• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pendidikan Nasional menurut ketentuan Undang-undang tahun 2003 pasal 1 ayat 1 dikemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dari proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Hal tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan terjadinya pembelajaran sebagai suatu proses aktualisasi potensi peserta didik untuk mejadi kompetensi yang diperlukan dirinya bagi pengembangan dirinya, dengan akhlak mulia yang berdampak rakhmatan lil alamin. Di samping itu,

1. mengidentifikasi karakteristik karya ilmiah dan karakteristik karya nonilmiah.

2. menjelaskan perbedaan antara karya ilmiah dan karya nonilmiah.

3. menyebutkan tujuan menulis karya ilmiah.

4. menyebutkan jenis-jenis karya ilmiah.

5. meyebutkan dan menjelaskan langkah-langkah proses menulis karya ilmiah.

6. menyusun sistematika karya ilmiah, khususnya makalah.

fungsi dan tujuan pendidikan nasional: fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; dan tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Suderadjat, 2004:11).

Sejalan dengan pandangan tersebut pendidikan sastrapun tidak lepas dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut. Fungsi pendidikan sastra adalah untuk mengembangkan kemampuannya dalam mengapresiasi karya-karya sastra yang membentuk watak dan kepribadian kemanusiaan dengan tujuan untuk memberdayakan manusia itu sendiri atau dapat dikatakan sastra dapat memanusiakan manusia, karena hasil cipta sastra dengan kemampuannya menyuguhkan manusia dan lingkungannya dalam perjuangan dan perkembangannya secara khas dapat dimanfatkan bukan hanya sebagai bahan ajar tetapi sekaligus sebagai dunia yang dapat membangun watak manusia.

Pembelajaran Sastra Berbasis Kompetensi

Pasal 3 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa tujuan pendidikan adalah pemberdayaan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan betakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, atau dapat memilki nilai dan sikap, sehat, berilmu, cakap, kreatif (berilmu pengetahuan), mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab atau memiliki kecakapan psikomotorik. Berdasarkan hal itu bahwa kompetensi merupakan pemilikan nilai dan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan sebagai pemberdayaan potensi peserta didik menjadi kompetensi, dengan kata lain memiliki nilai, dan sikap, pengetahuan, dan keterampilan untuk menyelesaikan suatu tugas dalam kehidupan sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Dalam sastra terdapat terdapat tiga ciri kode, yakni kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya. Menurut Teew (dalam Tuloli, 2000:34-35) bahwa dalam memahami sastra dibutuhkan pengetahuan ketiga sistem kode tersebut, yakni kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.

Kode bahasa adalah semua kaidah atau norma dalam ketatabahasaannya. Namun perlu di ingat perlu oleh pembaca bahwa bahasa sastra adalah bahasa konotatif yang tentunya berbeda dengan bahasa denotatif. Bahasa konotatif dalam arti bahasa yang memiliki lebih dari satu makna, sedangkan bahasa denotatif adalam bahasa yang hanya memiliki makna yang leksikal.

Kode sastra adalah semua konvensi yang melekat pada struktur dan ciri ragamnya. Sastra merupakan keseluruhan yang terhingga, yang tertutup, dan yang memiliki keterbatasan atau memiliki awal dan akhir untuk diberikan kebulatan makna.

Selain itu, sebagai sastra ungkapan atau sastra lisan dapat disemantiskan segala

aspeknya baik itu berupa bunyi, irama, maupun urutan kata yang digunakan dalam percakapan. Semua tanda-tanda itu semuanya dapat berfungsi dan juga bermakna, bahkan dapat dimaknai dan maknanya itu dapat dipertahankan. Sastra di satu pihak terikat oleh konvensi, tetapi di pihak lain terdapat kelonggaran dan kebebasan untuk mempermainkan makna konvensi itu, demi memanfaatkannya secara individual, bahkan untuk menantangnya walaupun dalam hal ini penciptanya masih terikat dengan konvensi cipta sastra. Pencipta sastra terpaksa melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam mencipta sastra demi mempertahankan cipta karyanya sebagai hasil seni.

Penyimpangan yang dilakukan adalah penyimpangan yang ada di tingkat penggunaan bahasanya, maupun penyimpangan di tingkat penerapan di tingkat konvensi kesastraan.

Penyimpangan inilah yang mengakibatkan sistem sastra itu tidak stabil, sangat berubah-ubah, sehingga setiap angkatan sastrawan berbeda-beda.

Kode budaya merupakan kebiasaan dalam lingkungan atau tempat penciptaan sebuah cipta sastra. Sastra dapat mencerminkan sekelompok masyarakat, misalnya cipta sastra novel digambarkan sebagai genre sastra yang cenderung realistik. Johnson (dalam Faruk, 1999:45-46) menyimpulkan bahwa novel dapat mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan social. Novel dapat bertujuan untuk menggambarkan kehidupan nyata, mendeskripsikan karakter-karakter kemanusiaan, mensugestikan rancangan tindakan, serta dapat memberikan penilaian terhadap motif-motif tindakan. Oleh sebab itu, sastra dapat dikatakan sebagai cermin dari suatu kehidupan masyarakat dalam arti bahwa dalam cipta sastra termuat budaya-budaya masyarakat yang merupakan tempat penciptaan sesuatu cipta sastra.

