• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : TANGGUNG JAWAB YAYASAN SEBAGAI PEMEGANG

A. Prinsip Piercing The Corporate Veil Terhadap Pemegang Saham

Teori dalam hukum perusahaan yang disebut dengan Teori Penyingkapan Tirai Perusahaan (piercing the corporate veil) merupakan topik yang sangat populer dalam hukum perusahaan, bukan saja dalam tata hukum Indonesia, melainkan juga dalam tata hukum (modern) di kebanyakan negara lain. Istilah

piercing the corporate veil disebut juga dengan istilah “Lifting the Corporate Veil” atau “Going Behind the Corporate Veil”.118

Kata “piercing” berarti mengoyak atau menembus, sementara kata veil

berarti kerudung atau cadar, maka ungkapan piercing the corporate veil secara harafiah berarti cadar badan hukum dikoyak atau ditembusi. Penerapannya ke dalam ilmu hukum perseroan, doktrin piercing the corporate veil berarti bahwa hukum tidak memberlakukan prinsip terpisahnya tanggung jawab dan harta kekayaan badan hukum dari tanggung jawab dan harta benda pemegang sahamnya, walaupun secara de jure seluruh persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu PT untuk dapat menjadi suatu badan hukum telah sempurna dilakukannya. Jadi, cadar yang membatasi badan hukum dengan pemegang sahamnya dapat dikoyak. Berdasarkan doktrin piercing the corporate veil ini, maka ada kemungkinan pemegang saham dalam hal-hal tertentu ikut bertanggung jawab

118

Munir Fuady (selanjutnya disebut Munir Fuady II), Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia (Bandung : Citra Aitya Bakti, 2002), hlm. 7.

sampai kepada harta pribadinya atas tindakan yang dilakukan oleh dan atas nama perseroan sendiri.119

Doktin piercing the corporate veil bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-wenang atau tidak layak yang dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak ketiga ataupun yang timbul dari perbuatan menyesatkan atau perbuatan melawan hukum.120 Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai “keadilan” khususnya bagi pihak ketiga dengan pihak perusahaan mempunyai hubungan hukum tertentu.121

Adapun yang merupakan kriteria dasar dan universal agar suatu piercing the corporate veil secara hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut :122

1. Terjadinya penipuan

2. Didapatkan suatu ketidakadilan

3. Terjadinya suatu penindasan (oppression) 4. Tidak memenuhi unsur hukum (illegality) 5. Dominasi pemegang saham yang berlebihan

6. Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya.

Penerapan teori piercing the corporate veil secara universal dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Penerapan teori piercing the corporate veil karena perusahaan tidak mengikuti formalitas tertentu.123

119

Munir Fuady I, Op.Cit., hlm. 8.

120 Ibid. 121

Munir Fuady II, Op.Cit., hlm. 7.

122

Ibid., hlm. 10.

123Ibid

Salah satu alasan untuk menerapkan teori piercing the corporate veil

adalah jika perusahaan tersebut tidak atau tidak cukup memenuhi formalitas tertentu yang diharuskan oleh hukum bagi suatu perseroan. Sasaran utama penerapan teori piercing the corporate veil dalam hal ini agak berbeda dari biasanya. Hal ini tidak bertujuan secara langsung untuk melindungi pihak tertentu, seperti pihak minoritas atau pihak ketiga, tetapi semata-mata untuk menegakkan hukum agar formalitas tersebut dipenuhi.

2. Penerapan teori piercing the corporate veil terhadap badan-badan hukum yang hanya terpisah secara artifisial.124

Hal ini merupakan penerapan teori piercing the corporate veil ke dalam suatu perusahaan yang sebenarnya dalam kenyataan adalah tunggal (1 (satu) business entity), tetapi perusahaan tersebut dibagi ke dalam beberapa perseroan secara artifisial. Misalnya, terdapat beberapa perseroan yang terpisah secara artifisial, tetapi bisnisnya dilakukan sedemikian rupa sehingga seolah-olah bisnis tersebut dilakukan oleh 1 (satu) unit perusahaan saja. Penerapan prinsip piercing the corporate veil akan menyebabkan beban tanggung jawab akan diberikan kepada seluruh perseroan yang saling terkait tersebut.

