• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

4.2 Profil Informan

4.2.1 Informan Kunci

1. Hotmin Br. Silalahi (Pr, 44 tahun)

Ibu Hotmin merupakan seorang pengusaha kerajinan tenun ATBM yang terdapat di Jalan Lau Cimba No. 78, Kelurahan Siopat Suhu, Kecamatan Siantar Timur. Ibu Hotmin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mak Citra, telah menikah dan memiliki 4 orang anak. Ibu Hotmin adalah seorang tamatan SMA. Suami Ibu Hotmin tidak memiliki pekerjaan, beliau hanya ikut membantu usaha kerajinan tenun milik isterinya. Usaha kerajinan tenun ATBM Ibu Hotmin dimulai pada tahun 2001 dengan jumlah ATBM saat itu sebanyak 2 buah, karyawan 1 orang, menghasilkan ulos hati rongga palsu, dengan penghasilan perlembar ulos senilai Rp 45.000,-.

Saat peneliti datang pertama kali untuk meminta izin penelitian di kilang tenun milik Ibu Hotmin ini, beliau mengizinkan dan tidak keberatan. Sebagai seorang pengusaha, beliau adalah orang yang jarang tinggal diam dirumah, beliau lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengajari para karyawan tenunnya serta mengurusi segala keperluan terkait kelancaran usahanya seperti pemenuhan benang, pewarnaan benang,

melakukan setel ulang untuk ATBM setelah proses pemotongan ulos, dan lain sebagainya.

Sebagai seorang pengusaha kerajinan tenun berupa ulos, Ibu Hotmin memiliki banyak saingan yang juga membuka kilang tenun. Kehadiran ATM di Kota Pematangsiantar membuat para pengusaha kerajinan tenun ATBM kalah saing dalam harga produk yang dipasarkan, harga kain tenun dengan ATM jauh lebih murah dibandingkan harga kain tenun ATBM yang berkisar Rp 30.000,- sampai Rp 1.000.000,-. Produk kain tenun yang dihasilkan ATM memiliki banyak corak dan motif, karena dengan adanya mesin ATM bukanlah hal sulit untuk menciptakan corak yang beragam, hal ini juga membuat para pengusaha tenun ATBM kalah saing karena mereka tidak mampu menghasilkan motif baru.

2. Serliana Sinaga (Pr, 30 tahun)

Ibu Serliana atau yang sering dipanggil dengan sebutan Mak Novra adalah salah satu karyawan tenun yang bekerja dengan Ibu Hotmin Silalahi selama 2 tahun. Ibu Serliana telah menikah dan memiliki 2 orang anak. Pendidikan terakhir Ibu Serliana adalah tamatan SD, dan beralamat di Jalan Karang Bangun, Rambung Merah. Pengalaman Ibu Serliana bekerja tenun telah banyak, pada saat ia masih gadis ia telah bekerja sebagai pengrajin tenun. Awalnya ia bekerja di kilang tenun milik ibunya sendiri. Ibunya memiliki usaha tenun yang cukup maju, dan ia bekerja sebagai pengrajin tenun disana, namun lama-kelamaan usaha ibunya gulung tikar dan ia pun pindah kerja di kilang tenun Bapak Sijabat yang terdapat di Jalan Haji Ulakma Sinaga, Rambung Merah. Namun tidak berapa lama Bapak Sijabat meninggal dunia dan usahanya ditutup,

lalu ia bekerja di kilang tenun milik Ibu Betty yang ada di Rambung Merah. Karena membutuhkan uang akibat tidak sesuai gaji yang ia dapat dengan hasil yang telah dikerjakan, Ibu Serliana pun mulai mencari pekerjaan baru, dan ia mendapat informasi pekerjaan di kilang Ibu Hotmin dari temannya bernama Irma, dan akhirnya ia bisa mendapat pinjaman uang dan mulai bekerja di kilang Ibu Hotmin Silalahi.

