• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekayasa sistem rantai pasokan bahan baku berbasis jaringan pada agroindustri farmasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rekayasa sistem rantai pasokan bahan baku berbasis jaringan pada agroindustri farmasi"

Copied!
230
0
0

Teks penuh

(1)

BERBASIS JARINGAN PADA AGROINDUSTRI FARMASI

NUNUK ADIARNI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rekayasa Sistem Rantai Pasokan Berbasis Jaringan pada Bahan Baku Agroindustri Farmasi adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2007

(3)

NUNUK ADIARNI. Network-based supply chain system for raw materials of Pharmaceutical Agroindustry. Under the direction of IRAWADI JAMARAN, ANAS M FAUZI, MARIMIN, MACHFUD and RIZAL SJARIEF.

The pharmaceutical agroindustry required a variety of medicinal plants for traditional or herbal products. However, the raw materials’ quality product still not satisfied the industry standard requirement due to weaknesses in processing raw materials and communication between farmers and industry.

The objective of this research was to develop the network-based supply chain system for raw materials of pharmaceutical agroindustry that may increase farmer’s income and sustainably. Under such a system, the farmers as members of the network are expected to gain more benefits than the traditional supply chain.

The network-based supply chain system was structured by connecting farmers, group of farmers and central management of the network. Results of the network structuring by using Interpretative Structural Modelling indicated that the structure and system of the network were considered to be critical elements to integrate the processing chain.

The result of customers’ preference analysis using Quality Function Deployment (QFD) indicated water content and cleanliness of the material as priority aspects and the dominant process that produced such quality should be controlled by members’ of the network.

Conflict analysis within the network organization using Analytical Hierarchy Process (AHP) illustrated that the management of farming business was very potential to trigger conflicts and required continuous solution on guidance and socialization.

Verification of the network proved that farmers would gain increase of income 23.5 % compared with traditional supply chain and members would still received Rp 93,000,-/farmer/year as an additional incentive after 10 % of the margin of the network was reserved. Feasibility analysis showed NPV Rp 2,229,719,300,-, IRR 22.75 %, payback period (month) 7.52.

The network should be operated at 1,581 ton/year and distributed to:

Zingiber officinale 46 %, Curcuma xanthorriza 11 %, Curcuma domesticae 15 % and 27 % others herb-medicinal plant of Zingiberaceae familia. Such result would be achieved with the assumption that there would be supported by 620 farmers based on 0.2 ha/farmer.

The Analytical Network Process (ANP) in benefit cost opportunity risk

(BCOR) approach was used for validation with respect to the purpose and the result was valid in optimistic condition. Considering the farmers’ weaknesses, the implementation would be proposed under four stages strategy initiated by industry and supported by government. The condition required were the commitment of industry to absorb the supply of herbal plants, presence of the facilitators to facilitate exchange between members and commitment of the members.

(4)

RINGKASAN

Agroindustri farmasi membutuhkan bahan baku tanaman obat dengan jaminan kebenaran jenis, kestabilan dan keseragaman kualitas agar produk yang dihasilkan sesuai klaim khasiat. Keseragaman kualitas dimaksud dapat terwujud, dengan memperhatikan pemilihan bibit, proses penanganan pada saat panen, pascapanen sampai produk jadi.

Rantai pasokan tanaman obat menghadapi permasalahan dimana para aktor bekerja secara sendiri-sendiri dan petani tampak sebagai pihak yang kurang cepat mendapatkan informasi inovasi produk yang dilakukan industri. Keterbatasan petani dalam memenuhi kebutuhan pasokan dan kualitas mendorong agroindustri farmasi membeli dari pedagang pengumpul.

Konsep jaringan merupakan pendekatan manajemen rantai pasokan yang menekankan hubungan anggota secara erat dimana masing-masing berkontribusi sesuai peran yang disepakati dalam integrasi proses secara kesatuan. Masing-masing anggota jaringan bagaikan node yang walaupun terdiri dari individu maupun lembaga yang bebas tetapi dapat menjalin hubungan secara terstruktur.

Tujuan penelitian adalah menghasilkan sistem pasokan bahan baku agroindustri farmasi berbasis jaringan yang mampu meningkatkan pendapatan bagi petani anggota dan hubungan yang berkelanjutan.

Pasokan bahan baku agroindustri farmasi menghadapi kompleksitas permasalahan dengan kerumitan hubungan antar elemen dan perubahan dinamis permintaan dan penawaran bahan baku. Sistem rantai pasokan akan direkayasa agar terdapat integrasi strategis antara petani dan industri dimana petani berlokasi tersebar, berkontribusi sesuai perannya atas dasar saling ketergantungan.

Kerangka pemikiran pembangunan jaringan, diawali dengan mempelajari secara seksama kebutuhan agroindustri farmasi dan kondisi rantai pasokan saat ini. Pendekatan kesisteman dilakukan melalui analisis usaha tani, matriks persyaratan mutu dan analisis elemen jaringan. Keluaran analisis usaha tani adalah kondisi situasional rantai pasokan, atribut mutu dan proses terkait sebagai hasil dari analisis matriks persyaratan mutu serta elemen kunci sebagai hasil analisis elemen jaringan. Setelah struktur jaringan terbentuk kemudian dianalisis konflik dan perhitungan manfaat. Struktur jaringan yang telah dihasilkan kemudian divalidasi menggunakan pendapat pakar dan analisis Analytical Network Process melalui pendekatan benefit, cost, opportunity dan risk (BCOR).

Kebaruan dari disertasi ini adalah hubungan pemasok-pemasok pada rantai pasokan bahan baku agroindustri farmasi yang bergabung melalui jaringan dengan memanfaatkan kelompok sebagai bagian dari tata kelola. Penekanan hubungan yang erat dan saling berbagi kekuatan berlangsung dengan mengoperasikan fungsi yang terdistribusikan pada pusat manajemen jaringan dan anggota.

Penjabaran elemen kunci menggunakan Interpretative Structural Modelling

(5)

untuk produk tanaman obat kering.

Konfigurasi jaringan terdiri dari petani, kelompok tani, dan pusat manajemen, yang membagi fungsi sesuai kemampuan masing-masing. Pengaturan dimaksud memperjelas pengintegrasian proses sehingga menempatkan tanggungjawab produksi dan pascapanen berada pada anggota. Dengan demikian upaya menjamin mutu telah dimulai sejak dini dan kendali proses yang berpengaruh terhadap mutu sebagaimana hasil Quality Function Deployment - QFD kemudian menjadi tanggungjawab petani. Pusat manajemen lebih memfokuskan penanganan pemasaran, distribusi dan pelayanan pelanggan.

Validasi terhadap jaringan dilakukan terhadap elemen tujuan jaringan, keterlibatan petani dan perilaku. Validasi tujuan dengan menggunakan metode

Benefit Cost Opportunity Risk dari Analitycal Network Process, dinyatakan valid pada kondisi optimistik. Sedangkan validasi menggunakan pendapat pakar dinyatakan valid dengan skala tinggi. Dalam hal validasi keterlibatan petani untuk mematuhi aturan dihasilkan valid pada skala tinggi berdasarkan pendekatan pendapat pakar, tetapi konsistensi perilaku petani dinyatakan berskala sedang.

Hasil verifikasi menunjukkan petani mampu memperoleh peningkatan pendapatan 23,5 % apabila diusahakan secara campuran irisan kering dan segar. Melalui pengelolaan fungsi pemasaran dan pengaturan masukan-keluaran bahan baku, keuntungan jaringan pada tahun kelima akan mencapai 18 % per tahun. Bilamana keuntungan ditahan sebesar 10%, dan sisanya didistribusikan kepada petani maka masing-masing masih akan memperoleh tambahan sebesar Rp 93.000,- per orang per tahun, dan bilamana bahan baku hasil reject dikonversikan menjadi produk serbuk maka masih diperoleh pendapatan tambahan bagi setiap petani sebesar Rp 156.000,- .

Kondisi tersebut tercapai ketika jaringan beroperasi pada kapasitas penjualan 1.581 ton per tahun melibatkan 620 petani bilamana rata-rata petani memiliki lahan 2000 m2 dengan komposisi lahan untuk tanaman jahe 46 %, temulawak 11 %, kunyit 15 % dan sisanya berasal tanaman obat lainnya.

Konflik diantara anggota jaringan mungkin terjadi mengingat perubahan dari petani yang semula mengusahakan tanaman obat secara mandiri menjadi satu kumpulan dalam jaringan. Tiga faktor pemicu konflik berdasarkan hasil Analytical Hierarchy Process berasal dari sumber daya manusia, pengelolaan organisasi dan usaha tani. Alternatif pemecahan konflik dilakukan melalui penyuluhan dan sosialisasi untuk mengatasi pemicu utama yakni pengelolaan usaha tani.

Keberhasilan pengoperasian jaringan memerlukan persyaratan berupa dukungan industri untuk menyerap hasil tanaman obat, peran pemerintah untuk fasilitasi pinjaman modal dan perilaku anggota menjaga komitmen serta integritas. Pengimplementasian jaringan ini dilakukan melalui empat tahapan strategis dengan pemrakarsa yang dipandang tepat berasal dari industri untuk menyelesaikan tahap pertama yakni peletakkan dasar organisasi.

