• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN xxx I PENDAHULUAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 255 6.1 Kesimpulan

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan Inpres nomor 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan BBN sebagai bahan bakar lain, maka pemerintah mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan BBN. Inpres tersebut ditujukan kepada Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Perhubungan, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah, Menteri Negara BUMN, Menteri Keuangan, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Gubernur, dan Bupati/Walikota.

Pemerintah mempercepat pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta pengurangan tekanan permintaan BBM dengan menetapkan Keputusan Presiden Nomor 10 tahun 2006 dan pemerintah membentuk Timnas BBN (Martono, 2008). BBN dikembangkan oleh pemerintah untuk memenuhi konsep Triple Track Strategy, yaitu: pro-growth, pro-job, dan pro-poor (Departemen ESDM, 2008b). Pro-job dimaksudkan untuk membuka lapangan pekerjaan melalui pengembangan BBN, pro-poor dengan cara mensubsitusi minyak tanah dengan BBN, dan dengan konsep pro-growth dimaksudkan sebagai

Tabel 3. Produksi BBN di Indonesia Tahun 2005-2010

kegiatan ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Departemen ESDM, 2008b). Minyak tanah kemudian disubstitusi dengan LPG (Liquid Petroleum Gas) isi 3 Kg. Perkembangan produksi BBN di Indonesia disajikan pada Tabel 3.

Tahun Biosolar (Ribu KL) Bioetanol (Ribu KL) Bio-oil (Ribu KL) Jumlah (Ribu KL) 2005 120.00 2.50 n.a. 122 500 2006 456.60 12.50 2.4 471 500 2007 1 550.00 135.00 37.2 1 722 200 2008 2 329.10 192.40 37.2 2 558 700 2009 2 521.50 212.50 40.0 2 774 000 2010*) 2 647.57 223.12 42.0 2 912 690

Sumber: Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, 2011 Keterangan: *) Estimasi.

Kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005 telah menyebabkan inflasi sebesar 16 persen (Tampubolon, 2008). Ketika itu harga bensin meningkat sebesar 87.5 persen, harga solar meningkat sebesar 104.76 persen, dan harga minyak tanah meningkat sebesar 185.71 persen (Dillon et al, 2008). Perubahan harga BBM mempengaruhi perubahan harga BBN, karena pangsa BBN yang dicampurkan ke dalam BBM sebesar 10 persen.

Peningkatan harga produk pertanian terkait BBN berdampak meningkatkan harga produk hasil pengolahan pertanian, seperti harga minyak

goreng kelapa sawit. Peningkatan harga-harga tersebut mengurangi kesejahteraan konsumen. Ernawati et al (2008) menyatakan bahwa setiap kenaikan garis kemiskinan sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 1 persen.

Pada sisi yang lain, pembangunan pertanian berdampak menurunkan jumlah penduduk miskin. Kenaikan output sebesar 10 persen di bidang pertanian berdampak mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 7 persen (ADB, 2004; Susila dan Munadi, 2008). Kenaikan output minyak kelapa sawit sebesar 10 persen berdampak mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 0.4 persen (Susila dan Setiawan, 2007). Pengembangan biosolar mengurangi jumlah penduduk miskin di perkebunan sebesar 0.059 persen hingga 0.16 persen (23 ribu hingga 60 ribu orang). Akan tetapi pengembangan biosolar meningkatkan jumlah penduduk miskin di luar perkebunan kelapa sawit sebesar 0.004 persen hingga 0.01 persen (2 ribu hingga 4 ribu orang), sehingga pengembangan biosolar secara keseluruhan mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 0.005 persen hingga 0.15 persen (21 ribu hingga 55 ribu) (Susila dan Munadi, 2008).