Bekerja dengan Ibu Hotmin tidak harus di kilang ulos miliknya, para karyawan yang mau bekerja di rumah sendiri juga bisa. Bagi karyawan yang sudah menikah diperbolehkan bekerja di rumah sendiri, maka ATBM dari kilang tenun Ibu Hotmin diangkat ke rumah masing-masing orang yang ingin bekerja di rumah, dan hal inilah yang membuat Ibu Hotmin banyak memiliki karyawan, karena mereka beranggapan bisa bekeja sambil mengurus anak di rumah, dan Ibu Serliana pun bekerja di rumahnya bukan di kilang tenun Ibu Hotmin. Penghasilan setiap karyawan tergantung dari jenis ulos yang dikerjakan dan banyaknya ulos yang dihasilkan setiap minggunya. Ibu Serliana sering mengerjakan ulos tapak catur, bakal jas, dan bakal sarung yang harga gajinya terbilang mahal, yaitu Rp 50.000,- perlembar. Ibu Serliana setiap minggu mendapat gaji sebesar Rp 500.000,-. Ibu Serliana mengaku hasil ulos yang dibuat dengan ATBM lebih rapi dibanding dengan ATM, karena tangan penenun sendiri yang mengatur jarak tiap benang sampai rapi, apalagi Ibu Hotmin juga menerapkan peraturan pembuatan ulos kepada karyawannya yaitu harus rapi, benang tidak boleh putus, ulos tidak boleh bergaris, dan ulosnya juga tidak boleh berbulu. Hal inilah yang membuat karyawan Ibu Hotmin harus teliti dalam pengerjaannya.

3. Dewani Sipayung (Pr, 33 tahun)

Ibu Dewani Sipayung adalah karyawan Ibu Hotmin. Ibu Dewani telah menikah dan memiliki 2 orang anak. Pendidikan terakhirnya adalah SMA. Ibu Dewani atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mak Kristin telah lama bekerja sebagai penenun ulos, yaitu sudah 6 tahun, namun bekerja dengan Ibu Hotmin masih selama 1 tahun 6 bulan. Rumah Ibu dewani di Jalan Pasar Batu, Rambung Merah. Alasan Ibu Dewani memilih bekerja dengan Ibu Hotmin adalah karena harga ulos perlembarnya lebih tinggi dibanding di kilang tenun lain, yaitu jika di kilang lain harga pembuatan selendang perlembarnya Rp 27.000,- maka di kilang Ibu Hotmin Rp 30.000,-, dan alasan lainnya karena bisa bekerja di rumah jadi bisa sambil mengurus anaknya. Menurut Ibu Dewani bekerja dengan ATBM memang lambat dibanding dengan ATM karena pembuatan satu ulos bisa memakan waktu sampai 5 jam, tetapi walaupun lambat hasil yang didapat bagus karena dapat mengoreksi atau memeriksa ulos dengan baik.

Gaji yang didapat Ibu Dewani dalam satu minggu adalah Rp 300.000,- tetapi ia mengaku itu tidak menetap, terkadang ia hanya mendapat Rp 100.000,- karena ulos yang dihasilkan tidak selalu banyak, hal ini juga disebabkan karena pasokan benang dari pengusaha sering terlambat diantar ke rumah, jadi walaupun benang lalatan sudah habis dijadikan ulos, para karyawan sering berhenti bekerja sampai benang diantar. Namun Ibu Dewani mengaku bahwa sikap pengusaha terhadap karyawannya baik dan tidak banyak aturan yang menyulitkan.

4. Lasma Sianipar (Pr, 20 tahun)

Lasma adalah karyawan yang bekerja sebagai penenun di kilang Ibu Hotmin Silalahi. Pendidikan terakhirnya adalah SMK. Ia berasal dari Parsoburan, Kecamatan Habinsaran, Toba Samosir. Awalnya ia datang ke Kota Pematangsiantar untuk mencari kerja, namun sulitnya mendapat pekerjaan menjadikan ia sebagai karyawan di kilang tenun Ibu Hotmin. Ia mengetahui kilang Ibu Hotmin menerima karyawan dari teman yang rumahnya dekat dengan rumah Ibu Hotmin. Sebagai perantau, ia tinggal di kost-kostan milik Ibu Hotmin yang tepat berada di samping kilang tenunnya tersebut. Kost-kostan itu memang sengaja disediakan Ibu Hotmin untuk karyawannya yang bekerja di kilang agar tidak lelah untuk pulang dan pergi bekerja, dan memang kebanyakan yang belum menikah yang dapat tinggal disitu. Para karyawan yang tinggal di kost harus membayar sewa kamarnya Rp 40.000,- perbulannya. Harga kost yang murah memang dibuat Ibu Hotmin untuk para karyawannya.

