• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN xxx I PENDAHULUAN

II. KERANGKA PEMIKIRAN

2.2. Studi Empiris Bahan Bakar Nabat

Sumber energi dibedakan atas ketersediaan, nilai komersial, dan pemakaian (Mursanti, 2007). Sumber energi berdasarkan ketersediaan dibedakan atas sumber energi yang tidak dapat diperbaharui dan yang dapat diperbaharui (Mursanti, 2007). Contoh sumber energi yang tidak dapat

diperbaharui adalah minyak bumi, batu bara, uranium, dan bijih mineral. Contoh sumber energi yang dapat diperbaharui adalah tenaga angin, tenaga air, panas bumi, tenaga surya, samudera, dan biomas. Sumber energi berdasarkan nilai komersial dibedakan atas komersial, non komersial, dan energi baru (Mursanti, 2007). Contoh sumber energi komersial adalah minyak bumi, gas alam, batu bara, tenaga air, panas bumi, dan uranium. Sumber energi non komersial adalah kayu bakar dan limbah pertanian. Contoh sumber energi baru adalah tenaga surya, tenaga angin, tenaga samudera, dan biomas. Sumber energi berdasarkan pemakaian dibedakan atas primer dan sekunder (Mursanti, 2007). Contoh sumber energi primer adalah minyak bumi, gas alam, batu bara, tenaga air, dan panas bumi. Contoh sumber energi sekunder adalah listrik, gas alam cair, BBM, gas alam, dan briket batu bara.

BBN berdasarkan sejarah perkembangannya digunakan untuk mempersaingi BBM fosil (Specht, 2011). Dewasa ini BBN antara lain digunakan di Amerika Serikat. Jenis BBN dibedakan atas etanol dan flex fuels, biosolar dari minyak sayur, biosolar dari ganggang, dan BBN yang berasal dari biomassa (Specht, 2011). Specht (2011) mengganggap kayu merupakan salah satu dari BBN yang berbentuk padat, sehingga BBN dinyatakan oleh Specht (2011) telah digunakan sejak manusia menemukan api. BBN dalam bentuk cairan ditemukan setelah BBN padat. BBN cairan antara lain adalah minyak lampu yang dibuat dari tumbuhan dan binatang (olive oil). Minyak singa laut digunakan sebagai minyak tanah yang ditemukan oleh Abraham Gesner sejak tahun 1846 (Specht, 2011). Rudolf Diesel dari Jerman menggunakan mesin diesel dengan bahan bakar dari minyak kacang tanah pada abad 18 (Specht, 2011). Pada tahun 1903 hingga 1926 Henry Ford mendisain mobil model T yang menggunakan bahan bakar yang diturunkan dari BBN (Specht, 2011). Selama Perang Dunia II Jerman menggunakan bensin dari alkohol yang berasal dari kentang bernama Monopolin

(Specht, 2011). Inggris merupakan negara yang kedua menggunakan campuran alkohol dari biji-bijian dengan BBM bernama Discol (Specht, 2011).

Penggunaan etanol yang berharga Rp 5500 per liter oleh Pertamina di Indonesia untuk campuran BBM memang dapat mengurangi subsidi BBM (Yasin dan Febyanti, 2008). Pengembangan biosolar minyak kelapa sawit di Indonesia dengan cara mencampurkan 10 persen minyak kelapa sawit ke solar (B10) dapat menurunkan subsidi solar sebesar Rp 2.56 triliun (Susila dan Munadi, 2008). Jika pencampuran dilakukan pada minyak tanah akan menurunkan subsidi minyak tanah sebesar Rp 1.66 triliun (Susila dan Munadi, 2008). Disamping itu penggunaan BBN dapat meningkatkan efisiensi perusahaan. PTPN XII mengoperasionalkan 38 mobil dan 6 genset selama tahun 2005 hingga tahun 2006 dengan menggunakan biosolar mampu menghemat solar sebesar 2.76 juta liter atau senilai Rp 16.61 miliar (Syamsiyah, 2007).

Biosolar dapat menggunakan campuran dari minyak kelapa sawit ataupun minyak jarak pagar (Jatropha Curcas) (Priyanto, 2007). Penggunaan bahan bakar campuran minyak kelapa sawit tidak mengurangi kinerja mesin (Toro dan Jamal, 2006). Bioetanol dapat menggunakan bahan baku dari ubi kayu dan tetes tebu (molasses) dengan nama bioetanol (Priyanto, 2007). Pemurnian minyak jarak dapat digunakan untuk campuran minyak tanah (biokerosen), minyak berat dan solar pada mesin diesel putaran rendah dan medium (Priyanto, 2007).

