• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

2.2 Teori Modal Sosial

Seorang ilmuwan politik Robert Putnam dalam (Damsar, Indrayani, 2009: 210) mengartikan kapital sosial sebagai jaringan-jaringan, nilai-nilai, dan kepercayaan yang timbul di antara para anggota perkumpulan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk manfaat bersama. Secara umum kapital sosial adalah investasi sosial yang meliputi sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma serta kekuatan menggerakkan dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan individu atau kelompok secara efisisen dan efektif. Modal sosial dapat timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Pengukuran modal sosial dapat dilihat dari interaksi baik indiviual maupun instutisional, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat. Secara individual interaksi terjadi jika relasi intim antara individu terbentuk satu sama lain kemudian melahirkan ikatan emosional. Sedangkan secara instutisional yaitu lahir pada visi dan misi atau tujuan satu organisasi memiliki kesamaan dengan visi dan tujuan organisasi lainnya.

Menurut Hasbullah (2006: 10) inti telaah modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interaksi yang timbal balik dan saling menguntungkan, dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. “Menurut Lawang dalam (Damsar, Indrayani, 2009: 208). kapital berarti modal, baik dalam bentuk uang maupun bentuk fisik (barang-barang) yang memungkinkan suatu investasi dapat berjalan. Kapital juga dapat diartikan sebagai bentuk tenaga fisik dan keterampilan yang dimiliki seseorang. Kapital juga dapat diartikan sebagai investasi, berarti berhubungan dengan proses yang sangat panjang, tidak bisa langsung digunakan”.

Terdapat beberapa sumber daya atau elemen penting dalam sebuah modal sosial, yaitu:

1. Jaringan Sosial

Modal sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun jaringan sosialnya. “Jaringan adalah ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial) yang diikat dengan kepercayaan. Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak. Jaringan adalah hubungan antar individu yang memiliki makna subjektif yang berhubungan atau dikaitkan sebagai sesuatu sebagai simpul dan ikatan” (Damsar, Indrayani, 2009: 214). “Ciri khas dari jaringan sosial adalah pemusatan perhatian pada struktur mikro hingga makro. Artinya, bagi teori ini aktor mungkin saja individu,

kelompok, perusahaan dan masyarakat. Hubungan dapat terjadi di tingkat struktur sosial skala luas maupun tingkat yang lebih mikroskopik” (Ritzer, Douglas, 2004: 383).

Pada jaringan sosial terdapat tiga tingkatan, yaitu:

a. Jaringan mikro: yaitu suatu jaringan yang terjadi karena adanya hubungan sosial yang terus-menerus antar individu atau antar pribadi. Jaringan ini selalu ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

b. Jaringan meso: yaitu suatu ikatan yang di bangun dari hubungan para aktor, dengan atau di dalam kelompok. Jaringan ini ditemui dalam berbagai kelompok sosial.

c. Jaringan makro: yaitu suatu ikatan yang terbentuk karena terjalinnya simpul-simpul dari beberapa kelompok. Kelompok dapat berbentuk organisasi, institusi, dan negara.

Prinsip yang terdapat pada teori jaringan menurut Wellman dalam (Ritzer, 2014: 359) adalah: Ikatan antara aktor adalah simetris, ikatan antara individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih luas. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non-acak. Kemudian adanya kelompok jaringan menyebabkan terciptanya hubungan silang antara kelompok jaringan maupun individu. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem jaringan dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara tidak merata, serta distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan kerjasama maupun kompetisi.

Berkaitan dengan jaringan sosial, dalam penelitian ini peneliti ingin melihat jaringan-jaringan antar siapa saja yang terdapat dan terbentuk dari seorang pengusaha kerajinan tenun dengan alat ATBM agar dapat mempertahankan dan mengembangkan usaha kerajinan tenun di tengah kemajuan teknologi. Dalam hal ini jaringan yang ingin dilihat adalah hubungan pengusaha tenun dengan pekerja atau pengrajin tenun itu sendiri, dengan pasar atau konsumen kain tenun ATBM, dengan pemerintah setempat, ataupun dengan pihak-pihak lain yang berperan dalam melestarikan kerajinan tenun ATBM tersebut.

2. Kepercayaan (Trust)

Menurut Giddens dalam (Damsar, Indrayani, 2009: 185) kepercayaan adalah keyakinan akan reliabilitas seseorang atau sistem, terkait dengan berbagai hasil dan peristiwa, dimana keyakinan itu mengekspresikan suatu iman (faith) terhadap integritas cinta kasih orang lain atau ketepatan prinsip abstrak (pengetahuan teknis). Kepercayaan biasanya berfungsi untuk mereduksi atau meminimalisasi bahaya yang berasal dari aktivitas tertentu. Kepercayaan biasanya terikat bukan kepada resiko, namun kepada berbagai kemungkinan. Dalam kasus kepercayaan terhadap agen manusia, dugaan akan keyakinan melibatkan kebaikan (penghargaan) atau cinta kasih. Itulah mengapa kepercayaan kepada seseorang secara psikologis mengandung konsekuensi bagi individu yang percaya. “Kepercayaan adalah suatu mekanisme yang mereduksi kompleksitas sosial. Kepercayaan memperbesar kemampuan manusia untuk bekerjasama bukan didasarkan atas kalkulasi rasional kognitif, tetapi melalui pertimbangan dari suatu ukuran penyangga antara keinginan yang sangat dibutuhkan dan harapan secara parsial akan mengecewakan. Kerjasama tidak mungkin terjalin kalau tidak didasarkan atas