Lasma bekerja di kilang tenun Ibu Hotmin sudah 1 tahun. Jenis kain tenun yang sering dikerjakannya adalah pembuatan sarung sulo dengan gaji perlembarnya Rp 13.000,-, dan kadang juga ia membuat ulos hati rongga palsu dengan gaji Rp 12.000,-, dalam sehari Lasma mampu membuat 2 lembar baik saat mengerjakan selendang maupun ulos hati rongga palsu. Lasma menerima gaji dalam waktu dua minggu sekali, yaitu sekitar Rp 350.000,- sampai dengan Rp 500.000,- tergantung banyaknya ulos yang dapat ia hasilkan dalam 2 minggu.

5. Lisna Deliana Sinaga (Pr, 25 tahun)

Ibu Lisna adalah karyawan yang bekerja sebagai penenun di kilang Ibu Hotmin. Pendidikan terakhir Ibu Lisna adalah SMA, dan ia beralamat di Jalan Asahan KM. 6 Pematangsiantar. Ibu Lisna telah menikah dan memiliki satu orang anak. Ibu Lisna telah bekerja selama 2 tahun 6 bulan di kilang Ibu Hotmin. Sebelum bekerja di kilang Ibu Hotmin, ia telah bekerja di kilang Ibu Betty, namun karena pada saat itu kondisi usaha di kilang Ibu Betty mengalami kemunduran, hal ini menyebabkan banyak karyawan yang memilih berhenti bekerja. Lalu Ibu Lisna mendapat informasi dari sepupunya yang bekerja di kilang Ibu Hotmin bahwa masih menerima karyawan dan gaji yang ditawarkan juga besar, maka ia memutuskan untuk bekerja dengan Ibu Hotmin. Sebelum menikah ia kerja langsung ke kilang yang terdapat di belakang rumah Ibu Hotmin, dimana disana semua tempat usaha pembuatan kain tenun dilakukan. Di kilang terdapat beberapa karyawan yang bekerja mulai dari penggulung benang, pembuatan warna benang, sampai penenun kain tenun itu sendiri. Namun setelah menikah dan memiliki anak, Ibu Lisna memilih untuk bekerja di rumah, agar bisa sambil mengurus anak.

Ibu Lisna mengerjakan pembuatan ulos jenis bakal jas dan bakal sarung yang harga pembuatannya senilai Rp 50.000,- perlembarnya. Sebelum memiliki anak, Ibu Lisna memiliki penghasilan dalam seminggu sekitar Rp 400.000,- dan dalam sebulan Rp 1.500.000,-, hal ini dapat dilakukan karena ia mampu mengerjakan dan menghasilkan ulos dalam jumlah yang lumayan banyak. Namun pada saat ini ia hanya berpenghasilan Rp 500.000,- dalam sebulannya, karena ia memiliki anak kecil sehingga bekerja pun tidak terlalu giat. Dalam hal seperti ini pengusaha mau memberi keringanan atau dispensasi target ulos kepada karyawan yang memiliki anak kecil, ia tidak terlalu

memporsir karyawan dengan target biasanya, asalkan harus tetap ada ulos yang dihasilkan, tidak peduli berapa jumlahnya, sehingga karyawan tidak merasa tertekan dan dapat terus bekerja.

6. Ibu Mei (Pr, 40 tahun)

Ibu Mei adalah karyawan Ibu Hotmin yang telah bekerja selama 1 tahun. Ibu Mei selain bekerja sebagai penenun ia juga bekerja sebagai petani. Ibu Mei telah menikah dan memiliki 4 orang anak. Pendidikan terakhir Ibu Mei adalah SMP dan alamat rumahnya di Kampung Samosir, Rambung Merah. Alasan Ibu Mei memilih bekerja sebagai penenun Ibu Hotmin adalah gajinya lebih mahal dari tenun lain serta pasokan benang lumayan lancar.

Selama satu hari Ibu Mei bekerja selama 7 jam kerja, karena waktu selanjutnya dimanfaatkan untuk bertani di ladangnya. Ibu Mei mengerjakan pembuatan ulos di rumahnya sendiri, karena Ibu Hotmin memang memberikan kebebasan bagi karyawan perempuan yang telah menikah untuk bekerja di rumahnya agar bisa sambil mengurus anaknya. Maka kebebasan ini dimanfaatkan Ibu Mei agar ia dapat tetap bekerja sambil menjaga anaknya. Ulos yang dibuat Ibu Mei adalah ulos Simalungun jenis hati rongga asli yang harga pembuatannya adalah Rp 20.000,- perlembarnya. Gaji yang didapat ibu mei dalam seminggu berkisar Rp 150.000,- sampai dengan Rp 200.000,- atau dalam sebulan sekitar Rp 600.000,-. Ibu Mei beranggapan mengerjakan ulos dengan alat ATBM hasilnya lebih bagus dan pengerjaannya pun dapat dilakukan di rumah, karena ATBM dapat dengan mudah diangkat dan di pasang, dibandingkan dengan ATM yang

bekerjanya harus di kilang, tidak bisa di rumah, karena ATM adalah sebuah mesin tenun yang komplit dan bukan seperti ATBM yang dapat di pasang dengan mudah.

