• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUATAN DAYA SAING SEKTOR KELISTRIKAN NASIONAL DAN TERWUJUDNYA KETAHANAN ENERGI DI KAWASAN EKONOMI KHUSUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUATAN DAYA SAING SEKTOR KELISTRIKAN NASIONAL DAN TERWUJUDNYA KETAHANAN ENERGI DI KAWASAN EKONOMI KHUSUS"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUATAN DAYA SAING SEKTOR KELISTRIKAN NASIONAL

DAN TERWUJUDNYA KETAHANAN ENERGI

DI KAWASAN EKONOMI KHUSUS

Chitra Indah Yuliana

Maxensius Tri Sambodo

Putri Irma Yuniarti

Rio Novandra

Syarif Hidayat

Toerdin S. Usman

Jakarta, 2018

(2)

PENGUATAN DAYA SAING SEKTOR KELISTRIKAN

NASIONAL DAN TERWUJUDNYA KETAHANAN ENERGI DI

KAWASAN EKONOMI KHUSUS

Tim Peneliti:

Chitra Indah Yuliana Maxensius Tri Sambodo

Putri Irma Yuniarti Rio Novandra Syarif Hidayat Toerdin S. Usman

PUSAT PENELITIAN EKONOMI

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

(3)

PENGUATAN DAYA SAING SEKTOR KELISTRIKAN NASIONAL DAN TERWUJUDNYA KETAHANAN ENERGI DI KAWASAN EKONOMI KHUSUS

Penulis :

Chitra Indah Yuliana Maxensius Tri Sambodo Putri Irma Yuniarti Rio Novandra Syarif Hidayat Toerdin S. Usman

Layout: Dwi Untari ISSN : 0854 - 3593

Copyright @ Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, 2018 Cetakan pertama, 2018

Diterbitkan oleh

Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Widya Graha LIPI Lt. 4 dan 5

Jl. Jend. Gatot Subroto kav.10 Jakarta

www.ekonomi.lipi.go.id

Hak Cipta dilindungi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

(4)

KATA PENGANTAR

Penelitian dengan judul Penguatan Daya Saing Sektor Kelistrikan Nasional dan Terwujudnya Ketahanan Energi di Kawasan Ekonomi Khusus merupakan salah satu penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ekonomi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada tahun 2018. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan anggaran DIPA Tematik Pusat Penelitian Ekonomi LIPI. Penyusunan laporan penelitian ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak, baik Instansi Pemerintah, Swasta, dan masyarakat di lokasi penelitian yaitu Nusa Tenggara Barat dan Kepulauan Bangka Belitung. Kami mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan kepada tim peneliti. Harapan kami semoga laporan ini mampu memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pengambilan keputusan atau kepentingan praktis lainnya.

Laporan ini telah melalui berbagai tahapan untuk menjaring kritikan, saran dan masukan dari berbagai pihak melalui kegiatan diskusi, dan seminar yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Ekonomi LIPI. Maupun demikian kami menyadari bahwa laporan ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan adanya masukan berupa kritik dan saran-saran konstruktif guna menyempurnakan laporan penelitian ini pada masa yang akan datang.

Jakarta, Desember 2018

Kepala Pusat Penelitian Ekonomi LIPI

(5)

DAFTAR ISI

BAB 1 Program 35.000 MW dan Kawasan Ekonomi Khusus: Pengantar ... 1

1.1 Pendahuluan ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.4 Kerangka Konsep ... 5 1.5 Metode Penelitian ... 13 Daftar Pustaka ... 14

BAB 2 Kondisi Sosial - Ekonomi Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata ... 15

2.1 Pendahuluan ... 15

2.2 Kondisi KEK Mandalika ... 18

2.3 Kondisi KEK Tanjung Kelayang ... 31

2.4 Geliat Kegiatan Sosial – Ekonomi Masyarakat di Wilayah KEK: Temuan Lapangan ... 39

2.5 Kesimpulan ... 45

Daftar Pustaka ... 47

BAB 3 Program 35.000 MW di Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata ... 49

3.1 Pendahuluan ... 49

3.2 Peran Pemerintah dalam Sektor Kelistrikan ... 50

3.3 Kondisi Kelistrikan di KEK Mandalika dan KEK Tanjung Kelayang ... 54

3.4 Kesimpulan ... 65

Daftar Pustaka ... 67

BAB 4 TATA KELOLA KAWASAN EKONOMI KHUSUS: ... 68

4.1 Pengantar ... 68

4.2 Tata Kelola dalam Perspektif Teoritis: ... 70

4.3 Konsep Tata Kelola KEK di Indonesia ... 76

4.4 Realitas Empiris Tata Kelola KEK: Kasus Mandalika dan Tanjung Kelayang ... 82

4.5 Penutup ... 92

BAB 5 Tata Kelola Program Kelistrikan di KEK dalam Mendukung Daya Saing, Inklusivitas, dan Berkelanjutan: Penutup ... 96

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Isu dan Permasalahan Proyek Kelistrikan di Indonesia (per 27 Oktober 2015) ... 2

Gambar 2.1 Indeks Pembangunan Manusia Lingkup Nasional, Provinsi (Bali dan NTB), dan Kabupaten (Lombok Tengah) Tahun 2011-2017 ... 20

Gambar 2.2 Persentase Rumah Tangga Miskin dan Rentan dengan Sumber Penerangan Utama Menggunakan Listrik Tahun 2015 dan 2016 (%) ... 21

Gambar 2.3 Persentase Penduduk Miskin dalam Lingkup Nasional, Provinsi (Bali dan NTB), dan Kabupaten (Lombok Tengah) Tahun 2015-2017 (%) ... 22

Gambar 2.4 Garis Kemiskinan di Provinsi Bali, Provinsi NTB, dan Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2015-2017 (dalam Rp/Kapita/Bulan) ... 22

Gambar 2.5 Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2010 di Kabupaten Lombok Tengah dan Provinsi NTB Tahun 2011-2017 (%) ... 24

Gambar 2.6 PDRB ADHK 2010 Menurut Lapangan Usaha di Provinsi NTB Tahun 2017 (Miliar Rupiah) ... 24

Gambar 2.7 PDRB ADHK 2010 Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2017 (Miliar Rupiah) ... 25

Gambar 2.8 Persentase Banyaknya Hotel di Setiap Kabupaten/Kota terhadap Jumlah Hotel Bintang dan Non Bintang di Provinsi NTB Tahun 2016 ... 29

Gambar 2.9 Banyaknya Hotel/Akomodasi Lainnya beserta Jumlah Kamar di Kabupaten Lombok Tengah pada Tahun 2011-2017 ... 29

Gambar 2.10 Persentase Lapangan Pekerjaan Utama Penduduk Usia >15 Tahun yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Kabupaten Belitung Tahun 2017 ... 34

Gambar 2.11 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2010 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Kabupaten Belitung Tahun 2011-2017 (%) ... 35

Gambar 2.12 Persentase Pendidikan Tertinggi Kepala Rumah Tangga Berdasarkan Sumber Penerangan Utama di Kabupaten Belitung Tahun 2017 (%) ... 37

Gambar 3.1 Kerangka Kebijakan Sektor Kelistrikan... 52

Gambar 3.2 Peta Sistem Tenaga Listrik Pulau Lombok ... 57

Gambar 3.3 Rencana Pengembangan Sistem Lombok ... 58

Gambar 3.4 Sistem Tenaga Listrik Bangka Belitung ... 61

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Konsep Proper Governance ... 11 Tabel 2.1 Bentuk Insentif dan Kemudahan Perizinan di KEK Pariwisata ... 17 Tabel 2.2 Lima Lapangan Usaha dengan Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2010 Tertinggi di

Provinsi NTB Tahun 2017 dan Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2016 dan 2017 (%) ... 26 Tabel 2.3 Persentase Wisatawan Mancanegara terhadap Total Wisatawan yang berkunjung

pada lingkup Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2013-2016 (%) ... 27 Tabel 2.4 Jumlah Gardu dan Daya Terpasang Listrik PLN di Tiap Kecamatan di Kabupaten

Lombok Tengah Tahun 2017 ... 30 Tabel 2.5 Data Terkait Kependudukan, Kemiskinan, Pendidikan, dan Ketenagakerjaan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Kabupaten Belitung, Tahun 2017 ... 32 Tabel 2.6 Produk Domestik Regional Bruto ADHK 2010 Berdasarkan Empat Lapangan Usaha

Terbesar di Kabupaten Belitung dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2017 ... 35 Tabel 2.7 Jumlah Wisatawan (Asing dan Domestik), Jumlah Hotel dan Kamar di Kabupaten

Belitung dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2017 ... 36 Tabel 3.1 Kebutuhan Tambahan Pembangkit 35.000 MW ... 55 Tabel 4.1 Arena, Dimensi dan Prinsip Proper Governance... 75

(8)

1 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

BAB 1

Program 35.000 MW dan Kawasan Ekonomi Khusus:

Pengantar

Tim Peneliti 1.1 Pendahuluan

Pada sembilan (9) agenda prioritas yang tertuang dari visi-misi dan program aksi Presiden Joko Widodo khususnya butir ke 7 disebutkan “Kami akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”. Selanjutnya, dalam visi-misi tersebut juga terangkai kalimat sebagai berikut:

“Kami akan mewujudkan kedaulatan energi melalui kebijakan pengurangan impor energi minyak dengan meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi migas di dalam dan luar negeri; peningkatan efisiensi usaha BUMN penyediaan energi di Indonesia (e.g Pertamina, PLN, PGN); pembangunan pipa gas; pengembangan energi terbarukan. Kami akan mengutamakan pemakaian batubara dan gas untuk meningkatkan produksi listrik dalam negeri guna melayani kebutuhan rumah tangga dan industri.”