(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(7)

Nomor Pokok : P 256 00010

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Ketua

Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc

Anggota Anggota

Dr. Ir. Machfud, MS Prof. Dr. Ir. Rizal Sjarief, DESS

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)

Penulis lahir di Pontianak 6 Mei 1958, anak kedua dari pasangan Soenarjo dan Waloejamin. Penulis menempuh pendidikan dasar di beberapa sekolah yakni sekolah dasar katolik susteran Pontianak, SD Strada Tangerang, dan SD Xaverius IV Palembang. Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMP Katolik Xaverius Palembang dan melanjutkan di SMA Katolik Pendowo Magelang. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjahmada lulus tahun 1981. Pada tahun 1993 penulis melanjutkan studi manajemen program magister manajemen di sekolah Tinggi Manajemen PPM.

Penulis mengawali bekerja sebagai pengajar dan konsultan manajemen di Lembaga PPM pada tahun 1984. Pada tahun 1990, penulis bekerja di PT Berca Indonesia sebagai Training & Development Manager, HRD Manager PT Daya Tata Matra dari tahun 1996 sampai dengan 2002 dan sejak tahun 2003 sebagai Staff Direksi bidang HRD di PT Agung Automall main dealer Toyota. Selain itu juga sebagai pengurus Yayasan Lembaga Uji Kompetensi Tenaga Kerja Indonesia, dan sejak 2005 pengajar di jurusan agribisnis Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(9)

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Pencarian fakta di lapangan, kajian konsep dan teori, merupakan pembelajaran atas keilmuan yang multi disiplin yang memberikan wawasan luar biasa.

Terimakasih dan penghargaan setingginya penulis haturkan kepada komisi pembimbing yaitu Dr. Ir Irawadi Jamaran selaku ketua pembimbing, Dr. Ir. Anas M. Fauzi, M.Eng, Prof. Dr. Ir Marimin, M.Sc, Dr. Ir. Machfud, MS dan Prof. Dr. Ir Rizal Sjarief, DESS sebagai anggota, atas motivasi yang tiada henti, dan pengarahan yang mempertajam pemahaman kaidah ilmiah serta tanggung jawab sebagai ilmuwan. Kepada Lala M Kolopaking, Ph.D sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, Dr. Ir. Nadirman Haska, APU dan Dr.Dedi Mulyadi, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka, penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaan untuk menguji, dan memberikan masukan.

Rekayasa sistem rantai pasokan bahan baku berbasis jaringan pada agroindustri farmasi diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ranah keilmuan manajemen rantai pasokan yang menempatkan petani sebagai tokoh penting dalam pengembangan agroindustri farmasi. Pemikiran strategis dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan petani perlu dikedepankan, sehingga rencana besar membangun agroindustri farmasi unggul dan memiliki kemampuan bersaing dapat tercapai.

(10)

Agung Automall main dealer Toyota, Pimpinan Yayasan Lembaga Uji Kompetensi Mandiri yang memberikan kelonggaran waktu, bahkan bantuan materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan hingga tuntas.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada :

1. Para responden pakar yang telah menyediakan waktu untuk menjelaskan mengenai Agroindustri farmasi, mengisi kuisioner dan berdiskusi.

2. Responden perusahaan agroindustri farmasi : PT Air Mancur, PT Phapros Tbk, dan PT Indofarma Tbk serta agroindustri farmasi menengah – kecil di Nguter Sukoharjo yang mengizinkan melakukan observasi dan wawancara dengan para pihak.

3. Para responden petani, pengumpul di beberapa desa.

Penyelesaian disertasi ini merupakan wujud tanggung jawab kepada Ir. Bambang Nuryanto suami penulis yang turut bersusah payah membantu saat proses perkuliahan hingga penelitian. Anak-anakku, Astari Nuryandani, Anindito Nur Rahmandana dan Inggita Arundina yang memudahkan berbagai aktivitas yang penulis lakukan.

Terima kasih disampaikan kepada keluarga di Surakarta yang memperlancar pelaksanaan penelitian dan para pihak yang telah memberikan motivasi tanpa henti.

Bogor, Maret 2007

(11)

Penulis, lahir di Pontianak 6 Mei 1958, anak kedua dari keluarga Soenarjo dan Waloejamin. Kehidupan yang berpindah-pindah di masa kecil memberikan kekayaan wawasan atas budaya masyarakat. Penulis menempuh pendidikan dasar di sekolah katolik ’susteran’ Pontianak, SD Strada Tangerang dan SD Xaverius IV Palembang. Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMP Katolik Xaverius II Palembang dan SMA ditempuh di SMA Katolik Pendowo Magelang.

Tahun 1977, penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjahmada dan mengambil jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, lulus tahun 1981. Tahun 1993 penulis melanjutkan studi manajemen program magister manajemen di Sekolah Tinggi manajemen PPM.

Penulis mengawali bekerja tahun 1984 sebagai pengajar dan konsultan manajemen PPM. Kemudian tahun 1990 menjabat sebagai Training & Development Manager di PT Berca Indonesia, HRD Manager di PT Daya Tata Matra dari tahun 1996 sampai dengan 2002. Sejak tahun 2003, penulis bekerja di main dealer Toyota PT Agung Automall. Selain itu sebagai pengurus Yayasan Lembaga Uji Kompetensi menangani uji kompetensi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dan tahun 2005, sebagai pengajar pada jurusan agribisnis - Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

DAFTAR ISTILAH ... xi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 5

1.3. Ruang Lingkup ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agroindustri Farmasi ... 6

2.2. Rantai Pasokan ...21

2.3. Konflik ...30

2.4. Kelembagaan ...32

2.5. Resiko Petani ...35

2.6. Penelitian Terdahulu ...37

III. LANDASAN TEORITIS 3.1. Quality Function Deployment (QFD) ...39

3.2. Intrepretative Structural Modelling (ISM ) ...44

3.3. Analytical Hierarchy Process (AHP) ...46

3.4. Analytical Network Process (ANP) ...50

3.5. Penilaian Investasi ...52

IV. METODOLOGI 4.1. Kerangka Pemikiran ...55

4.2. Pendekatan Sistem ...60

4.3. Tata Laksana Penelitian ...61

V. Analisis Situasi Tanaman Obat 5.1. Bahan Baku Tanaman Obat ...67

5.2. Kondisi Usaha Tani...69

5.3. Pergerakkan Harga Tanaman Obat ...75

(13)

5.6. Agroindustri Farmasi ...84

5.7. Identifikasi Resiko ...87

VI. REKAYASA SISTEM RANTAI PASOKAN 6.1. Aliran Bahan Baku ...94

6.2. Analisis Kualitas dan Eleme n Kunci Jaringan ...95

6.3. Struktur Rantai Pasokan Berbasis jaringan ...117

VII. RANCANGAN IMPLEMENTASI 7.1. Tahapan Strategis Pembangunan Jaringan ...133

7.2. Kepemilikan Jaringan ...143

7.3. Persyaratan Impelementasi ...144

7.4. Kekuatan dan Keterbatasan jaringan ...147

VIII. VALIDASI DAN VERIFIKASI SISTEM 8.1. Validasi ...150

8.2. Verifikasi ...153

8.3. Manfaat untuk Petani ...166

8.4. Manfaat untuk Masyarakat ...168

8.5. Manfaat untuk Industri ...168

8.6. Analisis Konflik ...169

8.7. Analisis Manfaat menggunakan BCOR ...174

8.8. Implikasi Kebijakan ...175

IX. KESIMPULAN dan SARAN 9.1. Kesimpulan ...177

9.2. Saran ...178

DAFTAR PUSTAKA ...179

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 - Data IOT dan IKOT 2002 ... 9

2 - Urutan pemakaian bahan baku yang banyak digunakan di 8 IOT...13

3 - Kebutuhan tanaman obat IOT dan IKOT tahun 2000-2002 ...14

4 - Produksi tanaman obat tahun 2000 – 2002 ...14

5 - Transisi dari hubungan vertikal hingga jaringan ...27

6 - Tinjauan teori jaringan menurut peneliti terdahulu ...29

7 - Skala banding berpasangan pada AHP ...48

8 - Analisis kebutuhan para aktor pada rantai pasokan ...61

9 - Biaya dan hasil produksi per hektar ...78

10 - Permasalahan petani ...79

11 - Aspek pengadaan bahan baku industri ...86

12 - Kandungan tanaman obat pada jamu ...87

13 - Proses, resiko dan tanggungan biaya pada rantai pasokan ...91

14 - Bentuk pengendalian vertikal ...92

15 - Aliran bahan baku pada rantai pasokan ...94

16 - Elemen tujuan...99

17 - Hasil reachability matrix final elemen tujuan ...100

18 - Hasil reachability matrix final elemen kendala ...106

19 - Hasil reachability matrix final elemen aktivitas ...110

(15)

21 - Analisis faktor penghambat dan pendorong keterlibatan petani ...128

22 - Fungsi pusat manajemen jaringan ...129

23 - Hasil agregasi pendapat pakar atas sub-elemen validasi ...152

24 - Asumsi penggunaan bibit, pupuk, buruh dan biaya ...154

25 - Asumsi analisis usaha tani ...155

26 - Skenario asumsi analisis usaha jaringan ...160

27 - Hasil analisis kelayakan usaha jaringan dan analisis sensitivitas ...161

28 - Hasil perhitungan nilai tambah tanaman obat jenis kering dan segar ...164

29 - Analisis konsistensi AHP ...173

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 - Skema aliran pasokan bahan baku ...12