Bahan baku BBN yang direkomendasikan pemerintah pada tahap awal terdiri dari tanaman tebu, sorgum manis, jarak pagar dan kelapa sawit (Departemen ESDM, 2008b). Realisasi lahan pengembangan BBN untuk penanaman ubi kayu hingga Juni 2008 seluas 52.2 ribu hektar, tebu seluas 420.1 ribu hektar, kebun bibit sorgum manis seluas 20 hektar, jarak pagar seluas 151.2 ribu hektar, dan kelapa sawit seluas 400 ribu hektar (Departemen ESDM, 2008b).

Tabel 6. Realisasi Penanaman Jarak Pagar di Indonesia Desember Tahun 2007 Provinsi Realisasi Penanaman (Ha)

Sumatera Utara 172

Sumatera Barat 121

Jambi 175

Bengkulu 16

Lampung dan Sumatera Selatan 53 564

Banten 8 877

Jawa Barat 23 526

Jawa Tengah 9 674

Daerah Istimewa Yogyakarta 378

Jawa Timur 3 691 Kalimantan Selatan 152 Sulawesi Utara 130 Gorontalo 1 532 Sulawesi Selatan 1 134 Sulawesi Tenggara 8 490 Bali 350

Nusa Tenggara Barat 1 824

Nusa Tenggara Timur 32 900

Papua 1 105

Indonesia 140 429

Sumber: Soesilo, 2008

Realisasi penanaman tanaman jarak pagar untuk pengembangan BBN sampai dengan Desember 2007 seluas 140 ribu hektar (Tabel 6). Tanaman jarak pagar tersebut terdapat di Sumatera Utara seluas 172 hektar, Sumatera Barat seluas 121 hektar, Jambi seluas 175 hektar, Bengkulu seluas 16 hektar, Lampung dan Sumatera Selatan seluas 53564 hektar, Banten seluas 8877 hektar, Jawa Barat seluas 23526 hektar, Jawa Tengah seluas 9674 hektar, Daerah Istimewa Yogyakarta seluas 378 hektar, Jawa Timur seluas 3691 hektar, Kalimantan Selatan seluas 152 hektar, Sulawesi Utara seluas 130 hektar, Gorontalo seluas 1532 hektar, Sulawesi Selatan seluas 1134 hektar, Sulawesi Tenggara seluas 8490 hektar, Bali seluas 350 hektar, Nusa Tenggara Barat seluas 1824 hektar, Nusa Tenggara Timur seluas 32900 hektar, dan Papua seluas 1105 hektar (Soesilo, 2008).

Investasi proyek BBN sampai dengan tahun 2010 menurut Al Hilal Hamdi Timnas BBN sebesar Rp 250 triliun, yang terdiri dari untuk budidaya sebesar Rp

100 triliun, industri sebesar Rp 100 triliun, dan infrastruktur sebesar Rp 50 triliun (MBI, 2006). Sumberdana tersebut diperoleh dari sindikasi perbankan sebesar Rp 100 triliun, lembaga keuangan non bank sebesar Rp 100 triliun, dan APBN sebesar Rp 50 triliun (MBI, 2006). Pengembangan BBN diperkirakan oleh Timnas BBN membutuhkan lahan minimal seluas 6 juta hektar, yang terdiri dari 3 juta hektar lahan kelapa sawit, 1.5 juta hektar lahan jarak pagar, 500 ribu hektar lahan tebu, dan 1.5 juta hektar lahan ubi kayu (Antara News, 2006).

Tabel 7. Produksi Biosolar dan Bioetanol di Indonesia Tahun 2008

Produsen Produksi BBN (Ton per tahun) Produsen Biosolar

Asian Agri Tbk 70.0

BPPT 0.3

Darmex Biofuel 30.0

EAI 0.5

PT Energi Alternatif Indonesia 0.3

Eterindo Wahanatama Tbk 120.0

Ganesa Energy Group 3.0

Indo Biofuels Energy 60.0

Multikimia Intipelangi 5.0

Musim Mas Group 10.0

Permata Hijau Group 75.0

RAP 1.0

Sumi Ashi 50.0

Wilmar Group 300.0

Produsen Bioetanol

Anugrah Kurnia Abadi dan BPPT 2 500 000.0

Molindo Raya 12 000 000.0

Sumber: Tjakrawan, 2008; Dillon and Dillon, 2008.

