Logistik dan manajemen rantai pasokan (supply chain management) acapkali membingungkan dan saling dipertukarkan (Tracey et al., 2004). Konsep rantai pasokan menekankan pada upaya mencari optimasi dan integrasi rantai nilai dengan menciptakan kompetensi unik di mana di dalamnya termasuk logistik. Menurut the Council of Logistics Management
(CLM), logistik merupakan bagian dari proses rantai pasokan dimana perencanaan, implementasi dan pengendalian aliran dari barang, jasa dan informasi yang berkaitan dimulai dari hulu hingga saat dikonsumsi konsumen dengan memenuhi persyaratan.
Riset rantai pasokan berkembang diluar domain logistik atau proses operasi ditinjau dari perspektif manajemen strategik, organisasi, kelembagaan, biaya transaksi, kesisteman, hubungan antar organisasi (inter-
organizational), aliansi, manajemen pengetahuan, dan jaringan. Sebagai terobosan strategik, manajemen rantai pasokan terwujud karena operasi pabrikasi dan pemasaran yang mengintegrasikan proses bisnis yang kompleks untuk menuju konsumen (Levi et al., 2000, Gowen dan Talion di dalam Maku et al., 2005).
Rantai pasokan menciptakan nilai dan penjabaran modal intelektual dari pemasok-pemasok yang berhubungan guna memenuhi persyaratan pengguna (Ayers, 2000). Dalam hal ini terjadi pengelolaan hubungan
upstream dan downstream antara pemasok dan pelanggan dengan sasaran menghilangkan inefisiensi dan pengulangan proses pada rantai. Menurut Evans dan Danks (1998), terdapat empat aliran strategis pada rantai pasokan yakni : permintaan, penawaran, informasi dan uang yang perlu dipahami proses dan pergerakkannya.
Prinsipnya adalah bagaimana bekerja kooperatif dengan organisasi lain dan bukan mengalahkan. Hasil yang dicapai pada akhirnya menjadi lebih fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Sebagai contoh, bilamana tujuannya untuk mengurangi sediaan penyangga (buffer stock) satu entitas yang termasuk dalam rantai, maka diperlukan penyebaran informasi mengenai jumlah permintaan dan pengaturan tingkat sediaan (Christopher, 1998). Dengan demikian, manajemen rantai pasokan dipandang strategis meningkatkan pelayanan pelanggan, mengurangi biaya transaksi, mempertahankan pelanggan, meningkatkan daya saing, meningkatkan profitabilitas, menciptakan nilai, meningkatkan mutu dan ketersediaan produk (Evans dan Dank, 1998; Beech 1998; Stock dan Lambert, 2001).
Tinjauan terhahadap aktivitas proses rantai pasokan mensyaratkan koordinasi dan integrasi dalam satu kesatuan dan setiap manajer yang terdapat pada rantai bekerja bersama agar keseluruhan proses pada rantai menjadi kompetitif (Vokurka et al., 2002). Integrasi proses dimulai dari perusahaan yang mendorong aktivitas dari tingkat strategik hingga operasional.
Pembangunan kemampuan rantai pasokan memerlukan perhatian terhadap pengembangan dan peningkatan kemampuan operasi yang bermutu,
ketergantungan proses yang disesuaikan dengan perubahan yang cepat. Perubahan ini harus disadari oleh setiap tingkat dari rantai pasokan. Penanggung jawab dari setiap tingkatan harus mampu bergerak fleksibel, menyajikan kualitas tinggi dengan tenggang waktu singkat untuk sejumlah variasi produk yang memberikan nilai tambah bagi pelanggan.
Stock dan Lambert (2001) menawarkan delapan proses bisnis penting di dalam rantai pasokan yakni :
(1) manajemen hubungan pelanggan, (2) manajemen pelayanan pelanggan, (3) manajemen permintaan,
(4) pemenuhan pesanan,
(5) manajemen aliran pembuatan, (6) pembelian,
(7) pengembangan produk dan komersialisasi, dan (8) perolehan.
