• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik dan Moralitas

Dalam dokumen 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 35-39)

Il Principe dan Seni Perangi Art of War ), bahasan kesusastraan (Dialog Bahasa l Dialogue on Language ,

BEBERAPA PANDANGAN MACHIAVELL

2. Politik dan Moralitas

Di tengah situasi khaos di bidang religius serta des integrasi di bidang moralitas publik, maka bagi Machiavelli persoalan kekuasaan yang diutamakan bukannya soal legitimasi moral, tetapi bagaimana kekuasaan yang tidak stabil itu menjadi stabil dan lestari. Pandangannya tentang politik tidak berasal dari pandangan tradisional pada waktu itu, yang melihat tugas pemerintah terutama pada distribusi dan pemeliharaan nilai keadilan.15 Pandangan tradisional itu tidak cocok dengan praktek kekuasaan yang dia saksikan dan dialami ketika dia hidup dan juga tidak cocok dengan praktek politik pada masa Kekaisaran Romawi sedang berjaya.

Dengan membayangkan cita-cita dan praktek

kekuasaan dari Cesare Borgia dan Paus Alexander Vl, Machiavelli mengatakan bahwa tugas pemerintah yang sebenarnya adalah mempertahankan serta mengembangkan dan mengekspansikan kekuasaan, karena itu dibutuhkan

15 Frederick Copleston, S.J , A History of Philosophy; Vol. 3, Part II,

Late Mediaeval and Renaissance Philosopby, (Image Books, New York, 1963, hlm. 128-134).

kekuatan sebagai unsur integral dan elemen paling esensial dalam politik.

Sehubungan dengan kepentingan pertahanan dan ekspansi kekuasaan, Machiavelli berpendapat penguasa bukanlah personifikasi dari keutamaan-keutamaan moral. Machiavelli menganut semacam sinisme moral dalam filsafat politik. Tujuaq dari semua usaha penguasa adalah mempertahankan stabilitas suatu negara, negara tetap eksis dan bila ada ancaman, dilakukan tindakan penyelamatan dari ancamanancaman itu. Dalam mengambil tindakan, maka pertimbangan yang dilakukan oleh penguasa pertama-tama tidak bertolak dari kemauan rakyat, apakah tindakan yang akan diambil itu dinilai oleh masyarakat baik atau buruk, tetapi bertolak dari segi efisiensi secara politik. Pilihan- pilihan tindakan tergantung dari tuntutan keadaan dan desakan situasi sosial.16

Yang sudah menerapkan pola manajemen kekuasaan secara baru dan memisahkan tindakan politik dari kerangka penilaian moral adalah Cesare Borgia.17 Tindakan-tindakan politis Borgia merupakan ilustrasi ideal dalam prosedur yang benar untuk menegakkan kekuasaan bagi para penguasa. Sebagai contoh prosedur menegakkan kekuasaan, misalnya bagaimana caranya seoi ang penguasa baru menegakkan

16

Frederick Mayer, hlm. 33-34.

17 Riwayat hidup Cesare Borgia dapat dibaca dalam: Biblmeyer- Tuchle, hlm. 481-483; 494 -496; 498 - 500. Salah satu ilustrasi menarik tentang prinsip moral bahwa tujuan menghalalkan segala cara yang diterapkan oleh Borgia dan sangat menarik perhatian untuk dicontohi oleh penguasa yang lihai dan licik adalah kasus penaklukan daerah Campagna sekitar kota Roma. Borgia memerintah panglimanya menyerbu Campagna. Panglima bersama pasukan berhasil menaklukkan wilayah itu. Rakyat Campagna sakit hati terhadap Borgia atas tindakan aneksi itu. Untuk menarik hati rakyat, panglima yang diperintah itu dituduh sebagai pengkhianat atas perintah Borgia. Panglima akhirnya dihukum mati untuk merebut simpati rakyat Campagna (lihat Dr. ].J. von

kekuasaan di suatu wilayah yang baru dikuasainya? Machiavelli mengatakan bahwa keluarga dari penguasa wilayah sebelumnya harus dimusnahkan. Kekejaman dapat dimanfaatkan dan dipraktekkan oleh penguasa atas desakan keadaan dan tuntutan situasi untuk menguasai sepenuhnya suatu wilayah baru karena semua ancaman atas kekuasaan dapat diatasi dan dilenyapkan. Seandainya kekuasaan sudah stabil dan digenggam erat dalam tangan penguasa, maka langkah politik yang berikut adalah menarik simpati rakyat dengan pelbagai bantuan.