Itu berarti diperlukan investasi sebesar Rp 100 triliun, yaitu untuk pengembangan kelapa sawit sebesar Rp 30 juta per hektar, investasi tebu sebesar Rp15 juta per hektar, investasi jarak pagar sebesar Rp 3 juta per hektar, dan investasi ubi kayu sebesar Rp 3.5 juta per hektar (Antara News, 2006). Dana sebesar Rp 5 triliun digunakan oleh pemerintah untuk mengembangkan industri gula dan bioetanol pada tahun 2007-2008. Pengembangan industri BBN tersebut antara lain dengan cara membangun pabrik tebu di Nusa Tenggara Timur yang dikelola oleh PTPN XI, PTPN X, dan perusahaan swasta dengan dana sebesar

Rp 1.7 triliun (Yasin dan Febyanti, 2008). Timnas BBN memperkirakan bahwa pengembangan bahan bakar sawit akan menciptakan lapangan kerja baru sebanyak lebih dari tiga juta orang sampai 2010 (Toro dan Jamal, 2006; Nainggolan, 2007), menghemat devisa negara sampai 10 miliar dolar AS, serta memanfaatkan 5 juta hektar lahan kritis (Nainggolan, 2007).

Realisasi produksi biosolar hingga Juni 2008 mencapai 2.03 juta kilo liter per tahun (40 ribu barel per hari) dan menyerap satu juta tenaga kerja di sektor perkebunan (Departemen ESDM, 2008b). Sumber lain pada Tabel 7 menyebutkan bahwa sampai November 2008, produsen biosolar di Indonesia memproduksi kurang dari 1000 ton dari kapasitas 1.6 juta ton atau 1.81 juta liter per tahun (Dillon et al, 2008). Biosolar tersebut pada tahun 2008 diproduksi oleh Asian Agri Tbk sebesar 70 ton per tahun, BPPT sebesar 0.3 ton per tahun, Darmex Biofuel sebesar 30 ton per tahun, EAI sebesar 0.5 ton per tahun, PT Energi Alternatif Indonesia sebesar 0.3 ton per tahun, Eterindo Wahanatama Tbk sebesar 120 ton per tahun, Ganesa Energy Group sebesar 3 ton per tahun, Indo Biofuels Energy sebesar 60 ton per tahun, Multikimia Intipelangi sebesar 5 ton per tahun, Musim Mas Group sebesar 10 ton per tahun, Permata Hijau Group sebesar 75 ton per tahun, RAP sebesar 1 ton per tahun, Sumi Ashi sebesar 50 ton per tahun, dan Wilmar Group sebesar 300 ton per tahun. Sampai dengan Juni 2008, sebanyak dua perusahaan yang telah memproduksi bioetanol, yaitu Anugrah Kurnia Abadi dan BPPT sebesar 2.5 juta liter per tahun dari bahan baku ubi kayu dan Molindo Raya sebesar 12 juta liter per tahun dari bahan baku tetes tebu.

Paradigma kebijakan energi di Indonesia mengalami perubahan (Tabel 8). Jika pada tahun 1966 di Indonesia melakukan ekspansi minyak, maka pada tahun 2006 periode ekspansi minyak berganti menjadi ekspansi energi alternatif. Pada periode ekspansi minyak ditunjukkan oleh peran minyak sebesar 70 persen

sampai 80 persen dari penerimaan APBN, namun peran tersebut menurun menjadi sebesar 25 persen sampai 30 persen dari penerimaan APBN.

Tabel 8. Perubahan Paradigma Kebijakan Energi di Indonesia

Subyek Periode Energi

1966 2006

Momentum awal Ekspansi minyak Ekspansi energi alternatif Pengaruh APBN 70% - 80% (Peak) 25% - 30% (Aktual) Produksi energi primer 460 ribu BOPD 1,05 juta BOPD Konsumsi energi (TOE per kapita) Rendah (0.07) Relatif meningkat (0.47) Pertumbuhan konsumsi energi Rendah Tinggi