Dari pengembangan kerangka konseptual rantai pasokan, Giannakis (2004) menyatakan perlunya sintesa, sinergi, dan sinkronisasi. Yang pertama adalah bagaimana mensintesakan aspek struktur fisik rantai pasokan. Struktur fisik dimaksud berkaitan dengan pengambilan keputusan strategik, konfigurasi pasokan, bentuk saluran dan pengelolaan organisasi. Pensinergian dilakukan dengan menelaah sifat dan pengaruh interaksi diantara aktor yang berbeda dan sinkronisasi seluruh keputusan operasional dikaitkan kendali produksi dan pengiriman barang.
Rantai pasokan tidak semata terletak pada fungsi tunggal sebagai unit analisis namun melibatkan interaksi dan interdependensi fungsi, kelompok dan organisasi. Untuk itu diperlukan formulasi strategi yang tepat mencakup arus permintaan, sumber, jenis layanan kepada pengguna dan bentuk integrasi pasokan yang diinginkan, (Evans dan Danks, 1998).
Kesulitan memanajemeni rantai pasokan menurut Maku et al. (2005) berasal dari kompleksitas yang mempengaruhi struktur dan variabilitas yang aliran pasokan. Levi et al. (2000), Frankel dan Whipple, di dalam Stanek, (2004); Anslinger dan Jenk (2004), meninjau manajemen rantai pasokan dari
sudut aliansi yang berarti menyatukan keunggulan kompetensi anggota guna mencapai tujuan strategik bersama. Melalui aliansi akan menghapuskan hambatan antar orang, antar unit organisasi dan hambatan organisasi itu sendiri yang berarti kemitraan jangka panjang dimana resiko dan manfaat jangka panjang dinikmati bagi pihak yang beraliansi.
Menurut Giles dan Hancy di dalam Gattorna (1998), penyatuan kompetensi inti dipandang sebagai upaya untuk mengatasi persaingan yang tidak perlu. Masing-masing pihak, harus memahami apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan mitra kerjanya dan bagaimana semua faktor dapat sesuai dengan sasaran yang hendak dicapai dari aliansi strategik (Stanek, 2004). Informasi harus terbuka dan mengalir setelah informasi yang diproteksi dijabarkan secara jelas. Melalui pertemuan, fungsi masing-masing pihak dapat dipastikan.
Peneliti terdahulu meninjau sejumlah perilaku yang diperlukan guna menjamin implementasi rantai pasokan yakni: hubungan berdasarkan kepercayaan, kemampuan mengevaluasi peluang untuk menciptakan nilai, hubungan yang dekat, situasi saling memberikan manfaat, menciptakan pertumbuhan, menyatukan keahlian yang melengkapi, peran aktif, kerjasama, harmonisasi, solidaritas, integrasi peran, berbagi pengetahuan dan keuntungan (Barba et al.,1998; Daboub 2002; Vokurka et al., 2002).
Persyaratan dimaksud sebagaimana prinsip dasar dalam membangun
supplier-supplier relationship yang diajukan oleh Choi et al. (2002) yang menuntut kerjasama secara erat, pertukaran ide dimana masing-masing berkontribusi dalam sumberdaya, pengetahuan teknologi dan kapasitas produksi.
Jaringan menurut Bowersox (1992) adalah alur berstruktur dari obyek yang dipertukarkan sebagai ganti aliran bebas atas saling ketergantungan yang diakui bersama dan keikatan. Konsep jaringan, akan menerobos batas dan menciptakan komunikasi antara orang yang terfokus pada aktivitas, dan pengetahuan yang sama (Hastings, 1996). Terdiri dari individu, kelompok yang menggunakan bauran talenta dan sumberdaya untuk ber ko-operasi sehingga mencapai efisiensi dan mencapai pasar.
Analogi jaringan, seperti sel dalam organisme hidup yang dapat beraktivitas sendiri memenuhi kebutuhannya tetapi dengan bertindak dalam kesatuan sehingga menghasilkan fungsi yang lebih kompleks. Bilamana tujuan utama manajemen rantai pasokan lebih ditujukan pada pencapaian penciptaan nilai dan keunggulan bersaing industri, maka keberadaan jaringan lebih memudahkan pertukaran informasi, dan efektivitas pembelian dari sisi industri dan sebaliknya pemasok dapat memahami tuntutan pelanggan.
