• Tidak ada hasil yang ditemukan

Realitas Empiris Tata Kelola KEK: Kasus Mandalika dan Tanjung Kelayang

BAB 4 TATA KELOLA KAWASAN EKONOMI KHUSUS:

4.4 Realitas Empiris Tata Kelola KEK: Kasus Mandalika dan Tanjung Kelayang

Pada bagian ini akan disajikan temuan studi tentang realitas empiris pelaksanaan tata kelola KEK Mandalika (provinsi Nusa Tenggara Barat) dan KEK Tanjung Kelayang (provinsi Bangka Belitung). Untuk itu, maka substansi pembahasan akan dimulai dengan deskripsi secara singkat tentang struktur formal organisasi penyelenggara KEK di dua lokasi penelitian tersebut, dilanjutkan penyajian data temuan penelitian terkait dengan realitas implementasi tata kelola KEK. Data dan informasi pendukung dalam melakukan deskripsi dan analisis tentang realitas implementasi tata kelola KEK tersebut, sebahagian besar bertumpu pada hasil wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber di dua lokasi penelitian.

4.4.1 Kasus KEK Mandalika-Nusa Tenggara Barat

Mandalika ditetapkan sebagai KEK Pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tanggal 30 Juni 2014, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014, Tentang Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika. Sebagaimana tertera pada PP tersebut, bahwa sebagai pengusul KEK Mandalika adalah PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero). Cakupan wilayah KEK Mendalika, lebih kurang, seluas 1.035,67 ha (seribu tiga puluh lima koma enam puluh tujuh hektar) yang terletak dalam wilayah Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (lihat Pasal 2, PP No. 52 Tahun 2014).

Sebagai tindak lanjut dari telah ditetapkannya Mandalika sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata, maka melalui Keputusan Presiden (Kepres) Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2014, dibentuklah Dewan Kawasan, sebagai organisasi penyelenggara KEK Mandalika pada tingkat pemerintah provinsi. Lembagai ini diketuai oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat, dengan wakil ketua adalah Bupati Lombok Tengah, dan beranggotakan, antara lain: a) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur; b) Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Nusa Tenggara Barat; c) Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Nusa Tenggara Barat; d) Sekretaris

83 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat; e) Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat; f) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Provinsi Nusa Tenggara Barat; g) Sekretaris Daerah Kabupaten Lombok Tengah; h) Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lombok Tengah; dan i) Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah (lihat Pasal 1, Kepres No. 46 Tahun 2014).

Sementara, untuk Administrator KEK Mandalika, mengingat lokasi dari zona pariwisata ini teletak di kabupaten Lombok Tengah, maka berdasarkan Keputusan Bupati Lombok Tengah No. 512 Tahun 2014, ditetapkan bahwa penyelenggara Administrator KEK adalah Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lombok Tengah. Kemudian, sesuai dengan amanah UU No. 39 Tahun 2009 dan PP No. 2 Tahun 2011, maka Administrator KEK Mandalika telah mendapatkan sejumlah pendelegasian wewenang, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sejauh ini, sedikitnya ada 121 kewenangan perizinan yang telah didelegasikan kepada Administratur KEK Mandalika, dengan perincian sebagai berikut: 7 kewenangan dari BKPM RI; 68 kewenangan dari Gubernur NTB, dan 46 kewenangan dari Bupati Lombok Tengah (Radar Lombok, 14 Februari 2017).

Sedangkan untuk Badan Usaha Pengelola, karena KEK Mandalika merupakan usulan dari Badan Usaha Milik Negara (Pt. Bali Tourism Development Corporation, BTDC), maka sesuai dengan ketentuan pada pasal 48, PP No. 2 Tahun 2011, maka badan usaha pengusul ditetapkan sebagai Badan Usaha Pengelola (BUP) KEK Mandalika. BTDC adalah sebuah perusahaan milik negara Indonesia, yang berkiprah dalam mengembangkan dan mengoperasikan Kompleks Pariwisata Nusa Dua (Bali), di bawah PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) yang didirikan pada tahun 1973 (https://www.itdc.co.id). Dalam perjalannya, BTDC kemundian melakukan rebranding, dengan mengubah namanya menjadi Indonesia Tourism Development

Corporation (ITDC).