Dalam visi-misi tersebut, tersurat bahwa peningkatan produksi listrik menjadi prioritas pemerintah. Guna mencapai tujuan tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Sebayang (2015), terdapat empat model yang dijalankan. Pertama, model program percepatan tahap I (fast track program/FTP I) tahap pertama. Model ini dijalankan merujuk pada Peraturan Presiden No 71 Tahun 2006, yang beberapa kali diubah dengan Peraturan Presiden No 59 Tahun 2009 dan Peraturan Presiden No 45 Tahun 2014. FTP I dilakukan di 37 lokasi proyek pembangkit yang tersebut di seluruh wilayah Indonesia dengan total kapasitas 9.975 MW. Kedua, model program percepatan tahap II (fast track program/FTP II). Dasar dilakukan FTP II yaitu Peraturan Presiden No 4 Tahun 2010 serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 15 Tahun 2010 yang selanjutnya diubah dengan Permen ESDM No 21 Tahun 2013 dan Permen ESDM No 32 Tahun 2014, dan terakhir dengan Permen ESDM No. 40 Tahun 2014. Total kapasitas yang dibangun dalam FTP II yaitu 17.458 MW, termasuk didalamnya pembangkit independent power producer (IPP) sebesar 11.659 MW di 58 lokasi dan proyek pembangkit PLN sebesar 5.799

(9)

2 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

MW di 16 lokasi. Ketiga, yaitu program reguler yang mencakup program pembangunan pembangkit yang terdapat dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero), namun tidak termasuk dalam Program FTP-I dan FTP-II, antara lain proyek pembangkit yang didanai oleh pinjaman atau dana milik PLN (APLN), pembangkit skala kecil yang didanai APLN (Proyek Skala Kecil) dan proyek yang didanai APBN. Lokasi proyek program regular tersebar di seluruh Indonesia. Program terakhir, yaitu program pembangkit 35 GW, yang sebagian merupakan program FTP-II, dan proyek baru dimana 10 GW merupakan milik PLN dan 25 GW dibangun dalam skema independent power producer (IPP).

Terkait hal tersebut, diperlukan kajian mengenai implementasi program 35.000 MW. Merujuk pada 1.611 isu ataupun permasalahan yang terjadi, ternyata sebagian besar masalah yang dihadapi dalam pembangunan sektor kelistrikan berada di isu legal dan konstruksi (lihat Gambar 1.1). Aspek legal tentu sangat terkait erat dengan peran pemerintah sebagai regulator dan aspek konstruksi bersinggungan langsung dengan kontraktor ataupun operator. Dengan demikian, baik regulator dan operator/kontraktor saling berkontribusi terhadap permasalahan yang terjadi di sektor kelistrikan.

(10)

3 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Sumber: Sebayang (2015)

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, disebutkan bahwa aspek ketenagalistrikan mencakup tiga aspek utama, yaitu penyediaan, pemanfaatan, dan usaha penunjang tenaga listrik. Sementara itu, usaha penyediaan mencakup pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik kepada konsumen. Secara prinsip, penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara, yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah berdasarkan prinsip otonomi daerah. Dalam konteks penyelenggaraan, pemerintah dan pemerintah daerah, sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik. Selanjutnya, pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan oleh badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD). Namun demikian, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Dengan kata lain, UU Ketenagalistrikan secara tegas menyatakan adanya pembedaan yang jelas antara posisi regulator (pemerintah daerah dan pusat) dan operator (BUMN, BUMD, dll.). Di luar itu, pemerintah terus berupaya untuk menjamin kepastian hukum bidang kelistrikan dan mewujudkan target terbangunnya kecukupan energi listrik melalui program 35.000 MW.

Studi ini akan mendalami infrastruktur energi terutama listrik di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Berbagai insentif perpajakan diberikan untuk KEK guna mendorong kegiatan investasi sehingga dapat menyerap lapangan pekerjaan. Ketersediaan sumber energi, air, dan infrastruktur dasar lainnya merupakan prasyarat dasar yang harus tersedia dengan baik di KEK. Sementara itu, KEK juga diyakini sebagai lokus terkecil pengembangan daya saing ekonomi nasional. KEK juga menjadi lokus bagi pengembangan inovasi karena perusahaan yang berada di KEK akan lebih terekspos terhadap persaingan global yang tentu saja menuntut kebutuhan yang tinggi akan inovasi. Dengan mengambil fokus pada ketersediaan energi di KEK, maka akan semakin terpetakan sejauh mana peranan energi terhadap peningkatan daya saing.

(11)

4 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

1.2 Rumusan Masalah

Peningkatan produksi energi dan penyediaan energi bagi kebutuhan domestik telah menjadi agenda utama pemerintah. Kondisi ketahanan energi (energy security) yang secara umum dapat diukur dari empat aspek utama, yaitu: ketersediaan (availability), keberlanjutan (sustainability), keterjangkauan (affordability), dan pengelolaan (governance) yang tentu saja masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Namun demikian, kesiapan tata kelola energi, masih menjadi permasalahan utama yang menghambat tercapainya ketahanan energi. Merujuk pada temuan di tingkat sektoral dan studi literatur, maka tata kelola energi perlu difokuskan pada upaya perbaikan tata kelola kebijakan (governance) di tiga bidang kelistrikan paling tidak ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan, yaitu: (i) teknologi (technology); (ii) infrastruktur (infrastructure); dan (iii) harga (pricing). Ketiga aspek tersebut akan dikaji secara mendalam dalam bidang ketenagalistrikan dan fokus kawasan ekonomi khusus. Tentu saja studi ini melihat sisi tata kelola dalam ruang lingkup yang lebih luas dari ketiga aspek yang disebutkan sebelumnya. Studi ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan penelitian berikut:

1. Bagaimana kondisi kelistrikan dan sosial ekonomi daerah di lokasi penelitian?

2. Bagaimana program 35.000 MW dalam mendukung program KEK (di dalam kawasan KEK dan kawasan penyangganya)?

3. Bagaimana kondisi tata kelola kelistrikan oleh pemerintah pusat, daerah, dan badan pengelola di KEK?

4. Bagaimana tata kelola untuk meningkatkan peran program kelistrikan 35.000 MW dalam mendukung daya saing dan inklusivitas ekonomi di KEK?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengkaji kondisi kelistrikan dan sosial ekonomi daerah di lokasi penelitian.

2. Mengkaji implementasi program 35.000 MW dalam mendukung program KEK (di dalam kawasan KEK dan kawasan penyangganya).

3. Mengkaji kondisi tata kelola kelistrikan oleh pemerintah pusat, daerah, dan badan pengelola di KEK.

(12)

5 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

4. Mengkaji strategi tata kelola untuk meningkatkan peran program kelistrikan 35.000 MW dalam mendukung daya saing dan inklusivitas ekonomi di KEK.

1.4 Kerangka Konsep

KEK merupakan salah satu bagian dari kebijakan investasi. Kebijakan lainnya dapat dalam bentuk insentif, liberalisasi investasi dan pembatasan-pembatasan, fasilitasi, investment screening, dan persyaratan terkait dengan kinerja yang diwajibkan. Sementara itu didalam KEK ciri-ciri bisnis tradisional yang diberikan seperti infrastruktur informasi-telekomunikasi dan komunikasi, bantuan bea dan cukai, pelayanan perpajakan, dan perizinan bisnis dapat menjadi salah satu strategi pembangunan.

Saat ini, jumlah KEK di dunia diperkirakan lebih dari sekitar 4.800 (UNCTAD, 2018). Tujuan utama dari pendirian KEK yaitu untuk: menarik investasi asing, mengintegrasikan perusahaan lokal dalam global value chains (GVCs), promosi pertumbuhan berorientasi ekspor, dan menciptakan kesempatan kerja. Dalam zona KEK peraturan bisnis dibuat berbeda dan cenderung regulasi yang lebih liberal. KEK yang ‘hidup’ akan membantu terbentuknya klaster industri. Namun demikian, tidak semua KEK memperlihatkan keberhasilan. UNCTAD (2013) mengatakan banyak KEK mengalami kegagalan karena: pendirian KEK lebih didominasi oleh tujuan-tujuan politis, perusahaan yang masuk tidak memiliki keunggulan kompetitif, lemahnya keterkaitan dengan ekonomi secara keseluruhan.

Studi ini memberikan penekanan pada pilar tata kelola (governance). Dalam panduan (guidelines) pembangunan KEK yang disepakati di kawasan ASEAN yaitu ‘ASEAN Guidelines for Special Economic Zones (SEZs) Development and Collaboration1’ disebutkan ‘good governance’

sebagai salah satu bagian (chapter) dalam ‘Provision of necessary resources and building strong institutional capacities’. Pada panduan tersebut disebutkan bahwa agen promosi investasi memegang peranan penting dalam memfasilitasi lingkungan bisnis yang penuh tantangan. Namun demikian, dalam guideline tersebut belum dijelaskan secara lebih rinci bagaimana

(13)

6 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

operasionalisasi dari governance di KEK selain disebut dua kata kunci, yaitu lingkungan aturan (regulated environment) dan lingkungan bisnis (business environment).