Data cadangan energi Tertutup Terbuka

Paradigma subsidi Subsidi harga Subsidi langsung

Pengelolaan Lex Specialist Lex Generalist

Prioritas Supply side management Demand side management

Sharing terhadap pembangunan Nasional Pro growth, pro job, pro

poor

Pro poor, pro job, pro growth

Sumber: Kementerian ESDM, 2006b

Peran minyak menurun dalam APBN terjadi, meskipun produksi enengi primer meningkat dari 460 ribu BOPD menjadi 1050 juta BOPD. Konsumsi enengi meningkat dari 0.07 TOE per kapita (skala rendah) menjadi 0.467 TOE per kapita. Hal menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi berubah dari rendah menjadi tinggi. Jika data cadangan energi semula bersifat tertutup, kemudian berubah menjadi terbuka. Paradigma subsidi berubah dari subsidi harga menjadi subsidi Iangsung (Bantuan Langsung Tunai atau BLT). Pola pengelolaan berubah dari lex specialist menjadi lex generalist. Prioritas kebijakan energi berubah dari supply side management menjadi demand side management. Peran energi dalam pembangunan nasional berubah dari urutan pro-growth, pro- job, dan pro-poor menjadi pro-poor, pro-job, dan pro-growth.

FAO (2008) menyajikan urutan BBN dari pakan sampai penggunaan akhir. Dari sumberdaya lahan, air, tenaga kerja, benih, nutrisi, dan energi, maka dapat dilakukan produksi untuk menghasilkan pakan atau pangan, yaitu gula

tebu, gula beet, jagung, gandum, lobak, CPO, jarak, switchgrass, dan willow. Pakan atau pangan tersebut dapat diolah menjadi biofuels, yaitu etanol, biosolar, kayu bakar, briket batu bara, bagasi dan biogas. Biofuels tersebut dapat dikonsumsi untuk kegiatan transportasi, pemanas, dan listrik. Dalam kaitan dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan BBN adalah CPO, tetes tebu, dan ubi kayu yang secara aktual diolah menjadi bioetanol dan biosolar, yang digunakan untuk konsumsi transportasi dan penghasil tenaga listrik. BBN potensial di Indonesia berasal dari jarak pagar, kedele, kacang tanah, jagung, kentang, biji matahari, sorgum manis, dan lobak.

Menurut FAO (2008), biosolar dapat dihasilkan dari proses ekstraksi dan esterifikasi dari minyak tanaman pangan, seperti lobak, CPO, kacang kedele, biji matahari, kacang tanah, dan biji jarak pagar. Disamping itu etanol dapat dihasilkan dari proses fermentasi dan destilasi gula (tetes tebu, gula beet, dan sorgum manis) maupun dari proses sakarifikasi, fermentasi, dan distilasi jagung, gandum, barley, rye, kentang, dan ubi kayu (FAO, 2008).

Tabel 9. Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati

Jenis Penggunaan Sektor Penggunaan Bahan Baku

Bioetanol Pengganti premium Transportasi 10% Tebu dan ubikayu Bio-oil

Biokerosin Pengganti minyak tanah

Rumah tangga 10% Sawit dan jarak pagar Bio-oil Pengganti solar Transportasi 10%

Pembangkit listrik 10%-50% Pengganti minyak

solar

Transportasi laut & kereta api 10% Pengganti minyak

bakar

Industri 50%

Biosolar Pengganti solar Transportasi 10% Sawit dan jarak pagar

Pembangkit listrik 50%

Sumber: Kementerian ESDM, 2006b

Produk BBN dibedakan menjadi bioetanol, bio-oil, dan biosolar (Tabel 9). Bioetanol digunakan sebagai pengganti premium. Pangsa bioetanol adalah 10 persen dari konsumsi sektor transportasi. Bahan baku bioetanol terbuat dari tebu

dan ubikayu. Bio-oil dibedakan atas biokerosen sebagai pengganti minyak tanah untuk konsumsi rumah tangga (50%) dan bio-oil sebagai pengganti solar untuk sektor transportasi (10%) dan pembangkit listrik (10%-50%), pengganti minyak solar untuk transportasi laut dan kereta api (10%), dan pengganti minyak bakar untuk sektor industri (50%). Bahan baku bio-oil terbuat dan kelapa sawit dan jarak pagar. Biosolar digunakan untuk pengganti solar dan bahan bakunya terbuat dan kelapa sawit dan jarak pagar, yang digunakan untuk sektor transportasi (10%) dan sektor pembangkit listrik (50%).