Dalam perjalanan pengembangan BBN lebih lanjut, Ziegler (2008) mengatakan bahwa produksi besar-besaran BBN adalah "kejahatan terhadap kemanusiaan", karena produksi besar-besaran BBN berdampak negatif terhadap persediaan makanan global. Dengan mengalih-gunakan lahan, dimana lahan yang semula ditanami untuk bahan makanan, yang kemudian lahan tersebut diubah menjadi lahan tanaman BBN, maka jumlah lahan untuk menanam bahan pangan akan berkurang. Tregarthen (1976) menyatakan bahwa terdapat trade-off dalam penggunaan lahan. Lahan pada waktu yang sama tidak dapat difungsikan menjadi rumah, tambang batu bara, memproduksi gandum, atau dapat digunakan untuk menghasilkan sumber energi (Tregarthen, 1976). Boswell (2007) mengatakan bahwa penduduk yang lapar dan energi yang lebih besar

diestimasi meningkat sebesar 71 persen tahun 2030. Permintaan tersebut menggerakkan penanaman tanaman BBN secara massal untuk menambah sumberdaya energi fosil, akan tetapi dunia dikejutkan oleh kerusakan lingkungan dan sosial pada tahun 2007, yang disebabkan oleh masalah BBN tersebut (Boswell, 2007).

Ziegler (2008) juga mengatakan bahwa dunia menghadapi masalah sosial dan sejumlah sengketa lain, yang dipicu oleh masalah kekurangan pangan dan kenaikan harga-harga. Dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan harga bahan pangan telah memicu unjukrasa diikuti oleh tindakan kekerasan di sejumlah negara, seperti di Kamerun, Mesir, Etiopia, Haiti, Indonesia, Pantai Gading, Madagaskar, Mauritania, dan Pilipina (Ziegler, 2008; FAO, 2008). Di Pakistan dan Thailand, tentara ditempatkan untuk mencegah penjarahan makanan dari ladang dan gudang pangan, ketika harga bahan pangan meningkat tinggi dan diikuti oleh pemogokan di Burkina Faso (Ziegler, 2008).

Fenomena tersebut di atas merupakan koreksi terhadap ekspektasi yang tinggi tentang manfaat BBN sebelum tahun 2006. Ketika itu BBN berpotensi memperbaiki perubahan iklim global yang bersifat ekstrim, BBN berperan terhadap keamanan energi dan membantu produsen pertanian di dunia (FAO, 2008). Ernsting (2007) mengatakan bahwa terjadi pembukaan lahan yang sangat besar untuk Mega Proyek Beras di Kalimantan Tengah oleh Suharto tahun 1996 dan dilanjutkan oleh perluasan perkebunan kelapa sawit dan kayu. Perkebunan kelapa sawit tersebut dapat digunakan untuk memproduksi minyak sawit kasar, minyak goreng kelapa sawit, dan biosolar. Koh dan Wilcove (2007) dan Dillon et al (2008) menemukan bahwa luas hutan Indonesia antara tahun 1990 dan 2005 menurun sebesar 28 juta hektar, dimana 1.7 juta hektar lahan dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit (6 persen dari deforestasi). Boswell (2007) mengatakan bahwa lebih dari 20 juta hektar lahan dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit

selama 20 tahun mendatang di Indonesia. Lebih dari 9 juta hektar hutan di Papua dan Papua Barat diidentifikasi oleh Kementerian Kehutanan Indonesia dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit (Boswell, 2007). Ernsting (2007) mengatakan bahwa Indonesia melebihi Malaysia dalam memperluas lahan untuk meningkatkan produksi minyak kelapa sawit seluas 6.4 juta hektar tahun 2006 ke 26 juta hektar tahun 2025. Untuk pengembangan BBN, Indonesia pada periode waktu yang sama tersebut juga meningkatkan perluasan perkebunan besar untuk tanaman tebu dan tanaman jarak (Ernsting, 2007). Lebih dari 12 juta hektar terjadi deforestasi yang seharusnya digunakan untuk tanaman kelapa sawit, namun penanaman kelapa sawit itu tidak dilakukan (Ernsting, 2007). Investor yang mengembangkan BBN di Indonesia dalam skala besar, misalnya PT Smart (Sinar Mas Group) bekerjasama dengan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dan Hongkong Energy, Raja Garuda Mas, Salim Group, Bakrie Group seperti Wilmar International, Archer Daniels Midland (ADM), Cargill, Shell, Neste Oil, Greenenergy International, BioX Group, Carlyle Group, dan Riverside Holding (Ernsting, 2007). Investor-investor tersebut mendapat dukungan dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (Ernsting, 2007).