Pada sisi lain, secara umum permasalahan pembangunan bidang kelistrikan di Indonesia dihadapkan pada dua kelompok besar, yaitu terkait legal dan teknis. Dapat dipahami, tertundanya upaya penyelesaian atas permasalahan yang terjadi dapat menyebabkan terganggunya pasokan listrik dan hal ini tentu akan merugikan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat termasuk terhambatnya pasokan listrik ke KEK. Dengan demikian, aspek tata kelola dapat dilihat dari dua sisi (aktor), yaitu pihak pengelola KEK dan penyedia layanan listrik ke kawasan KEK, yang dalam hal ini bisa perusahaan listrik negara (PLN) atau pihak lainnya. Dengan demikian, penting untuk dikaji aspek tata kelola di kedua organisasi tersebut, dikaitkan dengan penyediaan akses listrik di KEK. Studi ini beranjak dari suatu asumsi bahwa permasalahan dari sisi legal dan teknis dapat diatasi dengan baik jika didukung oleh tata kelola yang tepat.

Dalam aspek legal, biasanya terkait erat dengan dokumen kontrak. Jika ditelusuri lebih dalam, kontrak berisikan kondisi-kondisi pertukaran (Besanko, dkk, 2013). Dalam praktek, kontrak berisikan aksi-aksi yang perlu dilakukan oleh masing-masing pihak dan juga bagaimana langkah-langkah perbaikan jika salah satu pihak tidak berkinerja seperti yang diharapkan. Secara umum, kontrak dilakukan karena salah satu pihak tidak menaruh kepercayaan sepenuhnya pada pihak lainnya. Efektivitas suatu kontrak sangat tergantung pada dua hal yaitu (Besanko, dkk, 2013): (i) kelengkapan kontrak (completeness of the contract); dan (ii) ketersediaan lembaga untuk penegakan hukum kontrak. Pada prinsipnya masih sering ditemukan kontrak yang tidak lengkap. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor seperti bounded rationality, kesulitan untuk menspesifikasikan kinerja dan informasi yang asimetris. Bounded rationality terkait dengan keterbatasan individu-individu dalam mengolah informasi terutama informasi yang kompleks dan membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang tidak mudah. Dengan demikian, permasalahan dari sisi legal dapat diminimalkan jika kontrak yang dibuat lengkap dan didukung oleh hukum kontrak yang juga baik.

Dalam UU Nomor 39 Tahun 2009 yang mengatur tentang KEK, disebutkan bahwa KEK memiliki tiga unsur penting yaitu: zona atau kawasan strategis, fungsi ekonomi, dan

(14)

7 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

mendapatkan fasilitas. Dalam kaitannya dengan fungsi ekonomi, KEK dapat memberikan peluang bagi kegiatan industri, ekspor dan impor. Sementara itu zona KEK dapat dalam bentuk pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, energi dan ekonomi lainnya. Sementara itu terkait dengan fasilitas dan kemudahan yang diberikan di KEK berupa kepabeanan, cukai, investasi, keiimigrasian, perizinan, pajak daerah, perpajakan, pertanahan, dan retribusi lainnya.

Pada sisi lain, terkait dengan insentif yang banyak digelontorkan di dalam KEK, ASEAN Guideline memberikan ‘formula’ yang telah diadopsi oleh negara-negara maju (OECD) sejak tahun 2003, yaitu: (i) insentif diberikan dalam suatu periode waktu (bukan selamanya); (ii) regim insentif haruslah sederhana dan transparan; (iii) insentif diberikan secara board based; (iv) insentif diberikan pada sektor yang memiliki tingkat risiko tinggi; dan (v) kinerja dan evaluasi atas insentif perlu dilakukan.

Melihat pada kompleksitas permasalahan di bidang kelistrikan, maka pemberian fasilitas atau kemudahan, belum tentu menjadi solusi yang terbaik. Belum berhasilnya sektor kelistrikan dalam mencapai tingkat tata kelola yang diharapkan diduga oleh tiga faktor utama. Pertama, kurangnya pemahaman para pengambil kebijakan akan kondisi yang ada (existing condition). Hal ini karena penetapan target atau capaian lalai menimbang kapasitas yang dimiliki oleh masing-masing organisasi. Dengan kata lain, agensi-agensi yang terlibat langsung dalam proses perubahan memiliki kondisi awal dan kapasitas yang berbeda. Kedua, pihak eksternal yang juga sebagai mitra kerjasama (kontraktor asing), lalai untuk memahami kondisi kelembagaan internal tempat mereka bekerja. Hal ini dapat dipahami dalam dua perspektif yaitu akibat ketidaktahuan (lack in information) atau pengabaian (ignorance). Ketiga, proses pembelajaran berjalan lambat terlebih ketika masing-masing aktor/agen miliki tujuan yang berbeda. Hal ini karena, persepsi atas imbalan yang dicapai tidak atau belum sejalan dengan pengorbanan yang diberikan. Terlebih dalam kondisi menuju tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis, justru akan lebih banyak diwarnai oleh jurang ketidaksepahaman yang semakin melebar. Hal ini berdampak semakin sulitnya konsensus untuk dicapai, yang pada gilirannya akan memperpanjang proses pengambilan keputusan.

(15)

8 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Pertanyaannya kemudian adalah, apa konsep tata kelola yang akan digunakan dalam mengurai permasalahan pembangunan bidang kelistrikan di Indonesia, pada umumnya, dan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), pada khususnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Chhotray dan Stoker (2009), tata kelola berfokus pada praktek pengambilan keputusan secara bersama, yang mencakup dimensi menjelaskan (explanatory dimension) dan memberikan saran (advisory character). Chhotray dan Stoker (2009), mengatakan praktek tata kelola sebaiknya dipahami dalam kacamata yang bersifat multidisiplin. Paling tidak ada dua alasan atas argumen tersebut. Pertama, tantangan yang dihadapi dalam memberikan solusi tata kelola bersifat kompleks. Kedua, dengan pendekatan multidisiplin akan memudahkan untuk bergerak dari pandangan yang sempit (narrow vision).

Proposisi yang diajukan oleh Chhotray dan Stoker (2009) tentang urgensi pendekatan multidisiplin tersebut dibangun atas dasar hasil evaluasi mereka terhadap sedikitnya lima konsep konvensional tata kelola (mainstream governance concepts), yaitu: politics and public administration, economics (utamanya economic institutionalism), international relations, development studies, dan socio-legal studies. Di antara kesimpulan penting dari hasil evaluasi konseptual tersebut menyebutkan bahwa kelemahan mendasar dari pendekatan governance mainstream adalah, cenderung memahami dan membaca prospek implementasi tata kelola berdasarkan benchmark standards yang berlaku untuk semua. Sementara tantangan realitas lebih menghendaki kehadiran pendekatan investigasi berdasarkan konteks tata kelola yang diberlakukan, daripada apa yang disebut oleh Chhotray dan Stoker (2009: 226) sebagai a check list of normative principles offer by mainstream audit models.

Perlu ditegaskan di sini, bahwa kesimpulan umum di atas tidak sama sekali bermaksud untuk menafikan arti penting dari normative theory. Dalam kaitan ini, Chhotray dan Stoker (2009), sangat jelas menegaskan bahwa normative theory niscaya diperlukan sebagai landas pijak (the starting point) dalam memahami konstruksi sistem tata kelola. Namun demikian, untuk memahami apa dan bagaimana tata kelola pada konteks tertentu, serta untuk merumuskan solusi yang tepat, maka diperlukan pendekatan empiris yang lebih memberikan perhatian pada realitas kerumitan permasalahan yang terjadi dan tantangan yang dihadapi. Untuk lebih jelasnya, Chhotray dan Stoker (2009: 215) menyebutkan:

(16)

9 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Our approach argues that governance challenges can usefully be met through an investigative approach rather than by way of a check list of normative principles against which any system is checked. The normative approach can establish some valuable guidelines for governance systems and therefore offers a valuable starting point but if you want to understand what might work in a particular setting it is necessary to develop an approach driven by empirical as much as normative theory and one that recognises the subtlety of some of the normative challenges involved in governance and does not simply call for more transparency or more accountability. Apa konkritnya formulasi dari pendekatan multi disiplin yang diajukan oleh Chhotray dan Stoker (2009), serta bagaimana normative dan empirical theories dioperasionalkan dalam memahami realitas tata kelola, maupun dalam merumuskan solusi yang tepat atas persoalan yang dihadapi? Sampai di sini, terlihat kedua penulis belum cukup eksplisit dalam memberikan jawaban atas dua pertanyaan tersebut. Kalaupun ada, pada bagian akhir dari tulisan mereka disebutkan bahwa:

Governance rules need to find institutional expression. They may be formally stated, informally established or informally by-passed. Institutional forms, the behaviour of actors and the surrounding context of meaning and culture are the building blocks of regimes of governance. The challenge is a dynamic one. History also matters. In most instances governance reforms do not start with a blank sheet but instead require the redesign of existing institutions (Chhotray dan Stoker, 2009: 228-229).

Pada konteks yang lebih kecil, apa yang dikemukakan oleh Chhotray dan Stoker (2009) tersebut, sebenarnya sejalan dengan argumentasi North (1994). Disebutkan, antara lain bahwa dalam mengkaji kinerja perkonomian, aspek kelembagaan dan waktu merupakan asumsi terpenting yang harus diperhatikan. Dengan demikian, tata kelola idealnya diapresiasi sebagai suatu proses pembelajaran yang bersifat bertahap dalam menuju sasaran yang ditetapkan. North (1994) mengatakan, tingkat pembelajaran akan tergambarkan dari intensitas persaingan antar organisasi. Selanjutnya, persaingan terjadi karena adanya kelangkaan sumber daya yang terjadi secara global. Kondisi ini akan mendorong lembaga-lembaga untuk terlibat dalam proses pembelajaran agar mampu bertahan (North, 1994).