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana realitas empiris dari operasionalisasi tata kelola KEK Mandalika tersebut pada tingkat praksis?. Secara umum, hasil temuan penelitian mengindikasikan, bahwa terdapat kesenjangan yang cukup besar antara desain konsep dan realitas empiris implementasi tata kelola KEK. Atau dengan kata lain, operasionalisasi konsep tata

84 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

kelola KEK belum berjalan sesuai dengan desain yang telah ditetapkan oleh pihak pemerintah sebagaimana tertuang dalam sejumlah regulasi yang ada. Sehubungan dengan hal ini, hasil studi mengidentifikasi sedikitnya ada 5 (lima) persoalan mendasar yang dihadapi dalam implementasi tata kelola KEK Mandalika. Lima persoalan yang dimaksud adalah: a) Belum terbangunnya persamaan persepsi dikalangan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam mengartikulasi, maupun implementasi konsep tata kelola KEK; b) Inklusifitas Sosial dalam lembaga penyelenggara KEK cenderung diabaikan. Misalnya saja, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama belum terakomodasi didalam keanggotaan DEWAN KAWASAN; c) Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Tengah cenderung mengambil sikap “Kompromis-Kritis”, dalam arti: pada satu sisi, “berkompromi” dengan agenda dan kebijakan KEK yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan provinsi, namun pada sisi lain, juga melakukan “diskresi, atau bahakan “resistensi” untuk mewujudkan agenda dan kepentingan yang dimiliki; d) Peran kearifan lokal dalam desain pariwisata dalam KEK Mandalika dipertanyakan oleh Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama; dan e) Administrator KEK dan ITDC cenderung eksklusif dalam melaksanakan fungsinya.

Tentunya, sejumlah proposisi dapat diajukan dalam menjelaskan mengapa lima persoalan mendasar tersebut terjadi. Namun demikian, berdasarkan data temuan penelitian, sedikitnya ada tiga argumentasi yang dapat diajukan. Pertama, secara teknis, lima persoalan itu terjadi, karena kurangnya sosialisasi dan masih dominannya “ego sektoral” diantara pemangku kepentingan yang terlibat. Kedua, kecenderungan tersebut juga disebabkan karena kebijakan tata kelola KEK sangat berkarakter state-centre, dan pendekatan dalam implementasinya lebih bersifat top-down. Ketiga, secara substansial, penyebab sejumlah persoalan tersebut terjadi karena diabaikannya aspek “kultur” (termasuk didalamnya, kearifan lokal) dalam konstruksi konsep tata kelola dan desain kebijakan KEK. Konsep dan kebijakan tata kelola KEK yang ada saat ini terkesan sangat kuat hanya menekankan pada aspek “struktur” (organisasi, mekanisme, aturan main), dan “aktor” (personel).

Lima persoalan mendasar sebagaimana dikemukakan di atas, terekam sangat jelas dari hasil wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber di lokasi penelitian. Hanya menyebut beberapa contoh, dari hasil wawancara dengan perwakilan ITDS, misalnya, diperoleh informasi bahwa kemudahan perizinan sudah berjalan baik, namun implementasi kewenangan

85 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

administratur KEK masih belum jelas, khususnya terkait bagaimana insentif fiskal dan non fiskal diberikan (Wawancara pada tanggal 27 Maret 2018).

