• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI HABITAT ALAM

3.2 Metode Penelitian 1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.4.1 Perubahan Penutupan Lahan

Hasil interpretasi citra lansat menunjukkan bahwa dalam kurun waktu >30 tahun habitat orangutan di KP Batubara telah mengalami penyempitan dan fragmentasi. Kawasan hutan hujan basah yang semula utuh dan kompak telah terpecah-pecah menjadi patch-patch yang lebih kecil dan terisolasi akibat kegiatan penambangan batubara dan pembangunan infrastruktur pendukungnya.

Hasil penelitian Sihombing (2012) juga menunjukkan bahwa perubahan luas tipe penutupan lahan pada dua periode waktu (2002 dan 2012) di KP Batubara mengarah kepada degradasi kualitas tutupan lahan, yang dibuktikan dengan bertambahnya luas areal yang terdegdradasi (Tabel 3.8)

Tabel 3.8 Perubahan luas tutupan lahan (ha) pada periode liputan 2002 dan 2012 di areal PT KPC sites Sangatta (Sihombing 2012)

No. Tutupan lahan tahun 2002 tahun 2012 Perubahan

1 Hutan Sekunder 16 302.79 11 742.45 -4 560.34 2 Semak Belukar 10 775.97 10 891.73 +115.76 3 Hutan Mangrove 1 685.59 1 349.51 -336.08 4 Ekosistem Rawa 0.00 441.94 +441.94 5 Tubuh Air 0.00 290.95 +290.95 6 Permukiman 893.26 1 443.24 +549.98 7 Tanah Terbuka 3 948.31 7 646.90 +3 698.59

Keterangan: Luas areal analisis = 33 806.72, - = Pengurangan Luas, + = Penambahan Luas

Menurut Gunawan dan Prasetyo (2003), kombinasi dari penyempitan dan fragmentasi habitat dapat meruntuhkan kesatuan ekosistem secara keseluruhan, kasus ini berlaku untuk habitat orangutan di KP Batubara. Menurut Forman (1995), fragmentasi dimulai dengan dissection/pemotongan, diikuti

perforation/perforasi, fragmentation/fragmentasi, dan attrition/erosi habitat yang menyebabkan habitat menjadi tidak lagi sesuai atau memiliki tingkat kesesuain yang rendah. Degradasi habitat di KP Batubara dimulai dengan dissection ketika jaringan jalan dan untuk kegiatan eksplorasi batubara dibangun, kemudian diikuti dengan perforation ketika kegiatan eksploitasi batubara mulai dilakukan. Seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi dan semakin luasnya areal terganggu, kantong habitat yang lebih kecil semakin meningkat frekuensinya, sehingga habitat yang terfragmentasi mendominasi lanskap di KP Batubara. Selanjutnya kantong-kantong habitat yang tersisa mengalami attrition, menjadi semakin kecil dan terisolasi di tengah-tengah lanskap KP batubara.

Kegiatan reklamasi dan revegetasi yang dilakukan oleh perusahaan pemegang PKP2B menyebabkan munculnya kantong-kantong habitat baru dengan struktur dan komposisi yang sangat berbeda dengan habitat asli. Pada akhirnya kegiatan penambangan batubara menghasilkan lanskap yang terdiri atas beberapa

tipe penutupan lahan, yaitu: hutan alam (sekunder), ARKPB yang sudah berupa hutan dengan pohon-pohon dbh ≥5 cm, ARKPB dengan pohon-pohon dbh <5 cm, lubang tambang/pit, jaringan jalan, area perkantoran, badan air, dan lain-lain.

Perubahan tutupan lahan tersebut tentu memberi dampak negatif yang luar biasa terhadap orangutan dan keanekaragaman hayati lainnya. Meskipun aktivitas pertambangan menyebabkan kerusakan habitat yang begitu masif, orangutan diketahui dapat bertahan hidup di petak-petak hutan alam yang tersisa dan telah terkonfirmasi mengkolonisasi berbagai ARKPB. Hutan alam yang tersisa di KP Batubara pada umumnya telah kehilangan pohon-pohon berdimensi besar yang sangat penting bagi orangutan baik sebagai sumber pakan maupun sebagai tempat bersarang, sedangkan ARKPB memiliki struktur dan komposisi vegetasi yang cenderung seragam sebagaimana halnya hutan tanaman. Komposisi floristik dan struktur tegakan hutan di ARKPB dan Prevab TN Kutai akan diuraikankan pada sub-sub bab selanjutnya.

3.4.2 Perbandingan Komposisi Vegetasi

Hasil penelitian di Prevab TN Kutai menunjukkan bahwa hutan di Kalimantan yang menjadi habitat alami orangutan kalimantan sangat kaya akan jenis pohon. Hasil ini mirip dengan hasil beberapa penelitian sebelumnya, misalnya di kawasan Sangkima TN Kutai yang terdiri atas 73 jenis dan 35 famili pohon (Ramadhanie 2006). Menurut MacKinnon et al. (2000), di dalam 1 ha bisa ditemukan 240 jenis pohon yang berbeda dan 1 ha di dekatnya mungkin dapat menambah setengah dari jumlah jenis tersebut. Sejarah pembentukan yang panjang dan relatif mantap telah menghasilkan keragaman tumbuhan yang tinggi di hutan dataran rendah Kalimantan (MacKinnon et al. 2000). Habitat orangutan di KP Batubara sangat miskin akan jenis pohon jika dibandingkan dengan habitat alami, komposisi jenisnya juga menunjukkan perbeadaan yang sangat tinggi (ISs jenis = 10.94%).