Pada bagian lain, Hidayat (2016) dengan konsep Proper Governance, terlihat telah berupaya untuk mengoperasionalkan pendekatan multi disiplin sebagaimana dikemukakan oleh Chhotray dan Stoker (2009) di atas. Dengan merujuk pada serangkaian normative dan emperical

(17)

10 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

theories, Hidayat telah merumuskan sejumlah prinsip dasar dan variabel tata kelola, yang selanjutnya disebut sebagai konsep Proper Governance.

Lebih spesifiknya, menurut Hidayat (2016: 160), untuk menghindari kecenderungan ambiguitas dan dikotomi hitam-putih dalam mengartikulasi konsep dan implementasi tata keola pemerintahan, akan lebih tepat jika digunakan terminologi proper governance. Penggunaan kata proper di sini diharapkan dapat mengeliminasi pandangan skeptis terhadap konsep dan implementasi tata kelola pemerintahan, karena ketika kata proper disenyawakan dengan kata governance dapat bermakna sebagai suatu tata kelola pemerintahan yang tepat, pantas, dan “nyaman” sesuai dengan karakteristik dari negara dan masyarakat dari setiap komunitas negara-bangsa.

Konstruksi konsep proper governance yang diajukan penulis, secara tegas memaknai tata kelola pemerintahan sebagai upaya membangun relasi negara dan masyarakat yang dapat menjamin terwujudnya tiga tujuan utama, yaitu (i) tata kelola pembangunan ekonomi yang sehat, (ii) kehidupan demokratis dan dihargainya hak setiap warga negara serta (iii) terciptanya inklusivitas sosial (Hidayat, 2016: 161).

Dalam mengoperasionalkan konsep proper governance tersebut, juga telah dirumuskan secara lebih spesifik dimensi atau aspek pada arena negara dan masyarakat. Konkretnya, arena negara dalam hal ini direpresentasikan oleh lembaga politik dan birokrasi, sedangkan arena masyarakat direpresentasikan oleh masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Pada dua arena dan empat dimensi atau aspek itulah prinsip tata kelola pemerintahan harus bekerja dan disesuaikan dengan kekhasan karakteristik sosial, ekonomi, dan politik masyarakat setempat. Adapun prinsip dasar dari tata kelola pemerintahan yang dimaksud terdiri dari empat elemen utama, yaitu pembangunan, demokrasi, socially inclusive, dan konteks budaya dan sejarah lokal (Hidayat, 2016: 161). Informasi secara lebih spesifik tentang hal ini dapat dilihat pada Tabel berikut:

(18)

11 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Tabel 1.0.1 Konsep Proper Governance

ARENA DIMENSI/ASPEK PRINSIP

Negara (State)

Bureaucracy

Developmental

(Pertumbuhan ekonomi, Pemerataan, dan pemanfaatan sumber daya secara bertanggung jawab dan

berkesinambungan)

Democratic

(Terjaminnya hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan; Penegakan hukum; Akuntabilitas dan transparansi publik)

Socially Inclusive

(Terjaminnya hak setiap warga negara untuk mendapatkan hak yang sama dalam mengakses sumberdaya ekonomi dan politik; perlakuan hukum yang sama, tanpa membedakan status; dan

terbangunnya sikap saling percaya (trust), baik dikalangan masyarakat,

penyelenggara negara, maupun antara masyarakat dan penyelenggara negara.)

Local Content

(Karakteristik sosial, budaya, ekonomi dan politik setempat yang memungkinkan terbangunnya ownership and

commitment dalam implmentasi governance) Political Office Masyarakat (Society) Civil Society Economic Society Sumber: Hidayat (2016: 163)

Merujuk pada landasan konseptual dan teori yang telah dibangun, maka paling tidak ada dua catatan penting yang akan menjadi perhatian tim peneliti untuk melihat bagaimana aspek tata kelola dalam kaitannya dengan penyediaan listrik di KEK. Pertama, berbagai fasilitas yang

(19)

12 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

diberikan untuk KEK idealnya dapat menjadi pengungkit pada kenaikan jumlah industri dan hal ini akan berdampak pada naiknya permintaan listrik. Kenaikan permintaan ini harus mampu terlayani secara baik agar daya saing industri semakin baik. Kedua, governance memegang peranan penting bagi kemajuan KEK. Aspek governance yang dikaji dan didalami baik secara konsep dan empiris dalam studi ini yaitu proper governance. Artinya, studi ini memperhatikan ‘local specific factor’ di masing-masing lokasi studi dan selanjutnya mengartikulasikan bagaimana faktor tersebut berinteraksi dengan faktor-faktor lainnya dalam menentukan kinerja KEK.

Di samping itu, dinamika perkembangan wilayah salah satunya ditentukan oleh kondisi infrastruktur dasar. Salah satu indikator infrastruktur dasar yang menjadi penanda kehidupan modern adalah akses listrik. Implementasi pengembangan kelistrikan nasional telah ditetapkan dalam RUPTL (Rancangan Umum Penyediaan Tenaga Listrik) yang dilaksanakan oleh PT PLN. Sebagaimana disebutkan dalam RUPTL yang terakhir, PLN telah memperhitungkan prospek kenaikan permintaan listrik yang didorong oleh rencana pemerintah untuk membangun kawasan ekonomi khusus. Tentu saja, penyediaan pasokan listrik tidak hanya ditujukan untuk KEK namun juga untuk kawasan di luar KEK. Terkait dengan tambahan investasi kelistrikan untuk mendukung kawasan KEK, tentu saja PLN berharap agar investasi yang dilakukan memiliki tingkat pengembalian (return on investment) sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, sebagaimana dikeluhkan oleh PLN, perkembangan jumlah perusahaan/industri di KEK belum tumbuh sebagaimana yang diharapkan. Dengan kata lain, terdapat permasalah dari sisi kurangnya pertumbuhan permintaan listrik (lack of demand). Dengan demikian, penting upaya yang lebih giat dari pemerintah (pusat dan daerah) untuk mempromosikan KEK.

Guna lebih memetakan peranan infrastruktur kelistrikan dalam program 35 GW dalam pembangunan KEK, maka penting diperhatikan, proses berikut. Pertama, bagaimana proses penentuan kebutuhan infrastruktur kelistrikan di KEK. Kedua, bagaimana dengan prospek atau estimasi pertumbuhan industri/usaha di KEK. Ketiga, dalam lambatnya pusat pertumbuhan di KEK, bagaimana dengan prospek pertumbuhan di luar KEK. Dengan demikian, untuk meningkatkan efisiensi dana investasi, perlu dipertimbangkan pertumbuhan di luar KEK. Hal ini dapat dilakukan jika pengembangan kelistrikan di KEK dapat dirancang lebih adaptif terhadap dinamika kondisi lokal.

(20)

13 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Dengan asumsi adanya keterkatian zona KEK dengan kawasan sekitarnya, maka penting untuk diperhatikan, bagaimana pola interaksi dan prospek pembangunan KEK dengan wilayah di sekitarnya. Penting pula untuk dilihat bagaimana dinamika sosial ekonomi dan infrastruktur berkembang dengan kehadiran KEK. Lebih jauh dengan mempertimbangkan sisi tata kelola sebagai ‘anchor’ studi, maka penting untuk dipetakan bagaimana, aspek ini bekerja baik dalam tataran, nasional, provinsi, kabupaten, dan badan pengelola KEK. Pemetaan ini perlu dilakukan untuk melihat titik kekuatan dan kelemahan serta sinergitas program berjalan.

1.5 Metode Penelitian

Studi ini dilakukan dengan pendekatan mixed method, namun analisis kualitatitif akan mendominasi penelitian ini. Analisis kualitatif dilakukan dengan teknik kelompok diskusi terpumpun (FGD), wawancara mendalam, dan studi dokumen. Penelitian ini mengambil tempat di dua lokasi, yaitu: KEK Mandalika (Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat) dan KEK Tanjung Kelayang (Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung). Pengumpulan data juga dilakukan di DKI Jakarta, seperti melalui diskusi dan wawancara dengan narasumber terkait yang berkantor di pusat. Pemilihan kedua lokasi KEK tersebut karena keduanya merupakan KEK dengan fokus kegiatan di bidang pariwisata. Dengan potensi kekayaan sumber daya alam yang serupa namun dengan karakteristik daerah dan sosial ekonomi yang sedikit berbeda, disertai kebijakan daerah yang diimplementasikan secara berbeda pula, akan semakin memperkaya tim peneliti dalam melakukan analisis. Kedua wilayah tersebut juga tentunya termasuk ke dalam implementasi program kelistrikan 35.000 MW.

(21)

14 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Daftar Pustaka

Chhotray, V. dan Stoker, G. (2009). Governance Theory and Practice: a Cross-Disciplinary Approach. New York: Palgrave macmillan.

Besanko, D., Dranove, D., Shanley, M., & Schaefer. (2013). Economics of Strategy. Singapore: John Wiley & Sons.

North, D. (1994). Economic Performance Through Time. The American Economic Review, 84(3): 359-368.

Hidayat, S. (2016). Menimbang Ulang Konsep Good Governance: Diskursus Teoritis, Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol. 42, No. 2.

