• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN HAK

C. Proses Terjadinya Hak Tanggungan

Hak Tanggungan terjadi karena adanya pemberian kredit yang diberikan kreditur atau pemberi utang kepada debitor atau si penerima utang. Karena adanya pemberian kredit tersebut pihak debitor memberikan jaminan berupa sertipikat hak atas tanah yang selanjutnya sertipikat hak atas tanahtersebut akan dibebani hak tanggungan.

Proses terjadinya Hak Tanggungan dilaksanakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu;

a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan

Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang wilayah kerjanya sesuai dengan lokasi tanah yang akan di bebani hak tanggungan.

Didalam APHT tercantum janji-janji yang telah disepakati oleh pemberi hak tanggungan dan penerima hak tanggungan. Karena APHT merupakan perjanjian Accesoir maka Janji-janji yang telah disepakati didalam hak tanggungan merupakan bahagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang piutang yang telah dibuat sebelum pemberian hak tanggungan.

Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan:

“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di

dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.”

Sebelum hak tanggungan dilakukan pemberi hak tanggungan dan penerima hak tanggungan mengadakan perjanjian pokok dari utang piutang tersebut. Isi dari perjanjian pokok utang piutang saling terkait dengan isi dari hak tanggungan.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT, pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan perjanjian tertulis, yang dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). APHT ini merupakan akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang di sesuaikan dengan wilayah kerja dan lokasi tanahnya berada. Isi pokok dari Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah janji debitor kepada kreditor yang memberikan jaminan berupa sertipikat hak atas tanah untuk pelunasan utangnya. Sesuai ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT menyatakan:

“Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Dalam pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan atau blanko akta PPAT dilakukan oleh PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara, dan PPAT khusus diatur di dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (PERKABAN) Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2012 tentang peubahan atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa:

Pasal I

Ketentuan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, diubah sebagai berikut:

Ketentuan Pasal 96 ayat (2) dihapus, dan ayat (3) diubah, serta setelah ayat (3) ditambah 2 (dua) ayat baru yakni ayat (4) dan ayat (5), sehingga Pasal 96 berbunyi sebagai berikut:

(1) Bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 ayat (1) dan ayat (2), dan tata cara pengisian dibuat sesuai lampiran peraturan ini yang terdiri dari:

a. Akta Jual Beli;

b. Akta Tukar Menukar;

c. Akta Hibah;

d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan;

e. Akta Pembagian Hak Bersama f. Akta Pemberian Hak Tanggungan

g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai di atas Tanah Hak Milik;

h. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

(2) Dihapus.

(3) Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 ayat (1) dan Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 ayat (2) tidak dapat dilakukan berdasarkan akta yang pembuatannya tidak sesuai dengan ketentuan pada ayat (1).

(4) Penyiapan dan pembuatan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masing-masing Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti, Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara, atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Tanah Khusus.

(5) Kepala Kantor Pertanahan menolak Pendaftaran Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1).

Pasal II 1. Dengan mulainya berlaku peraturan ini:

a. Blanko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang masih tersedia di Kantor Pertanahan Nasional atau masing-masing Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti, Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara, atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Tanah Khusus masih dapat dipergunakan.

b. Blanko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana dimaksud pada huruuf a, apabila Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak menggunakan lagi

wajib di kembalikan ke kantor pertanahan setempat paling lambat 31 Maret 2103.

c. Pengembalian akta sebagaimana dimaksud pada huruf b, dilakukan dengan membuat berita acara penyerahan blanko Pejabat Pembuat Akta Tanah dari Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan setempat atau pejabat yang ditunjuk.

d. Pejabat Pembuat Akta Tanah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Prundang-Undangan.

2. Pada saat peraturan ini mulai berlaku, ketentuan yang bertentangan dengan Peraturan ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

3. Peratuaran ini mulai berlaku pada tanggal 2 januari 2013.71

Oleh karena itu dengan berlakunya ketentuan ini maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib mengeluarkan sendiri blangko akta PPAT nya.