2 - Skema bahan baku menjadi irisan kering .. ...17

3 - Kerangka manajemen rantai pasokan ...26

4 - Rumah mutu .. ...42

5 - Struktur hirarki AHP .. ...49

6 - Ketergantungan antar elemen dalam ANP .. ...51

7 - Kerangka pemikiran penelitian ...56

8 – Tahapan penelitian ...59

9 - Peta lo kasi penelitian .. ...62

10 - Alur proses penanganan bahan baku .. ...69

11 - Kondisi harga temulawak di lapangan ...76

12 - Kondisi harga jahe di lapangan ...77

13 - Aktor pada rantai pasokan tanaman obat ...82

14 - Hasil final matriks rumah kualitas – QFD ...98

15 - Struktur hirarki dari elemen tujuan ...101

16 - Matriks DP -D elemen tujuan .. ...101

17 - Struktur hirarki kendala.. ...107

18 - Matriks DP -D elemen kendala .. ...107

(17)

20 -Matriks DP -D untuk elemen aktivitas .. ...112

21 - Struktur hirarki elemen perubahan .. ...115

22 - Matriks DP -D perubahan yang diinginkan ...116

23 – Struktur jaringan .. ...118

24 – Mekanisme pengendalian ...125

25 - Empat tahapan strategis pembangunan jaringan .. ...132

26 - Penerimaan petani anggota jaringan .. ...134

27 - Skema pengambilan keputusan jaringan ...140

28 - Kegiatan operasi pusat manajemen jaringan ...142

29 - Biaya usaha tani tanaman obat ...156

30 - Harga tanaman obat dijual ke jaringan ...157

31 - Keuntungan jaringan selama 5 tahun ...163

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Asumsi biaya jaringan ... 188

2. Proporsi bahan baku dari target nasional ... 189

3. Penetapan komposisi penjualan tanaman obat ... 190

4. Target penyaluran ... 191

5. Harga bahan baku segar ... 192

6. Biaya pembelian bahan baku jaringan ... 193

7. Pembiayaan teknis jaringan ... 194

8. Biaya sewa dan investasi ... 195

9. Perkiraan arus kas jaringan ... 196

10. Target penyaluran bahan baku perhitungan BEP ... 197

11. Harga Jual Bahan Baku ... 198

12. Pembiayaan teknis jaringan posisi BEP ... 199

13. Penjualan tanaman obat posisi BEP ... 200

14. Perkiraan arus kas posisi BEP ... 201

15. Manfaat Jaringan bagi masyarakat ... 202

16. Manfaat Jaringan bagi masyarakat kondisi BEP ... 203

17. Permasalahan petani ... 204

18. Pengendalian vertikal industri terhadap pemasok ... 205

(19)

DAFTAR ISTILAH

Agroindustri

Didefinisikan sebagai industri yang mengolah hasil pertanian menjadi barang lain bernilai tambah lebih tinggi melalui kemampuan teknologi yang melibatkan aspek fisik, kimia maupun biologi. Boleh dikatakan agroindustri sebagai revolusi nilai tambah yang menyempurnakan keberhasilan di bidang pertanian. Kegiatan agroindustri dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu daur singkat dan daur panjang. Konsep agroindustri mensimbiosakan dua bidang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan proses produksi dan manajemen.

Agroindustri farmasi

Industri yang menggunakan bahan baku tanaman obat bagi keperluan produk untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan. Departemen Kesehatan menyebutkan sebagai Industri Obat Tradisional.

Analytical Hierarhcy Process

Proses hierarki analitik diajukan oleh Profesor Thomas L.Saaty yang merupakan model pengambilan keputusan yang mampu memecahkan persoalan kompleks secara kuantitatif. Tujuannya adalah memodelkan problem yang tidak berstruktur. Tiga unsur dalam AHP adalah menggambarkan dan menguraikan secara hierarkis yaitu memecah persoalan menjadi unsur terpisah-pisah. Kemudian pembedaan prioritas dan sintesis dan dilanjutkan dengan konsistensi logis untuk menjamin bahwa semua elemen telah dikelompokka n dan diperingkatkan secara konsisten sesuai kriteria yang logis.

Analytical Network Process

(20)

BCOR

Pengambilan keputusan dipertimbangkan dari sisi menguntungkan dan merugikan. Pertimbangan menguntungkan ini disebut sebagai manfaat (benefit – B), pertimbangan merugikan ditinjau dari sisi biaya (cost – C). Saaty, melengkapi pendekatan pengambilan keputusan menggunakan ANP, dengan memperhatikan peluang (opportunity – O) dan hal- hal yang menuju akibat negatif sebagai resiko (risk – R). Sintesa dari manfaat, biaya, kesempatan dan resiko menjadi kesimpulan akhir pengambilan keputusan (BCOR).

Fitofarmaka

Produk yang harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat harus dibuktikan secara uji klinik, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.

Herbal terstandardisir

Produk yang berasal dari bahan atau ramuan bahan tumbuhan, hewan, mineral, yang harus memenuhi kriteria aman, klaim khasiat yang dibuktikan secara ilmiah/ praklinik, telah dilakukan standarisasi bahan baku yang digunakan dalam produk jadi danmemenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

Intrepretative Structural Modelling

Adalah proses pengkajian kelompok guna memotret perihal komples suatu sistem. Secara metodologi dan teknik, ISM dibagi dua bagian yakni penyusunan hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Prinsip dasar adalah identifikasi struktur di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat tinggi dan untuk pengambilan keputusan lebih baik.

Jamu

Bentuk sediaan masih sederhana, berwujud serbuk seduhan, dan bahan rajangan dengan sejumlah kegunaan yang sepenuhnya menggunakan istilah- istilah tradisional. Produk jamu berasal dari resep tradisional dan tidak mengikuti standar ilmiah, sehingga terfragmentasi sangat lebar dengan kandungan tanaman obat dan klaim yang bervariasi. Klaim kegunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan pengalaman empiris.

Quality Function Deployment

(21)

pada akhirnya ke dalam proses dan sistem yang memberikan produk dan jasa benilai tersebut. Dengan kata lain tujuan

QFD adalah menerjemahkan kebutuhan pelanggan ke dalam persyaratan teknis dan menset prioritas. Terlebih dulu, pada rumah mutu QFD d iterjemahkan kebutuhan pelanggan yang diletakkan pada lajur kiri kolom, kemudian menerjemahkan serangkaian proses yang dibutuhkan, selanjutnya dilakukan hubungan berpasangan antara fitur persyaratan mutu dan proses untuk dilihat mana proses yang berpengaruh kuat atas fitur dimaksud.

Rantai pasokan

Merupakan pergerakan fisik bahan baku atau produk, aliran informasi, pergerakan uang, penciptaan dan penjabaran modal intelektual. Rantai pasokan tidak sama dengan istilah logistik karena di dalamnya akan termasuk fungsi pembelian, produksi, pemasaran, keuangan, perekayasaan dan aktivitas pengendalian.

Rantai pasokan berbasis jaringan

Menunjukkan alur berstruktur dari obyek yang dipertukarkan sebagai ganti aliran bebas dengan dasar ketergantungan yang diakui dan wujud keikatan bersama. Analogi dari basis jaringan sebagaimana sel dalam organisme hidup yang dapat beraktivitas sendiri untuk memenuhi kebutuhan tetapi dengan bertindak dalam kesatuan dapat menghasilkan fungsi yang lebih kompleks. Membangun kekuatan jaringan strategik memerlukan berbagi teknologi, manfaat, pengembangan dan kepemilikan di dalam jaringan. Uraian terperinci terdapat pada tinjauan pustaka.

Simplisia

Bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolaha n apapun juga dan kecuali dinyatakan lain. Simplisia dapat berasal dari nabati, hewani, pelikan atau mineral.

Simplisia nabati

(22)

Obat tradisional dengan tujuan penggunaan untuk promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif telah dikenal oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Obat tradisional atau dikenal sebagai jamu merupakan ramuan yang dapat dibuat sendiri, diolah oleh penjual jamu gendong atau berasal dari produk industri.

Berdasarkan cara pembuatan, klaim penggunaan, tingkat pembuktian khasiat, produk agroindustri farmasi dikelompokkan menjadi : a) jamu, yakni ramuan tradisional yang secara empiris dibuktikan khasiatnya, b) herbal terstandar yakni obat tradisional yang telah melalui uji pra klinik, dan c) fitorfarmaka yakni obat tradisional yang telah melalui uji klinik sehingga dapat digunakan pada pelayanan kesehatan formal. Walaupun saat ini dikenal pengobatan kesehatan formal, namun terdapat kecenderungan masyarakat mencari alternatif pengobatan kembali pada alam (back to nature) karena persepsi manfaat berdasarkan pengalaman empirik.

Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan – BPOM (2003), terdapat peningkatan jumlah industri obat tradisional (IOT) pada tahun 2000

dari 96 menjadi 118, dan industri kecil obat tradisional (IKOT) dari 856 meningkat hampir 10 % menjadi 917 pada tahun 2002. Penyerapan bahan

baku atau simplisia untuk memenuhi kebutuhan IOT/ IKOT dan industri farmasi sebesar 63 %, keperluan ekspor sebesar 14 % dan konsumsi rumah tangga 23 %.

Laju pertumbuhan Industri Obat Tradisional berdasarkan data litbang Deptan 2006 sebesar 6,40 %. Pasar obat farmasi di Indonesia mencapai nilai Rp 17 triliun dan obat herbal Rp 2 triliun pada tahun 2003. Pasar obat herbal mengalami peningkatan menjadi Rp 2.9 triliun pada tahun 2005, naik 11 % dibandingkan tahun lalu (BPPT, 2006).

(23)

diikuti Asia US $ 5.1 miliar, Amerika Utara US $ 4.0 miliar, Jepang US $ 2.2 miliar dan negara lain US $ 1.4 miliar (Laird dan Pierce, di dalam WWF 2006). Pengembangan agroindustri farmasi lebih maju telah dilakukan oleh China dengan mengintegrasikan kebun, pabrik dan lembaga layanan kesehatan formal (Pramono, 2001).

Agroindustri farmasi membutuhkan beraneka jenis bahan baku tanaman obat untuk memenuhi kebutuhan produk obat tradisional yang telah dikenal lama oleh masyarakat, maupun guna keperluan bahan baku produk hasil inovasi yang dilakukan industri.

Kebutuhan bahan dasar obat tradisional seperti jahe, kunyit, dan

temulawak meningkat 5 % pada tahun 2001, di mana kunyit naik mencapai 12 % dan permintaan jahe diperkirakan tumbuh mencapai rata-rata 11 % per tahun. Pada saat kebutuhan jahe dan kunyit meningkat, produksi jahe terlihat menurun sebesar 7 % dan kunyit mencapai 11 %, sedangkan temulawak mengalami kenaikan produksi mencapai 15 % pada tahun 2002.

Pada kenyataannya, tidak semua tanaman obat telah dibudidayakan. Bahan baku hasil budidaya diperoleh dari petani yang mengikuti program pembinaan industri, petani yang secara mandiri atau berasal dari kebun milik industri. Menurut Darusman (2004), diperlukan pedoman teknis dalam produksi bahan baku jamu, herbal terstandarisir maupun fitofarmaka yang mencakup teknik budidaya, pengumpulan dan produksi bahan baku, proses pasca panen dan proses pengendalian kualitas bahan baku.

(24)

2004). Akibatnya, petani kurang cepat mendapatkan informasi inovasi produk dan kebutuhan jenis dan tanaman obat yang dibutuhkan oleh industri.

Manajemen rantai pasokan menurut Kotler (2000), adalah representasi dari sistem pengiriman bahan baku dimana di satu pihak terdapat kebutuhan pasokan dan di lain pihak terdapat permintaan yang mendorong terjadinya pertukaran dalam bentuk aliran pergerakkan fisik bahan atau produk, informasi, uang, penciptaan dan penjabaran modal intelektual (Ayers, 2002).

Manajemen rantai pasokan telah menjadi area penelitian yang tidak saja difokuskan pada logistik dan proses operasi, namun diteliti dari berbagai perspektif seperti: manajemen strategik, kelembagaan, hubungan antar

organisasi, manajemen pengetahuan , biaya transaksi dan jaringan.

Konsep rantai pasokan mengintegrasikan proses bisnis dari pemasok hingga pemakai akhir sehingga memberikan produk, jasa dan informasi guna menambah nilai (Tracey et al., 2004; Maku et al, 2005), di mana pendekatan lintas fungsi dan organisasi menjadi penting. Selain dipandang memiliki kepentingan jangka panjang, dipergunakan sebagai strategi untuk menjalin kerjasama dan menurunkan kehilangan peluang bisnis (Dobler dan Burt, 1996). Manajer yang berada pada rantai pasokan bekerja bersama agar keseluruhan bagian menjadi lebih kompetitif dengan syarat memandang seluruh rantai sebagai satuan proses dengan tujuan mengurangi ketidakefisienan dan terjadinya pengulangan proses sehingga secara keseluruhan menjadi lebih fleksibel serta responsif terhadap kebutuhan pelanggan (Vokurka et al. 2002).

Kerangka kerja dalam memformulasikan strategi rantai pasokan tergantung pada strategi sumber, aliran permintaan, layanan pelanggan dan integrasi pasokan (Evans dan Danks, 1998). Terdapat tiga dimensi strategis yang berkaitan dengan struktur fisik rantai pasokan yakni mensintesa dimensi struktural, sinergi interaksi manusia dan hubungan di dalam rantai pasokan dan sinkronisasi kendali operasional proses (Giannakis dan Croom, 2004).

Ketidaksinkronan pada rantai pasokan terjadi ketika pihak yang memiliki kekuatan pengatur pasokan cenderung mendominasi, dengan

(25)

pihak lain. Kondisi dimaksud menurut Sumardjo (2002), mempunyai ciri tidak terdapat hubungan fungsional dan disebut sebagai sistem dispersial serta hanya mementingkan diri sendiri sehingga petani berada pada posisi tidak menguntungkan.

Kedudukan petani dengan keterbatasan dan kemampuannya, kurang berposisi sejajar dengan pihak pada rantai di atasnya. Sifat hubungan jangka pendek berdasarkan mekanisme pasar kurang mengarah pada hubungan jangka panjang yang saling membutuhkan. Manajemen rantai pasokan berbasis jaringan akan meninjau keterhubungan antar individu bahkan antar organisasi sehingga domain manajemen rantai pasokan tidak sekedar unit

analisis, tetapi bagaimana interaksi dan interdependensi dari fungsi-fungsi, kelompok bahkan organisasi (Giannakis, 2004). Dengan kata lain menurut Barba et al. dalam Gattorna (1998), anggota jaringan bertanggung jawab untuk masing-masing aktivitas transaksi dengan pelanggan.

Kerjasama antara agroindustri farmasi dan petani telah dilakukan di daerah penelitian dengan fasilitasi pemerintah daerah, atau lembaga penelitian. Tanaman obat yang dibutuhkan industri dibudidayakan oleh petani kemudian dibina oleh agroindustri farmasi. Pembinaan petani oleh pemerintah daerah melalui dinas-dinas terkait sangat tergantung pada keberlanjutan proyek dan dana yang tersedia.

Hasil kerjasama petani dan agroindustri farmasi berupa hasil panen petani dibeli oleh industri sebagai bagian dari kontrak pembelian, atau industri hanya memberikan penyuluhan budidaya dan standar pengolahan bahan baku tanpa kewajiban membeli hasil panen petani. Pembelian melalui pedagang pengumpul pada kenyataannya masih tetap dominan dengan alasan lebih praktis dan tidak terlibat pada permasalahan budidaya yang mengharuskan menyediakan tenaga petugas tersendiri untuk melakukan penyuluhan.

Mengingat unsur strategis kontinuitas pasokan dalam menjamin kelangsungan usaha agroindustri farmasi, maka merekayasa sistem rantai pasokan bahan baku berbasis jaringan menjadi penting untuk meningkatkan

(26)

Kajian sistem rantai pasokan saat ini ditelaah dan direkayasa agar dapat mengakomodasikan kebutuhan pihak industri berupa kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pasokan bahan baku sekaligus memenuhi harapan petani dalam hal harga yang lebih baik, kecepatan penyaluran dan kepastian penerimaan uang. Penelitian mendalam mengenai organisasi jaringan dipergunakan untuk menerjemahkan seluruh elemen dan disain struktural dengan memperhatikan kemungkinan kendala implementasi dan konflik internal jaringan.

1.2. Tujuan

Penelitian bertujuan untuk menghasilkan sistem pasokan bahan baku agroindustri farmasi berbasis jaringan yang mampu meningkatkan pendapatan bagi petani anggota dan hubungan yang berkelanjutan.

1.3. Ruang Lingkup

Penelitian menitikberatkan pada rantai pasokan petani hingga industri

dengan fokus tanaman obat familia Zingiberaceae yakni umbi Curcuma xanthorizza (temulawak), Curcuma domestica (kunyit), Zingiberis officinale

(jahe) sebagai bahan baku yang banyak digunakan agroindustri farmasi yang menghasilkan jamu. Untuk merancang sistem, dilakukan identifikasi tata niaga dan pola pengadaan dan permintaan tanaman obat, menjabarkan harapan pelanggan dan matriks hubungan kriteria mutu dengan aspek teknis operasional menggunakan Quality Function Deployment.

Analisis elemen kritis dalam menstrukturkan jaringan menggunakan

Intrepretative Structural Modelling dengan meninjau tujuan, kendala utama, aktivitas yang dibutuhkan dan perubahan diharapkan. Untuk mengkaji manfaat yang diperoleh anggota jaringan dilakukan analisis finansial.