(22)

15 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

BAB 2

Kondisi Sosial - Ekonomi Kawasan

Ekonomi Khusus Pariwisata

Chitra Indah Yuliana

2.1 Pendahuluan

Program kelistrikan 35.000 MW diupayakan oleh pemerintah dalam rangka mendorong industri dan meningkatkan investasi. Misalnya, melalui pembangunan pabrik penunjang kelistrikan, tower transmisi, gardu induk, dan sebagainya. Di samping itu, program tersebut diharapkan dapat meningkatkan penyerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40% dari total kebutuhan investasi, serta menciptakan lapangan kerja secara langsung bagi 650.000 tenaga kerja hingga tahun 2019 (Kementerian ESDM, 2015). Harapan tersebut sejalan dengan tujuan umum pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seperti yang disebutkan oleh Dewan Nasional KEK (2018), yakni guna mendorong industri, menarik investasi asing, mengintegrasikan perusahaan lokal dalam rantai nilai global (Global Value Chains/GVCs), serta menyerap tenaga kerja.

Dengan kata lain, KEK diharapkan berdampak terhadap peningkatan kapabilitas, selain melalui penyerapan tenaga kerja, juga dengan pengembangan modal manusia (human capital), dan peningkatan teknologi (Aggarwal, 2007). Penyerapan tenaga kerja dapat terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung, terhadap tenaga kerja terampil ataupun tidak (skilled/unskilled labour). Pengembangan modal manusia antara lain dapat ditingkatkan melalui kualifikasi yang mendorong para pencari kerja/pekerja untuk memiliki tingkat keahlian tertentu, serta menstimulus terbukanya akses pendidikan dan pelatihan untuk mengakomodasi permintaan tenaga kerja yang dibutuhkan. Peningkatan teknologi juga terkait dengan meningkatnya investasi asing yang membuka ruang kolaborasi antara sumber daya lokal dan perusahaan internasional, yang salah satunya diharapkan dapat memfasilitasi posisi UMKM lokal dalam GVCs. Adanya pengembangan KEK ini, dengan bertambahnya bidang usaha yang meningkatkan potensi permintaan terhadap listrik, menjadi salah satu jalan dalam mengatasi tantangan untuk penyediaan listrik dalam jangka panjang yang membutuhkan pengembalian investasi

(23)

16 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

(Kementerian ESDM, 2016). Dengan kata lain, tidak hanya pasokan yang perlu ditingkatkan (melalui program 35.000 MW) tetapi juga permintaan terhadap listrik tersebut pun yang perlu terus bertambah, agar pemanfaatan listrik dapat optimal dan tersedia secara berkesinambungan.

Berdasarkan laporan dari Dewan Nasional KEK (2018), terdapat 12 KEK yang telah ditetapkan di Indonesia hingga semester II tahun 2017, yang dapat terklasifikasi menurut satu atau lebih zona/kegiatan utamanya, yakni Pengolahan Ekspor, Logistik, Pengembangan Teknologi, Industri, Pariwisata, Energi, dan Ekonomi Lainnya. Dua di antaranya, yang menjadi fokus lokasi kajian dalam tulisan ini, ialah KEK Mandalika di Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan KEK Tanjung Kelayang di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Keduanya memiliki kegiatan utama di bidang pariwisata, yang diharapkan mampu berdampak positif bagi perekonomian masyarakat di daerahnya. KEK Mandalika, yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2014, memiliki daya tarik salah satunya wisata bahari dengan unsur budaya. Konsep yang diusung ialah pariwisata berwawasan lingkungan dan diupayakan agar dapat meningkatkan jumlah investor yang juga dapat bermanfaat bagi pengembangan daerahnya. Terkait potensi wisata ini, ditargetkan terdapat tambahan 2 juta wisatawan asing yang berkunjung pada tahun 2019. Lebih lanjut, pengembangan KEK Mandalika diperkirakan dapat mendorong nilai investasi mencapai Rp28,63 triliun hingga tahun 2025, di samping investasi untuk pembangunan KEK Mandalika sekitar Rp2,2 triliun. Dalam KEK Mandalika ini juga diproyeksikan terdapat penyerapan tenaga kerja sebanyak 58.700 orang, dan diharapkan dapat menambah output senilai Rp7,5 triliun terhadap ekonomi nasional.

KEK Tanjung Kelayang yang ditetapkan dua tahun setelah KEK Mandalika tersebut, yakni dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2016, menggunakan pula konsep pariwisata berwawasan lingkungan dan dengan menjaga kelestarian budaya. Konsep green eco tourism yang diusung oleh kedua KEK tersebut juga dapat menjadi salah satu upaya untuk mengurangi eksternalitas negatif yang mungkin ditimbulkan dari aktivitas pertambangan, serta guna mencapai keuntungan dari pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan. KEK Tanjung Kelayang apabila sudah aktif sepenuhnya, ditargetkan untuk dapat menambah 59.000 wisatawan, dengan nilai ekonomi sekitar Rp751,4 miliar per tahun. Di samping itu, dengan

(24)

17 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

investasi pembangunan KEK Tanjung Kelayang senilai Rp1,5 triliun, ditargetkan pula untuk mencapai investasi senilai Rp20 triliun pada tahun 2025. KEK ini juga diperkirakan dapat menyerap 23.645 tenaga kerja dan meningkatkan output senilai Rp2,9 triliun pada tahun 2022 (Dewan Nasional KEK, 2018). Lain halnya dengan Badan Usaha Pembangunan dan Pengelola (BUPP) KEK Mandalika yang merupakan BUMN, yakni PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), BUPP untuk KEK Tanjung Kelayang merupakan perusahaan swasta dengan bentuk konsorsium Belitung Maritime yang diwakili oleh PT Belitung Pantai Intan (BELPI).

Peningkatan daya tarik investasi pada KEK tersebut diupayakan melalui pemberian insentif berupa fasilitas dan kemudahan perpajakan/kepabeanan/cukai, serta kemudahan perizinan, seperti berikut:

Tabel 2.1 Bentuk Insentif dan Kemudahan Perizinan di KEK Pariwisata Insentif:

Tax Holiday Pengurangan PPh 20-100% selama 10-25 tahun

Untuk investasi > Rp1 triliun

Pengurangan PPh 20-100% selama 5-15 tahun Untuk investasi > Rp500 miliar Pengurangan PPh 20-100% selama 5-15 tahun Untuk investasi < Rp500 miliar

untuk kegiatan utama tertentu (yang ditetapkan oleh Dewan KEK)

Tax Allowance Pengurangan PPh netto 30% selama 6 tahun Kegiatan utama yang tidak mendapatkan Tax Holiday

Depresiasi dan amortisasi yang dipercepat PPh atas deviden sebesar 10%

Kompensasi Kerugian 5-10 tahun PPh Pasal 22 Impor tidak dipungut PPN/PPnBM tidak dipungut Pembebasan bea masuk

Pengembalian PPN (duty free shop)

Kepemilikan rumah/hunian/properti oleh orang asing dengan fasilitas: Bebas PPnBM/PPh atas Penjualan Barang Sangat Mewah, Pengurangan 50-100% pajak dan retribusi daerah.

Kemudahan Perizinan:

Keimigrasian pelayanan imigrasi di administrator

Pertanahan orang/badan usaha asing dapat memiliki rumah/hunian/properti Ketenagakerjaan pelayanan perizinan ketenagakerjaan di administrator

Fasilitas Lalu Lintas Barang Penanaman

Modal

Perizinan selama 3 jam, termasuk izin investasi, Akta Perusahaan dan Pengesahan, NPWP, TDP, RPTKA, IMTA, API-P, NIK, dan SK Peta Informasi Ketersediaan Lahan

(25)

18 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Pengembangan KEK Pariwisata diharapkan mampu menarik investor sehingga meningkatkan potensi permintaan terhadap listrik, terutama di kedua wilayah tersebut. Hal ini sebagai cerminan akan adanya imbal balik yang positif antara KEK dan program kelistrikan 35.000 MW. Secara keseluruhan, tentunya KEK ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah setempat pada khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya. Terkait hal ini, diperlukan adanya kajian mengenai kondisi daerah yang menjadi lokasi KEK Pariwisata. Tulisan ini menyajikan gambaran umum dari data demografi, sosial ekonomi, termasuk yang terkait dengan pariwisata dan kelistrikan, serta infrastruktur pendukung KEK lainnya. Dalam sub-bab yang terbagi berdasarkan fokus lokasi kajian, yakni KEK Mandalika dan KEK Tanjung Kelayang, ulasan data yang diperoleh dari berbagai sumber yang relevan dielaborasi dengan perbandingan lingkup wilayahnya, yakni pada tingkat kecamatan/kabupaten, provinsi, dan nasional, serta dengan wilayah lainnya yang terkait bilamana sesuai dengan topik bahasan.

2.2 Kondisi KEK Mandalika

Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika yang telah diresmikan untuk aktif beroperasi sejak Oktober 2017 ini, berlokasi di Kabupaten Lombok Tengah di Pulau Lombok, yang menjadi salah satu pulau utama di Provinsi Nusa Tenggara Barat. KEK Mandalika memiliki luas lahan 1.035,67 ha (10,36 km2) dengan status HPL, atau kurang dari 1% luas wilayah Kabupaten Lombok Tengah (1.208,39

km2), sedangkan luas kabupaten tersebut sekitar 6% dari total luas wilayah Provinsi NTB

(20.164,84 km2) pada tahun 2017 (BPS Provinsi NTB, 2018a). Kabupaten Lombok Tengah itu

sendiri terdiri dari 12 kecamatan dan 139 desa/kelurahan. Berdasarkan sumber data dan tahun yang sama, jumlah penduduk Lombok Tengah sebanyak 19% dari jumlah penduduk se-Provinsi NTB, yang merupakan terbanyak kedua (930.797 jiwa) setelah Lombok Timur, dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi kedua (770,28 jiwa/km2) setelah Kota Mataram. Wilayah KEK Mandalika termasuk di dalam Kecamatan Pujut yang memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua (104.596 jiwa) setelah Kecamatan Praya (BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2018a). Dari total 16 desa di Kecamatan Pujut, empat desa yang merupakan wilayah ring pertama KEK Mandalika ialah Desa Kuta, Desa Sengkol, Desa Sukadana, dan Desa Mertak (“KEK Mandalika”, 2018).