Masih terkait dengan peran Administrator KEK, Camat Pujut, yang juga merupakan salah seorang tokoh masyarat (dengan gelar LALU), berpendapat bahwa idealnya, tokoh masyarakat dan tokoh agama dapat diakomodasi sebagai anggota Administrator KEK. Sehingga dengan demikian, akses dan kontrol masyarakat terhadap keberadaan KEK dapat lebih terjamin. Sejauh ini tokoh masyarakat dan tokoh agama belum dilibatkan. Implikasinya, sangat dapat dimengerti, jika mereka cenderung mempertanyakan aplikasi dari kearifan lokal dalam desain KEK Pariwisata Mandalika (Wawanara pada tanggal 27 Maret 2018).

Perbedaan perspektif, yang kemudian telah berimplikasi pada terjadinya resistensi dan kontestasi kepentingan antara lembaga penyelenggara KEK Mandalika dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), terekam cukup eksplisit dari ekstraksi hasil wawancara dengan salah seorang Birokrat Senior di Bappeda kabupaten Lombok Tengah berikut (Wawancara pada tanggal 28 Maret 2018). Sejauh ini Bappeda Kabupaten Lombok Tengah belum dilibatkan, baik pada tahap desain, maupun pada fase implementasi pembangunan KEK Pariwisata Mandalika. Seharusnya, pihak Bapeda Kabupaten sudah dilibatkan sejak dari awal perencanaan KEK Mandalika, karena semua hal-ihwal menyangkut perencanaan infrastruktur dan Rencana Tata Ruang Wilayah, ada di Bappeda Kabupaten Lombok Tengah.

Dihadapkan dengan kenyataan ini, maka pihak Bapeda, pada khususnya, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Tengah, pada umumnya, telah mengambil sikap, apa yang Tim Peneliti sebut dengan "Kompromistis-Kritis". Maksudnya, Pemerintah Kabupaten cenderung "kompromi" dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan provinsi melalui dukungan yang diberikan kepada Admininistrator KEK dan ITDC. Tetapi, pada waktu yang sama, Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah juga melakukan "resistensi", dengan caranya sendiri, yaitu tetap mengembangkan kawasan pariwisata di luar kawasan inti KEK Mandalika.

Salah satu contoh konkrit dari praktik "Kompromistis-Kritis" tersebut adalah sikap yang diambil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Tengah ketika diminta oleh Pemerintah Pusat (Kementerian Pariwisata) untuk tidak menerbitkaan izin Hotel Bintang Lima di luar kawasan KEK Mandalika. Dalam meresponse permintaan pemerintah pusat ini, maka Pemerintaha

86 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Kabupaten secara tegas menyatakan setuju (kompromististis) untuk tidak menerbitkan izin hotel bintang lima diluar kawasan KEK. Namun, pada waktu yang sama mereka melakukan "resistensi" dalam bentuk menghimbau para investor yang telah menandatangani kontrak diluar kawasan KEK untuk "mengakali" status hotel yang mereka akan bangun sehingga berstatus bintang empat, namun tetap dengan kualitas pelayanan hotel bintang lima. Hal ini tentu saja akan menjadi ancaman bagi sinergitas program dan bukan tidak mungkin akan terjadi persaingan tidak sehat antara kegiatan ekonomi di dalam dan diluar kawasan.

Bagaimana halnya dengan perspektif tokoh masyarakat tentang implementasi tata kelola KEK Mandalika?. Secara umum dapat dikatakan bahwa tokoh masyarakat, utamanya tokoh agama, memandang positif atas keberadaan KEK Mandalika. Kendati, pada sisi lain, tetap kritis terhadap implementasi tata kelola yang berlangsung saat ini, lantaran peran serta mereka belum terakomodasi. Hasil wawancara dengan Kiyai RH misalnya, sangat jelas mengindikasikan, sejauh ini tokoh agama belum dilibatkan dalam pelaksanaan KEK Pariwisata Mandalika. Menurut RH, sedikitnya ada dua alasan utama dari mengapa para tokoh agama belum dilibatkan dalam KEK Mandalika, yaitu: a) karena banyak tokoh agama terlibat dalam politik. Akibatnya mereka dianggap tidak netral; dan b) banyak aparat Pemerintah Daerah (mulai dari Kepala Dusun, Kades, Camat, Bupati) terlibat sebagai "calo tanah" di kawasan KEK. Akibatnya, mereka enggan melibatkan tokoh agama, karena takut terusik kepentingannya (Wawancara pada tanggal, 30 Maret 2018).