Dengan demikian filsafat politik Machiavelli bertolak dari desakan keadaan dan tuntutan situasi khaotis sehingga menimbulkan kemungkinan besar suatu ketidakstabilan kekuasaan. Maka tujuan utama berpolitik bagi penguasa adalah mengamankan kekuasaan yang ada pada tangannya. Machiavelli membatasi perhatian pada teknik perebutan dan pertahanan kekuasaan. Dia mengulas masalah praktis ini dengan sinisme moral yang keras. Baginya politik dan moralitas merupakan dua bidang yang terpisah dan tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Dalam urusan politik, tidak ada tempat membicarakan masalah moral. Hanya satu hal yang penting ialah bagaimana meraih sukses dengan memegang kekuasaan. Kaidah etika politik altematif bagi Machiavelli adalah: tujuan berpolitik adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan. Segala usaha untuk mensukseskan tujuan itu dapat dibenarkan. Legitimasi kekuasaan membe- narkan segala teknik pemanipulasian dukungan masyarakat

terhadap kekuasaan yang ada. Dia seolah-olah

membenarkan persaingan antara para pemimpin mafia yang saling merebut hegemoni kekuasaan. Pemerintah yang ideal

perlu menghindari tindakan-tindakan yang bersifat

setengah-setengah.

Pemisahan tegas antara prinsip-prinsip moral, etika dan prinsip-prinsip ketatanegaraan didasarkan pada adanya per-

bedaan antara moral dan tata susila dan kehidupan ketatanegaraan. Moral dan tata susila merupakan suatu kemungkinan yang diharapkan, sedangkan ketatanegaraan adalah suatu kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Suatu kenyataan memang harus dibedakan dari suatu kemungkinan yang diharapkan. Karena itu bidang politik tidak perlu memperhatikan bidang moral. Tujuan politik jauh lebih nyata dari tujuan moral dan negara harus mengejar tujuan-tujuan nyatanya.18

Karena tidak ada nilai etis dalam kehidupan politik, maka seorang penguasa dapat saja memutuskan dan melanggar perjanjian yang pernah diucapkan baik kepada rakyatnya maupun kepada negara-negara tetangganya. Dalam situasi perang antara dua kekuatan besar, penguasa suatu negara jangan bersikap netral, tetapi harus memihak pada negara yang lebih kuat dan diperhitungkan akan

memenangkan peperangan. Pemihakan kepada calon

pemenang membuka kemungkinan yang lebih

menguntungkan bagi penguasa dan negaranya, karena pemenang akan menghargai sikap memihak itu.

Penguasa yang mahakuasa kelihatannya tidak suka bila dirinya dikelilingi oleh barisan kompetitor, karena para diktator tidak suka adanya orang kuat yang lain berada di sampingnya. Tetapi sebaliknya orang kuat itu secara tak sadar membutuhkan stimulasi dari orang kuat saingan beratnya. Menurut Machiavelli, negara yang kuat tidak cukup diperintah oleh sekelompok pemimpin dengan bakat "mediocre" dan tidak memanfaatkan kekuatan oposisi. Negara yang kuat membutuhkan oposisi yang kuat untuk menyempurnakan pola manajemen kekuasaannya, karena tujuan terakhir dari perjuangan

sang penguasa

adalah

18

Machiavelii, The Prince, translated with an introduction by George Buli, (Penguin Books, Harmondsworth, Middlesex, 1961, hlm. 90-91).

kemuliaan dirinya sendiri.19

Dalam dokumen 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 35-39)