4.2.2 Informan Biasa

1. Ir. Sondang M. Sitanggang (Pr, 46 tahun)

Ir. Sondang adalah salah seorang PNS yang bekerja di Kantor Dinas Koperasi dan UMKM Kota Pematangsiantar. Ibu Sondang bekerja di bagian Dinas Koperasi dan UMKM sebagai Kepala Bidang UMKM. Ibu Sondang adalah orang yang baik dan ramah, hal ini terbukti dari saat pertama peneliti datang ke Kantor Dinas Koperasi dan UMKM yang terletak di Jalan Sisingamangaraja No. 3 Pematangsiantar, peneliti disambut dengan terbuka oleh Ibu Sondang, dan beliau begitu ramah kepada peneliti. Menurut beliau Jumlah seluruh UMKM di Kota Pematangsiantar adalah 15.969 UMKM, dan jumlah untuk UMKM di bidang pertenunan kurang lebih sekitar 550 usaha, namun belum semua UMKM di Kota Pematangsiantar ini yang termasuk kedalam binaan Dinas UMKM. Menurut Ibu Sondang para pengusaha pertenunan dengan ATBM secara umum masih belum maju, hanya beberapa saja yang sudah terbilang maju. Hal ini disebabkan karena banyak pengusaha tenun yang mengalami kesulitan-kesulitan, seperti kesulitan dana untuk modal, kesulitan menciptakan produk barang yang baru, serta kesulitan pemasaran produk.

Pengusaha di bidang pertenunan terdiri atas dua jenis pengusaha, yaitu pengusaha yang mengerjakan usahanya sendiri dan pengusaha yang memberi gaji kepada karyawannya. Pengusaha yang mengerjakan sendiri adalah pengusaha yang masih memiliki ATBM dengan jumlah 1 buah yang dikerjakan dan dijual sendiri,

sedangkan pengusaha yang memberi gaji adalah pengusaha yang sudah memiliki ATBM lebih dari satu buah sehingga memiliki karyawan yang harus digaji. Usaha pertenunan dengan ATM harus memiliki modal besar karena ATM bukanlah mesin yang murah untuk dibeli, selain itu produk yang dihasilkan dalam jumlah besar. Sedangkan pertenunan dengan ATBM tidak membutuhkan modal sebesar pertenunan ATM, produk yang dihasilkan saat ini juga telah banyak didiversifikasikan dengan produk lain, seperti pembuatan baju dengan motif ulos.

Produk ulos yang dihasilkan dengan ATBM lebih rapi dan bagus, karena penenun dapat secara langsung mengontrol ulos yang mereka tenun, tidak dengan ulos yang dihasilkan dengan ATM yang mengandalkan mesin sehingga sulit untuk di kontrol langsung.Dinas UMKM sering memberikan bantuan kepada para pengusaha pertenunan berupa alat ATBM, sarana dan prasarana usaha pertenunan, pelatihan-pelatihan yang diadakan Dinas UMKM baik di dalam maupun di luar Kota Pematangsiantar yang sering dipimpin oleh Bapak Merdi Sihombing, yaitu tokoh ulos Batak yang telah meluncurkan buku berjudul “Perjalanan Tenun”.

Bantuan yang diberikan dinas UMKM ini dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas agar memperkecil kemiskinan. Dalam menyambut bantuan yang diberikan Dinas UMKM para pengusaha bersifat terbuka untuk menerima bantuan-bantuan yang diberikan. Pengusaha yang mendapat bantuan-bantuan ini adalah pengusaha yang benar-benar mau berkarya dan mau belajar mengembangkan usahanya. Setiap UMKM yang mendapat bantuan selalu dipantau hasilnya oleh Dinas UMKM agar bantuan yang diberikan tidak disalahgunakan. Saat ini Dinas UMKM juga mengalami kesulitan dalam membantu UMKM yang ada, yaitu kesulitannya berupa kekurangan dana karena

banyaknya jumlah pengusaha yang memberikan surat permohonan bantuan, namun menurut Ibu Sondang, Dinas UMKM tetap mengusahakan untuk memberikan bantuan semaksimal mungkin. Ibu Sondang mengatakan untuk pengusaha tenun di Jalan Lau Cimba milik Ibu Hotmin belum bergabung ke Dinas UMKM Kota Pematangsiantar, jadi belum pernah diberi bantuan atau pelatihan oleh Dinas UMKM.