Ketiga kode dalam sastra tersebut, sekaligus merupakan kompetensi yang terdapat dalam setiap genre sastra. Pada fungsi sastra khususnya sastra Indonesia lebih cenderung sebagai sastra yang mengemban misi tertentu, yaitu misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sastrawan lebih merasa sebagai seorang guru dibandingkan dengan sebagai seorang seniman. Sastra dijadikan sebagai media untuk menyampaikan ide-ide, pikiran-pikiran, serta pandangan-pandangan yang sehubungan dengan misi yang diemban, yaitu ―mendidik rakyat‖ (Alwi & Sugono, 2002:228).

Jika pembelajaran sastra di sekolah dapat berbasis kompetensi, maka tentunya seorang guru sebelum membelajarkan siswa tentang kesastraan terlebih dulu menguasai kompetensi-kompetensi yang terdapat dalam genre sastra yang diajarkan. Guru sastra yang baik adalah guru yang dapat mengembangkan apresiasi siswa terhadap cipta sastra.

Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan pikiran yang baik terhadap cipta sastra (Effendi, dalam Aminuddin, 1990:2). Oleh sebab itu, pembelajaran sastra yang berbasis kompetensi memiliki tujuan membina apresiasi sastra, mengembangkan kepekaan pikiran siswa terhadap nilai-nilai sastra yang dapat menumbuhkan sikap arif dalam menangkap isyarat-isyarat kehidupan.

Pembelajaran Sastra Menuju Kemandirian Lokal

Pada pasal 38 ayat 2 dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 bahwa pengembangan kurikulum untuk pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah atau madrasah yang di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar, dan provinsi untuk pendidikan menengah.

Hal ini mengisyaratkan bahwa sekolah harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan kurikulum baik itu kurikulum yang berbasis kompetensi maupun kurikulum yang berbasis kawasan. Meskipun standarnya sama, namun kurikulum di sekolah dapat berbeda sesuai dengan pendidikan yang dikembangkannya atau potensi daerah, dan potensi peserta didik. Guru dalam koordinasi direktur sekolah diharapkan mampu menjadi pengembang kurikulum, penyelenggara pendidikan, dan juga evaluator kurikulum, dengan demikian, guru yang professional menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan pendidikan di sekolah, dan kepemimpinan direktur sekolah menjadi tumpuan keberhasilan manajemen sekolah.

Jika mencermati pasal tersebut, maka pelaksanaan kurikulum yang berbasis kawasan atau lebih khusus pembelajaran sastra menunju kemandirian mendapat peluang yang lebih besar, hanya tinggal terletak siapa pelaksananya atau penyelenggara pembelajaran sastra tersebut. Pembelajaran sastra menuju kemandirian dapat terlaksana dengan baik apabila ada kesetaraan dalam hak dan kewjiban. Pembelajaran sastra menunju kemandian ini dapat dikembangkan berdasarkan potensi daerah, potensi peserta didik, dan yang paling utama adalah potensi guru yang mengajar. Di daerah Gorontalo terdapat berbagai jenis cipta sastra, namun guru yang mengajar tidak memiliki potensi terhadap cipta sastra daerah Gorontalo, sehingga dapat dipastikan bahwa pembelajaran sastra menuju kemandirian lokal tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik. Demikian pula sebaliknya, apabila siswa yang tidak memiliki potensi terhadap cipta sastra Gorontalo, maka sia-sialah usaha guru dalam membelajarkan cipta sastra daerah tersebut, sehingga tidak tercipta suasana belajar yang kondusif.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian di depan dapat ditarik simpulan bahwa untuk melaksanakan pembelajaran sastra menuju kemandirian lokal dapat dimotivasi oleh beberapa faktor berikut.

1. Guru yang profesional dalam bidang kesastraan;

2. Mengadakan perubahan-perubahan dalam hal pembelajaran sastra;

3. Adanya kesetaraan dan kemitraan antara pihak yang terkait (misalnya antara dinas pendidikan dan komite sekolah, atau antara guru dan siswa);

4. Adanya penataan manajemen sekolah yang baik demi mengatasi permasalahan dalam pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1990. Pengantar Apresiasi Karya sastra. Malang: YA3.

Alwi, Hasan & Sugono. 2002. Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta: IKAPI.

Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

HISKI. 2002. Sastra dalam Nuansa Sejarah, Pendidikan, dan Pengajaran. Gorontalo:

IKIP Negeri Gorontalo

Suderadjat. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: CV. Cipta Cekas Grafika.

Tuloli, Nani. 2000. Kajian Sastra. Gorontalo: BMT Nurul Jannah.