Guna mempertahankan jaringan agar dapat bertahan lama, dikaji kemungkinan konflik yang mengganggu dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process sehingga dapat disiapkan solusi yang tepat. Dalam mengkaji pada kondisi apa tujuan jaringan tercapai, didekati dengan analisis

(27)

Industri obat tradisional (IOT) sebagaimana dinyatakan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 246 / Menkes / Per / V / 1990 adalah industri yang memproduksi obat tradisional dengan total aset di atas Rp 600.000.000,- dan disebut Industri kecil obat tradisional (IKOT) bilamana total aset lebih rendah. Industri obat tradisional menghasilkan produk dengan menggunakan bahan atau ramuan bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik yang secara tradisional digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman empiris. Bentuk sediaan berwujud serbuk seduhan, dan bahan rajangan dengan sejumlah kegunaan yang sepenuhnya menggunakan istilah-istilah tradisional sehingga produk yang beredar memiliki kandungan tanaman obat dan klaim yang bervariasi.

Menurut pendapat Sinambela sebagai responden ahli, sesungguhnya tidak tepat menyebutkan kata obat pada produk tradisional walaupun masyarakat menyatakan demikian. Menurut kalangan berpendidikan atau masyarakat kesehatan, bilamana dinyatakan sebagai obat berarti menuntut pembuktian secara ilmiah. Kalau khasiat produk tidak terbuktikan, maka

tidak dapat dikatagorikan sebagai obat tetapi suplemen makanan herbal atau

herbal food supplement. Merujuk pada definisi obat tradisional, beberapa industri obat tradisional sudah tidak tepat menyandang penamaan dimaksud karena telah menghasilkan produk herbal terstandardisir dan fitofarmaka.

Beberapa industri obat tradisional yang dikenal masyarakat antara lain Sidomuncul, Nyonya Meneer, Air Mancur, Jamu Jago, Jamu Iboe yang memberi kontribusi signifikan terhadap total produk obat tradisional. Selain produk yang dihasilkan oleh industri dengan merek yang telah dikenal, produk jamu juga berasal dari industri kecil dengan jumlah terbesar berlokasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti terdapat pada Tabel 1.

(28)

praktis untuk dikonsumsi berupa kaplet, pil maupun kapsul. Perubahan bentuk produk agar dapat diterima konsumen yang kurang menyukai rasa pahit bilamana mengkonsumsi produk dalam bentuk bubuk.

Katagori produk obat tradisional menurut definisi dari Nyonya Meneer adalah : jamu wanita, jamu laki-laki, jamu untuk tujuan kecantikan, kesejahteraan keluarga, kesehatan dan penyembuhan. Menurut responden ahli Widyastuti dari Balai Penelitian Tanaman Obat, produk untuk meningkatkan kesehatan atau kesegaran merupakan produk yang umum dihasilkan industri penghasil obat tradisional.

Agroindustri farmasi kecil lebih cenderung menggunakan merek lokal

atau bahkan tanpa merek. Pemrosesan produk masih menggunakan peralatan pengolahan sederhana, yang bersifat padat karyan dan melibatkan keluarga. Produk obat tradisional dijual dengan harga relatif murah berkisar Rp 1.000,- per sachet dengan berat 7 gram, pada saat penelitian ini dilakukan.

Dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Malaysia sebagai salah satu pesaing obat tradisional di wilayah Asia Tenggara, produk tanaman obat di negara tersebut diposisikan sebagai produk herbal terstandardisir. Sejak tahun 1998, Malaysia memfokuskan pada penanganan produk herbal dan melalui National Herbal Product Blueprint mencanangkan tekad menjadi pemain dunia (Tahir, 2004). Negara China yang dikenal sebagai pemasok produk herbal terkemuka, melakukan pendekatan strategis dan mengaitkan secara konsisten berbagai sektor untuk program pengembangan bahan baku guna memperkuat posisi industri produk herbal.

Arah kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengembangkan obat tradisional menjadi fitofarmaka ditujukan agar terdapat rasionalisasi dan peningkatan pemanfaatan di dalam pelayanan kesehatan formal. Pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka sebagaimana dinyatakan oleh Peraturan Menteri Kesehatan 760/MENKES/PER/IX/1992, harus melalui uji toksisitas, uji farmakologik eksperimental, uji klinik dan terbukti memiliki efek kuratif. Pendekatan menuju produk fitofarmaka dilakukan melalui pengembangan formula obat tradisional dan penyusunan formula

(29)

dukungan pasokan dan komunikasi dengan konsumen dari kalangan layanan kesehatan formal mengingat persepsi terhadap fitofarmaka masih disamakan dengan jamu.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kebenaran jenis bahan baku masih diragukan dan kualitas pasokan bahan baku masih belum stabil. Atas kondisi tersebut, tujuan menghasilkan produk fitofarmaka masih menghadapi kendala. Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan, baru terdapat empat obat tradisional yang dinyatakan sebagai fitofarmaka sampai tahun 2003. Produk dimaksud, berasal dari perusahaan farmasi milik negara dan satu perusahaan swasta. Darusman (2004) menyatakan bahwa produksi

tanaman obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan farmakope Indonesia, ekstrak farmakope Indonesia, materia medika Indonesia, dan ketentuan persyaratan lain yang berlaku.

Istilah agroindustri tanaman obat sering digunakan dalam forum ilmiah sampai dengan tahun 2000 untuk menjelaskan industri pengolah tanaman obat, walaupun istilah agromedisin juga dipakai untuk penggambaran yang sama. Selanjutnya, sejak tahun 2001 istilah biofarmaka sering digunakan. Biofarmaka adalah tumbuhan, hewan, maupun mikroba yang memiliki potensi sebagai obat, nutriceuticals, makanan kesehatan untuk manusia, hewan, maupun tanaman (Darusman, 2004). Penulis memakai istilah agroindustri farmasi yakni industri yang menggunakan bahan baku tanaman obat bagi keperluan produk untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan.

(30)

Tabel 1 Data industri obat tradisional (IOT) dan industri kecil obat tradisional (IKOT) 2002

2000 2001 2002

No Provinsi

IOT IKOT IOT IKOT IOT IKOT

1 DI Aceh - 25 - 25 - 25

2 Sumatera Utara 3 49 3 50 3 50

3 Suamtera Barat - 4 - 4 - 4

4 Riau - 8 - 8 - 8

5 Jambi - 11 - 11 1 11

6 Sumatera Selatan - 6 1 6 1 7

7 Bengkulu - - - -

8 Lampung - 4 - 4 - 4

9 DKI Jakarta 23 128 23 134 24 134

10 Jawa Barat 46 94 55 108 34 98

11 Banten - - - - 22 16

12 Jawa Tengah 15 200 17 207 17 207

13 Yogyakarta - 20 - 21 22

14 Jawa Timur 8 176 14 186 - 190

15 Bali - 8 - 8 16 8

16 NTB - 12 - 14 - 14

17 NTT - - - -

18 Kalbar - 9 - 10 - 2

19 Kalteng - 2 - 2 - 2

20 Kalsel - 33 - 36 - 36

21 Kaltim - 10 - 11 - 11

22 Sulawesi Utara - 7 - 7 - 7

23 Sulawesi Tengah - 1 - 1 - 1

24 Sulawesi Tenggara - 2 - 2 - 2

25 Sulawesi Selatan - 26 - 26 - 26

26 Maluku - 17 - 17 - 17

27 Papua - 3 - 3 - 3

28 Indonesia 94 856 113 903 118 917

2.1.1. Bahan Baku Agroindustri Farmasi.

Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber kekayaan hayati dengan 9.606 spesies tanaman obat, baru sekitar 4 % dimanfaatkan secara komersiil (Sastroamidjojo, 1997). Bahan baku obat tradisional berasal dari panen hasil hutan dan pembudidayaan. Tumbuhan liar kurang baik dijadikan sumber bahan baku dibandingkan dengan tanaman budidaya, disebabkan keragaman umur tanaman, homogenitas spesies kurang terjamin dan lingkungan tempat tumbuh yang berlainan. Kondisi tersebut berakibat pada

(31)

keseragaman kandungan metabolit sekunder. Gangguan kelestarian sumber plasma nutfah dapat dikurangi dengan pelaksanaan pembudidayaan tanaman obat. Walaupun demikian, pemanenan hasil hutan masih saja berlangsung sehingga dikhawatirkan dengan berjalannya waktu akan mengalami kepunahan.

Tanaman obat memiliki sifat khusus dengan kandungan metabolit sekunder yang berkhasiat obat baik diperoleh dari akar hingga daun.

Metabolit sekunder sebagaimana dinyatakan Jamaran (1995), memiliki karakteristik biosintesis adaptif, spesifik dan variatif. Tanaman obat dalam satu familia mensintesis metabolit sekunder yang menyerupai ditinjau dari

struktur kimia inti namun berbeda dengan familia lain. Respon terhadap rangsangan yang tidak selalu sama antara spesies satu dengan yang lain, berakibat kandungan senyawa metabolit sekunder bervariasi baik kadar maupun komposisinya ketika metabolit sekunder menyerupai dari beberapa spesies dari salah satu keluarga disintesis.

Agroindustri farmasi memerlukan jaminan kebenaran jenis tanaman obat, kestabilan dan keseragaman kualitas. Keseragaman kualitas dipengaruhi oleh keterkaitan proses satu dengan lainnya dimulai saat pemilihan bibit, proses penanganan saat panen, pascapanen hingga produk jadi (Sudarsono, 2004). Keseragaman kadar senyawa aktif dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan tumbuh, perlakuan selama masa tumbuh, saat panen dan pascapanen. Adapun penentuan masa panen tergantung pada waktu dan bagian tanaman yang dibutuhkan. Waktu panen tersebut, terkait dengan pembentukan senyawa aktif pada bagian tanaman yang dipanen, sehingga waktu yang tepat adalah saat bagian tanaman mengandung senyawa aktif dalam jumlah terbesar (Sudiatso, 2002).