Orang berkontribusi sesuai dengan kemampuan, dimana masing- masing memiliki kekuatan yang unik, baik pemasaran, distribusi, produksi, atau pengembangan. Uraian tugas tidak digariskan, tetapi anggota berkontribusi, berkomitmen diantara mereka dengan umpan balik dan menjalankan disiplin. Organisasi jaringan terdiri dari divisi yang berdiri secara otonomik sebagaimana perilaku perusahaan yang terpisah tanpa tugas danperan yang terdefinisikan dengan baik (Halal dalam Daboub, 2002).
Membangun kekuatan jaringan strategik memerlukan berbagi teknologi, manfaat, pengembangan, ketrampilan, biaya, akses pasar dan kepemilikan. Koordinasi, pengendalian strategik, pengintegrasian proses, dan aliansi dengan kemampuan sinergetik menjadi penting dalam membangun rantai pasokan berbasis jaringan (Stock dan Lambert, 2001).
Evans dan Danks dalam Gattorna (1998) memandang perlu keterkaitan informasi, finansial, operasional, dan pengambilan keputusan dari anggota. Struktur menjadi lebih fleksibel untuk berhubungan dengan kelompok- kelompok dalam bidang yang berbeda. Sehingga, akan terjadi perubahan dari saluran menjadi multisaluran (Barba et al.1998).
Tiga prinsip penting dalam struktur jaringan yang perlu diperhatikan menurut Stock dan Lambert (2001) adalah : keanggotaan dari rantai pasokan, dimensi struktural dalam jaringan dan perbedaan tipe proses yang terkait dengan rantai pasokan. Kerangka rantai pasokan sendiri mengandung tiga unsur sebagaimana digambarkan pada gambar 3.
Pemilihan anggota menjadi penting ketika membuat struktur jaringan.
Dalam menarik anggota, perlu membedakan anggota utama yakni yang memberikan sumber daya, pengetahuan, fasilitas atau aset dari rantai pasokan, dan anggota pendukung. Menetapkan berapa jumlah optimal, lokasi, dan peran masing-masing pihak merupakan elemen kritis dari keseluruhan strategi. Para aktor tersebut menurut Callon di dalam Murdoch (2000) penting dikoordinasikan guna mengembangkan, menghasilkan dan mendistribusikan produk yang memenuhi persyaratan pelanggan.
Faktor yang diperhatikan ketika menyeleksi anggota yang layak adalah : kemampuan finansial, kecakapan, kemampuan mengaitkan proses, dan tumbuh bersama organisasi usaha serta kompetensi dalam rantai pasokan (Stock dan Lambert, 2001). Aspek yang paling sulit dalam mengorganisasikan anggota adalah bagaimana modal dan investasi dapat distrukturkan.
Menurut Hastings (1995), yang penting adalah memiliki jaringan itu sendiri kemudian menghadirkan dan mengaktifkan anggota dalam memobilisasi jaringan. Organisasi jaringan memerlukan lingkungan organisasi pembelajar dengan sumber daya manusia yang berdaya, berkreasi mencari jawaban dan berinovasi. Untuk itu diperlukan pengembangan kepercayaan dan komitmen, solidaritas dan upaya harmonisasi konflik, serta pengendalian kekuasaan (Achrol diacu dalam Daboub, 2002).
Proses bisnis
Rantai pasokan dikaitkan dengan Proses yang anggota Komponen Manajemen rantai pasokan Struktur Jaringan Rantai pasokan Tingkat integrasi dan pengelolaan dari setiap proses
Anggota rantai yang terkait
Gambar 3. Kerangka manajemen rantai pasokan (Stock dan Lambert, 2001)
Struktur horizontal dan vertikal merupakan bentuk hubungan di dalam jaringan. Struktur vertikal menjadi alat mengorganisasikan transaksi barang ataupun jasa yang diharapkan dapat meminimalkan biaya transaksi dan mengurangi ketidakpastian. Menurut Mc Fetridge (2000), bilamana tidak ada transaksi vertikal dapat disatukan atau diinternalisasikan, maka tidak akan bermanfaat.