Kula (1994) mengatakan bahwa regenerasi sektor kehutanan memerlukan usaha yang keras dan berlangsung lama. Masalah reboisasi kemudian bukan hanya merupakan masalah discounting factor, melainkan merupakan kegiatan penggundulan hutan yang mempunyai konsekuensi bersifat khusus, seperti persiapan lahan, penanaman kembali, pemagaran, pembenihan, seleksi tanaman hutan, pemangkasan dan pembersihan, konstruksi, pemeliharaan, pemanenan, dan penyelesaian reboisasi. Beberapa reboisasi merupakan peristiwa hibah, pembangunan hutan komersial, pemberlakuan pajak dan insentif hasil hutan, dan penanaman ulang tanaman hutan. Disamping itu pengembangan produksi BBN juga diduga mencemari udara, air, dan

memproduksi limbah. Beeman (2007) dan Dillon et al (20008) mengatakan bahwa produksi etanol dan biosolar antara tahun 2001 dan 2007 di Amerika Serikat terkena ketentuan Undang-Undang perlindungan kesehatan atau lingkungan.

Pada sisi yang lain, produksi BBN juga memerlukan subsidi. Ketika harga solar sebesar 67 dollar AS per barrel pada 29 Desember 2006 dan harga BBN sebesar 83 dollar AS per barrel (Kapanlagi.com, 2006), maka untuk memproduksi biosolar ketika itu memerlukan subsidi sebesar 16 dollar AS per barrel. Produksi BBN di Indonesia dapat diproduksi mencapai 200 ribu barrel per hari pada tahun 2010 (Kapanlagi.com, 2006), sehingga diperlukan subsidi sebesar 3.2 juta dollar AS per hari selama harga solar lebih rendah dibandingkan harga biosolar. Selama periode tahun 2006-Juni 2008, Pertamina menjual biosolar sebesar 1057 juta liter dan Pertamina kehilangan penjualan sebesar Rp 359 miliar (40 juta dollar AS), serta Pertamina dalam menjual etanol sebesar 7.2 juta liter telah kehilangan penjualan sebesar Rp 2.25 miliar (0,25 juta dollar AS) (Dillon et al, 2008).

Kenaikan harga minyak mentah juga mendorong kenaikan bahan baku BBN (TI, 2007). Jika harga bahan baku BBN meningkat, maka pemerintah mengizinkan BBN diekspor. Jika harga bahan baku BBN menurun, maka BBN digunakan untuk kepentingan domestik (TI, 2007). Ekspor biosolar menjadi menarik, karena penjualan biosolar di dalam negeri dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen dan biosolar harus bersaing dengan harga BBM bersubsidi, sedangkan ekspor biosolar hanya dikenakan pajak ekspor sebesar 1.5 persen (BWI, 2007).

Pemerintah juga memberikan subsidi BBN dalam bentuk lain. PPN penyerahan BBN dalam negeri ditanggung pemerintah untuk periode 5 Oktober- 31 Desember 2009 sebesar Rp 180 miliar berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 156/PMK.011/2009 (Depkeu, 2009). BBN tersebut adalah biosolar murni (B100), bioetanol murni (E100), dan minyak nabati murni (O100). Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan mendukung sasaran kebijakan energi nasional guna mewujudkan energi (primer) campuran yang optimal (Depkeu, 2009). Untuk mendukung keberhasilan BBN, pemerintah memberikan insentif sebagaimana telah dikemukakan di atas, yaitu pemberian keringanan pajak, tax holiday, tax allowance, dan penghapusan PPN untuk komoditi bahan baku BBN dari kelapa sawit, jarak pagar, tebu, dan ubi kayu (MBI, 2006).