Bilamana mengharapkan penelusuran historikal hasil panen dan terstandarisasi maka budidaya merupakan cara yang tepat karena melalui praktek pertanian yang baik (good agricultural practices) dengan perpaduan teknologi agronomik. Praktek budidaya demikian, mencakup penggunaan bibit terpilih, pengolahan tanah, pengaturan tanaman, pemupukan,

(32)

Terdapat dua cara pembudidayaan tanaman obat yakni menggunakan cara monokultur dan polikultur. Pendekatan monokultur dilakukan dengan menanam jenis tanaman obat tertentu pada satu hamparan lahan. Pendekatan polikultur dilakukan secara tumpang sari dengan alasan mengurangi resiko kegagalan panen akibat hama dan penyakit, mengurangi kerugian saat harga tanaman obat rendah dan mengoptimalkan pemanfaatan lahan.

Tanaman keluarga Zingiberaceae sebagai contoh, lazim ditumpangsarikan dengan jagung (Zea mays), kacang tanah (Arachis

hipogea) dan ketela pohon (Manihot utilisima). Pemilihan jenis tanaman tumpangsari tergantung pada iklim, selera dan harga pasar, dimana petani

akan memperoleh manfaat ganda (Paimin dan Murhananto, 1999). Sampai saat ini, aspek kelayakan usaha tani untuk beberapa tanaman obat telah berhasil dikaji seperti jahe gajah, temulawak, kunyit, lengkuas, adas, cabai jawa, katuk, dan kapulaga.

Tumbuhan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam sebagai berikut : (1) Tumbuhan obat tradisional

Merupakan spesies yang diketahui atau dikenal masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Contoh : temulawak, jahe, kencur, kumis kucing.

(2) Tumbuhan obat modern

Merupakan spesies yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertangungjawabkan secara medis.

(3) Tumbuhan obat potensial

Merupakan spesies yang diduga mengandung atau memiliki senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan penggunaanya secara ilmiah sebagai bahan obat (Zuhud, 2001).

Ditinjau dari aliran pasokan, tanaman obat dapat langsung dipasok ke industri atau terlebih dahulu diolah menjadi bahan setengah jadi, minyak

(33)

dipasok kepada pedagang yang mengolah serbuk untuk dijual kepada pedagang jamu gendong di berbagai kota di Indonesia. Pedagang demikian, sering disebut sebagai pedagang racikan. Kata racikan adalah istilah yang ditujukan terhadap pedagang jamu yang membuat jamu berdasarkan resep yang dipahami turun temurun untuk kegunaan sediaan dasar. Pedagang pengumpul kabupaten dapat pula berlaku sebagai pedagang racikan. Petani dalam kelompok, yang berkemampuan memasok dalam jumlah dan kontinuitas sebagaimana dikehendaki industri dapat menjual langsung kepada industri.

Skema aliran pasokan bahan baku dapat digambarkan sebagai berikut :

Data Direktorat Jenderal Bina Produksi dan Hortikultura (2004) menunjukkan empat jenis tanaman obat yang banyak dibutuhkan yakni : lempuyang (Zingiberis aromatica rhizoma), jahe (Zingiberis rhizoma), temulawak (Curcuma xanthoriza rhizoma) dan kunyit (Curcuma domestica

rhizoma). Industri yang memanfaatkan temulawak sebagai bahan baku ramuan obat sejumlah 916 produk dengan klaim penggunaan untuk menjaga stamina dan pemeliharaan kesehatan. Jahe dimanfaatkan pada 753 produk

dan kunyit 664 jenis produk. Ditinjau dari kategori produk yang banyak Gambar 1. Skema aliran pasokan bahan baku

Petani tanaman obat

Pedagang pengumpul desa

Pedagang kecamatan/kabupaten

Eksportir Pedagang Racikan

Agroindustri farmasi Kerjasama/

contract farming

(34)

diproduksi, tercatat sejumlah 66 produk untuk peningkatan stamina dan 964 produk untuk pemeliharaan kesehatan (Badan POM, 2003).

Bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan baku dapat berasal dari daun, akar, kulit batang, buah, semua bagian, batang/ kayu, biji, bunga, getah, pucuk daun/ tunas, rimpang, umbi, cabang/ ranting, dan air batang. Menurut Zuhud et al. (2001), daun merupakan bagian tanaman yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku. Data pada Tabel 2, menyajikan dua puluh nama bahan baku yang digunakan di delapan Agroindustri farmasi / industri obat tradisional (IOT) pada tahun 2002. Dari data tersebut menunjukkan temulawak sebagai tanaman obat paling banyak dimanfaatkan

sebagai bahan baku produk.

[image:34.612.136.503.330.631.2]

Tabel 2 Urutan pemakaian bahan baku yang banyak digunakan di delapan IOT

No Nama Bahan baku Nama Indonesia Total

pemakaian (kg/tahun)

1 Curcuma Rhizoma Temulawak 324.832

2 Zingiberis aromatica rhizoma Lempuyang wangi 202.445

3 Languatis rhizoma Lengkuas 190.904

4 Zingiberis rhizoma Jahe 157.599

5 Foeniculli fructus Adas 156.419

6 Alyziae cortex Pulosari 94.932

7 Kaemferiae rhizoma Kencur 87.959

8 Curcuma domestica rhizoma Kunyit 83.371

9 Retrofrati fructus Cabe Jawa 59.213

10 Imperatae radix Alang – alang 57.333

11 Eugenia aromaticae folium Cengkeh 56.468

12 Zingiberis zerumbeti rhizoma Lempuyang 55.986

13 Zingiberis purpurei rhizoma Bengle 46.467

14 Boesenbergiae rhizoma Temu Kunci 43.687

15 Orthosiphonis folium Kumis Kucing 40.647

16 Centellae herba Pegagan 40.467

17 Piperis nigri fructus Merica 39.200

18 Myristicae fructus Pala 34.802

19 Parkiae semen Kedawung 34.604

20 Physalis peruvianum folium Alba 34.467

(35)

Dari penelitian pendahuluan, diperoleh fakta bahwa sebagian atau seluruh tanaman obat obyek penelitian jahe, kunyit, temulawak dipergunakan di kelompok produk : jamu sehat perempuan, sehat laki-laki, pegal linu dan masuk angin. Kebutuhan pasokan jahe, temulawak meningkat 8 % dan kunyit hampir 10 % pada tahun 2002 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3. Permintaan jahe dari industri menduduki peringkat pertama. Saat kebutuhan tanaman obat jahe, kunyit, dan temulawak meningkat, produksi komoditas jahe menurun sebesar 7 %, kunyit 11 % sedangkan temulawak mengalami kenaikan produksi sebesar 15 % pada tahun 2002.

[image:35.612.134.517.261.440.2]

Tabel 3 Kebutuhan tanaman obat IOT dan IKOT tahun 2000-2002

No Komoditas 2000 2001 2002*)

1 Jahe 106.194 111.670 121.204

2 Lengkuas 26.566 27.934 30.195.

3 Kunyit 22.572 23.740 25.999

4 Kencur 12.215 12.848 14.116

5 Temulawak 6.813 7.170 8.104 6 Lempuyang 4.309 4.531 4.917 7 Temuireng 2.889 3.040 3.386 8 Kejibeling 582 612 683 9 Dringo 348 366 400 10 Kapulaga 681 718 860

*) olahan. Ukuran dalam ton/ tahun

Tabel 4 Produksi tanaman obat tahun 2000 - 2002

No Komoditas 2000 2001 2002

1 Jahe 115.092 128.437 118.496

2 Lengkuas 27.512 26.154 27.934

3 Kunyit 24.813 27.195 23.993

4 Kencur 9.490 11.112 12.848

5 Temulawak 5.674 6.089 7.174

6 Lempuyang 4.485 4.794 4.531

7 Temu ireng 2.853 1.663 3.040

8 Keji beling 470 678 611

9 Dringo 140 115 366

10 Kapulaga 2.490 1.929 3.539

(36)

2.1.2. Penanganan Bahan Baku.

Kadar senyawa aktif simplisia berbeda-beda tergantung dari bagian tanaman yang digunakan, umur, saat waktu panen dan lingkungan tumbuh.

Tanaman obat yang banyak mengandung minyak atsiri, akan lebih baik dipanen pada pagi hari. Bahan baku yang dipanen harus bebas dari tanaman lain yang mengandung komponen bioaktif.

Menurut Sandra (2001), kurangnya keahlian pada tingkat hulu mendorong terjadinya kesalahan penanganan lepas panen. Akibatnya, bahan baku mudah ditumbuhi jamur penghasil aflatoksin, kontaminasi nabati, mikroorganisme dan mineral tanah yang disebabkan oleh proses pencucian yang kurang bersih.

