• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. PENUTUP

5.2 Saran

Dari hasil penelitian yang telah didapat, maka peneliti memberikan saran kepada:

1. Pengusaha harus terus melakukan strategi adaptasi terkait diversifikasi produk, serta kualitas produk harus terus ditingkatkan agar tetap menarik konsumen setia kain tenun ATBM. Strategi pemasaran juga terus harus diperluas agar mampu menjangkau konsumen setia kain tenun ATBM yang terdapat di luar Pulau Sumatera. Pengusaha juga harus terus mau menerima karyawan baru dan mengajari mereka agar mengerti cara bertenun.

2. Karyawan harus bekerja dengan baik dan mengembangkan kemampuan dalam pembuatan kain tenun, agar usaha tenun milik Ibu Hotmin menjadi usaha yang besar nantinya. Karena ini juga akan memberi dampak positif bagi karyawan, yaitu dapat menjadi kerja seumur hidup dan gaji yang diterima juga lebih besar, serta mendapat bonus gaji dari pengusaha.

3. Konsumen tenun ATBM lebih setia membeli produk ATBM, meningkatkan pembelian kain tenun ATBM, dan siap memberi masukan kepada pengusaha

terkait kain tenun yang motifnya kurang bagus, agar pengusaha bisa memperbaiki dan kain tenun ATBM tetap dapat mengikuti perkembangan teknologi, sehingga tetap diminati konsumen.

4. Pemerintah harus terus mengawasi dan memberi bantuan kepada pengusaha pertenunan UMKM, selalu mengutamakan pengusaha yang maju secara cepat agar dapat memberi contoh untuk pengusaha UMKM pertenunan yang belum maju lainnya. Bagi pengusaha yang memiliki potensi besar dan mampu menciptakan inovasi di bidang pertenunan hendaknya harus terus dibimbing Dinas UMKM dan diberi bantuan alat yang menunjang kemajuan pertenunan, hal ini perlu dilakukan agar tenun ATBM juga dapat terus bertahan di tengah kemajuan teknologi dan hadirnya ATM yang lebih canggih.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Strategi Adaptasi

Strategi adaptasi menurut Suharto (2009: 29) sebagai coping strategies. Secara umum strategi bertahan hidup (coping strategies) dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Strategi adaptasi merupakan sebuah upaya atau tindakan terencana yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk dapat menanggulangi masalah yang dihadapi dengan keadaan lingkungan fisik sekitar dengan tujuan memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan yang diharapkan.

Soerjono Soekanto dalam (Tangkudung, 2014: 2), mengemukakan tentang adaptasi dalam beberapa batasan adaptasi sosial, yaitu:

1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.

2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 3. Proses perubahan-perubahan menyesuaikan dengan situasi yang berubah. 4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.

5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem.

6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah.

Strategi penanganan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola segenap aset yang dimilikinya. Kerangka berbagai

pengelolaan aset yang dapat digunakan untuk melakukan penyesuaian atau pengembangan strategi dalam mempertahankan kelangsungan hidup dalam (Manik, 2011: 15-16) berupa:

a. Aset tenaga kerja: misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak dalam bekerja untuk membantu ekonomi rumah tangga.

b. Aset modal manusia: misalnya memanfaatkan status kesehatan yang dapat menentukan kapasitas seseorang dalam bekerja atau keterampilan dan pendidikan yang menentukan umpan balik atau hasil kerja terhadap tenaga yang dikeluarkannya.

c. Aset produktif: misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman untuk keperluan lainnya.

d. Aset relasi rumah tangga atau keluarga: misalnya memanfaatkan jaringan dan dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis, dan migarasi tenaga kerja. e. Aset modal sosial: misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga sosial lokal, arisan

dan pemberi kredit dalam proses dan sistem perekonomian keluarga.