Struktur hubungan horizontal, terjalin antara pemasok dengan pemasok memberikan alternatif yang mendorong kontribusi sumber daya, teknologi dan sumber daya manusia dalam pertukaran yang lebih kooperatif.Hubungan kooperatif ini akan lebih baik dibandingkan hubungan kompetitif yang mendorong terjadinya negosiasi ketat dan tekanan harga, akibat ketakutan akan adanya resiko yang dilakukan oleh pihak lebih kuat (Choi et al., 2002).
Giles dan Hancy dalam Gattorna (1998) menguraikan bahwa terdapat pengembangan tipe organisasi dari struktur vertikal ke organisasi jaringan. Transisi yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini :
Tabel 5. Transisi dari hubungan vertikal hingga jaringan Tipe organisasi Produksi tersentralisasi Proses desentralisasi Sistem jaringan Gaya kepemimpinan dan sistem kendali Komando dan hirarki kendali Efisiensi dan kendali ekonomik Koordinasi dan kendali strategik
Integrasi Integrasi vertikal Deintegrated Integrasi sistem Hubungan
pasokan
Pemasok Outsourcing Aliansi
Ukuran Ukuran luas Ukuran diciutkan Globalisasi Diferensiasi
spesialisasi
Organisasi fungsional
Organisasi proses Organisasi lintas fungsi
Fokus pada efektivitas kerja kelompok
Skala ekonomi Kompetensi inti Kemampuan sinergik
Menggunakan kerangka manajemen rantai pasokan yang diajukan Stock dan Lambert (2001); Daboub (2002), anggota jaringan bertanggung jawab pada bagian proses yang disepakati sanggup dilaksanakan. Peran anggota didefinisikan secara seksama .
Teori organisasi jaringan berkembang dari aliansis strategik yang semula atas dasar pemasok yang diinginkan (preferred vendors) dalam upaya mencapai profitabilitas diperluas menjadi pemahaman konsep organisasi tanpa batas, melibatkan orang, kelompok dan organsisasi. Evolusi struktur organisasi demikian mendorong fleksibilitas yang menghasilkan organisasi lebih ramping.
Diperlukan transisi yang dicerminkan pada turunan program-program yang akan diikuti anggota. Dalam kondisi seperti ini akan terjadi transformasi dari kepemilikan pengetahuan menjadi distribusi pengetahuan. Anggota didorong saling bertukar pengetahuan dan lembaga tempat anggota bernaung perlu memberikan ruang pertukaran tersebut dan melaksanakan pemantauan.
Peneliti terdahulu mengajukan contoh jaringan yang dibangun oleh perusahaan Toyota dalam menjalin hubungan dengan banyak organisasi tersebar sehingga persediaan bahan baku dan respon dapat ditelusuri dalam waktu 24 jam dengan tingkat kesesuaian tinggi. Demikian pula General Motor yang melakukan keterhubungan dalam sistem informasi manajemen.
Menurut Beech (1998), kerangka strategi jaringan bersifat holistik yang mensinkronisasikan sejumlah entitas untuk bekerja bersama mengunakan basis teknologi informatika. Unsur pengurangan biaya dilakukan dengan mengalihkan bidang-bidang pekerjaan tidak utama kepada pihak yang berada pada jaringan dan perusahaan inti lebih memfokuskan pada bidang yang menjadi keunggulan strategik. Kondisi ini berakibat informasi terfragmentasi dan tergantung pada pihak lainnya (Hall di dalam Daboub, 2002). Kegagalan pengaturan jaringan, terjadi ketika terdapat oportunistik, konflik tujuan, keengganan berkontribusi secara seimbang dan batasan resiko yang lebar.
Simpulan dari pembangunan jaringan pada rantai pasokan menurut peneliti terdahulu melibatkan struktur, perilaku, pengaturan, dan sebagaimana terlihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6 Tinjauan teori jaringan menurut peneliti terdahulu