Pemerintah Indonesia telah mencanangkan sasaran (mandat) konsumsi biosolar sebesar 10 persen, 15 persen, dan 20 persen dari konsumsi total minyak solar pada tahun 2010, tahun 2015, dan tahun 2020 (Humas UGM, 2009). Nilai tersebut setara dengan 2.41 juta kilo liter biosolar tahun 2010, sebanyak 4.52 juta kilo liter biosolar tahun 2015, dan sebanyak 10.22 juta kilo liter biosolar tahun 2020 (Humas UGM, 2009). Kebijakan energi nasional dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 bertujuan untuk mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri dan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Sasaran pertama kebijakan tersebut adalah menurunkan elastisitas energi dari 1.84 pada tahun 2006 menjadi lebih kecil dari 1 pada tahun 2025. Sasaran kedua adalah terwujudnya energi campuran pada tahun 2025, yaitu konsumsi minyak bumi lebih kecil dari 20 persen, gas bumi lebih besar dari 30 persen, batu bara lebih dari 33 persen, BBN lebih besar dari 5 persen, panas bumi lebih besar dari 5 persen, energi baru dan terbarukan (biomasa, nuklir, tenaga air skala kecil, tenaga surya, dan tenaga angin) lebih besar dari 5 persen, dan batu bara cair lebih besar dari 2 persen (Setkab, 2006).

Untuk mengatur kualitas biosolar, maka Ditjen Migas mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 13483.K/24/DJM/2006 tentang standard dan mutu BBN jenis

biosolar sebagai bahan bakar lain yang dijual di pasar dalam negeri dengan mengacu kepada SNI 04-7182-2006 (Departemen ESDM, 2006a; Departemen ESDM, 2008a). Dalam revisi Peraturan Menteri Ekonomi Sumberdaya Mineral (ESDM) Nomor 51 tahun 2006 tentang penyediaan pemanfaatan dan tataniaga BBN sebagai bahan bakar lain, maka diatur mandat yang mewajibkan industri dan komersial, transportasi PSO (Public Service Obligation) dan non PSO, serta pembangkit listrik menggunakan BBN secara bertahap (MI, 22 Agustus 2008). Biosolar wajib digunakan secara bertahap dari 0.1-20 persen, bioetanol sebesar 1-15 persen, dan minyak nabati murni sebesar 0.25-10 persen dari total kebutuhan mulai September 2008-2025 (MI, 22 Agustus 2008).

Meskipun Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 tahun 2008 telah mengatur penyediaan, pemanfaatan, dan tataniaga BBN sebagai bahan bakar lain (Kementerian ESDM, 2008), akan tetapi implementasi mandat konsumsi BBN menghadapi kendala. Penjualan BBN yang dilakukan Pertamina berubah dari 5 persen menjadi 2.5 persen dan terus menurun menjadi 1 persen, karena harga CPO dunia yang lebih tinggi (Yasin dan Febyanti, 2008; Investor Daily, 2009). Harga CPO dunia telah melampaui 772 dollar AS per ton per Juni 2007 berdasarkan data Commodity Market Review Bank Dunia. Kenaikan harga CPO tersebut menjadi rekor tertinggi dalam 23 tahun terakhir. Produsen BBN yang semula sebanyak 21 perusahaan kemudian menurun menjadi 3 perusahaan pada awal tahun 2008, yaitu: PT Indo Biofuels Energy, PT Eterindo, dan PT Ganesha (Yasin dan Febyanti, 2008). Harga BBN akan bagus, jika setara dengan harga premium Rp 6000 per liter (MI, 2008), sehingga harga BBN sulit bersaing dengan harga BBM yang bersubsidi apabila harga bahan baku BBN sangat tinggi. Kendala pengembangan produksi BBN lainnya adalah produksi metanol yang rendah (Humas UGM, 2009). Perusahaan metanol di Indonesia ada 2, yakni Medco yang mempunyai kapasitas 1000 ton per hari dan

memproduksi 50 persen, serta PT Kaltim Metanol Industri yang memproduksi metanol 5000 ton per hari (Humas UGM, 2009). Disamping itu berdasarkan Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011 tentang perubahan atas Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar,maka pemerintah bermaksud mengembangkan industri hilir kelapa sawit di dalam negeri dengan memungut bea keluar secara progresif bukan saja pada minyak kelapa sawit dan produk turunannya, termasuk pada BBN apabila harga ekspor produk tersebut telah mencapai harga tertentu.

