• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN xxx I PENDAHULUAN

II. KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Pertumbuhan Ekonom

Menurut Todaro (2000) pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan kemajuan teknologi. Akumulasi modal meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan sumberdaya manusia. Pertumbuhan penduduk yang pada beberapa tahun berikutnya membawa pertumbuhan angkatan kerja. Akumulasi modal terjadi, apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di kemudian hari.

Djojohadikusumo (1994) mengelompokkan teori pertumbuhan berdasarkan pendekatan Neo Keynes (teori Harrod dan teori Domar), Neo Klasik (Robert Merton Solow), Nicholas Kaldor, dan Simon Kuznet. Pertumbuhan Keynes berkisar pada tingkat pendapatan yang stabil berdasarkan kesempatan kerja secara penuh, termasuk penggunaan kapasitas produksi yang terpasang (Djojohadikusumo, 1994). Harrod mempersoalkan tentang dalam kondisi yang bagaimana dapat dicapai kestabilan pada pendapatan dan kesempatan kerja secara penuh dan dapat dipertahankan seterusnya dalam dinamika perkembangan ekonomi. Perhatian Harrod dipusatkan pada persyaratan yang harus dipenuhi untuk memelihara ekuilibrium antara tabungan, investasi, dan pendapatan dalam dinamika pertumbuhan ekonomi. Analisis Harrod dalam bentuk formal disusun dalam suatu kerangka agregatif.

Dalam teori dinamika, Harrod memaparkan azas fundamental yang menyangkut faktor dinamika. Ciri pokok gagasan Harrod terletak pada faktor ketidakstabilan yang menjadi gangguan terhadap kondisi ekuilibrium. Konsekuensi dari teori ketidakstabilan ini adalah diperlukan langkah-langkah

kebijakan tertentu untuk menanggulangi ketidakstabilan, guna menjaga pertumbuhan yang berdasarkan ekuilibrium yang stabil. Harrod memaparkan dua konsep laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan produksi dan pendapatan pada tingkat yang dianggap memadai dari sudut pandangan calon investor (the warranted rate of growth).

Pada laju yang dianggap memadai itu, para calon investor akan meneruskan usahanya dengan melakukan investasi secara kontinyu. Disamping itu Harrod menjelaskan kondisi natural rate of growth, yaitu laju pertumbuhan produksi dan pendapatan yang ditentukan oleh kondisi dasar yang menyangkut bertambahnya angkatan kerja, karena penduduk bertambah. Kemudian meningkatnya produktivitas kerja, karena kemajuan teknologi. Kondisi dasar tersebut yang berkisar pada pertambahan tenaga kerja dan peningkatan produktivitas kerja, sekaligus menjadi batas maksimum untuk laju pertumbuhan produksi dan pendapatan riil. Harrod berpendapat bahwa pertumbuhan kontinyu dalam ekuilibrium, yaitu dengan kestabilan pendapatan dan kesempatan kerja penuh, hanya dapat dicapai, jika syarat tentang laju pertumbuhan dari sudut pandangan calon investor (the warranted rate of growth) dan laju pertumbuhan yang natural dapat dicapai. Dengan kata lain, dalam konstelasi ekonomi telah tercapai laju pertumbuhan dari sudut pandangan calon investor (the warranted rate of growth) sama dengan laju pertumbuhan yang natural. Akan tetapi, faktor- faktor yang menentukan laju pertumbuhan dari sudut pandangan calon investor itu berlainan dan bersifat independen dari faktor-faktor yang menentukan laju pertumbuhan yang natural.

Karena laju pertumbuhan dari sudut pandangan calon investor (the warranted rate of growth) jarang sekali sama dengan laju pertumbuhan yang natural, maka ketidakstabilan itu dinyatakan dalam bentuk teori ketidakstabilan dari Harrod (Djojohadikusumo, 1994). Gagasan Harrod yang berintikan pada

teori ketidakstabilan menjadi pertimbangan dasar bahwa jika dikehendaki adanya ekuilibrium dalam proses pertumbuhan, maka diperlukan intervensi kebijakan untuk menanggulangi gangguan ketidakstabilan dan penyimpangan yang merupakan ciri pokok pada pertumbuhan Harrod (Djojohadikusumo, 1994).