Namun demikian, tegas RH, kalaupun tokoh agama sampai sekarang belum dilibatkan dalam KEK, kami tetap memberikan dukungan, sejauh pengembangan KEK tersebut memberikan kemaslahatan bagi masyarakat dalam bentuk menegakkan syiar Islam dan memperbaiki perekonomian masyarakat, utamanya mengurangi kemiskinan. Misalnya saja, Tokoh Agama sangat mendukung gagasa pengembangan Wisata Halal sebagai ciri khas KEK Pariwisata Mandalika. Aplikasi dari konsep halal tersebut, dapat dilakukan dalam bentuk, antara lain: a) setiap hotel harus ada Musholan; a) tersedianya makanan halal pada setiap hotel dan restoran; dan c) pakaian yang dikenakan oleh para turis harus Islami.

Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan KEK Pariwisata di Mandalika, lanjut RH, banyak peran yang dapat dilakukan oleh para tokoh agama, misalnya saja;

87 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

a) membantu badan pengelola KEK dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat; b) membantu Pemerintah Daerah dalam mediasi konflik sosial. Terutama terkait dengan konflik pertanahan. Sebahagian besar pemilik tanah yang bermasalah di KEK Mandalika adalah "Wali Santri" (orang tua santri) di Pompes kami. Jadi, kami sebagai tokoh agama, bisa saja mendekati para Wali Santri, dan membantu menyelesaikan konflik pertanahan secara kekeluargaan.

4.4.2 Kasus KEK Tanjung Kelayang-Bangka Belitung

Tanjung Kelayang ditetapkan sebagai KEK Pariwisata di Provinsi Bangka Belitung pada tanggal 15 Maret 2016, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 20016, Tentang Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Kelayang. Cakupan wilayah KEK Tanjung Kelayang, lebih kurang, seluas 324,4 ha (tiga ratus dua puluh empat koma empat hektar) yang terletak dalam wilayah Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung (lihat Pasal 2, PP No. 15 Tahun 2016). Lebih jauh, disebutkan bahwa, badan usaha pengusul Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Kelayang merupakan badan usaha pembangun dan pengelola Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Kelayang. Penetapan badan usaha tersebut dilakukan oleh Bupati Belitung dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan, melakukan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Kelayang sampai dengan siap beroperasi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan (lihat Pasal 5 dan 6, PP No. 15 Tahun 2016).

Sebagai tindak lanjut dari telah ditetapkannya Tanjung Kelayang sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata, maka melalui Keputusan Presiden (Kepres) Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017, dibentuklah Dewan Kawasan, sebagai organisasi penyelenggara KEK Tanjung Kelayang pada tingkat pemerintah provinsi. Lembaga ini diketuai oleh Gubernur Bangka Belitung, dengan wakil ketua adalah Bupati Belitung, dan beranggotakan, antara lain: a) Sekretaris Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung; b) Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kepulauan Bangka Belitung; c) Kepala Badan Perencanaan Pembangunan dan Penelitian Pengembangan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung; d) Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung; e) Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Belitung; f) Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten

88 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Belitung; g) Kepala Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Perindustrian Kabupaten Belitung; h) Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Pratama Tanjung Pandan; dan i) Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Pandan (lihat Pasal 1, Kepres No. 27 Tahun 2017).