(26)

19 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Berdasarkan data tingkat pendidikan, penduduk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2017 mayoritas tamat sekolah hingga SD/MI (26,34%) dan SMA/MA (22,24%), sedangkan ijazah perguruan tinggi hanya dimiliki oleh kurang dari 4% penduduk. Hal ini serupa dengan kondisi secara umum di Provinsi NTB, namun dengan persentase rata-rata di NTB yang berijazah perguruan tinggi sedikit lebih besar (6,5%) daripada di Kabupaten Lombok Tengah tersebut. Lingkup data tingkat kecamatan menunjukkan masih lebih rendahnya tingkat pendidikan kepala keluarga di Kecamatan Pujut yang merupakan area ring pertama KEK Mandalika, sebagian besar tidak tamat SD (39%) dan tamat hanya hingga SD/SMP (31%) (BPS Kabupaten Belitung, 2018a; 2018b).

Sementara itu, Provinsi NTB dicanangkan oleh pemerintah sebagai salah satu dari 10 Bali Baru, yang menjadi salah satu pariwisata unggulan di Indonesia. Seperti yang tampak pada Gambar 2.1, jika dibandingkan dengan Provinsi Bali, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi NTB masih lebih rendah. Sejak tahun 2010 hingga tahun 2017, IPM Provinsi Bali telah lebih dari 70%, sedangkan IPM Provinsi NTB hingga kini masih di bawah 67%. Kemudian, jika melihat data per kabupaten, tampak bahwa IPM Kabupaten Lombok Tengah merupakan ke-2 terkecil se-Provinsi NTB, yakni hanya 64,36% pada tahun 2017. Secara spesifik per komponen dalam IPM tersebut, yakni pada data Angka Harapan Hidup, Rata-Rata Lama Sekolah, dan Harapan Lama Sekolah, menunjukkan bahwa Kabupaten Lombok Tengah selalu di bawah rata-rata Provinsi NTB (BPS Provinsi NTB, 2018a).

(27)

20 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Gambar 2.1 Indeks Pembangunan Manusia Lingkup Nasional, Provinsi (Bali dan NTB), dan Kabupaten (Lombok Tengah) Tahun 2011-2017

Sumber: BPS Provinsi NTB, 2018a; BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2018a

Seperti halnya IPM Provinsi Bali yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional dan Provinsi NTB, data penggunaan listrik menunjukkan hal yang serupa (BPS, 2018). Pada Gambar 2.2 tampak bahwa persentase Rumah Tangga (RT) Miskin dan Rentan yang sumber penerangan utamanya menggunakan listrik, baik dari PLN maupun non-PLN, pada tahun 2015 dan 2016 tertinggi di Provinsi Bali dengan lebih dari 99% RT Miskin/Rentan. Sementara itu, Provinsi NTB sekitar 98% RT Miskin/Rentan yang telah memakai penerangan dari listrik, meskipun masih di atas rata-rata se-Indonesia yang kurang dari 96% pada dua tahun tersebut. Rasio elektrifikasi di Provinsi NTB secara umum hingga Desember 2017 menurut Kementerian ESDM baru sekitar 84,11%. 50 55 60 65 70 75 80 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2011-2017

(28)

21 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Gambar 2.2 Persentase Rumah Tangga Miskin dan Rentan dengan Sumber Penerangan Utama Menggunakan Listrik Tahun 2015 dan 2016 (%)

Sumber: BPS, 2018

Di samping itu, persentase penduduk miskin2 di masing-masing lingkup wilayah, yakni di

Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Tengah masih lebih banyak dibandingkan lingkup nasional dan jauh lebih tinggi daripada di Provinsi Bali pada periode tahun 2015-2017 (Gambar 2.3). Di antara empat lingkup wilayah tersebut, Provinsi Bali yang terendah dengan capaian persentase penduduk miskin 4,25% pada tahun 2017 (selalu di bawah 5% pada dua tahun sebelumnya), ketika lingkup nasional sekitar 10,64%. Berbeda dengan kondisi IPM seperti yang telah diuraikan di atas, persentase penduduk miskin di Kabupaten Lombok Tengah (15,31%) masih lebih rendah dibandingkan di Provinsi NTB (16,07%). Garis kemiskinan berbeda pada tiap lingkup wilayahnya, yang sama-sama mengalami peningkatan setiap tahunnya (Gambar 2.4). Dasar ukuran persentase penduduk miskin tersebut di Provinsi NTB (Rp345.341/kapita/bulan) masih lebih rendah dibandingkan di Provinsi Bali (Rp361.387/kapita/bulan). Garis kemiskinan di Kabupaten Lombok Tengah tertinggi di antara kedua wilayah tersebut, yakni senilai Rp369.645/kapita/bulan) pada tahun 2017. Dengan kata lain, meskipun garis kemiskinan di Provinsi NTB yang terendah pada data tersebut, persentase penduduk miskin di Provinsi NTB

2 Data persentase penduduk miskin merupakan persentase penduduk dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan pada periode tersebut berdasarkan data statistik dari BPS (2018). Garis kemiskinan yang menjadi ukuran ialah nilai pengeluaran kebutuhan minimum untuk makanan (setara 2.100 kkal/kapita/hari, diwakili 52 jenis komoditi kebutuhan dasar makanan) serta untuk non makanan (perumahan, pakaian, pendidikan, dan kesehatan). 95.58 95.97 99.49 99.36 98.25 98.87 2015 2016

(29)

22 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

tetaplah yang tertinggi di antara wilayah lainnya yang ditunjukkan dalam Gambar 2.3 dan 2.4 (BPS, 2018).

Gambar 2.3 Persentase Penduduk Miskin dalam Lingkup Nasional, Provinsi (Bali dan NTB), dan Kabupaten (Lombok Tengah) Tahun 2015-2017 (%)

Sumber: BPS, 2018

Gambar 2.4 Garis Kemiskinan di Provinsi Bali, Provinsi NTB, dan Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2015-2017 (dalam Rp/Kapita/Bulan)

Sumber: BPS, 2018; BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2018a

Lebih lanjut dalam hal kontribusi perekonomian daerah terhadap nasional, kontribusi PDRB NTB terhadap PDB Indonesia sejak tahun 2013 hingga tahun 2017 masih kurang dari 1% (antara 0,77-0,90% pada periode tersebut). Angka ini masih lebih rendah pula dari kontribusi PDRB Bali yang dapat mencapai lebih dari 1% (antara 1,40-1,56% tahun 2013-2017), seperti yang disebutkan dalam publikasi BPS Provinsi NTB (2018a). Lebih spesifik pada kondisi perekonomian

4.74 4.25 4.25 17.1 16.48 16.07 16.26 15.8 15.31 11.22 10.86 10.64 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 2 0 1 5 2 0 1 6 2 0 1 7

BALI NUSA TENGGARA BARAT Lombok Tengah Indonesia

321,834 338,967 361,387 314,238 333,996 345,341 335,286 357,337 369,645 280,000 290,000 300,000 310,000 320,000 330,000 340,000 350,000 360,000 370,000 380,000 2015 2016 2017

(30)

23 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

masyarakat yang dapat direpresentasikan dari PDRB per kapita, data di Provinsi NTB menunjukkan nilainya antara Rp15,63 - Rp25 juta dalam lima tahun terakhir (2013-2017). Artinya, rata-rata setiap orang penduduk dalam satu tahun di Provinsi NTB memperoleh pendapatan sejumlah Rp25 juta pada tahun 2017. Lain halnya PDRB per kapita di tingkat Kabupaten Lombok Tengah yang jauh lebih rendah, yakni hanya senilai antara Rp11,46-17,14 juta pada periode lima tahun. Dengan kata lain, rata-rata tiap penduduk di tingkat kabupaten tersebut selama tahun 2017 menerima pendapatan dengan total selisih hampir Rp8 juta lebih rendah dibandingkan rata-rata tiap penduduk dalam lingkup Provinsi NTB (BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2018a).

Kemudian, jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya, laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lombok Tengah (5,67%) pada tahun 2016 merupakan yang tertinggi ke-5 se-Provinsi NTB. Dalam kurun waktu tujuh tahun (2011-2017), laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lombok Tengah mengalami trend yang menurun, meskipun pertumbuhan setiap tahunnya masih positif (Gambar 2.5). Pertumbuhan tertinggi yakni pada tahun 2012 (13,72%), sedangkan pada tahun 2015-2017 tampak peningkatan pertumbuhan kembali secara perlahan. Lain halnya dengan laju pertumbuhan ekonomi di lingkup Provinsi NTB dengan trend yang meningkat sejak tahun 2011, namun terdapat penurunan pertumbuhan secara signifikan antara tahun 2015-2017. Sempat mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 2011 dan 2012, Provinsi NTB memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi tahun 2015 (21,77%). Akan tetapi, jika data sektor pertambangan bijih logam dihilangkan dalam PDRB, laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi NTB tampak lebih cenderung stabil. Tanpa sektor tersebut, pertumbuhan ekonomi NTB mencapai 7,10%, sedangkan pertumbuhan PDRB secara keseluruhan sebenarnya hanya 0,11% pada tahun 2017. Seperti yang dijelaskan dalam BPS Provinsi NTB (2018a), hal tersebut erat kaitannya dengan performa PT Amman Mineral Nusa Tenggara yang memproduksi konsentrat tembaga di Pulau Sumbawa.

