• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS

C. Prinsip-Prinsip Hukum Perseroan Terbatas

Secara intern, PT sebagai badan hukum mempunyai hubungan hukum yang

tercipta berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, anggaran dasar Perseroan, dan doktrin hukum yang berlaku umum dan universal. Hubungan hukum intern tersebut membatasi kesewenang-wenangan pemegang saham, Direksi dan Dewan Komisaris yang sekaligus meletakkan tanggung jawab masing-masing. Hal

138

Ibid. Hlm. 71-72.

139

tersebut memberikan arah apa yang diperintahkan (imperare), apa yang dilarang (prohibere), serta apa yang diperbolehkan (permittere) kepada pemegang saham, Direksi dan Dewan Komisaris.140

Doktrin hukum ini dapat digunakan, baik untuk membuat suatu peraturan hukum Perseroan yang lebih komprehensif. Demikian juga halnya dengan UU PT yang mengacu pada doktrin hukum yang berlaku universal tersebut. Doktrin tersebut juga sekaligus sebagai warning bagi RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi dalam menjalankan usaha dan kepada berbagai pihak untuk memanfaatkan doktrin hukum tersebut dalam menegakkan hak dan keadilan.

Adapun doktrin-doktrin hukum yang menjadi prinsip-prinsip hukum PT yang terkandung dalam UU PT adalah sebagai berikut.

1. Fiduciary Duty

Prinsip fiduciary duty adalah suatu doktrin yang berasal dari common law system yang mengajarkan bahwa antara Direksi dengan Perseroan terdapat hubungan kepercayaan (fiduciary). Hal tersebut menjadikan Direksi bertindak seperti seorang trustee atau agen semata yang mempunyai kewajiban mengabdi sepenuhnya dan sebaik-baiknya kepada Perseroan. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip fiduciary duty adalah:

a. Pasal 97 ayat (1) yang berbunyi:

"Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1), yaitu Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan".

140

b. Pasal 98 ayat (1) berbunyi:

"Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan".

2. Corporate Opportunity

Prinsip ini mengajarkan bahwa Direksi harus lebih mengutamakan kepentingan Perseroan daripada kepentingan pribadi terhadap transaksi yang menimbulkan

conflict of interest. Prinsip ini adalah konsekuensi dari prinsip fiduciary duty.

Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip corporate opportunity adalah: a. Pasal 97 ayat (2) yang berbunyi:

"Pengurusan (Perseroan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab".

b. Pasal 99 ayat (1) yang berbunyi:

"Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila:

a) terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau

b) anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan".

3. Business Judgement Rule

Prinsip ini mengandung makna bahwa Direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atas tindakan yang dilakukannya dalam kedudukannya sebagai Direksi yang dia yakini sebagai tindakan yang terbaik bagi Perseroan. Namun, tindakan tersebut harus dilakukan dengan jujur, itikad baik, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip business judgement rule adalah:

a. Pasal 97 ayat (5) UU PT yang berbunyi:

"Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

1) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

2) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

3) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan 4) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya

kerugian tersebut".

b. Pasal 104 ayat (4) UU PT yang berbunyi:

"Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan:

a) kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan

d) telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan". c. Pasal 114 ayat (5) UU PT yang berbunyi:

"Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

1) telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; 2) tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak

langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan 3) telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau

berlanjutnya kerugian tersebut". d. Pasal 115 ayat (3) UU PT yang berbunyi:

"Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dapat membuktikan:

a) kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b) telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c) tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan

d) telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan".

4. Piercing The Corporate Veil

Dalam hukum Perseroan, masing-masing pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga. Tanggung jawab pemegang saham terbatas sebesar jumlah saham yang dimilikinya. Menurut prinsip piercing the

corporate veil, dalam keadaan tertentu pemegang saham dapat bertanggung jawab

secara pribadi. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip piercing the

corporate veil adalah:

Pasal 3 ayat (2) UU PT yang berbunyi:

"Pemegang saham Perseroan bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki apabila:

a) persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung

dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c) pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum

yang dilakukan oleh Perseroan; atau

d) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan".

