• Tidak ada hasil yang ditemukan

HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN (HKBP)

2.2. Sejarah Terbentuknya Paduan Suara Gerejawi

Selama Milenium pertama sebelum Masehi, kelompok-kelompok biduan di dalam peribadahan masih bernyanyi dengan satu suara (unisono), sebab musik polifon belum dikenal. Dalam berbagai ibadah umat Israel sejak zaman Perjanjian Lama, telah ada para Penyanyi misalnya kelompok Asaf, Korah, Yedutun dan lain-lain, yang bertugas menyanyikan Mazmur maupun bagian liturgi yang bersifat respons (jawaban) umat. Mereka diduga bernyanyi secara unisono atau secara responsoris (berbalas-balasan antara umat dengan pemimpin ibadah atau

      

48

Lihat draft notulen sinode godang 2008, hlm. 2, sedang jumlah resort di ambil dari “ berita jujur taon 2004-2008, hal. 13 dalam Dok. SG:NO.06/SG-59/IX/2008.

49

seorang penyanyi/ solois), atau juga secara antifonal (yakni bersahut-sahutan antara dua kelompok umat/ penyanyi)50.

Cara menyanyi secara responsoris dan antifonal seperti itu dikemudian hari diambil alih juga oleh jemaat-jemaat Perjanjian Baru dan dikembangkan di dalam bentuk khoros/ khorus. Dengan demikian, tiga jenis nyanyian yang dikenal dalam jemaat-jemaat Perjanjian Baru, yakni mazmur (psalmois), kidung puji-pujian (humnois) dan nyanyian rohani (oidais), juga dinyanyikan dengan cara ini. Pada masa ini belum ada kelompok paduan suara yang khusus bernyanyi di dalam ibadah. Namun menurut Pandopo51, sejak berakhirnya masa penghambatan gereja pada abad IV, ada begitu banyak orang menjadi Kristen. Jumlah anggota jemaat di dalam ibadah menjadi besar sekali, dan kebanyakan orang Kristen baru itu belum tahu cara menyanyikan nyanyian liturgi yang ada. Untuk mengatasi keadaan ini, maka para rohaniawan secara khusus bertindak sebagai kelompok penyanyi yang menyanyikan nyanyian ibadah tersebut, sekaligus untuk membimbing para anggota jemaat yang baru itu bernyanyi. Dengan demikian mulailah cikal bakal Paduan Suara Gereja di dalam gereja. Keadaan ini berlangsung terus sampai abad VIII.

Abad IX merupakan awal yang penting bagi perkembangan paduan suara modern (SATB) di dalam gereja. Ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan ini. Pertama, pengaruh digunakannya alat musik organ di dalam gereja. Alat musik ini sebenarnya sudah diciptakan sejak abad III SM oleh Ktesibios, seorang ahli teknik Yunani yang hidup di kota Aleksandria pada masa

      

50

H.A.Pandopo, Menggubah Nyayian Jemaat: Penuntun untuk pengadaan Nyayian Gereja. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984) hal., 21-22

itu. Tidak banyak informasi mengenai pengembangan dan penggunaan alat musik ini di dalam kebudayaan Hellenisme, dalam zaman gereja lama dan zaman Islam. Pada zaman Islam, alat musik organ ini dihadiahkan oleh Sultan Harun al-Rasyid kepada Karel Agung sebagai tanda persahabatan.52 Sejak itu, alat musik ini mulai dikenal dan digunakan di Eropa dan lambat laun mempengaruhi perkembangan musik polifon.

Kedua, mulai ditemukannya sistem notasi musik yang dikenal sebagai sistem not balok, yang memungkinkan dikembangkannya ilmu harmoni dan musik Homofon. Sistem ini merupakan penemuan seorang biarawan pada abad IX (sekitar tahun 1000). Menurut David P. Appleby dalam Pandopo53 ada dua manuskrip musik dari abad itu yang menjadi pegangan dalam penulisan sistem not balok ini, yakni naskah-naskah yang berjudul Musica enchiriandis dan Scholia enchiriadis. Kedua naskah ini berisi catatan mengenai campuran bunyi-bunyi suara sederhana dengan melukiskan prosedur yang tepat jika seseorang menyanyikan suatu bagian lain melodi pada diapson (nada ke-7 atau okta), diaspente (nada ke-5), dan diasteceron (nada ke-4). Bahkan menurut Appleby selanjutnya penulis manuskrip Scholia enchiriadis juga memaksudkan kemungkinan untuk menyusun suatu komposisi musik yang terdiri atas campuran suara-suara dengan diapson ditambah diasteceron (11 nada). Hasil ini merupakan suatu kemajuan penting, namun belum dapat digolongkan sebagai musik polifon, dalam arti suara-suara yang berdiri sendiri secara harmonis. Sekalipun demikian,

      

52

Atan Hamdju dan Armillah Windawati, 1984:10. 53

H.A.Pandopo, Menggubah Nyayian Jemaat: Penuntun untuk pengadaan Nyayian Gereja. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), hal., 23.

kata Appleby54, kedua manuskrip musik itu minimal telah menandai berakhirnya nyanyian unisono dan mulainya musik choral tanpa iringan musik (acapella) pada parohan kedua sejarah musik keagamaan.

