The End of History and The last Man 1
B. Sejarah Universal: Sebuah Interpretasi Perspektif Sains Modern dan Ekonomi
Untuk mendukung validitas tesis tentang “Sejarah Universal”, pertama-tama Fukuyama memilih sains modern sebagai mekanisme untuk menjelaskan tentang arah dan keherensi sejarah. Baginya, Sain modern merupakan titik tolak penting, karena ia merupakan satu-satunya aktivitas sosial yang menurut consensus umum (common sense) bersifat kumulatif dan direksional. Meskipun pengaruhnya bagi manusia bersifat ambigu.
Pada abad ke-16 sampai 17, telah terjadi penaklukan alam secara progresif, bersamaan dengan pengembangan metode-metode ilmiah yang berproses menurut hukum-hukum tertentu, yang tak ditentukan oleh manusia, tetapi oleh alam dengan hukum-hukumnya.
Perkembangan sains modern memiliki implikasi yang seragam pada seluruh masyarakat yang telah mengalaminya, karena dua alasan, yaitu:
pertama, teknologi telah memberikan keuntungan militer tertentu bagi negara-negara yang memilikinya, yang memungkinkan bagi mereka untuk melanjutkan perang. Dalam sistem negara internasional, tidak ada negara yang menghargai kemerdekaannya dengan mengabaikan kebutuhan akan modernisasi. Kedua, sains modern terutama dengan teknologi memungkinkan akumulasi kekayaan tak terbatas dan pemuasan hasrat manusia yang lebih luas.17
Akibatnya, semua negara yang tengah melakukan modenisasi ekonomi harus semakin meningkatkan kemampuan mereka: mereka harus bersatu secara nasional atas dasar negara yang terpusat, menggantikan bentuk-bentuk organisasi social yang tradisional; misalnya, suku, sekte, dan keluarga. Sebagai penggantinya ialah organisasi-oraganisasi yang rasional secara ekonomi berdasarkan fungsi dan efiensi, serta memberikan pendidikan universal bagi warga negaranya. Masyarakat-masyarakat ini semakin dihubungkan satu dengan lainya melalui pasar global dan penyebaran budaya konsumerisme. Terlebih lagi, “logika sains modern”
130
The End of History and The Last Man Abdul Jabpar
nampaknya mendikte evolusi universal dari arah kapitalisme.18 Hal ini bias dilihat pada negara-negara sosialis—misalnya Uni Soviet dan Cina—dengan sistem ekonomi yang terpusat bias menjangkau tingkat industrialisasi seperti yang dicontohkan oleh Eropa, namun tidak cukup memadai dalam menciptakan apa yang disebut ekonomi “pasca-industial” yang kompleks, karena inovasi dan informasi teknologi memainkan peran yang lebih vital. Mekanisme sejarah yang ditampilkan oleh sains modern cukup menjelaskan suatu jarring hubungan besar mengenai karakter perubahan sejarah dan keseragaman pertumbuhan masyrakat modern, namun ia tidak cukup menjelaskan fenomena demokrasi. Karena faktanya, tidak ada alasan secara ekonomi korelasi kemajuan industrialisasi bias menghasilkan kebebasan politik. Misalnya, ada contoh histories dan kontemporer mengenai kemajuan teknologi kapitalisme yang hidup berdampingan dengan otoritarianisme politik, mulai dari Meiji di Jepang dan Bismarckian di Jerman, hingga Singapura dan Thailand pada saat ini. Dan dalam beberapa kasus, negara-negara otoritarian mampu menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa diraih dalam masyarakat yang demokratis.
Jadi, menurut Fukuyama sains modern hanya sebagian saja berhasil menjelaskan dasar sejarah direksioanl. Apa yang disebut dengan “logika
18 Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus, 1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah "a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned". (Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat).Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu: (a) kebebasan individu, (b) kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas. Lihat Husain Heriyanto, Kapitalisme: Sebuah Modus Eksistensi, dalam http://media.isnet.org/islam/Etc/ Kapitalisme.html.
131 The End of History and The Last Man
Abdul Jabpar
sains modern” kalau ditelaah lebih lanjut hanya merupakan interpretasi ekonomi mengenai perubahan sejarah, yang akhirnya lebih mengarah pada kapitalisme ketimbang sosialisme sebagai hasil akhirnya.19 Misalnya, dalam kehidupan nyata kita lebih senang sebagai pekerja-pekerja kantor dari pada para petani yang hidup susah payah dari tanah air, kita lebih mematuhi otoritas birokrasi dari pada mematuhi seorang “pendeta”, dan mungkin kita lebih suka menjadi anggota organisasi professional dari pada menjadai anggota suku-suku atau marga.