Teori pertumbuhan Domar berawal dari azas multiplier investasi (Djojohadikusumo, 1994). Laju pertumbuhan pada permintaan efektif langsung dihadapkan kepada pertumbuhan pada kapasitas produksi. Model Domar mengatakan bahwa pertumbuhan pada permintaan adalah sama dengan pertambahan investasi (I) dikalikan oleh multiplier (1/s). Pertumbuhan pada kapasitas produksi adalah sama dengan investasi (I) dibagi oleh rasio modal terhadap output (k). karena itu pertumbuhan pada permintaan adalah sama dengan pertumbuhan pada kapasitas produksi: ΔI/I = s/k*. Keadaan demikian akan membawa investasi dalam jumlah yang semakin besar.

Sama dan selaras dengan garis pemikiran dalam gagasan Harrod, jika karena sebab apapun laju pertumbuhan investasi menyimpang dari laju kritis s/k, laju pertumbuhan pada kapasitas produksi, maka penyimpangan itu cenderung untuk berlangsung terus dalam jurusan sama. Karena itu diperlukan intervensi kebijakan, jika kecenderungan penyimpangan hendak dikembalikan pada jalur ekuilibrium.

Model pertumbuhan ekonomi Solow menggunakan peubah output (Y), modal (K), tenaga kerja (L), dan pengetahuan atau efektivitas tenaga kerja (A) (Romer, 2006). Output berubah sepanjang waktu, jika input produksi mengalami perubahan. Asumsi yang digunakan adalah pertama, fungsi produksi berada pada skala penerimaan yang konstan. Dua kali peningkatan modal dan tenaga kerja efektif menghasilkan output sebanyak dua kali pula. Fungsi produksi pada skala penerimaan yang konstan menggunakan asumsi bahwa perekonomian cukup besar, sehingga jika modal dan tenaga kerja meningkat dua kali, maka

input baru yang digunakan sama penting dengan keberadaan input, dan menghasilkan output dua kali lipat. Asumsi kedua adalah input selain modal, tenaga kerja, dan pengetahuan dianggap tidak penting.

Dalam model yang dikembangkan oleh Solow terdapat kemungkinan adanya perubahan pada tingkat bunga dan pada tingkat upah (Djojohadikusumo, 1994). Proses pertumbuhan dilihat sebagai suatu proses yang berlangsung dengan perimbangan-perimbangan yang merupakan peubah diantara faktor- faktor produksi. Harga-harga faktor produksi adalah fleksibel, sehingga ada kemungkinan substitusi diantara faktor-faktor produksi yang terlibat dalam proses produksi. Dalam keadaan dimana jumlah tenaga kerja melebihi pasok modal, harga tenaga kerja (tingkat upah) akan menurun secara nisbi terhadap harga modal (tingkat bunga). Sebaliknya jika pertambahan modal melampaui pertambahan jumlah tenaga kerja, maka tingkat upah akan meningkat. Dengan adanya perubahan pada harga faktor-faktor produksi dan melalui substitusi satu jenis faktor produksi oleh jenis faktor produksi lainnya, hal itu satu sama lain dapat membatasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dari ekuilibrium pertumbuhan. Oleh sebab itu, tidak benar bila dikatakan bahwa seakan-akan di dalam proses pertumbuhan secara inheren terkandung unsur ketidakstabilan sebagaimana yang ditonjolkan dalam teori ketidakstabilan Harrod. Itulah yang secara sederhana menjadi intisari dari gagasan Solow.

Kaldor memandang proses pertumbuhan yang berlangsung dalam jangka panjang, sekitar lima puluh tahun atau lebih (Djojohadikusumo, 1994). Proses pertumbuhan jangka panjang diarahkan pada pertumbuhan sektoral yang mencakup sektor produksi komoditi primer dan sektor sekunder (industri dan konstruksi). Kegiatan di sektor tersier (jasa-jasa) oleh Kaldor dianggap sebagai fungsi dari perkembangan industri. Pengalaman Kaldor dilengkapi oleh telaahan dan kajian mengenai pertumbuhan ekonomi dari sudut haluan regional.

Kaldor mengadakan perbedaan yang tajam antara pertumbuhan di sektor produksi primer dan pertumbuhan di sektor industri. Sesuai dengan garis pemikiran Alfred Marshall dan Karl Marx, maka Kaldor mengamati bahwa ciri pokok dalam industri manufaktur adalah produksinya berlangsung dengan skala penerimaan yang meningkat, dimana penerimaan imbalan per satuan produksi meningkat secara nisbi terhadap biaya persatuan produksi. Negara-negara industri sudah mempunyai landasan prasarana beserta perangkat kelembagaan yang cukup memadai. Dalam masyarakat negara-negara itu, azas skala penerimaan yang meningkat berlaku di bidang makro pada masyarakat secara menyeluruh maupun di bidang mikro dalam lingkungan usaha.