Faktor Uraian
1 Terdapat anggota dengan kedudukan independen, namun dengan peran terdefinisikan.
2 Tanggung jawab anggota mengarah pada rantai nilai, pada transaksi yang disanggupi
3 Organisasi datar, dan ramping. 4 Informasi terdistribusikan
5 Pengintegrasian proses dan tingkat integrasi dari proses bisnis
6 Sinkronisasi aset
7 Penatalaksanaan dan koordinasi Struktur
8 Pengukuran atas dasar prestasi
Perilaku Terdapat 13 sub-elemen perilaku yang diperlukan saat membangun jaringan menurut peneliti sebelumnya yakni: hubungan berdasarkan kepercayaan, kemampuan mengevaluasi peluang untuk menciptakan nilai, hubungan yang dekat, situasi saling memberikan manfaat, menciptakan pertumbuhan, menyatukan keahlian yang melengkapi, peran aktif, kerjasama, harmonisasi, solidaritas, integrasi peran, berbagi pengetahuan dan keuntungan
1 Sinergi dan sinkronisasi menurut Ginneakis dan Croom (2004)
2 Inventory deployment menurut Evan dan Danks (1998) Pengaturan
3 Tanggung jawab pada bagian yang disepakati, menurut Barba et al. (1998)
Pemrakarsa Peneliti terdahulu tidak secara tajam menggariskan siapa yang menjadi pemrakarsa, tetapi tersirat lebih ditujukan pada perusahaan inti untuk mendapatkan keunggulan strategik.
Williamson diacu pada Dorward (2001), menyatakan terdapat tiga dimensi dalam pengaturan kontrak yakni :
1. unsur ketidakpastian karena kurangnya informasi,
2. rasionalitas, dan oportunisme dari pihak yang menjalin transaksi, 3. spesifikasi aset dan frekuensi dalam menjalin kesepakatan
Pengaturan kontrak acapkali gagal memberikan penekanan pada hubungan yang lebih mendalam. Kelemahan utama adalah terlalu terfokus pada upaya meminimalisasikan biaya sehingga mengabaikan aspek penciptaan nilai. Pengaturan yang diperlukan pada pendekatan biaya transaksi adalah sejauh mana aset dapat diturunkan oleh pengguna tanpa merusak nilai – nilai produktif (Williamson 1998 di dalam Tsang, 2000).
Biaya transaksi dipengaruhi oleh kondisi pasar yang tidak menentu, perilaku oportunistik, resiko, pengaruh harga beli dikaitkan dengan kondisi pasar dan perilaku penjual. Sistem kontrak mengandung bahaya, ketika dari salah satu pihak yang lebih memiliki informasi bersikap oportunis dan menolak untuk menginvestasikan pada sumber – sumber yang diperlukan karena takut salah satu pihak akan mengingkari hubungan
2.3. Konflik
Sistem rantai pasokan berbasis jaringan memerlukan komitmen para pihak atas dasar manfaat bersama. Anggota rantai pasokan harus dapat mewujudkan aktivitas operasional dalam rangkaian proses dan berarti memberikan sumber daya, pengetahuan atau aset yang dimiliki. Dalam konteks peralihan antara pola tidak berstruktur menjadi kehidupan dalam rangkaian kerja tertata, dimungkinkan terjadinya konflik karena perubahan kebiasaan, cara pengambilan keputusan dan perbedaan kepentingan.
Konflik merupakan ketidaksepakatan yang terjadi pada kondisi dua atau lebih orang berbeda dalam hal keinginan, idea, keyakinan dan nilai- nilai. Saaty (1996) menyebutkan konflik dimulai dengan premis selalu terdapat pemenang dan yang kalah dalam situasi orang saling bertentangan. Konflik dapat menghasilkan dampak positif atau negatif terhadap kinerja, tergantung bagaimana konflik ditangani dan lebih mudah diselesaikan bilamana dikenali sejak dini.
Menurut Ohbuchi dan Suzuki (2003), konflik dipandang mengganggu organisasi karena menimbulkan permusuhan dan ketidakpercayaan di antara anggota dan akhirnya mengintervensi fungsi organisasi bahkan akan memecahbelah organisasi. Terdapat konflik substantif yang berhubungan
dengan perbedaan idea dan pekerjaan atau bidang minat dari berbagai pihak (Blackard dan Gibson, 2002).
Tipe konflik seperti ini menyangkut interpretasi strategi, kebijakan, sudut pandang dan pertanyaan atas apa yang akan dilakukan. Adapun tipe lainnya adalah konflik personal atau emosional menurut Wood et al. (1998), terjadi ketika hubungan antar personal mengalami friksi, kondisi frustasi dan benturan kepribadian.