Penanganan pascapanen terdiri dari pembersihan tanah, kotoran, batu atau benda asing lainnya, pencucian, dan pengemasan bilamana tidak terjadi pemrosesan perubahan bentuk. Pencucian dilakukan dengan air bersih yang mengalir seperti menggunakan air dari mata air. Penggunaan air sumur harus dilakukan secara tepat agar tidak menambah jumlah mikroba. Penggunaan air yang kotor akan berakibat pada pertambahan jumlah mikroba pada permukaan dan air yang menempel pada permukaan mempercepat pertumbuhan mikroba.

Tanaman obat jenis akar dan umbi perlu mengalami perubahan bentuk berupa irisan tipis apabila akan diproses menjadi simplisia kering dengan tujuan mempermudah proses pengeringan. Proses dilakukan melalui perajangan berupa penipisan dengan tebal 5 – 7 mm menggunakan pisau atau mesin perajang. Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan semakin dapat

membantu mempercepat penguapan air sehingga waktu pengeringan menjadi lebih singkat. Namun, perajangan yang sangat tipis dapat menyebabkan berkurangnya zat berkhasiat mudah menguap sehingga mempengaruhi bau dan rasa yang diinginkan. Proses perajangan tanaman obat temulawak, kencur, jahe, dan temu giring, perlu dijaga agar tidak banyak kehilangan kandungan minyak atsiri.

(37)

lebih tahan lama dan tidak cepat rusak. Kadar air tanaman obat hasil panen berkisar 60 – 80 %, sedangkan bahan kering yang diperoleh rata – rata berkisar 50 – 60 % dari bahan asalnya (Paimin dan Murhananto, 1999). Lama pengeringan menggunakan sinar matahari berkisar 5 – 8 hari, sedangkan bilamana menggunakan alat bantu pengeringan membutuhkan 3 – 4 hari.

Cara pengeringan dengan bantuan sinar matahari, lebih biasa digunakan. Bahan baku yang telah diiris tipis dihamparkan pada lantai pengeringan menggunakan alas plastik, tikar, tampah atau lantai pengeringan saja. Proses pengeringan dengan cara ini memang sederhana tetapi sangat

mengandalkan kondisi cuaca dan intensitas matahari. Bahan baku harus sering dilakukan pembalikan dan relatif rawan kontaminasi akibat pengeringan tidak sempurna.

Bahan baku yang tidak melalui proses pengeringan, hanya dilakukan pencucian kemudian diseleksi dan dikemas dengan menggunakan karung plastik. Biasanya pedagang pengumpul akan mengambil bahan baku pada gudang petani terkecuali bilamana dipersyaratkan bahan baku dikirim ke gudang pengumpul pada lokasi yang ditetapkan.

Tanaman obat hasil panen rentan terhadap kehilangan kadar air. Laju kehilangan kadar air bahan baku segar tergantung pada cara penanganan bahan baku, penggunaan kemasan dan cara mengemas, lama pengiriman, penyusunan bahan baku dalam kendaraan pengangkut dan selama proses penyimpanan. Penanganan bahan baku segar perlu dilakukan secara cepat agar terhindar dari penyusutan volume dan kehilangan kesegarannya.

Tanaman obat irisan kering dapat disimpan lebih lama dengan pengaturan suhu, kelembaban dan cara penyimpanan yang tepat agar tidak terkontaminasi oleh kutu, rayap, dan jamur. Bahan baku tanaman obat irisan kering dapat diproses lebih lanjut menjadi serbuk. Petani jarang melakukan pengolahan menjadi serbuk disebabkan alat kerja yang tidak memadai dan keinginan petani segera menjual hasil guna untuk mendapatkan uang tunai.

Skema pada gambar 2, memaparkan proses yang dilalui untuk

(38)

Sarana dan cara pengolahan yang kurang memadai menjadi penyebab

kontaminasi dan rendahnya kualitas bahan baku. Selain itu, kualitas bahan baku dari masing – masing sentra pasokan bervariasi karena perbedaan agroklimat, dan penanganan pascapanen. Perbedaan kualitas tersebut menimbulkan permasalahan bagi industri penghasil produk fitofarmaka, karena harus melakukan pengaturan standarisasi dosis dan formulasi.

Bahan baku tanaman obat rentan terhadap cahaya dan oksigen udara karena dapat terjadi kerusakan atau perubahan kualitas. Senyawa tertentu dalam bahan baku dapat mengalami perubahan kimiawi karena proses oksidasi, reaksi kimia intern oleh enzim, dehidrasi dan pengaruh penyerapan air.

2.1.3. Pengadaan Bahan Baku

Pembelian bahan baku tanaman obat jenis rimpang dengan masa tanam selama 9 – 10 bulan biasanya berlangsung sekitar bulan Juli – September atau sebelum masuk musim penghujan. Setelah dilakukan proses seleksi, pembersihan, bahan baku disimpan sambil menunggu datangnya pedagang pengumpul. Kemampuan membeli dan kapasitas gudang menjadi penentu jumlah pembelian untuk memenuhi kebutuhan produksi pabrik satu periode panen atau memenuhi pesanan pedagang pengumpul bagi keperluan ekspor atau kebutuhan rumah tangga.

Perdagangan tanaman obat umumnya dengan rantai pasokan bertingkat.

Pedagang pengumpul desa membeli bahan baku dari petani dan setelah Pembersihan

dari kotoran

Pencucian bahan baku

Penirisan

Perajangan menjadi irisan Pengeringan

(39)

diproses sederhana dijual kepada pedagang pada tingkat berikutnya dengan harga sesuai kualitas bahan baku yang dihasilkan. Industri bebas membeli bahan baku dari berbagai pihak baik.

Keterbatasan petani dalam melakukan transaksi, kemampuan pasokan dan lokasi yang jauh dari pabrik atau gudang industri, mendorong industri memanfaatkan peran pedagang pengumpul. Mekanisme pembelian berdasarkan pola dagang atau kontrak terbatas yang kurang terkoordinasi dimana pihak pembeli menjalin hubungan cukup lama dengan pemasok tetapi penentuan harga tetap ditentukan berdasarkan situasi penawaran dan permintaan. (Chanisah, 1996; Sudarsono, 2004).

Menurut Sajogyo (1999), kehadiran pedagang pengumpul di desa telah diterima. Pedagang dimaksud dianggap pihak yang memiliki hubungan luas dan mampu menembus batas desa. Keberadaan pedagang pengumpul ini memberikan manfaat mengingat pengetahuan petani mengenai pasar terbatas. Petani kemudian memanfaatkan jasa pedagang pengumpul sebagai pemasar dan melaksanakan kegiatan pemasaran bahan baku kepada pihak pembeli lainnya. Pedagang pengumpul tingkat pertama yang berasal dari desa yang sama sangat mengenal situasi pasokan dan bahkan petani.

Dalam hal pembinaan kepada petani, agroindustri farmasi besar telah melakukan namun dalam lingkup terbatas. Industri lebih menitikberatkan pada aktivitas dan pemecahan masalah pemrosesan serta upaya memenuhi persyaratan efikasi dan keamanan produk. Pengadaan bahan baku yang dikelola sendiri oleh agroindustri farmasi tidak menjadi alternatif karena akan menuntut biaya investasi, operasional dan penyediaan sumber daya manusia. Sebagaimana penelitian Rademakers dan Valkengoed (1995), agroindustri farmasi tidak terlalu melakukan pengintegrasian ke hulu dalam hal pengadaan bahan baku. Kalaupun terjadi kekurangan pasokan lebih berkecenderungan melakukan impor.

Bahan baku yang dipasok harus memenuhi standar dan lolos inspeksi mutu pada saat penerimaan melalui pemeriksaan visual dan laboratorium. Pemeriksaan mutu bahan baku akan mencakup tingkat kekeringan, bentuk

(40)

berkhasiat. Bahan baku yang diterima dari petani maupun pedagang pengumpul, akan dilakukan pembersihan ulang, pemilahan, pencucian hingga pengeringan sebelum diubah bentuk menjadi partikel kecil sesuai dengan kebutuhan formulasi.

2.1.4. Komoditas Penelitian

Penelitian dibatasi pada tiga komoditas keluarga Zingiberaceae yakni : temulawak, kunyit, dan jahe sebagai komoditas yang banyak digunakan oleh agroindustri farmasi.

a. Temulawak ( Curcuma xanthorrhiza )

Rimpang tanaman temulawak berukuran besar, bercabang-cabang dan berwarna cokelat

kemerahan atau kuning tua. Tumbuh pada ketinggian

750 dpl. Minyak esensial temulawak gandung p-toluil-metil karbinol, kurkuimin, desmetoksi kurkumin, bidesmetil kurkumin, felandren, sabinen, sineol, borneol, zingiberen, turmeron, atlanton, arutmeron, ksantorizol, dan germakron.

Temulawak mempunyai dua komponen utama yaitu minyak atsiri dan kurkuminoid (Oei et al. diacu dalam Yuliani. 2003). Kurkuminoid merupakan substansi yang paling menonjol ditemukan pada temulawak. Temulawak dimanfaatkan untuk menurunkan kadar kolesterol, menghilangkan rasa nyeri, mencegah penyakit hati, pengobatan radang lambung, pelepasan gas dalam perut dan pengobatan pada orang yang kurang nafsu makan.