Skala penerimaan yang meningkat dan kemajuan teknologi adalah kait- mengait satu dengan lainnya. Konstruksi dan pengendalian operasional mengenai satuan-satuan modern, pembinaan keterampilan yang bersifat khas, pengembangan proses, segala sesuatu itu memerlukan penelitian ilmiah disertai oleh pengembangan dan implementasi hasil penelitian tersebut. Dengan begitu, skala penerimaan yang meningkat tidak saja merupakan fungsi dari skala produksi, melainkan juga dari produksi kumulatif dalam perkembangan waktu.

Hal yang sama menurut Kaldor berlaku mengenai akumulasi modal fisik. Peningkatan produktivitas tenaga kerja secara kontinyu memerlukan investasi yang berkenaan dengan mekanisasi teknik produksi. Hal itu berarti bertambahnya modal per tenaga kerja. Pertumbuhan industri dalam jangka panjang ditandai oleh meningkatnya hasil produksi per tenaga kerja. Akan tetapi, perubahan pada rasio modal terhadap output tidak begitu menonjol. Dalam hubungan ini, Kaldor menekankan investasi bukan menjadi sebab dari pertumbuhan ekonomi, melainkan sebaliknya pertumbuhanlah yang memungkinkan pengerahan investasi.

Berbeda sekali sifat produksi di sektor komoditi primer, yaitu pertanian dalam arti luas dan pertambangan. Di sektor primer produksi berlangsung dengan skala penerimaan yang menurun, dimana penerimaan imbalan per satuan produksi menurun secara nisbi terhadap biaya per satuan produksi. Tahap mulai berlakunya skala penerimaan yang menurun dapat ditangguhkan dengan pemanfaatan dan implementasi teknologi. Namun, Kaldor berpendapat bahwa kemajuan teknologi di bidang produksi primer lebih bersifat eksogen. Artinya tidak begitu responsif terhadap kebutuhan yang timbul dari sektor primer itu sendiri, apabila dibandingkan dengan sektor industri. Dalam pengamatan Kaldor ada batas maksimum yang agak kaku terhadap laju pertumbuhan di bidang produksi primer.

Dalam perekonomian tertutup dalam jangka panjang batas maksimum terhadap laju pertumbuhan sektor primer menjadi kendala utama bagi laju pertumbuhan industri. Dengan begitu, batas maksimum terhadap laju pertumbuhan produksi primer juga menjadi kendala bagi pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh. Sebab, pertumbuhan produksi dan pendapatan di sektor primer merupakan sumber utama dari permintaan efektif terhadap hasil produksi sektor industri. Kaldor menekankan bahwa pertumbuhan permintaan dari pihak sektor primer dalam perekonomian tertutup dalam jangka panjang menjadi penentu bagi laju pertumbuhan produksi industri. Di pihak lain, perkembangan industri saling berkaitan dengan pertimbangan mengenai besar kecilnya skala produksi. Oleh sebab itu, senantiasa ada kecenderungan kuat dari pihak industri untuk mencari permintaan dari sumber-sumber lain, yaitu dari luar perbatasan ekonomi tertutup itu. Dengan proses industrialisasi, akan ada dorongan kuat untuk transformasi ekonomi tertutup menjadi ekonomi terbuka. Dengan kata lain, hal itu mendorong ke arah pengembangan perdagangan luar negeri dalam lalu lintas ekonomi internasional. Perhatian Kaldor juga ditunjukkan kepada pola

pertumbuhan industri ditinjau dari sudut lokasi regional. Pola produksi sektor primer oleh Kaldor dianggap terkait dengan lokasi sumber alam.

Perihal pola pertumbuhan industri, Kaldor menunjuk pada timbulnya perbedaan pada pola dan laju pertumbuhan yang terjadi diantara berbagai kawasan dalam batas wilayah satu negara maupun secara regional dan internasional diantara berbagai belahan dunia. Perbedaan yang dimaksud tidak semakin berkurang, melainkan cenderung menjadi semakin besar, sehingga menimbulkan ketimpangan kumulatif pada pertumbuhan ekonomi diantara berbagai pusat kegiatan, sebagai ketimpangan yang bersifat regional dan atau internasional. Hal itu disebut Kaldor sebagai sebab kumulatif, yaitu sebab- musabab yang cenderung mengandung dampak kumulatif. Kecenderungan ini mengandung kerumitan yang luas bagi pola pertumbuhan ekonomi diantara kawasan-kawasan kegiatan dalam satu negara maupun diantara kelompok- kelompok negara.