3. Penerapan teori piercing the corporate veil berdasarkan hubungan kontraktual.125

Teori piercing the corporate veil juga dapat diterapkan jika ada hubungan kontraktual antara perusahaan dengan pihak ketiga, dimana tanpa penerapan teori

piercing the corporate veil tersebut, kerugian terhadap pihak ketiga tidak mungkin tertanggulangi. Penerapan teori piercing the corporate veil dalam hubungan

124

Ibid., hlm. 12. 125 Ibid.

dengan kontrak dengan pihak ketiga ini, biasanya dipersyaratkan terdapatnya unsur “keadaan yang tidak lazim” pada aktivitas perusahaan.

4. Penerapan teori piercing the corporate veilkarena perbuatan melawan hukum atau tindak pidana.126

Jika terdapat unsur pidana dalam suatu kegiatan perseroan, meskipun hal tersebut dilakukan oleh perseroan itu sendiri, maka berdasarkan teori piercing the corporate veil, oleh hukum dibenarkan juga jika tanggung jawab dimintakan kepada pihak-pihak lain, seperti direksi atau pemegang sahamnya. Demikian juga jika perusahaan melakukan perbuatan melawan hukum bidang perdata (onrecht matigedaad).

5. Penerapan teori piercing the corporate veildalam hubungan dengan Holding Company dan Anak Perusahaan.127

Selain terhadap perseroan tunggal, teori piercing the corporate veil juga muncul dalam hal perusahaan dalam grup usaha. Menurut ilmu hukum hal ini dikenal dengan apa yang disebut dengan “Doktrin Instrumental” (Instrumentality Doctrine). Menurut doktrin tersebut, teori piercing the corporate veil dapat diterapkan.

Prinsip piercing the corporate veil secara sederhana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, tetapi tidak ditemukan dalam KUHD sebagai peraturan yang mengatur PT terlebih dahulu. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas telah dengan tegas mengatur teori ini, walaupun pengaturannya sangat sederhana, tidak lengkap dan seperti sambil lalu, sehingga banyak penjabaran dari doktin ini seperti baru saja disebutkan di atas tidak

126

Ibid., hlm., 13.

tertampung sama sekali.128 Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 sampai batas-batas tertentu mengakui berlakunya teori piercing the corporate veil ke dalam tindakan suatu perseroan, menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan tersebut (meskipun dia berbentuk badan hukum), tetapi pertanggungjawaban hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya.129

Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga tetap mengatur hal yang sama dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas mengenai prinsip piercing the corporate veil. Kekecualian-kekecualian tersebut mengisyaratkan bahwa memang Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 tahun 1995 mengakui doktrin piercing the corporate veil itu.130 Begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai pengganti undang-undang yang lama, tetap menganut prinsip piercing the corporate veil pada beberapa Pasalnya, yang membebankan tanggung jawab kepada pihak pemegang saham seperti pada : 1. Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) UU PT.

Tanggung jawab pemegang saham tidak terbatas pada nilai saham yang dimilikinya dan sampai kekayaan pribadinya jika terpenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU PT, yaitu :

a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. Hal ini sebetulnya tidak perlu dicantumkan dalam ketentuan undang-undang karena tanggung jawab terbatas dari suatu PT timbul atau ada

128

Munir Fuady I, Op.Cit., hlm. 67

129

Munir Fuady II, Op.Cit., hlm.17.

130

setelah PT itu sah menjadi badan hukum, jadi bila belum menjadi badan hukum maka jelas juga tidak ada tanggung jawab terbatas.131

b. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Pengertian untuk kepentingan pribadi kiranya perlu diperluaskan artinya sehingga mencakup kepentingan saudara sedarah atau semenda ataupun mencakup orang lain yang baik pada pemegang saham tersebut, seperti misalnya kekasihnya baik yang resmi maupun yang tidak resmi (gelap). Kalau untuk kepentingan pribadinya ditafsirkan secara sempit, maka dalam pelaksanaannya pemegang saham lainnya dapat dirugikan.132

c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan. Dasar gugatan atas perbuatan melawan hukum sebenarnya terdapat pada Pasal 1365 KUHPerdata yang mana arti dari perbuatan melawan hukum sekarang bukan saja perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tetapi juga mencakup perbuatan yang berlawanan dengan kesusilaan maupun kepatutan yang seharusnya.133

d. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. Ketentuan huruf d ini mensyaratkan dua hal

131

Hardijan Rusli, Op.Cit., hlm. 29.

132

Ibid., hlm. 20.

untuk dapat menembus pertanggungjawaban pemegang saham yang terbatas itu, yaitu :

1) Pemegang saham menggunakan kekayaan PT secara melawan hukum;

2) Hal itu menyebabkan kekayaan PT tidak cukup lagi untuk melunasi utang-utang PT.

