• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Masuknya Musik Gereja dalam Konteks Misi Gereja Batak Penggunaan instrumen musik sangat penting artinya bagi jemaat, karena Penggunaan instrumen musik sangat penting artinya bagi jemaat, karena

HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN (HKBP)

2.3. Sejarah Masuknya Musik Gereja dalam Konteks Misi Gereja Batak Penggunaan instrumen musik sangat penting artinya bagi jemaat, karena Penggunaan instrumen musik sangat penting artinya bagi jemaat, karena

melalui musik anggota jemaat tertolong untuk menginternalisasikan makna ibadah dan kehikmatan penyembahan kepada Allah dalam kebaktian. Dengan kata lain musik di dalam gereja berkuasa dan mempunyai peranan penting di dalam pembinaan rohani anggota jemaat. Oleh karena itu kedudukan atau penggunaan instrumen musik dalam kebaktian gereja, bukanlah sebagai tambahan melainkan merupakan hal yang integral sejak awal sampai berakhirnya kebaktian.

      

58

Luther D. Reed59, mengatakan: “Fungsi utama dari musik ialah: “to clothe the text of liturgi” (Pembungkus teks liturgi). To clote sama dengan melapisi, menutupi. Musik itu adalah sebagai pembungkus teks liturgi agar teks liturgi dapat lebih indah, lebih mudah dihayati.60 Sebab jika ditinjau dari sudut praktisnya, kegunaan musik itu bukan hanya kepada yang menyanyikannya, tetapi juga kepada orang-orang yang mendengarkan.

Dengan demikian musik dapat dikatakan sebagai alat puji-pujian dan sebagai alat untuk memberitakan Firman Allah. Dengan kata lain penggunaan instrumen musik dalam kebaktian adalah tata cara yang diorganisir di dalam pelaksanaan kebaktian . Maka dalam kebaktian Kristen haruslah tercipta komunikasi yang baik antara Tuhan dengan manusia. Komunikasi yang dimaksud adalah hubungan antara jemaat yang hadir di dalam kebaktian dengan Tuhan yang hadir.

T.S. Garrett dalam Reed61 mengatakan Kebaktian Kristen adalah mencakup semua hidup, kebaktian adalah sebagai jawaban kepada Tuhan yang hadir. Jawaban itu dibentuk dalam bentuk liturgi dan diwarnai dengan suara dan perbuatan yang indah-indah yang membentuk suatu peristiwa yang berisikan Tuhan hadir berfirman kepada manusia, manusia mendengarnya dan memberikan puji-pujian melalui nyanyian (musik), doa permohonan dan memberikan persembahan atas pemberian Tuhan. Perbuatan itu sama halnya dengan kebaktian

      

59

Luther D. Reed, Workship A Study of Corpurate Devation, Philadelphia: 1959), hal., 159.

60

Ibid. hal., 160. 61

T. S. Garrett, Christian Worship Introduction Outline, hlm. 5, bnd. J.L. Ch. Abineno, Melayani dan Beribadah Di Dalam Dunia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), hal., 19.

surgawi, yang mana kebaktian itu disemarakkan dengan warna-warni musik, simbol dan perbuatan-perbuatan lainnya (Why. 15:1-4).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah musik di dalam liturgi telah ada yang terus berkembang sejak kebaktian Jahudi sampai kepada kebaktian orang Kristen sampai sekarang. Untuk itu musik gereja adalah untuk gereja bukan untuk musik, maksudnya musik gereja berperan sebagai alat pembawa, pengangkat teks bagi liturgi kebaktian Kristen dan bukan untuk disekularisasikan.

Demikian untuk tujuan seperti yang sudah disebutkan di atas, dan sesuai dengan pengalaman misi dalam pertumbuhan gereja di tanah Batak maka para misionaris memanfaatkan musik dalam mempercepat perkembangan Gereja Batak selanjutnya. Beberapa hal yang diajarkan adalah, yakni :

a. Alat Musik Tiup

Dalam konteks tradisi umat Allah dalam Perjanjian Lama, terompet digunakan pada masa peperangan dan tiupan terompet digunakan sebagai adanya tanda bulan baru, tahun Yobel, gerakan militer, upacara sipil, penobatan raja, puji-pujian, serta penyembahan. Pada dasarnya alat musik ini dibuat bukan untuk mengiringi pujian, tetapi untuk memberikan tanda/ peringatan.62

Seiring dengan penyebaran agama Kristen Protestan, para misionaris turut membangun sarana-sarana seperti pendidikan dengan membuka sekolah, kesehatan dengan membuka rumah sakit dan balai pengobatan maupun membangun sarana transportasi. Hal ini mendorong berakarnya agama Kristen di

      

62

E. Martasudjita dan Karl Edmund, Musik Gereja Zaman Sekarang. (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 2009), hal., 35-36.

dalam budaya masyarakat Batak Toba. Perubahan itu selaras dengan konsep hidup orang Batak Toba di dunia, yaitu mencari hamoraon (kekayaan), hagabeon (memiliki keturunan yang berhasil), dan hasangapon (kemuliaan atau kehormatan).