Sementara, untuk Administrator KEK Tanjung Kelayang, sama dengan kasus KEK Mandalika, dimana yang bertindak sebagai penyelenggara Administrator KEK adalah Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpada Satu Pintu. Kemudian, sesuai dengan amanah UU No. 39 Tahun 2009 dan PP No. 2 Tahun 2011, maka Administrator KEK Tanjung Kelayang telah mendapatkan sejumlah pendelegasian wewenang, utamanya dari pemerintah kabupaten. Berdasarkan Peraturan Bupati Belitung Nomor 30 Tahun 2017, sedikitnya ada 83 (delapan puhluh tiga) kewenangan perizinan dan non-perizinan telah didelegasikan kepada Administrator KEK. Bila kelompokkan berdasarkan bidang, maka 83 kewenangan perizinan dan non-perizinan tersebut terdistribusi dalam 13 bidang, dengan perincian sebagai berikut: 15 kewenangan Bidang Penanaman Modal dan Industri; 2 kewenangan Bidang Pertanahan; 7 kewenangan Bidang Lingkungan Hidup; 4 kewenangan Bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan; 3 kewenangan Bidang Tenaga Kerja; 8 kewenangan Bidang Perdagangan; 13 kewenangan Bidang Pariwisata; 2 kewenangan Bidang Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah; 15 kewenangan Bidang Perhubungan; 5 kewenangan Bidang Kesehatan; 3 kewenangan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan; 4 kewenangan Bidang Pertanian; dan 2 kewenangan Bidang Perikanan (lihat Lampiran Peraturan Bupati Belitung Nomor 30 Tahun 2017).

Sedangkan untuk Badan Usaha Pengelola, sesuai dengan Keputusan Bupati Belitung No. 188.45/191/KEP/II/2016, tentanggal 15 April 2016, maka PT. Belitung Pantai Intan (BELPI) telah ditetapkan sebagai Badan Usaha Pengelola KEK Tanjung Kelayang. Pada diktum kelima Surat Keputusan Bupati Belitung tersebut, kembali ditegaskan bahwa Pt. BELPI sebagai pengelola, wajib melaksanakan pembangunan KEK Tanjung Kelayang sampai siap operasi dalam jangka waktu paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan, terhitung sejak berlakukan PP No. 6 Tahun 2016, tentang Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Kelayang.

Penunjukan PT. BELPI sebagai pemangku otoritas Bandan usaha Pengelola KEK Tanjung Kelayang, tentunya, memiliki alasan yang cukup kuat. Dari hasil wawancara dengan RI (salah

89 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

seorang narasumber kunci di PT. BELPI), diperoleh informasi bahwa pihak pengusul KEK Tanjung Kelayang adalah sebuah konsorsium, yang terdiri dari tiga perusahan utama, yaitu: PT. Belitung Pantai Intan (BELPI); PT. Tanjung Kaswarina; dan PT. Nusa Kukila. Persusahaan yang disebut pertama, PT. BELPI merupakan bagian dari group Darmawangsa, dan menguasai lahan sekitar 50% dari total kawawan KEK Tanjung Kelayang. Inilah, antara lain, salah satu alasan dari mengapa PT. BELPI kemudian ditunjuk sebagai perwakilan dari konsorsium untuk berperan sebagai pengelola Kawasan KEK Tanjung Kelayang (Wawancara dengan RI, 29 April 2018).

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana realitas empiris dari operasionalisasi tata kelola KEK Mandalika tersebut pada tingkat praksis?. Secara singkat, hasil temuan penelitian mengindikasikan, sedikitnya ada 6 (enam) persoalan mendasar yang dihadapi dalam implementasi tata kelola KEK Tanjung Kelayang. Enam persoalan yang dimaksud adalah: a) Struktur dan personel Lembaga Pengelola KEK-TK sangat bersifat State Centre; b) Perwakilan DPRD dan Tokoh Masyarakat belum terakomodasi dalam keanggotaan Dewan Kawasan; c) Adanya ambiguiti pada status Kepala Administratur KEK; d) Keanggotaan Administratur KEK belum terbentuk; e) Koordinasi antara Administratur dengan instansi Pemerintah Daerah Lemah; an f) Kementerian belum menyerahkan kewenangan kepada Administratur KEK Tanjung Kelayang.