(31)

24 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Gambar 2.5 Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2010 di Kabupaten Lombok Tengah dan Provinsi NTB Tahun 2011-2017 (%)

Sumber: BPS Provinsi NTB, 2018b; BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2018a

Gambar 2.6 PDRB ADHK 2010 Menurut Lapangan Usaha di Provinsi NTB Tahun 2017 (Miliar Rupiah) Sumber: BPS Provinsi NTB, 2018b 5,000.00 10,000.00 15,000.00 20,000.00 25,000.00 -10 -5 0 5 10 15 20 25 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4 2 0 1 5 2 0 1 6 2 0 1 7

(32)

25 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Gambar 2.7 PDRB ADHK 2010 Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2017 (Miliar Rupiah)

Sumber: BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2018a

Dalam hal kontribusi sektoral terhadap PDRB di Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2017, ditunjukkan pada Gambar 2.6 dan Gambar 2.7. Terdapat empat lapangan usaha yang termasuk dalam lima besar penyumbang PDRB NTB dan Lombok Tengah, yaitu Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan; Perdagangan dan Reparasi Sepeda Motor/Mobil; Konstruksi; serta Transportasi. Berkaitan dengan sektor pertanian yang menjadi kontributor utama dalam PDRB ini, Provinsi NTB dikenal pula dengan sebutan Bumi Gora (Gogo-Rancah) karena lahannya, baik dengan kondisi kering maupun basah, dapat ditanami padi. Sektor lainnya yakni Pertambangan dan Penggalian yang menjadi kontributor terbesar ke-2 untuk PDRB NTB dan Industri Pengolahan sebagai terbesar ke-5 untuk PDRB Lombok Tengah pada tahun tersebut. Pada kontribusi utama sektoral tersebut, belum tampak peran sektor yang berkaitan dengan pariwisata secara langsung.

500.00 1,000.00 1,500.00 2,000.00 2,500.00 3,000.00 3,500.00

(33)

26 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Tabel 2.2 Lima Lapangan Usaha dengan Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2010 Tertinggi di Provinsi NTB Tahun 2017 dan Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2016 dan 2017 (%)

Sumber: BPS Provinsi NTB, 2018b; BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2018a (diolah)

Akan tetapi, peran sektor pariwisata ini mungkin dapat terindikasi pada data laju pertumbuhan ekonomi per sektor. Tabel 2.2 menunjukkan bahwa pada tahun 2017, empat lapangan usaha dalam PDRB NTB dan Lombok Tengah dengan laju pertumbuhan tertinggi yaitu Jasa Keuangan dan Asuransi; Informasi dan Komunikasi; Perdagangan dan Reparasi Sepeda Motor/Mobil; serta Konstruksi, meskipun dengan peringkat yang berbeda. Pertumbuhan tertinggi ke-5 dalam PDRB NTB (7,61%) tahun 2017 yaitu sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, yang juga sebagai tertinggi ke-3 di tingkat Kabupaten Lombok Tengah (9,54%) pada tahun 2016. Sementara itu, laju pertumbuhan sektor Pertambangan dan Penggalian termasuk yang tertinggi ke-4 dan ke-5 di tingkat kabupaten pada tahun 2016 dan 2017. Adapun lapangan usaha Pengadaan Listrik dan Gas memiliki pertumbuhan tertinggi ke-2 di Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2016 (9,85%). Sektor Pengadaan Listrik dan Gas ini juga menjadi penerima pinjaman terbesar ke-3 (Rp70,92 miliar) dari bank umum dan BPR di Provinsi NTB pada tahun 2017 (BPS Provinsi NTB, 2018a).

Di samping itu, sektor yang berkaitan langsung dengan pariwisata seperti hotel dan rumah makan, bersama dengan perdagangan besar/eceran, termasuk dalam lapangan pekerjaan

No Lombok Tengah 2016

1 Jasa Keuangan dan Asuransi 9.9 2 Pengadaan Listrik dan Gas 9.85 3 Penyediaan Akomodasi dan Makan

Minum 9.54

4 Pertambangan dan Penggalian 9.36 5 Informasi dan Komunikasi 9.05

No Lombok Tengah 2017

1 Jasa Keuangan dan Asuransi 11.57 2 Perdagangan Besar dan Eceran;

Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 8.1 3 Informasi dan Komunikasi 8.02

4 Konstruksi 7.24

5 Pertambangan dan Penggalian 7.12

No NTB 2017

1 Jasa Keuangan dan Asuransi 9.98

2 Informasi dan Komunikasi 8.66

3 Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Sepeda

Motor dan Mobil 8.64

4 Konstruksi 7.62

(34)

27 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

utama yang menyerap tenaga kerja terbanyak ke-3 Provinsi NTB, atau terbanyak ke-2 se-Kabupaten Lombok Tengah berdasarkan data BPS. Dari total penduduk usia kerja di se-Kabupaten Lombok Tengah, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) ialah sekitar 69%, dengan jumlah pengangguran sebanyak 13.338 orang pada tahun 2017. Dari target penyerapan tenaga kerja sebanyak 58.700 orang, hingga saat ini telah mampu terealisasi sejumlah 1.241 tenaga kerja langsung yang terserap di KEK Mandalika (Dewan Nasional KEK, 2018). Di sisi lain, Tim LIPI melihat bahwa masih banyaknya pekerja anak di wilayah wisata KEK Mandalika. Di samping itu, pemerintah daerah ataupun pengelola KEK tampaknya perlu mengedukasi perilaku para pelaku usaha di wilayah tersebut agar dapat lebih meningkatkan kenyamanan wisatawan.

Tabel 2.3 Persentase Wisatawan Mancanegara terhadap Total Wisatawan yang berkunjung pada lingkup Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2013-2016 (%)

Wilayah 2013 2014 2015 2016

NTB 42% 46% 48% 45%

Lombok Tengah 71% 74% 77% 78%

Sumber: BPS Provinsi NTB, 2018b; BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2018a (diolah)

Selain sebagai salah satu dari 10 Bali Baru, Provinsi NTB secara geografis pun terletak berdekatan dengan Provinsi Bali sehingga terdapat aktivitas wisata yang saling berkaitan pula. Travel atau kapal turis yang destinasi utamanya adalah ke Bali, umumnya juga singgah selama beberapa waktu di wilayah NTB, atau memang keduanya menjadi destinasi utama. Terdapat berbagai destinasi wisata yang menarik di Provinsi NTB, seperti Pantai Senggigi, Gili Trawangan, Gunung Rinjani, Bukit Sembalun, Air Terjun Benang Kelambu, dan Pantai Kuta Mandalika. Menurut publikasi dari BPS, Provinsi NTB telah dikunjungi sebanyak lebih dari 3 juta wisatawan pada tahun 2016, dengan lebih dari 600 ribu turis yang mendatangi objek wisata di Kabupaten Lombok Tengah yang terdapat KEK Mandalika ini. Pada Tabel 2.3 tampak bahwa terdapat jauh lebih banyak wisatawan mancanegara dibandingkan wisatawan nusantara yang berkunjung khususnya ke Kabupaten Lombok Tengah, yakni lebih dari 70% dari total wisatawan setiap tahunnya pada periode 2013-2016. Berbeda halnya jika dilihat pada lingkup Provinsi NTB, masih lebih banyak kunjungan dari wisatawan domestik (kurang dari 49%) selama periode tersebut. Menurut publikasi dari Dewan Nasional KEK, terdata bahwa terdapat peningkatan jumlah

(35)

28 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

wisatawan yang berkunjung khususnya ke KEK Mandalika dan wilayah sekitarnya, dari tahun 2015 sebanyak 100.728 orang, hingga tahun 2016 menjadi 108.917 orang.

Banyaknya minat wisatawan mancanegara berkaitan dengan daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Lombok Tengah. Terdapat berbagai objek wisata di wilayah kabupaten ini, khususnya di Kecamatan Pujut yang dapat dinikmati oleh para pengunjung, antara lain (BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2018a):

1) Wisata bahari: berbagai pantai.

2) Wisata alam: pemandian, pemandangan alam dan air terjun, jalur treking.

3) Wisata budaya: antara lain Bau Nyale, Nyongkolan, Dusun Tradisional, Praje/Jaran Kamput di Kecamatan Pujut.

4) Wisata Seni: Oncer, Pepaosan.

5) Wisata Religi: seperti makam dan masjid. 6) Wisata Industri: tenun tradisional.