Kebaktian menjadi bagian dari masyarakat Batak Toba Kristen. Perhatian masyarakat terhadap eksistensi gereja juga didorong oleh pengetahuan tambahan terhadap pengenalan musik-musik gereja yang berasal dari Eropa. Setiap acara kebaktian gereja, jemaat dikenalkan dengan lagu-lagu melalui notasi Barat. Bersamaan dengan itu para misionaris memperkenalkan alat-alat musik63 seperti: trumpet, saksofon alto, saksofon tenor, trombon, dan Bariton. I nstrumen tersebut dipakai untuk mengiringi nyanyian-nyanyian gereja.

Para misionaris juga mengajarkan bagaimana cara memainkan alat musik tersebut kepada sekelompok warga jemaat yang dianggap sungguh-sungguh mengikuti ajaran agama Kristen dan mempunyai minat dan perhatian yang tinggi untuk bermain musik. Mereka diajar mengenal notasi musik yang ada. Melalui proses belajar yang cukup lama, akhirnya beberapa warga jemaat mahir memainkan ensambel musik tiup tersebut.

Pengetahuan tentang alat-alat musik organ dan brass sama sekali masih baru bagi masyarakat Batak Toba, demikian juga tentang musik gereja yang bertangga nada diatonik. Instrumen musik brass yang pertama hanya terdiri dari sebuah trumpet, yang digunakan untuk mengiringi kebaktian di gereja yang

      

63

Penulis juga sudah meneliti ke Gereja Ressort Balige, bahwa alat musik tersebut sudah mulai dipergunakan dalam kebaktian. Salah satu gereja yang dominan yang diperhatikan oleh RMG dan Misionaris yang datang ke tanah Batak adalah Gereja Laguboti. Gereja Laguboti terkenal dengan bagian musik dan nyanyian, dari awal masuknya instrument musik sampai sekarang ini.

dimainkan oleh Berausgegeben Van D. Johansen Ruhlo, putra Nommensen sendiri, mengingat saat itu belum ada warga jemaaat Batak Toba yang dapat memainkannya64.

Perkembangan agama Kristen Protestan semakin lama semakin pesat dan pertunjukan solo trumpet tidak sanggup lagi mengimbangi tingkat intensitas paduan suara jemaat, sehingga ditambahlah trumpet tersebut menjadi empat buah. Untuk itu Johansen terpaksa harus mengajari beberapa warga untuk memainkannya, juga mengajarkan notasi balok khususnya yang tertuang dalam Buku Logu, buku nyanyian pokok gereja HKBP65.

Setelah penjajahan berakhir tahun 1943, para zending Jerman juga meninggalkan Tanah Batak, namun aktivitas kerohanian tetap berjalan. Para Pendeta yang telah diajar kerohanian dan pengenalan musik oleh para misionaris mengambil alih kepemimpinan gereja. Selain digunakan untuk kegiatan gereja, brass band juga digunakan mengiringi kegiatan-kegiatan para militer Jepang yang hendak berperang, seperti saat pemberangkatan tentara yang hendak berperang. Menurut keterangan St. E. Pasaribu66, alat musik yang digunakan bukan milik gereja tetapi dibawa oleh para tentara Jepang dari negerinya.

Demikian sekilas masuknya alat musik saksofon dan lainnya dalam HKBP. Selain itu, di Simalungun juga terjadi hal sama, khususnya di Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

      

64

Wawancara dengan Bapak DR. J.R. Hutauruk tanggal 25 April 2011 di Medan. 65

Ibid. 66

Wawancara dengan St. Edison Pasaribu, pada hari senin, 21 Februari 2011, Sitangka, Pearaja-Tarutung.