Dua puluh tiga dari total 28 jenis pohon yang dijumpai di ARKPB merupakan pohon-pohon hasil penanaman/revegetasi dan 6 jenis lainnya adalah pohon-pohon yang tumbuh secara alami. Pohon-pohon yang tumbuh secara alami tersebut merupakan pohon-pohon jenis pionir, antara lain: Macaranga gigantea, Macaranga hypoleuca, dan Mallotus dispar. Penyebaran biji pohon jenis pionir sangat efektif, karena bentuk dan ukurannya yang sedemikian rupa sehingga memungkinkannya untuk mencapai jarak yang jauh dan cepat menduduki tempat- tempat yang kosong (Whitmore 1975). Hasil penelitian Soendjoto et al. (2014) di PT Adora Indonesia menunjukkan bahwa hanya dalam waktu kurang 2 tahun setelah reklamasi dan revegetasi lahan tambang telah banyak jenis yang tumbuh secara alami. Kehadiran jenis-jenis pionir tersebut dapat dijadikan sebagai indikator bahwa proses suksesi sedang berlangsung di ARKPB. Jenis pionir yang sukses didominasi oleh jenis yang penyerbukannya dibantu oleh angin atau jenis- jenis yang bersifat autogami (Mackinnon et al. 2000; Walker dan del Moral 2003). Biji beberapa jenis pionir juga memiliki masa dormansi yang panjang, yang akan segera berkecambah di lingkungan yang terbuka, misalnya Macaranga gigantea (Whitmore 1975).

Semakin tinggi keanekaragaman jenis vegetasi, maka akan menyediakan pakan yang lebih berlimpah dan bervariasi untuk orangutan. Secara umum orangutan lebih menyukai habitat yang masih alami, utuh, dan memiliki

ketersediaan sumber pakan yang berlimpah (van Schaik 2001; Soehartono et al.

2009). Sebagian besar dari jumlah pohon di ARKPB merupakan jenis eksotik yang tidak dijumpai di habitat alami orangutan, yaitu Senna siamea, Falcataria moluccana, Senna surattensis, Samanea saman, Artocarpus heterophyllus, dan

Leucaena leucocephala. Perubahan komposisi vegetasi dipastikan memberikan dampak yang serius terhadap orangutan. Dari 28 jenis pohon yang dijumpai di ARKPB, hanya 5 jenis diantaranya yang merupakan pakan alami orangutan, yaitu:

Croton argyratus, Syzygium sp., Ficus sp., Macaranga giagantea, dan Geunsia petandra. Namun, kelima jenis pohon tersebut bukanlah jenis yang dominan di KP Batubara dan tiga jenis diantaranya dipastikan bukan pohon pakan penting bagi orangutan (Niningsih et al. 2016), karena orangutan lebih menyukai buah- buahan yang berdaging lembek (Meijaard et al. 2001). Apabila orangutan tidak mampu menyesuaikan komposisi pakannya dengan jenis-jenis yang tersedia, bisa dipastikan bahwa satwa tersebut tidak akan dapat bertahan hidup di KP Batubara, karena perilaku mencari makan (foraging behaviour) dapat mempengaruhi

fitness/kebugaran satwa liar secara langsung (Campbell et al. 2008). Menurut Suhud dan Saleh (2007), apabila suatu areal tidak produktif, dimana ketersediaan buah (pakan) berkurang, orangutan akan bermigrasi ke daerah lain yang memiliki ketersediaan pakan lebih baik atau berusaha menyesuaikan diri dengan mengubah perilaku makannya sebagai adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Setelah terjadi kebakaran di Kaltim, orangutan di Prevab TN Kutai mengubah komposisi makanannya dari 62.1% buah, 21.7% daun, dan 16.21 % selain buah dan daun (Rodman 1979) menjadi 30% daun, 50% kulit, 10 herba (Suzuki 1984).

Marga ara pencekik (Ficus spp.) adalah marga pohon yang paling penting bagi sebagian besar primata dan merupakan salah satu makanan pokok orangutan (Mackinnon 1974; Rijksen 1978). Di prevab TN Kutai di temukan paling tidak 10 jenis Ficus dengan kerapatan pohon dbh ≥5 cm mencapai 52 pohon/ha. Ferisa (2014) melaporkan bahwa orangutan di Prevab menghabiskan 10.94% waktu makannya untuk jenis Ficus spp, sedangkan orangutan di Mentoko 5.29%. Di Danum Valley Sabah, orangutan mengkonsumsi Ficus spp. dalam proporsi waktu yang paling besar yang mencapai 27.2% dari waktu makannya. Di ARKPB hanya dijumpai satu jenis Ficus selama penelitian, jumlahnya tidak banyak dan tersebar secara acak, sebagian besar masih berdimensi kecil dan belum menghasilkan buah yang cukup berarti bagi orangutan.