Selanjutnya Suharto (2009: 31) menyatakan strategi bertahan hidup (coping

strategies) dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan dengan

berbagai cara. Cara-cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu:

1. Strategi aktif: yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk misalnya melakukan aktivitasnya sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitarnya dan sebagainya.

2. Strategi pasif: yaitu mengurangi pengeluaran keluarga misalnya, biaya untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya.

3. Strategi jaringan: menjalin relasi, baik formal maupun informal dengan lingkungan sosialnya, dan lingkungan kelembagaan, misalnya meminjam uang dengan tetangga, mengutang di warung, memanfaatkan program kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank, dan sebagainya.

Adaptasi sendiri memiliki beberapa macam bentuk yaitu adaptasi morfologi, adaptasi fisiologi, dan adaptasi kultural. Adaptasi morfologi adalah penyesuaian bentuk tubuh makhluk hidup atau alat-alat tubuh makhluk hidup terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Adaptasi fisiologi adalah penyesuaian fungsi alat tubuh suatu makhluk hidup terhadap keadaan lingkungannya. Adaptasi ini tidak dapat dilihat langsung oleh mata. Karena pada adaptasi fisiologi menyangkut tentang fungsi organ-organ bagian dalam tubuh makhluk hidup dengan lingkungannya. Adaptasi kultural atau tingkah laku adalah cara makhluk hidup beradaptasi dengan lingkungannya dalam bentuk tingkah laku berhubungan dengan tindakan makhluk hidup untuk beradaptasi atau melindungi diri. Pada penelitian ini digunakan konsep dari adaptasi kultural. Adaptasi kultural yaitu adaptasi dalam bentuk kelakuan yang dilakukan individu terkait pranata sosial-budaya di sekitarnya, misalnya penggunaan pompa air pada sebuah masyarakat yang sering terkena musibah banjir untuk nantinya digunakan untuk menyedot air banjir tersebut. Konsep adaptasi berpangkal pada suatu keadaan lingkungan.

Strategi adaptasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berbagai tindakan ataupun pemikiran yang dilakukan pengusaha untuk mempertahankan usaha kerajinan tenun ATBM di tengah kemajuan teknologi saat ini. Teknologi yang telah membawa

perubahan besar pada industri kerajinan tenun, menyebabkan pengusaha-pengusaha kerajinan tenun yang ingin tetap maju dan bertahan harus mengembangkan usahanya semaksimal mungkin. Perubahan yang terjadi pada industri tenun tersebut misalnya perubahan alat tenunnya, yang berawal dari alat tenun gedogan, ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin), dan terakhir ATM (Alat Tenun Mesin). Perubahan alat tenun ini juga berdampak pada perbedaan harga hasil kain tenun dari tiap-tiap alat tenun yang digunakan, dan mempengaruhi keadaan pasar serta selera konsumen. Oleh sebab itu dibutuhkan cara untuk tetap bertahan dalam industri tenun tradisional ATBM agar tetap mendapat tempat bagi konsumennya.

2.2 Teori Modal Sosial

Seorang ilmuwan politik Robert Putnam dalam (Damsar, Indrayani, 2009: 210) mengartikan kapital sosial sebagai jaringan-jaringan, nilai-nilai, dan kepercayaan yang timbul di antara para anggota perkumpulan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk manfaat bersama. Secara umum kapital sosial adalah investasi sosial yang meliputi sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma serta kekuatan menggerakkan dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan individu atau kelompok secara efisisen dan efektif. Modal sosial dapat timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Pengukuran modal sosial dapat dilihat dari interaksi baik indiviual maupun instutisional, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat. Secara individual interaksi terjadi jika relasi intim antara individu terbentuk satu sama lain kemudian melahirkan ikatan emosional. Sedangkan secara instutisional yaitu lahir pada visi dan misi atau tujuan satu organisasi memiliki kesamaan dengan visi dan tujuan organisasi lainnya.