Kenyataan yang dijumpai dalam melagukan nyanyian gereja dipengaruhi oleh nyanyian rakyat Simalungun, khususnya bagi orang-orang Simalungun di pedesaan tidaklah dapat dipungkiri. Namun tidak perlu menyalahkan atau mengatakan bahwa nyanyian yang mereka lagukan tidak benar.67

Sering terdengar isu, kebanyakan dari beberapa kalangan Pendeta yang pernah bertugas di daerah pedesaan, bahwa melagukan nyanyian gereja banyak salahnya. Terkadang, para Pendeta itu tidak dapat mengikuti nyanyian jemaatnya. Suatu ketika tahun 1988 ketika mengikuti kebaktian bagi para anggota

partarompet (peniup trumpet) GKPS, seorang penginjil, P.P. Luther Purba68,

membuat suatu ilustrasi dalam khotbahnya mengenai cara bernyanyi anggota jemaat GKPS Marbun Lokkung dan sekitarnya yang tidak bersungguh-sungguh. Temponya tidak sesuai dengan jiwa lagunya. Misalnya lagu-lagu puji-pujian dinyanyikan lambat tidak gembira, seharusnya cepat dan gembira. Melodinya banyak yang diubah. Singkat kata ia menghendaki kalau melagukan nyanyian gereja haruslah benar sesuai dengan tuntutan lagu itu sendiri.69

b. Organ

Menjelang akhir abad 18 mutu musik organ dalam ibadat tidak lagi seperti tahun 1750-an. Jabatan organis merupakan suatu tugas sampingan dan sering dipegang oleh orang pensiunan. Maka komposisi organ pun menurun. Dalam

      

67

Op.Cit. Martasudjita, hal., 68-69. 68

Seorang Penginjil dari Gereja GKPS yang juga ditugaskan dari utusan RMG demi melanjutkan tugas dan pelayanan di tanah batak. Dengan demikian beliau juga diperbekali dengan berbagai jenis pelayanan seperti halnya untuk pengembangan musik selama masa pelayanan.

69

ibadat selama abad 19 permainan organ terbatas pada iringan nyanyian Gregorian dalam Katolik. Komposisi semacam ini diciptakan banyak selama abad 19.

Perkembangan organ Gereja pada awal abad 19 pun mengalami penurunan drastis dan hampir hilang, dibandingkan dengan piano yang mengalami peningkatan ekspresi, dimana organ dirasakan statis.70

c. Alat Musik Tiup dan Poti Marende di Pearaja (Survei Sejarah)71

Dari hasil wawancara dengan Bapak St. Edison Pasaribu72, sejarah masuknya alat musik tiup di HKBP Pearaja adalah dari sumbangan dari Misionaris Jerman yang menjalin hubungan yang baik dengan semua keanggotaan di HKBP Pearaja.73 Setelah alat musik tiup diserahkan kepada jemaat di sana, kemudian Misionaris Jerman mengiringi kegiatan ibadah dengan menggunakan alat musik tiup. Setelah itu, mereka mengumpulkan jemaat yang benar-benar mau belajar alat musik tiup tersebut. Setelah beberapa bulan kemudian, Misionaris dari Jerman pun berangkat dari Pearaja dan kebaktian di gereja Pearaja sudah diiringi oleh alat musik tiup yang pemainnya adalah jemaat HKBP Pearaja.

Masuknya alat musik tiup ini semakin memperluas kabar ke hampir seluruh Distrik II Silindung dan kerinduan jemaat dari berbagai gereja di

      

70

Ibid, hal., 36-37. 71

Penulis mengadakan penelitian ke Gereja Pearaja dan menemukan sejumlah besar tentang sejarah masuknya alat musik tiup sehingga dipakai dalam kebaktian di Gereja HKBP Pearaja.

72

Penulis mengadakan wawancara kepada salah seorang penatua dari gereja HKBP Pearaja yang bertempat tinggal di Sitangka, salah satu pedesaan yang termasuk lingkungan Ressort Pearaja yang bernama Bapak St. Edison Pasaribu, dan beliau juga merupakan salah satu pekerja bangunan yang sudah lama bekerja di HKBP.

73

HKBP Pearaja adalah salah satu gereja yang sudah mandiri dan mendapat perhatian khusus dari Misionaris yang datang ke tanah Batak. Hal ini muncul karena banyak sekali bantuan dan pengajaran yang sudah diterima oleh jemaat di HKBP Pearaja yang sumbernya dari para Misionaris.

sekitarnya untuk beribadah di gereja Pearaja. Alat musik tiup yang sudah ada dipakai dan dirawat sedemikian rupa supaya tetap terpelihara dan bisa digunakan dalam waktu yang sangat lama.74