Selain konflik personal terdapat juga konflik relasional (Ohbuchi dan Suzuki, 2003) yang merupakan ketidaksepakatan atas kepemimpinan, alokasi kerja, dan perbedaan kepribadian. Adapun konflik tugas dapat terjadi karena ketidaksetujuan atas isi dan prosedur kerja. Terlepas dari tipe konflik, akan terdapat konsekuensi ketidaksepakatan dan perselisihan sehingga mengakibatkan kontraproduktif berupa kinerja rendah dan ketidakpuasan kelompok. Dengan demikian lebih baik ditemukenali kemungkinan konflik pada implementasi rantai pasokan sehingga dapat dirancang langkah pencegahan yang tepat.
Menurut Saaty (1998) untuk mengubah ketidaksepakatan menjadi kesepakatan dapat dilakukan melalui :
a. bekerja bersama,
b. bekerja terpisah dan memanfaatkan mediasi guna mencapai kompromi,
c. bekerja terpisah dan menggunakan intimidasi atau kekuatan untuk memperlemah pihak beroposisi.
Ohbuchi dan Suzuki menyebutkan sebagai kolaborasi dalam upaya menyelesaikan konflik agar sasaran semua pihak yang terlibat dapat diakomodasikan. Konfrontasi atau istilah competitor berdasarkan Wood et al., adalah pendekatan yang sama dengan pemecahan berdasarkan bekerja terpisah. Namun semua metode pemecahan konflik tidak hanya perlu mengidentifikasi semua konteks bahasan secara detil dan menghubungkannya tetapi hendaknya membahas untung rugi. Karenanya, analisis konflik dilakukan dengan cara yang rasional dan pertimbangan akurat sehingga memenuhi dan memuaskan nilai-nilai orang dan tujuan.
Penelitian terdahulu mengenai negosiasi dan pemecahan konflik menggunakan AHP dilakukan oleh Tabtabai dan Thomas (2004), yang diterapkan pada manajemen proyek. Hasil penelitian menyatakan bahwa proses pemecahan konflik harus dapat memuaskan berbagai pihak yang terlibat sehingga memberikan jaminan hasil lebih stabil, di mana perlu diyakinkan apa yang diperoleh atau hilang dari satu pihak menjadi apa yang hilang dan diperoleh di pihak lain. Terlebih dahulu digambarkan konteks konflik, kemudian disusun hirarki untuk mengevaluasi biaya dan manfaat.
Keberadaan organisasi yang melibatkan berbagai pihak tidak saja dapat menimbulkan konflik antar personal maupun antar kelompok, tetapi juga memungkinkan terjadinya persaingan antar organisasi terlebih bilamana beroperasi pada pasar yang sama. Hal ini oleh Wood et al. (1998) disebut sebagai interorganisational conflict. Pengumpul tanaman obat yang telah beroperasi secara bertahun-tahun akan berhadapan dengan jaringan yang beranggotakan petani sehingga dianggap mengganggu kenyamanan beroperasi. Saaty (1989), mengajukan perlunya dibuat pemodelan konflik dalam rangka pemecahan dengan terlebih dahulu mengidentifikasikan pihak- pihak yang berkonflik, dan sasaran atau kebutuhan dari masing-masing pihak.
2.4. Kelembagaan
Kelembagaan menurut Arifin (2004), memberikan naungan dan hambatan bagi individu atau anggota masyarakat, baik secara tertulis formal maupun berdasarkan kebiasaan atau tidak tertulis seperti aturan adat dan norma yang dianut. Kelembagaan akan mencakup konvensi dan aturan main, sehingga mengandung kegiatan kolektif dalam suatu kontrak atau jurisdiksi, pembebasan atau liberalisasi, dan perluasan kegiatan individu.
Menurut Haeruman (2001), kelembagaan masyarakat pedesaan mencakup dua pola hubungan yakni lembaga adat dengan ikatan sosial antar anggota masyarakat yang kuat. Hubungan dimaksud kemudian bergeser sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi di mana semula berdasarkan aspek sosial beralih pada pertimbangan imbalan ekonomi.