Ketentuan dalam pembuatan blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang blanko sebelumnya disediakan oleh Negara melalui Badan Pertanahan Nasional, maka sejak adanya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2012, tidak berlaku lagi.

Dalam memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik itu mengenai subjek, obyek maupun utang yang dijamin, maka menurut ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT, di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) wajib dicantumkan hal-hal di bawah ini:

1) nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;

2) domisili pihak-pihak pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;

3) penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin, yang meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan;

4) nilai tanggungan;

5) uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.72

Penjelasan atas Pasal 11 ayat (1) UUHT menegaskan, bahwa ketentuan mengenai isi Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut, sifatnya wajib untuk

71Muhammad Ikhsan, Sosialisasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 8 Tahun 2012, hal. 9-15.

72Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, (Semarang :Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2008) hal. 66-68

sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan. Jika tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang sifatnya wajib dalam APHT, mengakibatkan APHTnya batal demi hukum. Konsekuensi hukum bagi tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebutkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT tersebut, seyogyanya dicantumkan sebagai salah satu ayat atau pasal dalam Batang Tubuh UUHT dan tidak sekadar dikemukakan dalam Penjelasannya.73

Bahwa nama dan identitas para pihak dalam perjanjian pemberian Hak Tanggungan harus disebutkan suatu syarat yang logis. Tanpa identitas yang jelas, PPAT tidak tahu siapa yang menghadap kepadanya, dan karenanya tidak tahu siapa yang menandatangani aktanya, apakah penghadap cakap bertindak, apakah ia mempunyai kewenangan bertindak terhadap persil jaminan dan sebagainya. Hal itu berkaitan dengan masalah kepastian hukum dan asas spesialitas daripada Hak Tanggungan.74

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa pemberian Hak Tanggungan dapat terjadi bilamana didahului dengan adanya perjanjian pokok yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan, sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan Hak Tanggungan. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT:

“Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utangpiutang yang bersangkutan.”

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT, disimpulkan bahwa utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan tidaklah selalu dalam jumlah yang tertentu dan tetap, tetapi bisa pula jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian. Adapun utang yang dimaksud tersebut dapat berupa:

73Ibid, hal 144.

74J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 289.

1) utang yang telah sudah ada, dengan jumlah tertentu;

2) utang yang belum ada, tetapi telah (sudah) diperjanjikan, dengan jumlah tertentu, seperti utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditor untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan bank garansi:

3) jumlahnya tertentu secara tetap atau ditentukan kemudian pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan, seperti utang bunga atas pinjaman pokok dan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian;

4) berdasarkan cara perhitungan yang telah ditentukan dalam : a) perjanjian utang-piutang;

b) perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan, berupa perjanjian pinjam-meminjam maupun perjanjian lain, misalnya perjanjian pengelolaan harta kekayaan orang yang belum dewasa atau yang berada di bawah pengampuan yang diikuti dengan pemberian Hak Tanggungan oleh pihak pengelola.75

UKredit yang diberikan seketika dengan perjanjian utang piutang merupakan utang yang telah terealisir pada saat itu, baik itu berupa utang yang pokoknya saja ataupun ditambah dengan bunga-bunganya. Tetapi ada kalanya penambahan utang yang diberikan kepada debitor dibuat suatu perjanjian utang piutang tambahan. Biasa disebut dengan addendum perjanjian utang.