Alat musik ini masih tetap dipergunakan sampai pada tahun 1974 di HKBP Pearaja. Namun setelah hampir beberapa puluh tahun dipergunakan, ternyata tidak ada lagi yang mempergunakannya setelah tahun 1974. Bahkan anggota Gereja HKBP Pearaja sendiri tidak mengetahui mengapa alat musik tersebut tidak nampak lagi. Menghilangnya alat musik tiup tersebut mempunyai efek yang negatif dalam kemerosotan jemaat yang mengikuti kebaktian di gereja tersebut, dengan alasan bahwa ternyata alat musik tiup tersebut mempunyai dampak yang sangat besar dalam proses pelaksanaan ibadah di gereja. Tanpa adanya yang mengiringi lagu-lagu pujian di gereja jadi terasa hambar dan tidak meresap ke dalam hati, demikian tutur Bapak St. Edison Pasaribu75.

Sampai tahun 1975, alat musik tiup juga sudah dipadu dengan poti marende yang pada awalnya juga adalah merupakan sumbangan dari para Misionaris Jerman yang datang ke Pearaja untuk melihat perkembangan dari gereja tersebut. Poti marende ini juga disumbangkan supaya dipadu dengan alat musik tiup. Sama halnya seperti proses awal diberikannnya alat musik tiup, para missionaris juga mengajari jemaat setempat yang mempunyai minat dalam hal memainkan poti marende. Setelah sekian lama prosesnya, akhirnya ada juga beberapa orang yang mahir menggunakannya. Kemudian dalam setiap kebaktian,

      

74

Hasil wawancara dengan Bapak St. Edison Pasaribu dan pengalaman beliau tentang alat musik tiup yang datang ke gereja HKBP Pearaja pada tahun 1965 dan alat musik ini tetap dipertahankan dan dipergunakan sampai pada tahun 1974.

75

Hasil wawancara dengan Bapak St. Edison Pasaribu dan pengalaman beliau tentang alat musik tiup yang datang ke gereja HKBP Pearaja pada tahun 1965 dan alat musik ini tetap dipertahankan dan dipergunakan sampai pada tahun 1974.

alat musik tiup digabungkan dengan poti marende sehingga lebih merdu dan membuat jemaat lebih bersemangat dalam menyanyikan lagu-lagu pujian.

Dari sejarah yang sudah diteliti melalui wawancara tersebut, beliau juga masih sempat menyimpan satu sejarah yang sudah lama tersimpan dan selalu diingat ketika ditemukannya kembali alat musik tiup tersebut pada tahun 1992 di bagian belakang gereja HKBP Pearaja namun tidak lengkap lagi seperti yang dulu dan sudah dalam keadaan tidak bisa dipergunakan lagi. Sangat disayangkan jika alat musik tersebut sudah tidak bisa dipergunakan namun muncul secara tiba-tiba dan mengherankan semua anggota jemaat pada masa itu. Sehingga setelah tahun 1975, hanya poti marende76 yang digunakan dalam mengiringi kebaktian setiap hari minggunya.

Perkembangan musik yang ada di gereja Pearaja ternyata membuka hati seorang dermawan yang merupakan salah satu jemaat di gereja tersebut dan menyumbangkan sebuah organ yang masih sangat minim penggunaannya di kawasan distrik II Silindung. Organ yang disumbangkan tersebut sudah mempunyai beberapa nada yang sudah mengimbangi penggunaan alat musik tiup dan poti marende jika dipadu. Penggunaan organ ini akhirnya menutup masa penggunaan poti marende yang masih tersimpan sampai sekarang di gereja tersebut. Dari hasil yang ditemukan dari beberapa gereja yang sudah diteliti, ada beberapa gereja yang menggunakan poti marende yang masih disimpan di gereja

       76

masing-masing, yakni gereja Simanungkalit, Ressort Sipoholon I, dan gereja Pintubosi, Ressort Sipoholon VI.77

Penulis juga mengadakan wawancara dengan beberapa pihak yang merupakan generasi pembuatan gitar dan poti marende yang sudah sangat lama di Sipoholon. Menurut mereka poti marende dibuat oleh generasi sebelumnya karena sudah diajari oleh seorang keturunan Jerman yang pekerjaannya adalah membuat poti marende di Jerman dan datang ke tanah Batak untuk membantu proses pembuatan poti marende supaya dipergunakan di setiap gereja. Hal ini berlangsung sudah berpuluh-puluh tahun. Namun semenjak lahirnya Elektrik Organ sebagai alat musik yang lebih modern, tidak ada lagi yang meminatinya dan akhirnya proses pembuatan poti marende berhenti di tahun 1985.