Tabel 10. Kebijakan Nasional Penerapan Bahan Bakar Nabati

Periode Tahun

2006 2007-2008 2009-2010 2011-2015

Tahap Uji Coba: B5 Biosolar O5 Bio-oil transportasi O10 Biokerosen O50 Bio-oil PLN Wajib Pertamina dan PLN: B10 di kota-kota besar 05 Transportasi (10%) O10 Biokerosen (5%) O50 PLTD PLN (20%) Wajib Pertamina dan PLN: B10 di kota-kota besar O5 Transportasi (20%) O10 Biokerosen nasional (10%) O50 PLTD PLN (50%) Wajib Pertamina dan PLN: B10 di kota-kota besar O5 Transportasi (20%) O10 Biokerosen nasional (10%) O50 PLTD PLN (20%)

Tahap Uji Coba: E5 Bioetanol Malang Surabaya Wajib Pertamina: E5 di kota-kota Besar tahun 2007 E15 di kota-kota Besar tahun 2008 Wajib Pertamina: E15 nasional (non FFV)

ATPM sampai E100(FFV)

Wajib Pertamina: E15 nasional (non FFV)

ATPM sampai E100(FFV)

Sumber: Nasution, 2006

Pangsa penggunaan solar adalah sebesar 40 persen dan penggunaan BBM untuk sektor transportasi (Kementerian ESDM, 2006b). Penggunaan solar untuk sektor industri dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) sebesar 74 persen dan jumlah penggunaan BBM pada kedua sektor tersebut (Kementerian ESDM, 2006b).

Pemerintah memberlakukan mandat konsumsi BBN (Tabel 10). Pada tahun 2008, Pertamina dan PLN diwajibkan menjual B10 dan E15, O5 untuk sektor transportasi (10%), O10 biokerosen (5%) di kota-kota besar dan O50

untuk PLTD PLN (20%). Penggunaan BBN ditingkatkan, yang pada Tabel 10 sampai tahun 2015.

Menurut Hambali (2006), kandungan BBN dalam solar dapat dibedakan menggunakan pengelompokan B100, B20, B10, dan B5. Solar B100 berarti 100 persen biosolar. B100 mempunyai ciri biodegradable, terbarukan, emisi rendah, harum atau bebas bau, serta dapat disimpan dan digunakan tanpa modifikasi peralatan. Solar B100 banyak digunakan di National Park, Marine Park, dan perkebunan. Solar B20 berarti solar di-blend dan 20 persen biosolar Fatty Acid Methil Ester (FAME) dan 80 persen petrosolar. Emisi solar B20 berkurang sebesar 14 persen (partikel 10 mikron), karbon monoksida berkurang 9 persen, dan hydrocarbon berkurang 7 persen. Solar B20 bermanfaat mengurangi emisi tanpa modifikasi mesin. Solar B20 banyak digunakan di Amerika Serikat untuk bus sekolah, kendaraan transit, dan kendaraan militer. Solar B5 sampai B10 berarti solar di-blending dan 5 persen sampai 10 persen biosolar dan 90 persen sampai 95 persen petrosolar. Solar B5 sampai B10 biasa digunakan sebagai aditif untuk meningkatkan pelumasan bahan bakar pada mesin. Beberapa negara telah menggunakan B5 sampai B10.

Menurut Winarno (2006), terdapat beberapa komposisi BBN (etanol) yang digunakan di banyak negara di dunia untuk mobil bensin. Pengguna E10 (gasohol) terdapat di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Thailand, China, Kolombia, dan Peru. Pengguna flexible fuel vehicle sebesar E85 terdapat di Amerika Serikat, Kanada, dan Swedia. Pengguna E5 terdapat di Swedia dan India. Pengguna E7 terdapat di Paraguay. Brazil menggunakan E20 dan E25.

Menurut Reksowardojo (2006), volume konsumsi gasohol di Brazil sebesar 14 miliar liter per tahun sejak tahun 1975, di Amerika Serikat sebesar lebih dan 6 miliar liter per tahun sejak tahun 1978, di Kolombia sebesar 1 miliar liter per tahun pada tahun 2006 sejak tahun 2001, di Australia sebesar 60 juta

liter per tahun sejak tahun 1992, di Swedia sebesar 50 juta liter per tahun sejak tahun 2000, di India sebesar 1.3 miliar liter per tahun sejak 2003, di Thailand sebesar 60 juta liter per tahun sejak tahun 2002, di Jepang sebesar 7.8 miliar liter per tahun, dan di China sebesar 1.48 miliar liter per tahun.