Dalam praktik sering bertemu dengan perjanjian utang piutang (kredit) dengan ketentuan waktu, dalam mana disebutkan juga untuk berapa lama utang (kredit) itu diberikan, dengan konsekuensinya sesuai dengan asas Pasal 1349 KUH Perdata, yang menetapkan bahwa dalam perjanjian utang piutang, ketentuan waktu harus ditafsirkan untuk keuntungan debitur, kecuali ditentukan lain, kreditor tidak bisa menagih kembali utang tersebut sebelum waktu yang ditentukan, sedang debitur bisa sewaktu-waktu melunasinya dan biasanya dalam perjanjian utang piutang (kredit) memang ditetapkan adanya kesempatan debitur untuk mempercepat pelunasan, baik dengan disertai denda atau tidak.76

Selain itu, di dalam APHT, dapat dicantumkan janji-janji seperti yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT. Janji janji yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT merupakan upaya kreditor untuk sedapat mungkin menjaga agar

75Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 412

76J. Satrio, Op., Cit, hal.151

obyek jaminan tetap mempunyai nilai yang tinggi, khususnya nanti pada waktu eksekusi.

Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT menyebutkan janji-janji yang dapat dicantumkan dalam APHT, yaitu:

1) janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan terlebih tertulis dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

2) janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

3) janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cedera janji;

4) janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;

5) janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji;

6) janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;

7) janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

8) janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;

9) janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan;

10) janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;

11) janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).77

77Purwahid Patrik dan Kashadi, Op. Cit, hal. 69-70

Kemudian ketentuan dalam Pasal 12 UUHT memuat janji yang dilarang dicantumkan dalam APHT, yaitu:

“Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi hukum.”78

Dalam artian pemegang hak tanggungan tidak bisa memiliki jaminan hak atas tanah yang dijaminkan debitur kepada kreditur (pemegang hak tanggungan), apabila debitor cidera janji, tetapi pemegang hak tanggungan dapat menjual melalui pelelangan umum hak atas tanah tersebut. Jumlah uang yang diterima melalui pelelangan umum untuk melunasi utang si debitur. Utang pokok beserta bunga-bunganya bila ada dan apabila terdapat sisa uang atas penjualan tersebut dikembalikan kepada debitur.

b.Pendaftaran Hak Tanggungan Di Kantor Pertanahan

Salah satu pekerjaan yang dikerjakan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Setelah dibuat dan dikeluarkan nomornya oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) APHT wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan.

Bersamaan dengan penyerahan APHT, maka turut juga disertakan;

a. Surat pengantar dari PPAT yang dibuat rangkap 2 (dua) dan memuat daftar-daftar jenis surat-surat yang disampaikan;

b. Surat permohonan pendaftaran Hak Tanggungan dari penerima Hak Tanggungan;

c. Fotokopi surat bukti identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;

78Undang-Undang Hak Tanggungan nomor 4 Tahun 1996, Pasal 12.

d. Sertifikat asli Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek Hak Tanggungan;

e. Lembar ke-2 Akta Pemberian Hak Tanggungan;

f. Salinan Akta pemberian Hak Tanggungan yang sudah diparaf oleh PPAT yang bersangkutan untuk disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan Sertifikat Hak Tanggungan;

g. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, apabila pemberian Hak Tanggungan dilakukan melalui kuasa.79

Penyerahan kesemua berkas tersebut dilakukan dihadapan petugas Kantor Pertanahan. Selanjutnya petugas Kantor Pertanahan akan memeriksa kelengkapan berkas yang dibawa, kemudian petugas Kantor Pertanahan akan membubuhkan tanda terima berkas pada tanda terima yang dibawa pemohon.

Permohonan atas pendaftaran hak tanggungan bisa dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), atau pihak yang memberi hutang (Kreditor).

Setelah berkas permohonan pendaftaran hak tanggungan diterima oleh petugas Kantor Pertanahan, maka dilaksanakan pendaftarannya.

Untuk tanah yang belum bersertipikat maka terlebih dahulu dibuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Yang kemudian dilanjutkan penerbitan sertipikatnya. Setelah terbit sertipikatnya baru dilanjutkan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) nya dan didaftarkan APHT nya.