Menurut Hasbullah (2006: 10) inti telaah modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interaksi yang timbal balik dan saling menguntungkan, dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. “Menurut Lawang dalam (Damsar, Indrayani, 2009: 208). kapital berarti modal, baik dalam bentuk uang maupun bentuk fisik (barang-barang) yang memungkinkan suatu investasi dapat berjalan. Kapital juga dapat diartikan sebagai bentuk tenaga fisik dan keterampilan yang dimiliki seseorang. Kapital juga dapat diartikan sebagai investasi, berarti berhubungan dengan proses yang sangat panjang, tidak bisa langsung digunakan”.

Terdapat beberapa sumber daya atau elemen penting dalam sebuah modal sosial, yaitu:

1. Jaringan Sosial

Modal sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun jaringan sosialnya. “Jaringan adalah ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial) yang diikat dengan kepercayaan. Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak. Jaringan adalah hubungan antar individu yang memiliki makna subjektif yang berhubungan atau dikaitkan sebagai sesuatu sebagai simpul dan ikatan” (Damsar, Indrayani, 2009: 214). “Ciri khas dari jaringan sosial adalah pemusatan perhatian pada struktur mikro hingga makro. Artinya, bagi teori ini aktor mungkin saja individu,

kelompok, perusahaan dan masyarakat. Hubungan dapat terjadi di tingkat struktur sosial skala luas maupun tingkat yang lebih mikroskopik” (Ritzer, Douglas, 2004: 383).

Pada jaringan sosial terdapat tiga tingkatan, yaitu:

a. Jaringan mikro: yaitu suatu jaringan yang terjadi karena adanya hubungan sosial yang terus-menerus antar individu atau antar pribadi. Jaringan ini selalu ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

b. Jaringan meso: yaitu suatu ikatan yang di bangun dari hubungan para aktor, dengan atau di dalam kelompok. Jaringan ini ditemui dalam berbagai kelompok sosial.

c. Jaringan makro: yaitu suatu ikatan yang terbentuk karena terjalinnya simpul-simpul dari beberapa kelompok. Kelompok dapat berbentuk organisasi, institusi, dan negara.

Prinsip yang terdapat pada teori jaringan menurut Wellman dalam (Ritzer, 2014: 359) adalah: Ikatan antara aktor adalah simetris, ikatan antara individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih luas. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non-acak. Kemudian adanya kelompok jaringan menyebabkan terciptanya hubungan silang antara kelompok jaringan maupun individu. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem jaringan dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara tidak merata, serta distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan kerjasama maupun kompetisi.

Berkaitan dengan jaringan sosial, dalam penelitian ini peneliti ingin melihat jaringan-jaringan antar siapa saja yang terdapat dan terbentuk dari seorang pengusaha kerajinan tenun dengan alat ATBM agar dapat mempertahankan dan mengembangkan usaha kerajinan tenun di tengah kemajuan teknologi. Dalam hal ini jaringan yang ingin dilihat adalah hubungan pengusaha tenun dengan pekerja atau pengrajin tenun itu sendiri, dengan pasar atau konsumen kain tenun ATBM, dengan pemerintah setempat, ataupun dengan pihak-pihak lain yang berperan dalam melestarikan kerajinan tenun ATBM tersebut.

2. Kepercayaan (Trust)

Menurut Giddens dalam (Damsar, Indrayani, 2009: 185) kepercayaan adalah keyakinan akan reliabilitas seseorang atau sistem, terkait dengan berbagai hasil dan peristiwa, dimana keyakinan itu mengekspresikan suatu iman (faith) terhadap integritas cinta kasih orang lain atau ketepatan prinsip abstrak (pengetahuan teknis). Kepercayaan biasanya berfungsi untuk mereduksi atau meminimalisasi bahaya yang berasal dari aktivitas tertentu. Kepercayaan biasanya terikat bukan kepada resiko, namun kepada berbagai kemungkinan. Dalam kasus kepercayaan terhadap agen manusia, dugaan akan keyakinan melibatkan kebaikan (penghargaan) atau cinta kasih. Itulah mengapa kepercayaan kepada seseorang secara psikologis mengandung konsekuensi bagi individu yang percaya. “Kepercayaan adalah suatu mekanisme yang mereduksi kompleksitas sosial. Kepercayaan memperbesar kemampuan manusia untuk bekerjasama bukan didasarkan atas kalkulasi rasional kognitif, tetapi melalui pertimbangan dari suatu ukuran penyangga antara keinginan yang sangat dibutuhkan dan harapan secara parsial akan mengecewakan. Kerjasama tidak mungkin terjalin kalau tidak didasarkan atas