Tetapi, interpretasi-interpretasi ekonomi terhadap sejarah adalah tafsir yang tidak lengkap dan tidak memuaskan, karena manusia bukan binatang ekonomi (an economic animal) semata-mata. Interpretasi ekonomi tidak bisa menjawab secara riil mengapa kita menjadi democrat, yakni; menjadi para pendukung prinsip kedaulatan popular dan jaminan terhadap hak-hak asasi sesuai aturan hukum. Karena alasan itulah, Fukuyama mengetengahkan “perjuangan untuk memperoleh pengakuan” (struggle for recognition), untuk menjelaskan proses sejarah yang paralel, dengan memahami manusia secara utuh tidak hanya dari aspek ekonomi.
C. “Struggle for Recognition”: Sebagai “Motor” Penggerak Sejarah
“Struggle for recognition” merupakan penjelasan sejarah nonmateralis
a la Hegel. Menurutnya, manusia layaknya binatang, yang memiliki kebutuhan alami dan hasrat terhadap benda-benda di luar dirinya, seperti makanan, minuman, tempat berlindung, dan segala sesuatu pemeliharaan fisiknya. Tetapi, secara fundamental manusia berbeda dengan binatang, karena di samping manusia memiliki hasrat terhadap “sesuatu” yang di luar dirinya, ia juga ingin “diakui” (to be recognized) oleh orang lain. Terutama, dia ingin diakui sebagai seorang manusia dengan martabat dan penghargaan. Gairah untuk memperolah pengakuan pada awalnya mengendalikan dua pejuang primordial sebagai upaya untuk membuat manusia lain “mengakui” martabat kemanusiaan mereka dengan menjalani
132
The End of History and The Last Man Abdul Jabpar
kehidupan dalam sebuah perang yang mematikan. Ketika ketakutan alami terhadap kematian mengarahkan salah satu pejuang untuk tunduk, maka lahirlah hubungan antara tuan dan budak. Tujuan dalam peperangan berdarah pada awal sejarah bukanlah makanan, temapt berlindung atau keamanan, tetapi semata-mata untuk prestise. Bagi Hegel, tujuan perang tidak ditentukan oleh aspek biologis, namun di dalam perang terdapat cahaya kebebasan manusia.20
Sebenarnya “hasrat untuk diakui” (the desire for recognition) sudah sama tuanya dengan tradisi filsafat politik Barat. Ia pertama kali dideskripsikan oleh Plato21, dalam Republic, ketika ia menjelaskan tiga bagian dari jiwa manusia, yaitu: hasrat (desire), akal (reason), dan thymos atau “gairah”
(spiritedness). Banyak perilaku manusia dapat dijelaskan sebagai perpaduan dari hasrat dan akal; hasratlah yang mendorong menusia untuk mencari sesuatu di luar dirinya, sementara akal memberikan petunjuk terbaik bagi menusia untuk mencapainya. Di lain pihak, manusia mencari pengakuan akan martabat mereka sendiri, kecenderungan untuk merasakan penghargaan diri (self-esteem) muncul dari bagian jiwa manusia yang disebut bagian jiwa manusia yang disebut thymos. Misalnya, “rasa keadilan” sebagai sifat bawaan. Orang-orang percaya bahwa mereka memiliki nilai-nilai tertentu, dan apabila ada oknum yang mengancam meraka, walaupun mereka memiliki status yang lebih rendah, akan memunculkan reaksi marah
20 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xiv.
21 Plato (427-347 SM), dilahirkan di Athena, di tengah-tengah lingkungan aristocrat. Waktu masih muda ia merencanakan untuk memasuki kehidupan politik tetapi ia membatalkan maksudnya tersebut ketika Socrates yang ia kagumi, dihukum mati oleh negara. Setelah Socrates meninggalkan Athena dan melakukan perjalanan sampai tahun 387 SM. Pada tahun itu ia kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang tersohor dengan nama Academy; ia memimpinnya selama 40 tahun. Seperti muridnya yang brilian, Aristoteles, ia adalah salah satu pemikir dan penulis yang sangat besar pengaruhnya dalam sejarah masyrakat Barat. Karya-karyanya yang terkenal, antara lain; Apology dan Crito, keduanya membicrakan tentang peradilan Socrates dan percakapan-percakapannya yang terakhir; Euthyphro yang membicarakan tentang ketakwaan (piety); Phaedo yang memusatkan pembicaraan tentang “ Idea of the Good”; dan Republic, karangan terbaik dari Plato yang membicarakan tentang keadilan dan negara ideal. Titus dkk., Persoalan-persoalan Filsafat…, hlm. 320.