Pengembangan produksi BBN tersebut di atas terkendala oleh persyaratan ekonomis, sebagaimana pengembangan BBN di banyak negara yang mensyaratkan dukungan subsidi. Akan tetapi, perkecualian persyaratan kelayakan ekonomi tersebut berhasil dipenuhi di Brazil. Brazil memproduksi bioetanol menggunakan feedstock dari tetes tebu (molasses) dengan biaya produksi Rp 1400 per liter tahun 2007. Brazil merupakan negara produsen utama gula. Brazil mengekspor gula dalam volume yang besar ke berbagai negara tujuan ekspor di tingkat dunia.

Meskipun terdapat masalah kekurangsiapan pembangunan infrastruktur bahan bakar gas (BBG) sebagai pengkonversi BBM, sedangkan konversi minyak tanah ke LPG 3 Kg telah berhasil, namun pemerintah Indonesia dihadapkan pada pilihan pengalihan subsidi BBM kepada subsidi BBN. Sifat pragmatisme kemudian muncul atas realitas pemenuhan kebutuhan aktual BBM berbasis energi fosil, yang langsung dapat ditambang dari dasar bumi. Sementara itu konsumsi BBM dan perspektif pengembangan produksi BBN ke depan sebagai industri pensubstitusi impor BBM, mensyaratkan keberhasilan pengembangan budidaya pertanian dan pembangunan pabrik pengolahan BBN. Disamping itu produksi BBN sementara ini dipandang kalah ekonomis dibandingkan produk

ekstraktif BBM di Indonesia. Hal itu terjadi ketika pemerintah menggunakan harga rujukan BBM di New York untuk menetapkan harga BBM bersubsidi dan harga BBN yang diproduksi di Indonesia.

Akan tetapi apabila BBM dan BBN yang diproduksi di dalam negeri dijual dengan menggunakan perhitungan biaya produksi di dalam negeri dan harga BBM dijual dengan menggunakan harga rujukan di dalam negeri, maka neraca perdagangan BBM dalam APBN menunjukkan surplus anggaran (Tabel 2). Penelitian ini selanjutnya akan menganalisis tentang apakah subsidi BBM akan dapat dialihkan menjadi subsidi BBN, supaya BBM bersumber impor dapat disubstitusi oleh pengembangan industri BBN. Substitusi BBM akan membuka peluang untuk melakukan pengembangan produk reekspor BBN. BBN tersebut berbasis impor BBM, yang dikemas dengan BBN bersumber dari feedstock yang berorientasi ekspor, seperti minyak kelapa sawit dan ubi kayu. Berorientasi ekspor diartikan sebagai kegiatan ekspor yang bernilai lebih besar dibandingkan kegiatan impor pada komoditi yang sama. Gagasan membangun industri pensubstitusi impor BBM dan industri reekspor BBN bersumber dari feedstock yang berorientasi ekspor tersebut, akan mengubah ancaman kenaikan harga komoditi pangan dan harga komoditi di pasar internasional menjadi kekuatan perekonomian Indonesia di masa depan.

Sebagian konsumsi BBM yang bersumber impor di atas hendak dijual oleh pemerintah dengan harga BBM setinggi harga BBM di New York. Hal itu menimbulkan persoalan “property right” terhadap BBM, karena minyak bumi untuk memproduksi BBM tergolong sebagai hasil sumberdaya alam di Indonesia yang pemanfaatannya diatur berdasarkan ketentuan hasil Amandemen UUD 1945 perubahan pertama hingga keempat. Pada sisi lain, keberadaan surplus perdagangan ekspor minyak bumi (Lampiran 3 dan Lampiran 4) mengalami kegagalan untuk menghasilkan produksi BBM yang surplus (Lampiran 5).