adanya saling percaya di antara sesama pihak yang terlibat dan kepercayaan dapat meningkatkan toleransi terhadap ketidakpastian” (Damsar, Indrayani, 2009: 202).

Bentuk kepercayaan dapat dilihat dari bentuk kemunculan kepercayaan itu, yaitu terdiri atas:

a) Kepercayaan askriptif: yaitu muncul dari hubungan yang diperoleh berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada pribadi, seperti latar belakang kekerabatan, etnis, dan keturunan yang dimiliki.

b) Kepercayaan prosesual: yaitu muncul melalui proses interaksi sosial yang dibangun oleh para aktor yng terlibat.

Hubungan atau kerjasama yang terjalin antara pengusaha tenun dengan pihak-pihak yang ikut serta mengembangkan usahanya adalah didasari atas rasa percaya terhadap satu sama lain. Orang-orang yang terlibat dalam pengembangan usaha tenun ini telah diikat oleh rasa saling percaya, baik itu karena kesamaan latar belakang seperti etnis, pertalian darah atau kekerabatan maupun karena pengalaman melalui hubungan sosial yang telah dibangun selama ini. Pihak-pihak yang terlibat telah berkomitmen untuk saling percaya satu sama lain demi kepentingan bersama yaitu memajukan usaha mereka.

3. Nilai dan Norma

Nilai dan norma adalah hal dasar yang terdapat pada proses interaksi sosial. Nilai dan norma mengacu pada bagaimana seharusnya individu bertindak dalam masyarakat. Nilai merupakan kumpulan sikap, perasaan, anggapan terhadap sesuatu hal tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut, maupun penting atau tidak penting. Menurut

Horton dan Hunt dalam (Setiadi, Usman, 2011: 119) nilai adalah gagasan tentang apakah pengalaman itu berarti atau tidak. Nilai merupakan bagian penting dari kebudayaan, suatu tindakan dianggap sah apabila harmonis dan selaras dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat dimana tindakan tersebut dilakukan. Berdasarkan ciri-cirinya, nilai dapat dibagi menjadi:

a. Nilai dominan: yaitu nilai yang dianggap penting dari nilai lainnya, penentuan nilai dominan dengan kriteria sebagai berikut: banyak orang yang menganut nilai tersebut, sudah berapa lama nilai tersebut telah dianut oleh anggota masyarakat, tinggi rendahnya usaha orang untuk dapat melaksanakan nilai tersebut, dan prestise atau kebanggaan bagi orang yang melaksanakan nilai tersebut.

b. Nilai mendarah daging (internalized value): adalah nilai yang menjadi kepribadian dan kebiasaan sehingga ketika seseorang melakukannya kadang tidak melalui proses berpikir atau pertimbangan lagi. Biasanya nilai ini tersosialisasi sejak seseorang masih kecil.

Bagi manusia, nilai berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam segala tingkah laku dan perbuatannya. Menurut Notonegoro dalam (Setiadi, Usman, 2011: 124) nilai sosial terbagi atas 3, yaitu:

1. Nilai material: segala sesuatu yang berguna bagi fisik atau jasmani seseorang. 2. Nilai vital: segala sesuatu yang mendukung aktivitas seseorang.