Menurut FAO (2008) jumlah produksi BBN dunia sebesar 62.21 miliar liter, yang terdiri dari produksi bioetanol dunia sebesar 52 miliar liter dan produksi biosolar dunia sebesar 10.2 miliar liter pada tahun 2007. Produksi bioetanol terbesar dunia adalah Amerika Serikat yang sebanyak 26.5 miliar liter tahun 2007 dan diikuti oleh Brazil sebesar 19 miliar liter, Uni Eropa sebesar 2.25 miliar liter, China sebesar 1.84 miliar liter, Kanada sebesar 1 miliar liter, dan India sebesar 0.4 miliar liter (FAO, 2008). Produksi biosolar terbesar adalah Uni Eropa sebanyak 6.1 miliar liter tahun 2007, Amerika Serikat sebesar 1.69 miliar liter, Indonesia sebesar 0.4 miliar liter, Malaysia sebesar 0.33 miliar liter, Brazil sebesar 0.23 miliar liter, China sebesar 0.11 miliar liter, Kanada sebesar 0.1 miliar liter, dan India sebesar 0.045 miliar liter (FAO, 2008).

Menurut Sugema (2006), jika 1 persen konsumsi solar tahun 2006 dipenuhi oleh biosolar, maka dibutuhkan 300 juta liter biosolar atau setara 300 ribu ton CPO, 90 ribu hektar kebun sawit, 30 ribu tenaga kerja baru di perkebunan dan 2 juta orang di bagian produksi. Jika 1 tenaga kerja menanggung 3 orang anggota keluarga, maka konsumsi 1 persen biosolar akan menanggung 120 orang di tingkat perkebunan.

Konsumsi 1 persen biosolar dapat menghindarkan impor minyak solar sebesar 300 juta liter dan dapat menghemat devisa negara sebesar 75 juta dollar Amerika Serikat, dengan asumsi harga minyak solar di pasar curah sebesar 25 sen dollar Amerika Serikat per liter. Untuk mengembangkan BBN, pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi. Regulasi tersebut berbasis kepada lahan, infrastruktur, pabrikasi, pasar, dan pendanaan (Tabel 11).

Tabel 11. Regulasi untuk Membangun Bahan Bakar Nabati di Indonesia

Basis Regulasi

Lahan Kepmen no 37/KPTS/HK.350/2002 tentang Pedoman perijinan usaha perkebunan.

SKB Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala BPN no 364/KPTS-lI/90 no 19/KPTS/HK050/7/90 no 23-VlII -1990 tentang ketentuan pelepasan kawasan hutan dan pemberian hak guna usaha untuk pengembangan usaha pertanian.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN no 2 tahun 1999 tentang izin lokasi.

Keputusan Menteri Pertanian no 167/KPTS/KB.1 10/3/9 tentang pembinaan dan penertiban perkebunan besar wasta khususnya kelas IV dan V.

Keputusan Menteri Kehutanan no 146/KPTS-Il/2003 tentang pedoman evaluasi penggunaan kawasan hutan/eks kawasan hutan untuk pengembangan usaha budidaya perkebunan. PP no 44 tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan.

lnfrastruktur Peraturan Presiden RI no 67 tahun 2005 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur.

PP no 17 tahun 1986 tentang kewenangan pengaturan, pembinaan dan pengembangan industri.

PP no 26 tahun 1980 tentang jalan. Pabrikasi SNI Biosolar no 04-7182-2006,

Surat Keputusan Dirjen Migas no 3674K/24/DJM/2006 tentang standar dan mutu (spesifikasi) BBM jenis bensin yang dipasarkan di dalam negeri, dengan diperbolehkannya bioetanol maksimum 10 persen volume.

Surat Keputusan Dirjen Migas no 3675K/24/DJM/2006 tentang standar dan mutu (spesifikasi) BBM jenis minyak solar yang dipasarkan di dalam negeri, dengan diperbolehkannya biosolar maksimum 10 persen volume.

Peraturan Menteri ESDM no 007 tahun 2005 tentang persyaratan dan pedoman pelaksanaan izin usaha dalam kegiatan usaha hilir migas.

Pasar Keputusan Menteri ESDM no 1 088K/20/MEM/2003 tanggal 17 September 2003 tentang pedoman pelaksanaan pembinaan pengawasan pengaturan dan pengendalian kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi dan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.