Akibatnya, jumlah produksi BBM di Indonesia lebih kecil dibandingkan jumlah konsumsi BBM (Lampiran 5 dan Lampiran 7). Pada negeri yang mempunyai “cadangan minyak bumi terbukti” yang besar dan potensi cadangan minyak bumi yang juga sebesar itu (Lampiran 1), namun Indonesia kemudian “dihadapkan” kepada ketergantungan yang tinggi kepada impor BBM (Lampiran 6 dan Lampiran 8).

Dewasa ini tanaman pangan dan pakan yang menjadi feedstock pengembangan BBN dan pemenuh kebutuhan dasar manusia untuk pangan dan pakan telah menunjukkan harga jual output yang meningkat di pasar dunia. Minyak kelapa sawit kasar (CPO), gula (tetes tebu), dan ubi kayu merupakan feedstock BBN di Indonesia. Jagung, beras, kelapa, dan gandum berpotensi dapat dikembangkan menjadi feedstock BBN di masa depan. Kayu, batubara, BBM, dan gas merupakan komoditi pensubstitusi BBN.

Oleh karena itu, pemerintah yang semula menjadikan BBN hendak sebagai andalan energi alternatif untuk mengurangi kecepatan konsumsi BBM impor berbasis fosil, namun pemerintah kemudian bertindak setengah hati ketika mengembangkan produksi BBN. Hal itu disebabkan oleh keberadaan fiskal di atas di tengah ketidaktransparansian manajemen perdagangan minyak bumi dan manajemen perdagangan BBM, yang menimbulkan inefisiensi distribusi, misalnya pada kasus PT Petral yang merupakan anak perusahaan BUMN PT Pertamina (Persero). Akibatnya, pembukaan lahan yang semula digunakan untuk mengembangkan produksi BBN oleh perusahaan-perusahaan besar tersebut menjadi terbengkalai, karena dukungan pemerintah untuk memberikan insentif kepada pengembangan konsumsi dan produksi BBN kalah kuat dibandingkan upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah inefisiensi distribusi perdagangan minyak bumi dan BBM. Sementara itu, pengembangan produksi

BBN pada tingkatan faktor produksi dihadapkan pada masalah sengketa lahan dan masalah deforestasi.

Pada sisi lain, selisih semua penerimaan pendapatan terkait BBM dikurangi belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil sumberdaya alam minyak bumi sesungguhnya menghasilkan surplus neraca BBM dalam APBN (Tabel 2). Semakin besar subsidi BBM diikuti oleh peningkatan konsumsi BBM, kemudian akuntansi BBM dalam APBN menunjukkan semakin surplus (Tabel 2). Disamping itu laporan audit pendapatan Pertamina sebelum dikurangi pajak dan beban perusahaan, juga menghasilkan laba ratusan triliun dan masih menghasilkan puluhan triliun laba setelah pajak (Tabel 4). Namun karena keberadaan pembangunan nasional dibimbing oleh utang, maka keberlanjutan anggaran ditentukan oleh keberhasilan peningkatan penerimaan pajak (Tabel 5).

Pada Tabel 5, penerimaan negara dari perdagangan internasional ekspor dan impor mengalami penurunan. Hal ini merupakan implikasi dari sistem integrasi ekonomi kawasan perdagangan bebas yang semakin diperluas secara cepat. Penerimaan bukan pajak dari sumberdaya alam juga menurun, setelah pengungkapan pencemaran lingkungan hidup, tuntutan kenaikan upah buruh disamakan dengan upah buruh di tingkat internasional, desakan penghitungan kembali sistem bagi hasil kontrak karya, dan peningkatan desakan bagi hasil penerimaan BUMN kepada pemerintah daerah. Hal itu misalnya terjadi pada kasus Freeport, tambang aluminium Asahan, PT Newmont, dan perkebunan- perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Disamping itu pada APBN-Perubahan tahun 2011 dibandingkan APBN tahun 2012 terdapat masalah. Masalah tersebut adalah terjadi penurunan peran perbankan, BUMN, privatisasi dan restrukturisasi, Penyertaan Modal Negara, pembangunan infrastruktur, sumber utang dalam negeri dan luar negeri, penerusan pinjaman utang, serta pembayaran cicilan utang dan pokok