Pembahasan tentang kelembagaan menjadi penting ketika menetapkan bentuk dan instrumen yang dapat mengatur tata nilai dan aturan main. Ketika membahas sekumpulan orang untuk pencapaian tujuan yang tunggal, maka perlu dilakukan pengorganisasian sejumlah aktivitas, aset/ fasilitas, peran dan sub-sub tujuan. Tujuan lembaga adalah agar memberikan perlindungan kepada anggota secara taat azas dan mampu menciptakan manfaat bagi para anggota. Gibson et al. di dalam Nasution (2002) menyebutkan lima kriteria guna menilai keefektifan lembaga yaitu :
1) kemampuan organisasi menghasilkan jumlah dan kualitas keluaran yang dibutuhkan lingkungan,
2) efisiensi yang merupakan rasio keuntungan dengan biaya atau waktu yang digunakan,
3) kepuasan, yakni ukuran yang menunjukkan tingkat organisasi memenuhi kebutuhan karyawan,
4) adaptasi terhadap perubahan dan
5) pengembangan yang mengukur kemampuan organisasi meningkatkan kapasitas menghadapi tuntutan lingkungan.
Berdasarkan kajian sosiologi pedesaan, pola umum kelembagaan yang berlaku di pedesaan bertumpu pada spesialisasi fungsi dan pembagian pekerjaan. Korten di dalam Pratikno menjelaskan bahwa membangun kelembagaan perlu menekankan pentingnya energi sosial yang
merupakan produk pembelajaran sosial
(www.fppm.org/makalah%20pratikno.htm). Pendekatan birokratis yang terlalu berlebihan harus diarahkan untuk memobilisasi energi sosial yang biasa dihasilkan dari aktivitas masyarakat yang mandiri. Struktur organisasi tradisional terbentuk dengan gaya yang dipakai adalah hirarkis dengan garis komando dan kontrol yang tinggi guna beradaptasi dengan perubahan (Giles dan Hancy dalam Gattorna, 1998). Dalam struktur jaringan, bentuk organisasi yang baru lebih condong pada kerja kelompok untuk mengatur hubungan eksternal yang lebih kompleks.
Hubungan kemitraan usaha antara pengusaha kecil dan besar dapat berbentuk :
(a) kontak bisnis dengan interaksi pasif antar organisasi tanpa perjanjian formal yang mengikat
(b) kontrak bisnis dicirikan oleh adanya hubungan bisnis
(c) kerjasama bisnis aktif sampai pada penanganan manajemen dan membentuk usaha patungan
(d) keterkaitan bisnis dengan kondisi antar pihak bersepakat untuk melakukan subkontrak perekayasaan.
Pengembangan kelembagaan agribisnis menurut Sumardjo (2002), perlu menempatkan kedudukan petani tidak hanya sebagai sub-ordinasi struktur pembangunan pertanian, tetapi diperlukan pengembangan pemberdayaan petani melalui peningkatan kualitas dengan pendekatan konvergen antar berbagai pihak yang menjadi pelaku dalam sistem agribisnis.
Kegiatan kelembagaan bergantung pada fasilitator yang berfungsi untuk memediasi seluruh jalur komunikasi dan distribusi informasi. Fasilitator diharapkan memiliki kompetensi yang diperlukan dalam melaksanakan peran motivator dan organisator. Kata kompetensi dianggap paling tepat untuk menggambarkan kemampuan yang multi dimensi mencakup pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Menurut Spencer & Spencer (1993 ) terdapat tiga kelompok kompetensi yakni :
1. Kompetensi generik merupakan serangkaian sifat – sifat generik yang sebaiknya dimiliki seorang fasilitator yaitu :
a. elemen entrepreneurship yang merupakan keinginan untuk bekerja dengan baik. Dengan demikian seseorang yang tepat menjadi fasilitator adalah orang yang senantiasa termotivasi menghasilkan karya yang lebih dari biasa, berkeinginan terus berkreasi sehingga memiliki daya dorong anggota lain.
b. elemen pengaruh strategik (strategic influence) yakni kemampuan untuk meyakinkan, mempengaruhi dan memberikan gambaran prospektif pada pihak lain dalam hal ini anggota sehingga diharapkan petani bersedia mendukung agenda kerja jaringan.