2. Ibu Devi Br. Purba (Pr, 46 tahun)

Ibu Devi adalah seorang pemilik usaha toko penjualan aneka produk keperluan adat Batak, seperti ulos, sortali, dan sebagainya. Ia membeli ulos yang akan dijual di tokonya dari Ibu Hotmin Silalahi. Ibu Devi membuka toko ulosnya di Pasar Parluasan, Pematangsiantar sudah 10 tahun, dengan nama tokonya “Devi Ulos”. Beragam jenis ulos Batak Toba dan Simalungun dijual di tokonya. Ibu Devi telah lama menjadi pelanggan ulos Ibu Hotmin Silalahi selama 6 tahun, berapapun jumlah ulos yang diantar Ibu Hotmin selalu diambil dan ditampungnya, dalam seminggu Ibu Devi dapat membeli ulos Rp 10.000.000,- sampai Rp 20.000.000,- dari Ibu Hotmin Silalahi.

Ibu Devi mengaku memilih menjual ulos yang dibuat dengan ATBM karena lebih banyak diminati konsumen-konsumen yang sudah mengerti akan kualitas ulos, karena ulos dengan ATBM hasilnya lebih cantik, rapi, kelihatan elegan atau mewah, serta nampak hasil budayanya. Alasan Ibu Devi menjadikan ibu hotmin sebagai langganan pembuat ulosnya karena Ibu Hotmin mampu membuat motif ulos baru, yang di toko lain tidak ada motif seperti yang dibuat Ibu Hotmin, oleh sebab itu mereka bekerjasama, yaitu ulos yang dibuat untuk dijual hanya diberikan kepada Ibu Devi saja, sehingga berapapun banyaknya ulos yang dibuat ditampung oleh toko Ibu Devi. Harga

ulos yang dijual beragam, mulai dari harga belasan ribu rupiah sampai jutaan rupiah, yaitu mulai yang paling rendah Rp 17.000,-, sampai yang paling mahal dengan harga Rp 2.500.000,-.

3. Ibu Reza Saragih (Pr, 40 tahun)

Ibu Reza Saragih adalah seorang pembeli ulos di kilang Ibu Hotmin Silalahi. Ibu ini beralamat di Jalan Simpang Pembaharuan, Rambung Merah, dan bekerja sebagai seorang petani sayur. Ibu Reza berpendidikan terakhir SMA dan telah memiliki 6 orang anak. Pada tahun 2006 Ibu Reza pernah bekerja sebagai pengrajin tenun di kilang tenun saudaranya yaitu Ibu Sarmauli Jawak. Sehingga ia memang sudah paham dan mengerti akan kualitas kain tenun ATBM. Namun karena suatu hal Ibu Reza berhenti bekerja dan menjadi seorang petani sayur.

Sebagai seorang pembeli ulos ATBM, ibu ini mengaku bahwa kualitas ulos dengan ATBM sangat bagus dan kelihatan mewah walaupun harganya mahal. Setiap ada acara pesta adat batak seperti pernikahan, kematian dan lainnya yang membutuhkan ulos, ibu ini selalu membeli ulos yang dibuat dengan ATBM. Jenis ulos yang sering dibeli adalah Ulos Simalungun, karena Ibu Reza ini bersuku Batak Simalungun. Jumlah ulos yang dibeli setiap pembelian dalam jumlah yang sedikit, hanya sepasang yang terdiri dari bakal sarung dan selendang dengan benang kualitas kedua seharga Rp 350.000,-. Dalam membeli ulos ibu ini datang langsung ke kilang Ibu Hotmin yang terletak di Jalan Lau Cimba, Pematangsiantar. Ibu Reza mengaku sering membeli ulos ATBM langsung ke kilang Bapak Sijabat, namun semenjak usahanya telah tutup, Ibu Reza sering membeli ulos di kilang Ibu Hotmin Silalahi.