Pendanaan Pematangan Lembaga Indonesia Green Energy Fund. PKBL dari BUMN untuk budidaya pembibitan dan demplot. Fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang BBN melalui RPP 148.

Tabel 11. Lanjutan

Regulasi Pendanaan

Fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang BBN melalul Rencana Program Pemerintah 148.

1. Penyediaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk subsidi bunga Rp 1 triliun dan prasarana tahun 2007 sebesar Rp 10 triliun. Insentif pajak dan bea cukal untuk usaha di

bidang BBN.

Regulasi perbankan dan pasar modal yang kondusif terhadap pembiayaan pengembangan BBN. 2. Pendanaan melalui perbankan tahun 2007 sebesar Rp 15 triliun - Rp 20 triliun. 3. 4. 5.

Pendanaan melalui pasar modal tahun 2007

sebesar Rp 1 triliun. Pendanaan melalui PKBL dan Clean Development Mechanism tahun 2007 sebesar Rp 300 miliar. Pendanaan melalui Penanaman Modal Asing tahun 2007 sebesar Rp 200 miliar.

Revisi SK Menkeu untuk penghapusan atau pengurangan PPN komoditas BBN dari hulu sampai hilir.

1. Jarak pagar dapat dibiayai oleh perbankan dan atau kewajiban menanam jarak pagar minimal 5 persen dari luasan lahan untuk penerima kredit

perbankan (BUMN) atau penerima kredit untuk pengembangan program BBN dengan bunga bersubsidi.

SKB Menteri ESDM dan BUMN untuk

penugasan kepada Pertamina dan PLN sebagai pembeli siaga produk BBN.

Kebijakan penetapan mandatori pemakaian BBN setiap tahun.

Kebijakan pemerintah (Menteri ESDM dan Menkeu) untuk memperlakukan harga BBN dalam rentang MOPB (Mid Oil Platt’s B) dan MOPB + Alpha apabila harga biosolar (B100)

dan bioetanol di atas MOPB. 2. Green Energy Fund mendapat Seed-Capital dari APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

SK Menkeu mengenai pengurangan perpajakan terkait dengan pembiayaan BBN melalui pasar modal berupa produk, saham (pajak capital gain), obligasi (pajak atau bunga) dan

derivasinya (capital gain dan bunga) selama 5 tahun.

Kebijakan Bank Indonesia untuk penurunan ATMR untuk kredit kepada pengembang BBN. Peraturan Pemerintah pembentukan Badan Layanan Umum untuk pembiayaan

pengembangan BBN. Sumber: Nasution, 2006

Lahan untuk pengembangan BBN diperoleh dan lahan perkebunan, pelepasan kawasan hutan, dan lahan pertanian. Regulasi ini akan meningkatkan lahan perkebunan untuk pengembangan BBN, mendeforestasi kawasan hutan, dan mengurangi lahan untuk tanaman pertanian tanaman pangan. Regulasi infrastruktur diarahkan untuk memperkuat pengembangan industri dan infrastruktur penyediaan jalan. Regulasi pabrikasi diarahkan untuk pengendalian kualitas BBN guna menghasilkan bioetanol dan biosolar yang maksimum 10 persen dan volume blending. Pabrikasi diperluas hingga ke industri hilir. Pasar BBN diatur melalul pedoman dari hulu sampai hilir. Pendanaan didukung melalui kelembagaan Green Energy Fund dan PKBL sebesar Rp 300 miliar, serta pemberian fasilitas pajak penghasilan.

Pendanaan lainnya bersumber dari APBN untuk pemberian subsidi bunga sebesar Rp 1 triliun, prasarana sebesar Rp 10 triliun, perbankan sebesar Rp 15 triliun sampai Rp 20 trliun, melalui pasar modal sebesar Rp 1 triliun, dan melalui PMA sebesar Rp 200 miliar (Tabel 11). Total dana yang tersedia selama tahun 2007 untuk mengembangkan BBN sebesar Rp 32.5 triliun.

Pengembangan BBN mempunyai rencana tertentu (Tabel 12). Tenaga kerja langsung yang terlibat diperkirakan sebanyak 3.5 juta orang dan 87137 orang tenaga kerja tidak langsung. Pendapatan usahatani per orang yang bertanam tebu seluas 0.5 hektar, ubi kayu dan kelapa sawit seluas 2 hektar, dan