Enam persoalan mendasar sebagaimana dikemukakan di atas, terekam sangat jelas dari hasil wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber di lokasi penelitian. Misalnya saja, salah seorang Birokrat Senior di Kantor BKPMD provinsi Bangka Belitung, dengan sangat kritis menyoroti struktur kelembagaan dan personel dalam Tata Kelola (governance) KEK Tanjung Kelayang yang terkesan masih sangat state center. Kenyataan ini, tegasnya, ditunjukkan oleh para personel dalam struktur lembaga penyelenggara KEK yang didominasi para pejabat pemerintah pusat dan daerah (state actors). Sementara, unsur society (masyarakat sipil dan ekonomi) belum terakomodasi (Wawancara pada tanggal 27 April 2018).

Poin penting lainnya yang menarik untuk digaris bawahi dari hasil wawancara dengan Birokrat Senior di kantor BKMD provinsi tersebut adalah, adanya "ambiguiti" pada status Administrator KEK. Pada kasus KEK Tanjung Kelayang, Administrator dirangkap jabatan oleh Kepala BKPMD Kabupaten Belitung. Rangkap jabatan tersebut, tentunya memiliki, sisi positif dan

90 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

negatif. Sisi positif, antara lain, dapat mempermudah/memperlancar relasi kerja dengan pemerintah daerah. Namun, diantara sisi negatifnya, telah melahirkan "kecemburuan" diantara Kepala Dinas Daerah yang lain terhadap pejabat daerah yang ditunjuk sebagai Administrator KEK. Kondisi ini, dikahwatirkan tidak saja akan berimplikasi pada terganggunya relasi kerja antara lembaga penyelenggara KEK dengan Pemerintah Daerah, tetapi juga dapat mendorong terjadinya kompetisi tidak sehat antara keduanya.

Kepentingan ekonomi dan politik elit lokal, sulit dihindari, juga telah berperan cukup signifikan dalam mempengaruhi sikap Pemerintah Daerah terhadap penyelenggaraan pembangunan KEK Tanjung Kelayang. Hasil wawancara dengan BI, salah seorang anggota DPRD Kabupaten Belitung, memperlihatkan bahwa kepentingan politik Bupati Belitung (sebagai calon incumbent) untuk memenangkan kontestasi pada Pilkada tahun 2018, secara tidak langsung telah berpengaruh terhadap sikap yang diambil dalam penyelenggaran KEK Tanjung Kelayang.

Menurut BI, bagi Bupati, sebagai calon incumbent pada Pilkada di Kabupaten Belitung tahun 2018, KEK Tanjung Kelayang tidak menarik untuk diangkat sebagai jualan politik. Justru sebaliknya, Bupati cenderung menghindari mengangkat isu KEK ke permukaan pada periode jelang Pilkada. Hal ini, lanjut BI, disebabkan karena isu sengketa tanah di kawasan KEK Tanjung Kelayang sedang menghangat dikalangan masyarakat, dan salah satu warga yang bersengketa tersebut adalah orang tua dari Ibu HL, yaitu salah satu calon bupati yang akan berkontestasi pada Pilkada serentak tahun 2018. Pak Bupati, tegas BI, tentunya, secara politis tidak diuntungkan jika secara terbuka berpihak ke KEK Tanung Kelayang, karena selain beliau akan menjadi sasaran tembak pihak lawan (Ibu HL), juga akan kehilangan suara pendukung dari masyarakat. Pak Bupati sangat memperhitungkan hal ini, mengingat masyarakat Belitung masih sangat kuat tradisi komunalitasnya, dan orang tua Ibu HL termasuk salah seorang broker tanah besar yang sangat disegani (Wawancara dengan BI, 28 April 2018).