utang yang mengganggu sumber pembiayaan regime defisit anggaran, yang dibimbing utang tersebut. Masalah sumber pembiayaan defisit anggaran tersebut lebih besar dibandingkankan isu kenaikan harga minyak bumi di pasar internasional di tengah ketergantungan pasokan energi Indonesia dari impor BBM. Listrik, sektor transportasi, dan gas terkait dengan keberlanjutan pasokan energi berbasis impor BBM tersebut.

Batas maksimum utang negara yang menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) maupun batas maksimum utang negara menggunakan rasio utang terhadap ekspor terbukti menimbulkan keliru analisis (Tabel 2). Akibatnya, terjadi masalah likuiditas APBN, rendahnya penyerapan anggaran, penyerapan besar-besaran anggaran di penghujung akhir tahun anggaran, penghematan anggaran yang kurang optimal, dan inefisiensi anggaran yang terjadi berulang. Kekeliruan indikator batas maksimum utang negara tersebut menimbulkan kekeliruan untuk melakukan respons dalam bentuk kebijakan pemerintah yang lebih tepat.

Keliru dalam menganalisis sumber penyebab krisis anggaran yang bersifat kronis, sebagaimana ditunjukkan oleh keberadaan APBN tahun 2012 (Tabel 5). APBN tahun 2012 mendadak direvisi menggunakan RAPBN- Perubahan tahun 2012, hanya dalam periode implementasi 2 bulan di awal tahun anggaran. Hal itu memperkuat dugaan telah terjadi mismanajemen APBN. Persoalan mismanajemen PLN yang terlambat mengkonversi BBM menggunakan gas dan batubara, telah ditutupi oleh pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI menggunakan isu kenaikan harga BBM. Isu tersebut menggunakan momentum asumsi dasar harga minyak bumi di pasar internasional berada di bawah kenaikan harga minyak bumi di pasar internasional dan isu rencana invasi terhadap teluk Hormuz yang menjadi salah satu urat nadi perdagangan minyak dunia.

Keberadaan impor BBM dan kenaikan harga minyak bumi tingkat dunia yang melebihi asumsi dasar harga minyak bumi, dan penurunan produksi lifting minyak pada APBN 2012 tersebut sering dijadikan argumentasi oleh pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM. Argumentasi tersebut berhasil digunakan oleh pemerintah untuk menaikkan harga eceran BBM tahun 2005 dan tahun 2008, menaikkan harga langganan BBM untuk sektor industri secara berkala hampir 2 minggu sekali, maupun menghapus subsidi pertamax dan pertamax plus.

Namun, masyarakat mayoritas di Indonesia pada tahun 2012 merasa bahwa kebijakan anti subsidi secara ideologi, sosial, dan ekonomi dipandang tidak layak dan ditolak keberadaannya sebagaimana ditunjukkan melalui perluasan demontrasi parlemen jalanan di kota-kota besar di Indonesia menjelang Sidang Paripurna pengambilan keputusan untuk menaikkan harga eceran BBM per 1 April 2012. Partai politik penguasa dan pemerintah yang bermaksud menaikkan harga BBM dengan menggunakan berbagai manuver argumentasi di atas, justru direspons oleh demonstrasi yang menolak kenaikan harga eceran BBM semakin membesar dan meluas. Partai berkuasa yang dominan dan berkoalisi tersebut melakukan manuver meniakkan harga eceran BBM kepada partai minoritas. Partai Gerindra dan Partai Hanura meresponsnya dengan melakukan “walk out” pada sidang opsi kenaikan harga eceran BBM. Partai PDI Perjuangan dan Partai Hanura dalam Sidang Paripurna DPR RI per 30 Maret 2012 juga melakukan “walk out”.

Kejadian tersebut di atas menunjukkan bahwa opsi kenaikan harga eceran BBM juga secara politik dan budaya demokrasi tidak layak, meskipun