Kualitas rimpang temulawak sangat dipengaruhi oleh tempat tumbuh tanaman tersebut. Temulawak yang tumbuh di dataran rendah akan mengandung pati lebih tinggi, dan lebih mengandung minyak atsiri bilamana ditanam pada dataran tinggi. Tanaman temulawak lebih baik ditanam dengan menggunakan pohon naungan. Ketidakseragaman budidaya temulawak dari berbagai daerah mengakibatkan kandungan

(41)

b. Kunyit ( Curcuma domesticaVal )

Kunyit atau kunir tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan sekitar

2.000 – 4.000 mm setiap tahun dan di area yang

sedikit terlindung. Rimpang kunyit tumbuh dari umbi utama yang berbentuk bulat panjang, pendek, tebal, lurus, dan melengkung. Bercabang dan berkembang secara terus menerus. Tanaman kunyit dapat hidup di tempat terbuka atau sedikit ternaungi dan orang membudidayakannya sepanjang tahun. (Winarto, 2003).

Rimpang kunyit mengandung minyak atsiri 3 – 5 % terdiri dari turmeron, simen, artumeron, kurkumin, pati, dan damar. Kunyit digunakan untuk menurunkan tekanan darah, stimulan, penyakit pencernaan, penambah tenaga, dan infeksi kulit. Selain berguna bagi pengobatan, kunyit banyak dimanfaatkan oleh industri kosmetik dan pewarna serta rumah tangga.

Kualitas kunyit menjadi kurang baik bilamana ditanam di tempat yang kurang ternaungi. Walaupun dapat dipanen terus menerus, tetapi panen kunyit yang paling baik berada pada umur 12 bulan dan ditanam pada awal musim penghujan. Rimpang kunyit dalam bentuk kering dicapai sekitar 7 hari dengan pengeringan matahari, dan mengalami penyusutan 16 % untuk mencapai kadar air 8 – 13,7 %.

c. Jahe ( Zingiber officinale Rose )

Tanaman jahe tumbuh berumpun, dengan rimpang bercabang tidak teratur, umumnya ke arah vertikal. Berdasarkan ukuran, bentuk

dan warnanya, rimpang jahe dibedakan dalam tiga jenis yakni : jahe gajah dengan rimpang lebih besar dan ruas rimpang yang lebih mengembung, jahe putih kecil, dan jahe merah. Jahe putih kecil dan jahe merah ini cocok untuk ramuan obat karena kandungan minyak atsiri yang lebih

(42)

Jahe dapat dibudidayakan dan terbaik pada ketinggian sekitar 200 – 600 m dpl. Iklim ideal untuk jahe adalah panas sampai sedang, dengan sinar matahari yang cukup dan ternaungi. Rimpang jahe mengandung minyak atsiri 2 – 3 % terdiri dari zingiberin, kamfena, limonen, borneol, sineol, linalool, geraniol, kavikol, zingiberen dan zingiberol serta gingerol dan shogaol. Jahe berasal dari China Selatan, dan sekarang banyak dibudidayakan di semua daerah Asia baik tropik maupun subtropik. India menghasilkan 50 % dari jahe dunia ( www-ang.kfunigraz.ac.at/-katzer/engl/zing_off.html - 22 September 2003 )

Rimpang jahe digunakan oleh agroindustri farmasi untuk

memperlancar keluarnya keringat, menghalau masuk angin, penambah nafsu makan, dan menghambat pertumbuhan bakteri. Jahe juga digunakan bagi industri kosmetik dan minuman. Jahe dapat ditanam secara polikultur maupun monokultur. Kandungan minyak atsiri dalam rimpang jahe ditentukan oleh umur panen dan jenisnya. Kebutuhan pasokan bagi industri yang menghasilkan produk untuk kesehatan lebih diinginkan hasil panen jahe tua karena memiliki kandungan minyak atsiri optimum (Paimin dan Murhananto,1999).

2.2. Rantai Pasokan

Logistik dan manajemen rantai pasokan (supply chain management) acapkali membingungkan dan saling dipertukarkan (Tracey et al., 2004). Konsep rantai pasokan menekankan pada upaya mencari optimasi dan integrasi rantai nilai dengan menciptakan kompetensi unik di mana di dalamnya termasuk logistik. Menurut the Council of Logistics Management

(CLM), logistik merupakan bagian dari proses rantai pasokan dimana perencanaan, implementasi dan pengendalian aliran dari barang, jasa dan informasi yang berkaitan dimulai dari hulu hingga saat dikonsumsi konsumen dengan memenuhi persyaratan.

(43)

inter-organizational), aliansi, manajemen pengetahuan, dan jaringan. Sebagai terobosan strategik, manajemen rantai pasokan terwujud karena operasi pabrikasi dan pemasaran yang mengintegrasikan proses bisnis yang kompleks untuk menuju konsumen (Levi et al., 2000, Gowen dan Talion di dalam Maku et al., 2005).

Rantai pasokan menciptakan nilai dan penjabaran modal intelektual dari pemasok-pemasok yang berhubungan guna memenuhi persyaratan pengguna (Ayers, 2000). Dalam hal ini terjadi pengelolaan hubungan

upstream dan downstream antara pemasok dan pelanggan dengan sasaran menghilangkan inefisiensi dan pengulangan proses pada rantai. Menurut

Evans dan Danks (1998), terdapat empat aliran strategis pada rantai pasokan yakni : permintaan, penawaran, informasi dan uang yang perlu dipahami proses dan pergerakkannya.

Prinsipnya adalah bagaimana bekerja kooperatif dengan organisasi lain dan bukan mengalahkan. Hasil yang dicapai pada akhirnya menjadi lebih fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Sebagai contoh, bilamana tujuannya untuk mengurangi sediaan penyangga (buffer stock) satu entitas yang termasuk dalam rantai, maka diperlukan penyebaran informasi mengenai jumlah permintaan dan pengaturan tingkat sediaan (Christopher, 1998). Dengan demikian, manajemen rantai pasokan dipandang strategis meningkatkan pelayanan pelanggan, mengurangi biaya transaksi, mempertahankan pelanggan, meningkatkan daya saing, meningkatkan profitabilitas, menciptakan nilai, meningkatkan mutu dan ketersediaan produk (Evans dan Dank, 1998; Beech 1998; Stock dan Lambert, 2001).

Tinjauan terhahadap aktivitas proses rantai pasokan mensyaratkan koordinasi dan integrasi dalam satu kesatuan dan setiap manajer yang terdapat pada rantai bekerja bersama agar keseluruhan proses pada rantai menjadi kompetitif (Vokurka et al., 2002). Integrasi proses dimulai dari perusahaan yang mendorong aktivitas dari tingkat strategik hingga operasional.

Pembangunan kemampuan rantai pasokan memerlukan perhatian

(44)

ketergantungan proses yang disesuaikan dengan perubahan yang cepat. Perubahan ini harus disadari oleh setiap tingkat dari rantai pasokan. Penanggung jawab dari setiap tingkatan harus mampu bergerak fleksibel, menyajikan kualitas tinggi dengan tenggang waktu singkat untuk sejumlah variasi produk yang memberikan nilai tambah bagi pelanggan.

Stock dan Lambert (2001) menawarkan delapan proses bisnis penting di dalam rantai pasokan yakni :

(1) manajemen hubungan pelanggan, (2) manajemen pelayanan pelanggan, (3) manajemen permintaan,

(4) pemenuhan pesanan,

(5) manajemen aliran pembuatan, (6) pembelian,

(7) pengembangan produk dan komersialisasi, dan (8) perolehan.

Dari pengembangan kerangka konseptual rantai pasokan, Giannakis (2004) menyatakan perlunya sin

Gambar

Tabel 2      Urutan pemakaian bahan baku yang banyak digunakan
Tabel 3  Kebutuhan tanaman obat IOT dan IKOT tahun 2000-2002
Gambar  4.  Rumah mutu (Bounds, 1994); Marimin, 2004).
Tabel 7. Skala Banding Berpasangan pada AHP
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun hipotesis yang peneliti ajukan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh kerja paruh waktu terhadap kesuksesan belajar mahasiswa jurusan pendidikan agama Islam IAIN

Pengendalian penggunaan antibiotik dalam upaya mengatasi masalah resistensi antimikroba dilakukan dengan menetapkan “Kebijakan Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit”, serta

Kami telah mengaudit neraca konsolidasi PT Karwell Indonesia Tbk (Perusahaan) dan Anak Perusahaan tanggal 31 Desember 2009 dan 2008, serta laporan laba rugi

Begitu juga pada pasar modal, perasuransian, dana pensiun, pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainya yang setelah terbentuknya undang-undang no 21 tahun 2011

Makna mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan nawafil adalah bahwa manusia yang telah mentaati Allah SWT dalam amalan fardhu, kemudian mendekatkan diri kepada Allah SWT

data dan menentukan diagnose keperawatan, menentukan outcome keperawatan, menyusun rencana keperawatan, mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi hasil asuhan keperawatan

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa sebelum diberikan Musik, nyeri persalinan kala I pada ibu bersalin primigravida sebagian besar dalam kategori lebih

Kawasan perairan Indonesia-Filipina diketahuni telah terjadi maraknya kegiatan penyelundupan, mulai dari penyelundupan barang-barang elektronik hingga