Sedangkan untuk tanah yang sudah bersertipikat tetapi belum di balik nama keatas nama penjamin maka terlebih dahulu dibuat Akta jual belinya dan dilanjutkan dengan pembuatan SKMHT. Akta jual beli tersebut didaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk di balik nama. Setelah sertipikat dibalik nama

79Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Op. Cit,. hal. 340.

dilanjutkan dengan pembuatan APHT dan selanjutnya didaftarkan di Kantor Pertanahan.

Pendaftaran hak tanggungan dilakukan Kantor Pertanahan melalui sistem on line, pencatatan sertipikat, buku tanah sertipikat, sertipikat hak tanggungan dan buku tanah sertipikat hak tanggungan dilakukan.

Di dalam sertipikat tercatat siapa pemegang hak tanggungan, begitu juga tercatat di buku tanah sertipikat siapa nama pemegang hak tanggungan.

Pencatatan di buku tanah sertipikat maupun di sertipikat harus sama dan sesuai.

Sedangkan pencatatan di buku tanah sertipikat hak tanggungan dan sertipikat hak tanggungan juga harus sama dan sesuai. Catatan yang tertera didalam buku tanah sertipikat hak tanggungan dan sertipikat hak tanggungan adalah nama pemegang hak tanggungan nomor sertipikat hak tanggungan, dan berapa besar nilai hak tanggungannya.

Apabila pendaftaran hak tanggungan telah selesai dilaksanakan, maka Kantor Pertanahan akan menyerahkan sertipikat hak tanggungan kepada pemegang hak tanggungan atau kuasanya dan sertipikat juga akan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan dengan terlebih dahulu di perjanjikan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Penyerahan sertipikat kepada pemegang hak tanggungan lebih baik dilakukan karena untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Apabila sertipikat tidak diserahkan ke pemegang hak tanggungan melainkan ke pemilik sertipikat dikhawatirkan akan disalah gunakan oleh pemilik sertipikat.

Hak tanggungan juga dapat dialihkan baik yang dialihkan itu mengenai kedudukan penerima maupun pemberi Hak Tanggungan, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Dalam pasal 16 Undang-undang Hak Tanggungan, jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan ikut beralih karena hukum kepada kreditor baru.

b. Tidak memerlukan Akta PPAT tetapi cukup didasarkan kepaeralihannya piutang (Pasal 121 a (1)huruf b Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997).

c. Kepala Kantor Pertanahan mendaftarkan peralihan Hak Tanggungan kepada kreditur baru.

d. Beralihnya Hak Tanggungan baru berlaku pada pihak ketiga pada hari tanggal didaftarnya peralihan Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan.80

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, bahwa sertipikat dan hak tanggungan memuat nama pemegang hak tanggungan maka apabila pemberi hak tanggungan ingkar janji atau tidak dapat melunasi hutangnya, secara hukum pemegang hak tanggungan dapat menjual objek tanah yang telah diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) melalui pelelangan umum.

Pembeli dalam lelang melalui pelelangan umum dapat membalik nama sertipikat ke atas nama pembeli pada Kantor Pertanahan dengan terlebih dahulu menunjukkan bukti-bukti bahwa ia telah membelinya dalam lelang yang dibuktikan dengan Akta risalah lelang.

Namun apabila debitur dapat melunasi hutang-hutangnya sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan maka kreditur berkewajiban mengeluarkan surat tanda lunas yang disertai dengan permohonan pengajuan penghapusan hutang ke Kantor Pertanahan yang biasa disebut surat roya. Ketika permohonan roya di daftarkan ke Kantor Pertanahan, maka petugas akan meminta beberapa berkas sebagai berikut:

80Ibid,. hal. 342.