4. Ibu Johannes (Pr, 45 tahun)

Ibu Johannes adalah seorang petani yang beralamat di Huta Urung, Karang Bangun, Rambung Merah. Ibu Johannes adalah pembeli ulos milik Ibu Hotmin Silalahi, dalam waktu 6 bulan yang lalu Ibu Johannes membeli ulos milik Ibu Hotmin 6 pasang dengan harga Rp 3.000.000,-, yaitu sarung dan selendang dengan benang berkualitas nomor 1, harga sepasang bakal jas dan sarung ini adalah Rp 500.000,-. Awal ibu ini tertarik dengan bakal sarung dan selendang milik Ibu Hotmin adalah karena ia pernah berkunjung ke rumah karyawan Ibu Hotmin yaitu Ibu Serliana.

Pada saat ia berkunjung, Ibu Serliana sedang bekerja membuat ulos tersebut, dan Ibu Johannes pun merasa tertarik karena kainnya lembut seperti sutera, tidak luntur, rapi, motifnya cantik, kualitas ulosnya paling bagus. Ibu Johannes pun langsung memesan 6 pasang ulos melalui Ibu Serliana, lalu Ibu Serliana memberitahu kepada Ibu Hotmin. Ibu Johannes memesan melalui karyawannya karena jarak rumah mereka lebih dekat dibanding harus ke kilang Ibu Hotmin. Melalui Ibu Serliana ini mereka melakukan negosiasi harga dengan Ibu Hotmin, awalnya harga sepasang adalah Rp 650.000,-, namun setelah ditawar oleh Ibu Johannes harganya jadi Rp 500.000,-. Ibu Johannes merasa senang membeli ulos dengan Ibu Hotmin, karena ramah, baik dan mau melakukan negosiasi harga.

5. Charlos Alfredo Saragih (Lk, 21 tahun)

Charlos Saragih adalah seorang mahasiswa Universitas Advent Pematangsiantar yang saat ini di tingkat 2, ia beralamat di Jalan Haji Ulakma Sinaga, Rambung Merah. Ia

memiliki kakak yang tinggal di Tanjung Balai Karimun, setiap kakaknya ingin membeli ulos, ia menyuruh Charlos untuk membelinya. Charlos membeli ulos di toko ulos milik Ibu Devi yang terdapat di Pasar Parluasan. Ia mengaku ulos yang dijual di toko ulos Ibu Devi sangat bagus dengan motif yang jarang ada di toko ulos lainnya, dan harga yang ditawarkan juga tidak terlalu mahal serta bisa dinegosiasikan.

Dalam setiap pembelian ia hanya membeli ulos dengan jumlah yang sedikit, karena untuk kebutuhan pribadi atau pemakaian sendiri dan tidak dijual lagi. Charlos mengaku sering mendapat pesanan ulos dari kakaknya berupa bakal sarung dan selendang. Pada saaat peneliti bertemu Charlos di Toko Devi Ulos, ia sedang membeli ulos berupa bakal sarung dan selendang yang berkualitas nomor 2 dengan harga Rp 400.000,-. Ulos yang dibelinya di kirim melalui TIKI yang terdapat di Kota Pematangsiantar. Ia mengaku setiap ulos yang dikirim telah sampai, kakaknya merasa senang memakainya, karena motif ulosnya jarang dipakai orang.

6. Ibu Elfrida (Pr, 31 tahun)

Ibu Elfrida adalah seorang ibu rumah tangga yang telah memiliki 2 orang anak yang beralamat di Jalan Melati, Rambung Merah. Suami Ibu Elfrida bekerja sebagai pemborong kerja bangunan. Untuk membeli ulos Ibu Elfrida lebih memilih membeli dengan Ibu Hotmin. Sebelum menikah Ibu Elfrida sempat bekerja sebagai penenun di kilang Bapak Indah yang terdapat di Jalan Pasar Batu, Rambung Merah. Menurut ibu ini ulos yang dibuat dengan ATBM kualitasnya bagus, karena membuat satu buah ulos juga dibutuhkan waktu sekitar 3 jam, selama 3 jam itu penenun yang membuat ulos harus benar-benar memperhatikan ulosnya agar tidak ada benang yang menggulung, tidak ada

garis di ulos yang telah siap, jadi ulos Dengan ATBM sangat rapi dan tidak luntur. Oleh sebab pengalaman Ibu Elfrida yang pernah bekerja sebagai penenun ulos, maka ia lebih memilih membeli ulos ATBM. Alasan Ibu Elfrida membeli ulos dengan Ibu Hotmin, karena selain rapi, motif ulosnya selalu ada yang terbaru, tidak monoton pada motif

Dokumen terkait