Sumber utama bagi sebab kumulatif yang dimaksud berkaitan dengan berlakunya skala penerimaan yang meningkat dalam proses produksi industri. Setiap lokasi atau kawasan yang menjadi pusat kegiatan industri yang penting dapat mencapai produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan keadaannya di pusat-pusat industri lain yang kurang berarti. Meningkatnya produktivitas tenaga kerja berarti biaya tenaga kerja menjadi berkurang per satuan produk. Hal ini memperkuat daya saing perusahaan- perusahaan dari kawasan industri yang maju, skala produksi mereka dapat diperluas, sehingga produktivitas kerja lebih meningkat lagi. Hal itu biasanya disertai oleh perbaikan pada mutu hasil produksi.

Hal itu satu sama lain semakin memperbaiki keunggulan komparatif kawasan yang maju, dibandingkan dengan kawasan-kawasan yang lainnya. Kaitan antara pertumbuhan produksi dan peningkatan produktivitas kerja itu

menyebabkan bahwa ketimpangan pada laju pertumbuhan industri antar daerah atau antar kawasan akan berlangsung secara kumulatif. Hal itu masih dipertajam dengan pengembangan ekspor hasil industri dari pusat-pusat kegiatan yang sudah maju. Pesatnya pertumbuhan industri dan meningkatnya produktivitas kerja disertai oleh pengembangan ekspor hasil produksinya, satu sama lain merupakan semacam lingkaran kegiatan yang bermanfaat bagi daerah atau kawasan yang maju. Sebaliknya hal itu berarti lingkaran setan bagi daerah atau kawasan yang tertinggal. Dampak ketimpangan tersebut dapat diredakan, jika dalam proses perkembangan industri dapat dicapai suatu keadaan, dimana kawasan yang maju merupakan pasar yang berarti bagi hasil produksi yang berasal dari kawasan-kawasan yang lainnya.

Todaro (2000) mengemukakan enam karakteristik proses pertumbuhan ekonomi yang dapat ditemui di hampir semua negara yang sekarang maju sebagai berikut: (1) tingkat pertumbuhan output per kapita dan pertambahan penduduk yang sangat tinggi, (2) tingkat kenaikan total produktivitas faktor yang tinggi, khususnya produktivitas tenaga kerja, (3) tingkat transformasi struktural ekonomi yang tinggi, (4) tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi, (5) adanya kecenderungan negara-negara yang mulai atau yang sudah maju perekonomiannya untuk berusaha merambah bagian-bagian dunia lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku, dan (6) terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai sepertiga bagian penduduk dunia.

Menurut Djojohadikusumo (1994), gagasan proses pertumbuhan Kuznet berawal dari kerangka perhitungan nasional dengan penjabarannya tentang unsur-unsur komponen dalam pendapatan nasional. Kuznets berhasil memberi substansi secara empiris-kuantitatif terhadap pengertian-pengertian pokok dalam kerangka analisis Keynes seperti mengenai hubungan antara konsumsi,

tabungan, investasi, dan pendapatan dalam tata susunan ekonomi secara menyeluruh. Satu sama lain dikaji menurut tahap-tahap perkembangan yang susul-menyusul, hal yang dikenal sebagai analisis urutan waktu. Dengan begitu, pemikiran teoritis di bidang ekonomi dijelmakan dari ilmu deduktif menjadi ilmu kuantitatif. Hal ini menjadi landasan bagi penelitian Kuznets mengenai masalah pertumbuhan ekonomi. Penelitian Kuznets berkisar pada perkembangan historis mengenai produksi nasional dan pendapatan nasional. Pemantauannya melibatkan urutan waktu yang bersifat ekonomis maupun urutan waktu yang bersifat demografis.

Karya ilmiah Kuznets mengenai masalah pertumbuhan menyangkut perkembangan ekonomi dalam jangka panjang dan didasarkan atas studi perbandingan tentang pengalaman historis empiris yang mencakup sejumlah negara industri. Pemikiran Kuznets dalam rangka ekonomi pertumbuhan merupakan kelangsungan dari hasil karya sebelumnya mengenai perhitungan nasional. Kerangka acuan dan pola pendekatannya dalam studi komparatif yang dimaksud berpokok pada konsep pendapatan nasional beserta unsur-unsur komponennya. Perhatian Kuznets ditujukan kepada perubahan-perubahan pada kerangka struktur dan komposisi pendapatan nasional dalam perkembangan waktu.