“Norma adalah aturan-aturan dalam kehidupan sosial secara kolektif atau bersama yang mengandung berbagai sanksi, baik sanksi secara moral maupun sanksi fisik, bagi orang atau sekelompok orang yang melakukan pelanggaran atas nilai-nilai sosial. Norma ditujukan untuk menekan anggota masyarakat agar segala perbuatan yang dilakukannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang telah disepakati bersama” (Setiadi, Usman, 2011: 131). Norma tersebut diakui, dihargai, dikenal dan ditaati oleh warga masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Norma disebut juga dengan peraturan sosial yang sifatnya memaksa sehingga seluruh anggota masyarakat harus tunduk.

Ciri-ciri norma sosial adalah:

1. Tidak tertulis: norma hanya diingat dan diserap serta dipraktekkan dalam interaksi masyarakat.

2. Hasil kesepakatan bersama: norma dibentuk dan disepakati bersama seluruh warga masyarakat.

3. Ditaati bersama: untuk mengarahkan dan menertibkan perilaku anggota masyarakat dari keinginan bersama.

4. Ada sanksi: bagi yang melanggar norma akan dikenakan sanksi yang tegas, oleh sebab itu norma bersifat memaksa.

2.3 Industri Skala Kecil (ISK)

Pembangunan ekonomi di suatu negara dalam periode jangka panjang akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi negara tersebut, yaitu dari ekonomi tradisional pada sektor pertanian ke ekonomi modern yang didominasi oleh

sektor industri yang dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Menurut Tambunan (1999), industri adalah proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan antar negara yang akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat dan mendorong perubahan struktur ekonomi. Sektor industri di Indonesia didominasi oleh industri kecil dan rumah tangga, baik dalam jumlah unit maupun pangsa kesempatan kerja.

Tujuan penting sebuah industri adalah:

1. Menciptakan atau meningkatkan nilai tambah ekonomi, yaitu nilai tambah dari semua sektor ekonomi termasuk industri, pertanian, dan pertambangan. 2. Meningkatkan efisiensi ekonomi.

3. Mengurangi ketergantungan pada impor.

Menurut Bank Indonesia industri skala kecil adalah industri yang asset (tidak termasuk tanah dan bangunan) bernilai kurang dari Rp 600.000.000,-, produk yang dihasilkan ISK adalah barang-barang untuk keperluan konsumsi dan industri seperti barang-barang modal dan penolong. Industri skala kecil (ISK) menurut Biro Pusat Statistik tahun 2003 adalah usaha rumah tangga yang melakukan kegiatan mengolah barang dasar menjadi barang belum jadi atau setengah jadi, barang setengah jadi menjadi barang jadi, atau yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual, dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang, dan paling banyak 19 orang termasuk pengusaha. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah, industri kecil adalah kegiatan

ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,- sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Kategori industri kecil menurut Departemen Perindustrian adalah:

1. Industri Kecil Modern

Meliputi industri yang menggunakan teknologi proses madya, mempunyai skala produksi yang terbatas, tergantung pada dukungan industri besar dan menengah dengan sistem pemasaran domestik dan ekspor, menggunakan mesin khusus dan alat-alat perlengkapan modal lainnya. Dengan kata lain, mempunyai akses untuk menjangkau sistem pemasaran yang relatif telah berkembang baik di pasar domestik atau ekspor.

2. Industri Kecil Tradisional

Umumnya mempunyai ciri-ciri menggunakan teknologi sederhana, mesin dan alat perlengkapan modal yang sederhana, lokasi didaerah pedesaan, dan akses menjangkau pasar terbatas.

3. Industri Kerajinan Kecil

Industri ini beragam, mulai dari industri kecil dengan teknologi sederhana sampai teknologi proses madya atau proses teknologi yang tinggi.

Kekuatan industri skala kecil (ISK) dalam (Tambunan, 1999: 118-119) adalah sebagai berikut:

1. Sangat padat karya, dan persediaan tenaga kerja di Indonesia masih sangat banyak, upah nominal tenaga kerja khususnya kelompok berpendidikan rendah masih relatif murah.