adanya saling percaya di antara sesama pihak yang terlibat dan kepercayaan dapat meningkatkan toleransi terhadap ketidakpastian” (Damsar, Indrayani, 2009: 202).

Bentuk kepercayaan dapat dilihat dari bentuk kemunculan kepercayaan itu, yaitu terdiri atas:

a) Kepercayaan askriptif: yaitu muncul dari hubungan yang diperoleh berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada pribadi, seperti latar belakang kekerabatan, etnis, dan keturunan yang dimiliki.

b) Kepercayaan prosesual: yaitu muncul melalui proses interaksi sosial yang dibangun oleh para aktor yng terlibat.

Hubungan atau kerjasama yang terjalin antara pengusaha tenun dengan pihak-pihak yang ikut serta mengembangkan usahanya adalah didasari atas rasa percaya terhadap satu sama lain. Orang-orang yang terlibat dalam pengembangan usaha tenun ini telah diikat oleh rasa saling percaya, baik itu karena kesamaan latar belakang seperti etnis, pertalian darah atau kekerabatan maupun karena pengalaman melalui hubungan sosial yang telah dibangun selama ini. Pihak-pihak yang terlibat telah berkomitmen untuk saling percaya satu sama lain demi kepentingan bersama yaitu memajukan usaha mereka.

3. Nilai dan Norma

Nilai dan norma adalah hal dasar yang terdapat pada proses interaksi sosial. Nilai dan norma mengacu pada bagaimana seharusnya individu bertindak dalam masyarakat. Nilai merupakan kumpulan sikap, perasaan, anggapan terhadap sesuatu hal tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut, maupun penting atau tidak penting. Menurut

Horton dan Hunt dalam (Setiadi, Usman, 2011: 119) nilai adalah gagasan tentang apakah pengalaman itu berarti atau tidak. Nilai merupakan bagian penting dari kebudayaan, suatu tindakan dianggap sah apabila harmonis dan selaras dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat dimana tindakan tersebut dilakukan. Berdasarkan ciri-cirinya, nilai dapat dibagi menjadi:

a. Nilai dominan: yaitu nilai yang dianggap penting dari nilai lainnya, penentuan nilai dominan dengan kriteria sebagai berikut: banyak orang yang menganut nilai tersebut, sudah berapa lama nilai tersebut telah dianut oleh anggota masyarakat, tinggi rendahnya usaha orang untuk dapat melaksanakan nilai tersebut, dan prestise atau kebanggaan bagi orang yang melaksanakan nilai tersebut.

b. Nilai mendarah daging (internalized value): adalah nilai yang menjadi kepribadian dan kebiasaan sehingga ketika seseorang melakukannya kadang tidak melalui proses berpikir atau pertimbangan lagi. Biasanya nilai ini tersosialisasi sejak seseorang masih kecil.

Bagi manusia, nilai berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam segala tingkah laku dan perbuatannya. Menurut Notonegoro dalam (Setiadi, Usman, 2011: 124) nilai sosial terbagi atas 3, yaitu:

1. Nilai material: segala sesuatu yang berguna bagi fisik atau jasmani seseorang. 2. Nilai vital: segala sesuatu yang mendukung aktivitas seseorang.

“Norma adalah aturan-aturan dalam kehidupan sosial secara kolektif atau bersama yang mengandung berbagai sanksi, baik sanksi secara moral maupun sanksi fisik, bagi orang atau sekelompok orang yang melakukan pelanggaran atas nilai-nilai sosial. Norma ditujukan untuk menekan anggota masyarakat agar segala perbuatan yang dilakukannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang telah disepakati bersama” (Setiadi, Usman, 2011: 131). Norma tersebut diakui, dihargai, dikenal dan ditaati oleh warga masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Norma disebut juga dengan peraturan sosial yang sifatnya memaksa sehingga seluruh anggota masyarakat harus tunduk.

Ciri-ciri norma sosial adalah:

1. Tidak tertulis: norma hanya diingat dan diserap serta dipraktekkan dalam interaksi masyarakat.

2. Hasil kesepakatan bersama: norma dibentuk dan disepakati bersama seluruh warga masyarakat.

3. Ditaati bersama: untuk mengarahkan dan menertibkan perilaku anggota masyarakat dari keinginan bersama.

4. Ada sanksi: bagi yang melanggar norma akan dikenakan sanksi yang tegas, oleh sebab itu norma bersifat memaksa.

Dokumen terkait