133 The End of History and The Last Man
Abdul Jabpar
(anger) bagi mereka. Saat mereka gagal menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai atau martabat mereka sendiri, mereka merasa malu (shame), dan jika mereka dinilai telah sesuai dengan martabatnya, mereka merasa bangga
(pride). Kebutuhan manusia akan pengakuan, yang dibarengi oleh perasaan marah, malu, dan bangga, merupakan bagian kepribadian manusia yang bersifat kritis terhadap kehidupan politik. Menurut Hegel, hal itulah yang mengendalikan seluruh proses sejarah.22
Terkait dengan pembagian masyarakat manusia ke dalam kelas tuan dan budak, sebagai implikasi dari pertarungan manusia untuk memperoleh pengakuan pada awal sejarah. Namun hubungan antara penguasa dan budak, yang syarat dengan ketidakadilan dalam bentuk masyrakat ariktokratis, ternyata gagal memberikan kepuasan hasrat mereka untuk diakui, baik sebagai tuan mau pun sebagai budak. Budak, kurang dihargai sebagai manusia dalam pelbagai hal. Begitu pun, pengakuan bagi para tuan juga tidak sempurna, karena dia tidak diakui oleh para tuan yang lain. Ketidakpuasan terhadap pengakuan cacat ini memunculkan “kontradiksi” yang menimbulkan tahap-tahap sejarah lebih lanjut.
Menurut Hegel revolusi-revolusi demokratis—termasuk di dalamnya revolusi Perancis dan Amerika—menghapuskan perbedaan antara tuan dan budak dengan menjadikan para budak sebagai tuan untuk diri mereka sendiri, dan dengan menetapkan prinsip-prinsip kedaulatan dan aturan hukum bersama. Pengakuan akan perbedaan posisi yang melekat pada para tuan dan para budak itu digantikan dengan pengakuan yang lebih universal dan timbale balik, dalam mekanisme setiap warga negara mengakui martabat dan kemanusiaan dari tiap warga Negara yang lain, dan martabat itu pada akhirnya diakui oleh Negara melalui penjaminan hak.
Pandangan Hegel tentang makna kontemporer demokrasi liberal sangat jauh berbeda dengan sudut pandang pemikir Anglo-Saxon yang mengakui adanya dasar teoritis dari liberalisme di negara-negara seperti Inggris dan
134
The End of History and The Last Man Abdul Jabpar
Amerika. Dalam tradisi tersebut, “gairah” akan pengakuan diri, haruslah berada di bawah subordinasi kepentingan pribadi yang mencerahkan— yang merupakan kombinasi hasrat dan rasio—terutama hasrat untuk memelihara diri sendiri. Misalnya, Hobbes dan Lock—keduanya dalam tradisi inggris—serta para pendiri Amerika Serikat yakni Jefferson dan Madison, mereka percaya bahwa hak-hak pada tingkat etrtentu harus diadakan untuk melindungi wilayah pribadi, dengan demikian manusia dapat memperkaya dirinnya dan memuaskan hasrat-hasratnya. Namun bagi Hegel hak berada inheren dalam diri manusia, karena yang sebenarnya memuaskan diri mereka tidak hanya kesejahteraan secara material, tetapi juga pengakuan atas status martabat mereka. Dengan revolusi Perancis dan Amerika Serikat, Hegel yakin bahwa sejarah akan berakhir karena
spirit yang mengendalikan proses sejarah—struggle for recognition—telah terpenuhi dalam bentuk suatu masyarakat yang memiliki pengakuan universal dan pengakuan timbale balik. Tidak ada tataan lain dari lembaga-lembaga sosial manusia yang lebih mampu memberikan pemuasan bagi kerinduan akan pengakuan diri manusia, karenanya, tidak mungkin ada perubahan sejarah progresif lebih lanjut.23
Jadi, hasrat untuk memperoleh pengakuan, dapat mengembalikan mata rantai yang hilang antara ekonomi liberal dan politik liberal. Hasrat dan akal cukup menjelaskan proses industrialisasi dan bagian besar dari kehidupan ekonomi secara lebih umum. Namun demikian keduanya tidak bias mengekang perjuangan demi demokrasi liberal, yang muncul dari thymos, bagian dari jiwa yang menuntut akan pengakuan. Perubahan-perubahan sosial yang mengiringi kemajuan industri, khususnya pendidikan universal, muncul untuk membebaskan tuntutan tertentu akan pengakuan yang tidak ada di kalangan masyarakat miskin dan kurang terdidik. Setelah standar hidup meningkat, setelah populasi menjadi lebih kosmopolit dan terdidik dengan lebih baik, dan seluruh masyarakat mencapai kehidupan yang lebih baik, mereka mulai menuntut, bukan
135 The End of History and The Last Man
Abdul Jabpar
hanya kekayaan yang lebih banyak, melainkan juga pengakuan atas status mereka. Jika masyarakat tidak lebih dari sekedar hasrat dan akal, mereka akan puas dengan di negara-negara otoritarian yang berorientasi pasar, misalnya korea selatan—di bawah kekuasaan militer. Namun mereka juga memiliki kebanggaan tymotic atas penghargaan diri mereka sendiri, dan hal ini menyebabkan mereka menuntut pemerintahan yang demokratis yang memperlakukan mereka sebagai manusia dewasa dibandingkan sebagai anak-anak, yang mengakui otonomi mereka sebagai individu yang bebas. Maka lumrah jika pada zaman kita, komunisme digantikan oleh demokrasi liberal, karena komunisme tidak memberikan bentuk pengakuan yang sempurna.