Masalah dari ketentuan ini ialah apabila memang pemegang saham baik langsung maupun tidak langsung (melalui direksi) telah menggunakan kekayaan PT secara melawan hukum tetapi harta kekayaan PT masih mencukupi untuk melunasi utang-utang PT, maka pemegang saham yang telah menggunakan kekayaaan PT menjadi tidak digugat untuk bertanggung jawab secara pribadi. Hal ini kiranya merugikan pemegang saham lainnya.134

2. Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (6) UU PT.

Ketentuan mengenai jumlah pendiri PT terdapat pada Pasal 7 ayat (5) UU PT bahwa PT harus didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih. Setelah status badan hukum diperoleh dan pemegang saham menjadi kurang 2 (dua) orang, dalam jangka waktu enam bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain. Pada ketentuan Pasal 7 ayat (6) UU PT ditegaskan bahwa pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian perseroan jika dalam hal jangka waktu pada ayat (5) telah dilampaui.

134Ibid

Menurut Rachmadi Usman, prinsip piercing the corporate veil dapat diterapkan, apabila setelah PT terbatas yang disahkan ternyata pemegang saham menjadi hanya 1 (satu) orang, sedangkan setelah lebih dari 6 (enam) bulan terhitung sejak terjadinya keadaan tersebut, pemegang saham tidak mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan tanggung jawab PT menjadi tanggung jawab pemegang saham tunggal, karena dikhawatirkan telah terjadi penyelundupan tanggung jawab pribadi masuk ke dalam tanggung jawab PT.135

3. Ketentuan dalam pasal-pasal lainnya dari UU PT.

Selain dari pasal-pasal seperti tersebut di atas, masih terdapat hal-hal lain yang mengakibatkan timbulnya konsekuensi dibebankannya tanggung jawab hukum ke pundak pemegang saham, meskipun tanggung jawab tersebut sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan oleh suatu PT, yang hakikatnya merupakan suatu badan hukum (legal entity). Kelompok ini termasuk tindakan-tindakan dalam 5 (lima) kategori sebagai berikut :136

a. Tidak menyetor modal

Pemegang saham tidak melaksanakan tugasnya untuk menyetor modal, padahal setiap saham harus disetor penuh oleh pemegang sahamnya pada saat pengesahan oleh Menteri Kehakiman, atau pada saat saham dikeluarkan. Apabila tindakan tersebut merugikan perusahaan atau pihak ketiga, maka doktrin piercing the corporate veil layak diterapkan.

b. Campur aduk antara urusan pribadi dengan urusan perseroan.

135

Dijan Widijowati, Op.Cit., hlm. 75.

136

Teori piercing the corporate veil juga layak diterapkan manakala terjadi percampuradukkan antara urusan perusahaan dengan urusan pribadi, sehingga tanggung jawab pribadi pemegang saham yang bersangkutan dapat dimintakan.

c. Alter Ego

Teori piercing the corporate veil juga layak diterapkan kepada pemegang saham manakala pihak pemegang saham terlalu dominan dalam kegiatan perusahaan tersebut melebihi dari peran pemegang saham yang sepantasnya. Perusahaan hanya berfungsi sebagai “instrumen” mencari untung pribadi dari pihak pemegang sahamnya, sehingga PT dikatakan sebagai alter ego (kadang-kadang disebut juga sebagai instrumentally, dummy atau agent) dari pemegang saham yang bersangkutan.

d. Jaminan pribadi dari pemegang saham

Apabila pihak pemegang saham memberikan jaminan pribadi bagi kontrak-kontrak atau bisnis yang dibuat oleh perusahaannya, berarti pihak pemegang saham memang menginginkan untuk dibebankan tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan oleh perseroan tersebut. Pihak pemegang saham ikut bertanggung jawab dengan sendirinya manakala adanya gugatan dari pihak ketiga atas kerugian yang terbit dari kegiatan yang digaransi tersebut.

e. Permodalan yang tidak layak.

Permodalan yang tidak layak, misalnya modal terlalu kecil padahal bisnis perusahaan adalah besar. Kewajiban pemegang sahamlah yang harus menyetor tambahan modal dan ketidaklayakan permodalan ini

menimbulkan suatu transfer tanggung jawab dari pemegang saham kepada pihak kreditur. Ini sama sekali tidak adil. Namun demikian, selain pemegang saham yang bertanggung jawab, sampai batas-batas tertentu, pihak direksi juga dapat dimintakan tanggung jawabnya dalam hal ini.