Sebagai akomodasi yang salah satunya digunakan oleh para wisatawan yang berkunjung tersebut, terdapat sejumlah 65 hotel bintang dan 882 hotel non bintang di Provinsi NTB pada tahun 2016, jumlah ini tetap sama dengan data tahun 2015 (BPS Provinsi NTB, 2018b). Apabila dikaji per kabupaten (Gambar 2.8), Lombok Tengah memiliki 5 hotel bintang, atau sebesar 8% dari total hotel di Provinsi NTB, dengan peringkat ke-4 terbanyak se-Provinsi. Hotel bintang yang terbanyak berada di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram (masing-masing sebanyak 22 hotel). Sementara itu, hotel non bintang sebagian besar (55% atau sebanyak 484 hotel) berada di Kabupaten Lombok Utara, kemungkinan karena adanya destinasi wisata favorit yaitu 3 Gili (Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air). Kabupaten Lombok Tengah di posisi ke-3 terbanyak, dengan 81 hotel non bintang. Gambar 2.9 menunjukkan bahwa jumlah hotel/losmen/bungalow/akomodasi lainnya beserta jumlah kamarnya dengan trend yang meningkat dari tahun 2011 hingga tahun 2017 (BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2018a). Peningkatan jumlah hotel dan kamar tertinggi yakni pada tahun 2017, meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Khusus di wilayah KEK Mandalika, hingga saat ini telah terdapat lima hotel dalam status proses konstruksi dan ditargetkan menyediakan total 1.500 kamar hotel pada tahun 2019 (Dewan Nasional KEK, 2018).

(36)

29 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

Gambar 2.8 Persentase Banyaknya Hotel di Setiap Kabupaten/Kota terhadap Jumlah Hotel Bintang dan Non Bintang di Provinsi NTB Tahun 2016

Sumber: BPS Provinsi NTB, 2018b

Gambar 2.9 Banyaknya Hotel/Akomodasi Lainnya beserta Jumlah Kamar di Kabupaten Lombok Tengah pada Tahun 2011-2017

Sumber: BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2018a

Jika ditinjau lama waktu menginapnya, wisatawan/tamu yang menginap relatif lebih lama dilihat di tingkat Kabupaten Lombok Tengah. Wisatawan/tamu umumnya menginap selama rata-rata 1-2 hari (<3 hari) apabila dilihat se-Provinsi NTB, namun jika dihitung se-Kabupaten Lombok Tengah lama menginap ialah rata-rata 3-4 hari selama lima tahun terakhir (2013-2017) (BPS Provinsi NTB, 2018a; BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2018c). Jasa Akomodasi ini merupakan bidang usaha dengan realisasi investasi asing senilai US$1,38 juta, masih lebih rendah

40 44 44 47 51 50 102 447 447 447 528 686 675 1447 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 0 20 40 60 80 100 120 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Jumlah Hotel/Losmen/Bungalow Jumlah Kamar

Lombok Barat 34% Lombok Tengah 8% Lombok Timur 1% Sumbawa 5% Dompu 0% Bima 0% Sumbawa Barat 3% Lombok Utara 15% Mataram 34% Bima 0% Hotel Bintang Lombok Barat 9% Lombok Tengah 9% Lombok Timur 5% Sumbawa 4% Dompu 2% Bima 1% Sumbawa Barat 2% Lombok Utara 55% Mataram 11% Bima 2%

(37)

30 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

dari investasi asing pada bidang usaha Perumahan, Perdagangan, dan Industri di Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2017. Akan tetapi, investasi asing pada Jasa Akomodasi merupakan yang tertinggi di wilayah tersebut pada tahun 2016, dengan nilai US$2,46 juta. Pada lingkup pengembangan KEK Mandalika sendiri, telah terdapat aliran investasi senilai Rp13 triliun hingga akhir tahun 2017, dalam pengembangan kawasan Tahap I pada luas lahan 396,53 ha (Dewan Nasional KEK, 2018).

Tabel 2.4 Jumlah Gardu dan Daya Terpasang Listrik PLN di Tiap Kecamatan di Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2017

Kecamatan Gardu Daya Terpasang (kVA)

1 Praya Barat 63 8.946

2 Praya Barat Daya 35 2.906

3 Pujut 102 13.685 4 Praya Timur 48 4.645 5 Janapria 47 4.370 6 Kopang 51 6.140 7 Praya 91 16.554 8 Praya Tengah 37 3.844 9 Jonggat 60 7.110 10 Pringgarata 45 4.305 11 Batukliang 60 9.090 12 Batukliang Utara 33 7.310

Total Lombok Tengah 672 88.905

Sumber: BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2018a

KEK Pariwisata tentunya membutuhkan infrastruktur dasar, seperti air, jalan, dan listrik. Pada tahun 2017, tercatat bahwa perkiraan nilai Belanja Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah termasuk untuk yang berkaitan dengan Jalan (Rp103,24 miliar); Air (Rp28,48 miliar); dan Listrik (Rp1,28 miliar). Lebih khusus dalam hal listrik, terdapat 88.905 kVA daya terpasang dengan 672 gardu pendistribusi listrik pada tegangan rendah/menengah bagi konsumen PLN di Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2017. Dibandingkan dengan tahun 2015, terdapat tambahan sebanyak 47 gardu dan sekitar 76% kenaikan daya terpasang pada tahun 2017 tersebut. Dikaji berdasarkan kecamatan (lihat Tabel 2.4), jumlah gardu dan daya terpasang tertinggi kedua berada di Kecamatan Pujut. Dengan kata lain, KEK Mandalika yang termasuk dalam wilayah kecamatan tersebut, telah tersedia akses listrik yang relatif lebih tinggi dibandingkan sebagian

(38)

31 | P u s a t P e n e l i t i a n E k o n o m i L I P I

besar wilayah lainnya. Kemudian, jika dilihat dalam data kelistrikan di Provinsi NTB pada periode tahun 2013-2017, kenaikan produksi listrik PLN tertinggi pada tahun 2016 (meningkat 18% dibandingkan tahun sebelumnya), setahun setelah dicanangkannya Program 35.000 MW. Pertumbuhan distribusi dan jumlah listrik PLN terjual di Provinsi NTB mencapai yang tertinggi pada tahun 2014 dan juga tahun 2016 (BPS Provinsi NTB, 2018a).

Bandara Internasional Lombok (BIL) di Praya, Kabupaten Lombok Tengah, sebagai bagian dari pembangunan infrastruktur wilayah guna mendukung pengembangan KEK Mandalika. Infrastruktur pendukung lainnya yang berkaitan langsung untuk konektivitas dengan KEK Mandalika yakni telah terdapat Pelabuhan Lembar dengan jarak 46 km dan rencana pembangunan jalan strategis nasional Penunjak-Kuta. Di samping itu, telah terdapat instalasi pengolahan air bersih Batu Jai Praya 200 L/detik dan rencana pembangunan Bendungan Mujur berjarak 21 km. Dalam hal kelistrikan khususnya yang menjangkau KEK Mandalika, telah terdapat Gardu Induk Kuta berkapasitas 150 kV. Di dalam KEK Mandalika itu sendiri, terdapat berbagai pembangunan, antara lain hotel bintang 5, jalan di dalam kawasan sepanjang 4 km, gedung perkantoran, Masjid Mandalika, teknologi Sea Water Reserve Osmosis (SWRO) untuk instalasi pengolahan air bersih, dan sebagainya (“Profil KEK Pariwisata”, 2018).

2.3 Kondisi KEK Tanjung Kelayang

Dengan berlakunya penetapan sebagai KEK Pariwisata pada tahun 2016, KEK Tanjung Kelayang baru ditargetkan untuk beroperasi pada tahun 2019. Menurut Dewan Nasional KEK (2018), KEK Tanjung Kelayang merupakan salah satu KEK di Indonesia yang mampu menyelesaikan pembangunannya selama kurang dari tiga tahun sehingga diupayakan percepatan kesiapan operasionalnya. KEK yang berlokasi di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) ini memiliki luas lahan 324,4 ha (3,24 km2) yang sepenuhnya telah bersertifikat HGB.

Provinsi Kepulauan Babel tidak hanya merupakan wilayah daratan tetapi sebagian besarnya (79,90%) merupakan wilayah lautan, dari total luas wilayah 81.725,06 km2. Sementara itu,

wilayah Kabupaten Belitung meliputi 13,97% (2.293,69 km2) dari luas wilayah daratan provinsi

tersebut, wilayah terkecil ke-3 di Provinsi Kepulauan Babel. Artinya, lahan KEK Tanjung Kelayang hanya 0,14% dari luas wilayah Kabupaten Belitung, atau 0,72% dari Kecamatan Sijuk. Sama halnya

Gambar

Gambar 1.0.1 Isu dan Permasalahan Proyek Kelistrikan di Indonesia (per 27 Oktober 2015)
Tabel 1.0.1 Konsep Proper Governance
Tabel 2.1 Bentuk Insentif dan Kemudahan Perizinan di KEK Pariwisata   Insentif:
Gambar 2.1 Indeks Pembangunan Manusia Lingkup Nasional, Provinsi (Bali dan NTB), dan Kabupaten  (Lombok Tengah) Tahun 2011-2017
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ini adalah tautan baru daftar jurnal nasional terakreditasi Sinta Tanpa log in Anda dapat melihat seluruh tampilan daftar jurnal.. 1 Rohmani

Yaitu perancangan ruang atas dasar perilaku penggunanya, bukan mementingkan estetika bangunan semata. Penggunaan tema pendekatan arsitektur perilaku bertujuan agar

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang dapat dipakai sebagai acuan bagi peneliti yang berkaitan dengan penggunaan teori Utami

Merupakan riwayat kesehatan yang berkaitan dengan penyakit sebelumnya dan riwayat pemeriksaan klien, apakah alergi terhadap zat makanan, cuaca, obat-obatan, dsb. Misalnya pada

Sebagai salah satu alternatif pengolahan untuk menurunkan konsentrasi pencemar dengan parameter COD dan warna ini yang dapat dilakukan adalah pengolahan dengan menggunakan

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah inmaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis

Dapat disimpulkan pula dari analisis deskriptif untuk vaiabel electronic word of mouh , indikator. expressing positive emotions memiliki peran