Menurut Appleby55 selanjutnya dengan adanya kedua faktor tersebut, maka musik polifon semakin berkembang dengan pesat. Penggunaan alat musik organ berperan besar di dalam perkembangan ini dan menghasilkan suatu jenis musik pula yang disebut musik organum. Sampai abad XIII, musik polifon ini telah berkembang sedemikian rupa, bukan saja sebagai lagu-lagu ibadah, melainkan juga sebagai lagu-lagu yang tinggi nilai seninya.

Dalam sejarah musik, parohan kedua dari abad XIII ini juga dikenal sebagai perode ars antiqua. Inilai periode ketika musik polifon semakin berkembang pesat, terutama di bawah kepeloporan dua orang ahli musik dan pengarang lagu yang masyur yang bekerja di Katedral Notre Dame di Paris (Perancis), yakni Leonis dan penggantinya yang bernama Perotinus. Dengan perkembangan ini maka c mulai tumbuh dan memperoleh bentuk dan peranannya sebagaimana yang ada sekarang.

Musik polifon mencapai zaman keemasannya pada abad XVI, khususnya antara tahun 1550-1600. Seiring dengan itu, Paduan Suara Gereja pun ikut mengalami zaman keemasan tersebut. Akibatnya musik gereja menjadi semakin semarak dan hal ini mempengaruhi suasana peribadahan.

      

54 Ibid. 55

Appleby dalam H.A.Pandopo, Menggubah Nyayian Jemaat: Penuntun untuk pengadaan Nyayian Gereja (Jakarta: BPK Gnung Mulia, 1984), hal., 21.

Martin Luther dan Johannes Calvin mempunyai sikap yang kritis terhadap perkembangan ini. Sikap kritis itu berhubungan dengan pengaruh musik polifon yang semarak itu pada ibadah gereja, sehingga ibadah gereja di masa-masa itu menjurus kepada suasana konser. Pandopo melukiskan pengaruh itu sebagai berikut:

“….Banyak seniman yang bukan rohaniawan mendapat kesempatan untuk memperdengarkan keahliannya di dalam liturgi. Akibatnya mejadi lekas terasa. Para seniman itu ternyata sukar dikendalikan, sehingga suasana misa lebih bersifat konser daripada ibadah”56

Keadaan seperti itu ada pula di dalam Gereja Protestan pada masa itu. Oleh karena itu, Johannes Calvin misalnya, menolak ekspresi sukacita yang berlebihan, yang dipicu oleh para seniman itu dengan musik polifon yang meriah. Ia mengatakan bahwa gereja yang masih berada di dalam dunia adalah gereja yang masih berjuang (ekklesia militans) dan belumlah menjadi gereja yang menang (ekklesia triumphants). Oleh karena itu, seharusnya musik gereja mengekspresikan iman dari gereja yang berjuang itu dengan mengendalikan ekspresi sukacita yang berlebihan.

Sekalipun bersikap kritis terhadap penggunaan musik polifon di dalam ibadah gereja, Luther maupun Calvin sebenarnya menyukai jenis musik ini dan peran Paduan Suara Gereja yang mengembangkannya, sejauh hal itu membantu kelancaran dan kekhidmatan ibadah57 Misalnya, Marthin Luther sendiri menganjurkan agar dibentuk suatu paduan suara pemuda di dalam gereja untuk membantu terciptanya suasana ibadah yang khusyuk. Sampai kini pandangan Marthin Luther itu masih tetap dipertahankan di dalam Gereja Lutheran, yakni

      

56

Ibid. hal., 24. 57

dengan adanya tugas asasi dari Paduan Suara Gereja untuk bernyanyi secara

responsoris (bergilir-ganti) dengan jemaat58. Calvin pun tetap mempertahankan

adanya Paduan Suara Gereja di dalam ibadah sebagai kelompok penyanyi khusus, yang di bawah pimpinan seorang procantor, mendukung dan membantu jemaat menyanyikan nyanyian-nyanyian ibadah dengan baik.

Perkembangan Paduan Suara Gereja yang pesat di dalam gereja-gereja di Eropa Barat dan Amerika itu pada akhirnya merambat pula ke berbagai benua melalui pekabaran Injil yang menumbuhkan gereja-gereja baru. Dengan demikian, Paduan Suara Gereja akhirnya dikenal pula di dalam kehidupan gereja-gereja di Indonesia, yang bertumbuh sebagai hasil pekabaran Injil gereja-gereja-gereja-gereja di Eropa dan Amerika itu.

2.3. Sejarah Masuknya Musik Gereja dalam Konteks Misi Gereja Batak