Untuk mengamankan kepentingan politik tersebut, maka Bupati cenderung mengambil posisi "dua kaki" dalam menyikapi KEK Tanjung Kelayang. Pada satu sisi, dia harus bersikap "kompromi" dengan pemerinatah provinsi dan pemerintah pusat, yang ditunjukkan dengan dukungan terhadap berbagai kebijakan yang tetalah disepakati untuk realisasi pembngunanan KEK Tanjung Kelayang. Pada sisi lain, untuk kepentingan Pilkada 2018, Bupati cenderung

91 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

menunjukkan sikap "kritis" terhadap KEK-Tanjung Kelayang, dan perpihak terhadap masyarakat, utamanya terkait dengan persoalan sengketa tanah.

Pada konteks yang lebih luas, sebagaimana diindikasikan oleh temuan penelitian, sikap kompromistis-kritis tersebut juga telah diekpresikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung dimana lebih memfokuskan perhatian pada pengembangan pariwisata di kawasan penyangga daripada di kawasan inti KEK Tanjung Kelayang. Kecenderungan ini sangat logis, lantaran dengan lebih memfokuskan perhatian pada pengembangan kawasan penyangga, maka akan lebih membuka akses bagi masyarakat untuk ikut menikmati keberadaan KEK Tanjung Kelayang (inklusufitas). Selain dari itu, pengengembangan kawasan penyangga tersebut, dengan sendirinya, akan memposisikan Pemerintah Daerah untuk berperan lebih besar dalam pengelolaan kawasan pariwisata.

Kerumitan realitas empiris tata keleloa KEK Tanjung Kelayang, terekam lebih elaboratif dari hasil wawancara dengan BK, seorang narasumber di kantaor Bappeda Kabupaten Belitung pada tanggal 30 Aparil 2018. BK merupakan salah seorang personil Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung yang sejak awal ditugaskan oleh Ketua Bappeda untuk mendampingi pihak Konsorsium dalam proses pengusulan KEK Tanjung Kelayang. Menurut BK, diantara permasalahan mendasar yang dihadapi, mengapa realisasi pembangunan KEK-Tanjung Kelayang sangat lambat adalah, karena para investor masih bersikap wait and see. Kecenderungan sikap para pengusaha tersebut sangat logis, karena sampai saat ini insentif yang dijanjikan oleh pihak pemerintah (pusat dan daerah) belum jelas. Akibatnya, para investor menjadikan Sheraton sebagai contoh kasus. Maksudnya, pihak Sheraton yang saat ini sudah mulai membangun hotel di kawasan KEK Tanjung Kelayang, dijadikan sebagai role model untuk melihat apakah benar sejumlah insentif yang dijanjikan oleh pihak pemerintah direalisasikan, atau sebaliknya.

Persoalan berikutnya, lanjut BK, adalah karena lemahnya komitmen pemerintah pusat dalam mendukung realisasi pembangunan KEK. Hal ini ditunjukkan oleh, antara lain, hampir seluruh Kementrian terkait di Jakarta, belum menyerahkan kewenangan kepada Administrator KEK Tanjung Kelayang. Sementara pihak Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten) sudah melakukannya.

92 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Persoalan pembangunan KEK-TK, terlihat semakin kompleks dan rumit, tegas BK, ketika pada tahun 2018, pemerintah provinsi Bangka Belitung, gencar mengusulkan dua KEK baru, yaitu Tanjung Gunung dan Kawasan Wisata Sungai Liat. Kenyataan ini, tentunya, menimbulkan banyak pertanyaan, antara lain: mengapa pemerintah provinsi mengusulkan dua KEK baru, sementara KEK-TK yang sudah jelas disetujui, tidak dituntaskan terlebih dahulu. Terkesan, telah terjadi persaingan antara provinsi dan Kebupaten Belitung.

Terakhir, salam perspektif BK, kunci kerberhasilan pembangunan KEK Tanjung Kelayang, pada khususnya, sangat ditentukan oleh kapasitas dari Administrator. Dikatakan demikian karena Administrator sejatinya berperan sebagai motor penggerak utama KEK, melalui fungsi ganda yang dimiliki, yaitu: selain sebagai pelaksana urusan administrasi perizinan dikawasan KEK, juga