2. Lebih banyak membuat produk sederhana yang tidak terlalu membutuhkan pendidikan formal yang tinggi, melainkan keahlian khusus yang dimiliki lewat sumber informal.

3. Banyak industri skala kecil yang membuat produk bernuansa kultur seperti kerajinan dari bambu, atau ukir-ukiran dari kayu, yang dasarnya merupakan keahlian tersendiri dari masyarakat masing-masing daerah.

4. Pengusaha kecil lebih banyak menggantungkan diri pada uang sendiri atau pinjaman dari sumber informal untuk modal kerja dan investasi mereka.

ISK dapat tetap bertahan dan bersaing dengan industri skala menengah dan besar karena meskipun barang yang di produksi sama dengan industri lainnya, tetapi terdapat perbedaan baik secara alami maupun rekayasa. Perbedaan tersebut dalam hal warna, bentuk, rasa, packing, harga, atau pelayanan. Dengan kata lain meskipun barang sama, tetapi ISK memiliki segmentasi pasar tersendiri yang melayani kelompok pembeli tertentu. Dalam hal pertahanan di tengah kemajuan teknologi, ISK lebih fleksibel menyesuaikan diri terhadap perubahan teknologi dan pasar, karena hanya membutuhkan biaya yang tidak terlalu besar sehingga memiliki harapan bertahan atau survive lebih besar (Tambunan, 1999: 9-11). Industri kerajinan tenun ulos di Jalan Lau Cimba,

Kelurahan Siopat Suhu ini termasuk ke dalam industri skala kecil, karena jumlah pekerjanya tidak lebih dari 19 orang dan modalnya tidak lebih dari Rp 500.000.000,-.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Manusia memiliki berbagai macam kebutuhan yang terdiri dari kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Kebutuhan pangan berupa makanan, sandang berupa pakaian, dan kebutuhan papan berupa tempat tinggal. Kain sebagai kebutuhan sandang manusia mengalami perkembangan, yaitu awalnya kain digunakan manusia sebagai alat pembawa makanan, alat pelindung, dan kemudian berkembang menjadi bahan pakaian. “Sesuai perkembangan zaman, fungsi kain berubah untuk melindungi badan dari kemungkinan adanya pengaruh luar yang membahayakan badan dan melindungi badan dari serangga atau hewan-hewan tertentu. Rumput, bambu, kupasan kulit dan otot-otot hewan, dianyam atau dibuat ikatan-ikatan yang saling bersambung satu dengan yang lain. Cara menghasilkan bahan-bahan tersebut sangat sederhana yaitu dengan menggunakan alat-alat dari batu atau kayu. Kulit dari kayu daun waru dan sejenisnya dipukul-pukul hingga mengelupas dan diperoleh benda tipis dan cukup lunak. Bahan-bahan yang diambil dari kulit hewan misalnya harimau, beruang, anjing hutan dan sebagainya, dijemur atau dikeringkan untuk bahan pakaian” (Enie, 1980: 5).

Dengan timbulnya persoalan penyediaan kebutuhan manusia dan saat kebutuhan sandang mulai berkembang, manusia mulai berpikir bagaimana menghasilkan bahan pakaian dengan bentuk yang memenuhi syarat dan jumlahnya cukup, serta dapat dipakai dalam waktu yang lama. “Maka timbullah juga pemikiran manusia untuk membuat pakaian dengan cara menenun dan membuat alat tenun tersebut, sehingga terciptalah alat

tenun yang bahan dan bentuk alatnya masih sangat sederhana yaitu dibuat dari kayu dan bambu dengan tali-tali penghubung. Dengan alat-alat ini dapat dibuat kain dengan aneka warna, mutu, maupun coraknya yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk upacara adat, keagamaan, kerajaan, dan lain-lain. Di Indonesia alat tenun pertama kali ini disebut alat

Dokumen terkait