1. Seripikat hak atas tanah, 2. Sertipikat hak tanggungan,

3. Surat roya yang dikeluarkan oleh kreditur yang isinya menyatakan hutang debitur telah lunas dan memohon kepada Kepala kantor (Kakan) Pertanahan untuk menghapus hutang debitur yang tertera didalam sertipikat dan sertipikat hak tanggungan,

4. Kartu Tanda Penduduk si pemilik sertipikat.

Ketika berkas telah lengkap diterima maka sertipikat, buku tanah seripikat akan diketik telah diroya dan dihapus hutang-hutangnya, sedangkan sertipikat hak tanggungan dan buku tanah sertipikat hak tanggungan akan di matikan, dan menjadi arsip Badan Pertanahan nasional.

Namun apabila sertipikat hak tanggungan tidak diserahkan yang diakibat kan hilang maka dibuat dengan akta notariel yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris yang disebut akta konsen roya. Namun Jika hutang telah dilunasi debitur tetapi kreditur tidak bersedia membuat roya, dapat dilakukan melalui perintah Ketua Pengadilan Negeri.

Ditentukan juga bahwa Hak Tanggungan juga dapat hapus dengan cara sebagai berikut:

1. Hapusnya hutang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan.

2. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan (dengan pernyataan tertulis)

3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua Pengadilan Negeri (terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang

dibebani Hak Tanggungan agar dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.

4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan (tidak menyebabkan hapusnya hutang yang dijaminkan).81

81Ibid,. hal. 344

Di karenakan pendaftaran hak tanggungan adalah kegiatan administrasi maka ada pengenaan biaya yang di setor ke kas Negara yang disebut Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang setoran biayanya diatur dalam peraturan tersendiri ;

1) Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2010, yaitu:

a. Biaya cek bersih (Pasal 97 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997) sebesar Rp.

50.000,-b. Pelayanan pendaftaran Hak Tanggungan (pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dengan nilai Hak Tanggungan :

1. Sampai dengan Rp. 250 Juta = Rp. 50.000,-/bidang

2. Di atas Rp. 250 Juta sampai dengan Rp. 1 Milyar = 200.000,-/bidang.

3. Di atas Rp. 1 Milyar sampai dengan Rp. 10 Milyar = 2.500.000,-/bidang.

4. Di atas Rp. 10 Milyar sampai dengan Rp. 1 Trilyun = 50.000.000,-/bidang.

c. Pelayanan pendaftaran Hapusnya Hak Tanggungan/ Roya (termasuk roya parsial yang memerlukan pemisahan atau tidak) sebesar Rp.

50.000,- sesuai ketentuan dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 point 1 huruf B angka 5 dan 11.

2) Jasa/honor PPAT dan saksi tidak boleh lebih 1% dari harga transaksi (Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998).

Sungguhpun dalam kenyataanya, biaya tersebut hanya biaya resmi saja dan masih ada biaya tidak resmi yang harus disediakan oleh pemohon Pendaftaran Hak Tanggungan yang besarnya bervariasi di tiap Kantor Pertanahan.

Berdasarkan penelitian, biaya pendaftaran Hak Tanggungan tersebut besarnya lebih dari 100% atau sekitar Rp. 200.000,-s/d Rp. 300.000,- dan ada Kantor Pertanahan yang mengenakan tarif tambahan tidak resmi tersebut berdasarkan jumlah agunan.82

Mengenai kutipan biaya yang disetor di Kantor Pertanahan Kabupaten Pidie, diluar dari biaya resmi tidaklah menjadi biaya yang harus mutlak diberikan.

Karena menurut penelitian penulis biaya yang tidak resmi tersebut diberikan secara sukarela, dan biaya tersebut juga sebahagian dipergunakan untuk

82Nila Kusuma Wati, Dilema Pemberlakuan Pembatasan Jangka Waktu Pendaftaran Hak Tanggungan, Studi pada Kantor Pertanahan Kota Medan, Tesis Program Magister Kenotariatan

82Nila Kusuma Wati, Dilema Pemberlakuan Pembatasan Jangka Waktu Pendaftaran Hak Tanggungan, Studi pada Kantor Pertanahan Kota Medan, Tesis Program Magister Kenotariatan