugas pemberi perintah di dalam korporasi tersebut, sehingga karena itu personil tidak berwenang melakukan perbuatan yang mengikat korporasi, maka korporasi tidak dapat diharuskan untuk memikul pertanggungjawaban pidana.

8. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. Manfaat dapat berupa keuntungan finansial atau non finansial atau dapat menghindarkan/mengurangi kerugian finansial maupun non finansial bagi korporasi.

9. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dapat digolongkan ke dalam 6 (enam) jenis, yaitu: pelanggaran hukum administrasif, pencemaran

lingkungan, finansial, perburuhan, manufakturing dan persaingan dagang yang tidak sehat.209 Sejalan dengan pendapat tersebut, Peter Gillies mengemukakan bahwa korporasi dapat melakukan banyak delik, misalnya: conspiracy, criminal libel, contempt of court, penggelapan pajak, pasar gelap, membantu delik yang menimbulkan kematian akibat berkendaraan berbahaya (dangerous driving). Namun, dari delik-delik tersebut, terdapat batasan delik mana yang dapat dilakukan oleh korporasi. Salah satu yang menjadi pertimbangannya yaitu masalah pidana. Secara normal, pidana yang dapat dikenakan kepada korporasi yaitu pidana denda, dikarenakan apabila suatu delik hanya diancam dengan pidana penjara maka tidak mungkin dikenakan kepada korporasi.210