5. Derivative Action

Derivative action adalah gugatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih

pemegang saham yang mewakili Perseroan. Gugatan yang seharusnya dilakukan oleh dan atas nama Perseroan, dilakukan oleh seorang atau beberapa orang pemegang saham saja atas nama Perseroan. Dalam hal ini yang digugat adalah

Direksi ataupun pihak ketiga. Jika gugatan tersebut berhasil, maka hasil gugatan tersebut adalah untuk kepentingan Perseroan, bukan pemegang saham. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip derivative action adalah:

a. Pasal 97 ayat (6) yang berbunyi:

"Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan". b. Pasal 114 ayat (6) yang berbunyi:

"Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota Dewan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke pengadilan negeri".

6. Perlindungan Pemegang Saham Minoritas

Prinsip ini mengajarkan bahwa ketentuan-ketentuan tentang Perseroan harus melindungi pemegang saham minoritas dalam Perseroan. Jika tidak ada perlindungan kepada pemegang saham minoritas, maka senantiasa mereka dapat dirugikan. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip perlindungan pemegang saham minoritas adalah:

a. Pasal 97 ayat (6) yang berbunyi:

"Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan". b. Pasal 114 ayat (6) yang berbunyi:

"Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota Dewan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke pengadilan negeri".

7. Ultra Vires

Perseroan tidak dapat melakukan kegiatan ke luar dari kekuasaan Perseroan. Kekuasaan Perseroan dimuat dalam anggaran dasar, oleh karena itu, Perseroan tidak boleh melakukan kegiatan di luar kekuasaan yang dirinci dalam anggaran dasarnya. Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip ultra vires adalah: a. Pasal 97 ayat (3) yang berbunyi:

"Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)".

b. Pasal 114 ayat (3) yang berbunyi:

"Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)".

8. Self Dealing

Self dealing artinya adalah setiap transaksi yang dilakukan antara Direksi

Perseroan dengan Perseroan itu sendiri, baik yang dilakukan oleh Direksi sendiri secara langsung atau tidak secara langsung (misalnya melalui keluarganya). Hukum Perseroan di negara-negara anglo saxon pada awalnya melarang sama sekali self dealing ini. Dalam perkembangannya, transaksi self dealing tersebut tidak dianggap bertentangan dengan hukum sama sekali, tetapi tetap dianggap sah dengan syarat-syarat yuridis yang ketat, yaitu Direksi harus telah melakukan keterbukaan yang penuh (full disclosure), mayoritas Direksi yang tidak konflik

kepentingan melakukan voting mendukung tindakan self dealing tersebut, dan kontrak tersebut terlihat fair kepada Perseroan.141

Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip self dealing adalah Pasal 97 ayat (5) huruf c, Pasal 99 ayat (1) huruf b, Pasal 104 ayat (4) huruf c, Pasal 114 ayat (5) huruf b, dan Pasal 115 ayat (3) huruf c sebagaimana telah disebutkan di atas. Dari ketentuan empat pasal tersebut, pada pokoknya merupakan prinsip yang melarang terjadinya benturan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan pengurusan Perseroan, baik langsung maupun tidak langsung, yang mendatangkan kerugian bagi Perseroan, dengan ancaman hukuman bagi Direksi dan Dewan Komisaris yang bersalah atau lalai, yaitu bertanggung jawab secara penuh dan pribadi atas kerugian Perseroan.

9. Corporate Ratification

Prinsip ini mengandung makna bahwa Perseroan dapat menerima tindakan yang dilakukan oleh organ lain dalam Perseroan tersebut. Tindakan tersebut sekaligus mengambil alih tanggung jawab organ lain dimaksud.

Ketentuan dalam UU PT yang mengandung prinsip corporate ratification adalah: Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi:

"Perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri untuk kepentingan Perseroan yang belum didirikan, mengikat Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum apabila RUPS pertama Perseroan secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atau kuasanya".

141