• Tidak ada hasil yang ditemukan

Serapan Kerja Kerja dan Pertumbuhan Nelayan Sekoci .1 Serapan Tenaga Kerja Nelayan

DAFTAR LAMPIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5 Aspek Sosial Perikanan Tangkap Nelayan Sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru

4.5.3 Serapan Kerja Kerja dan Pertumbuhan Nelayan Sekoci .1 Serapan Tenaga Kerja Nelayan

Armada kapal sekoci memiliki tenaga kerja 1 orang sebagai nahkoda dan 4-5 orang sebagai ABK, namun rataan 4 orang ABK. Keberadaan kapal sekoci di Sendang Biru oleh penduduk lokal dianggap berkah, karena membuka lapangan kerja baru terutama untuk di PPP Pondokdadap. Sebelum berangkat kapal sekoci dibersihkan terlebih dahulu dengan jumlah pekerja sebanyak 2 orang, kemudian memperkerjakan 2 orang sebagai pengisi perbekalan. Pada saat ikan mendarat, untuk bongkar ikan diperkerjakan 4 orang pengangkut ikan dari kapal ke PPP Pondokdadap, selanjutnya dari PPP Pondokdadap untuk mengangkut ikan ke penampungan dipekerjakan 2 orang manol. Dengan demikian, untuk 1 kapal sekoci dapat menyerap tenaga kerja sekitar 15 orang.

Jumlah nahkoda dan ABK sekoci yang ada di PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang pada tahun 2010 saat ini adalah 1 663 orang. Sementara jumlah tenaga kerja total yang diserap di darat bila diasumsikan bahwa setiap sekoci berangkat menuju wilayah penangkapan dan melakukan pendaratan ikan masing-masing 3 (tiga) kali setiap bulan maka total pendaratan dan pemberangkatan seluruh sekoci dalam sebulan adalah 909 kali, sehingga dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 455 orang untuk melayani sekitar 30 kali pemberangkatan dan pendaratan per hari.

Jumlah pengambek saat ini adalah 17 orang, sehingga total tenaga kerja yang terserap langsung pada tahun 2010 untuk tenaga kerja yang terserap dari 303 unit kapal sekoci adalah 2 135 orang. Tenaga kerja lain yang terserap secara tidak langsung diantaranya adalah pekerja yang terkait dengan pengadaan sembako, solar dan es, pedagang dan penjual ikan, pengusaha

transportasi, pengusaha pengolahan ikan pindang, tukang ojek dan pedagang, bengkel, rumah makan dan pedagang lainnya. Keberadaan tenaga kerja pembersih, pengisi kapal, dan pembongkar muat ikan menjadi daya tarik nelayan andon untuk datang ke Sendang Biru. Berdasarkan hasil wawancara, keberadaan tenaga kerja di darat sangat membantu para ABK, sehingga tidak perlu bekerja lain selain memancing ikan dan bisa istirahat setelah sampai di darat. Sementara di wilayah lain seperti di Larantuka, Lombok dan daerah lainnya sulit mencari tenaga di darat. Selain itu, adanya kemudahan untuk menjual ikan dengan cepat dan akses terhadap kebutuhan perbekalan, seperti solar, es dan sembako tersedia dengan mudah di Sendang Biru.

4.5.3.2 Pertumbuhan Nelayan Sekoci

Penduduk Desa Tambakrejo pada tahun 2010 sebanyak 4 839 jiwa dengan proporsi penduduk yang berprofesi sebagai nelayan 48.50% atau sebanyak 2 347 jiwa (BPPS 2010). Dari proporsi tersebut terbanyak merupakan nelayan sekoci yang jumlahnya menunjukkan pertumbuhan signifikan pada tahun 2001-2010 yaitu dari 385 menjadi 1 663 jiwa atau 34.4% dari jumlah total penduduk desa. Perkembangan nelayan sekoci dari tahun ke tahun, trendnya dapat dilihat pada Gambar 36.

Gambar 36 Trend peningkatan jumlah nelayan di PPP Pondokdadap Sendang Biru Tahun 2001-2010.

Dari hasil analisis diperoleh rataan pertumbuhan nelayan dari tahun 2001 sampai tahun 2010 adalah sekitar 20%. Secara proporsional jumlah nelayan sekoci, payangan, sampan pakisan dan jukung yang mendarat di PPP Pondokdadap disajikan pada Gambar 37.

Gambar 37 Proporsi nelayan berdasarkan jenis perahu di PPP Pondokdadap tahun 2001-2010.

Nelayan sekoci sebagian besar (90%) merupakan nelayan pendatang (andon) dari suku Bugis Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan yang dikenal tangguh dan terampil dalam memancing ikan pelagis besar, sementara sisanya sebanyak 10% berasal dari Madura dan daerah lain di sekitar Kabupaten Malang. Pada umumnya perahu sekoci yang beroperasi di Sendang Biru, walaupun pemiliknya berasal dari masyarakat Sendang Biru, namun ABKnya didatangkan dari Kabupaten Sinjai. Sedangkan nelayan payangan, sampan pakisan dan perahu jukung, berasal dari suku Madura dan Jawa.

4.5.3.3 Pola KerjaNelayan

Kapal sekoci pertama kali berkembang di Sendang Biru, setelah masuknya nelayan andon dari Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Kedatangan mereka ke Sendang Biru secara tidak sengaja, namun hanyut dari perairan Nusa Tenggara Barat pada tahun 1998. Pada mulanya kedatangan nelayan andon tersebut tidak diterima oleh nelayan Sendang Biru, namun berkat kerjasama dan interakasi antara nelayan andon dengan masyarakat Sendang Biru pada akhirnya keberadaannya diterima oleh masyarakat Sendang Biru. Selanjutnya berkembang menjadi bentuk kerjasama, saling menguntungkan dalam hal penangkapan ikan tuna besar, terutama yang ada di perairan ZEEI Samudera Hindia.

Pola kerjasama yang menguntungkan selanjutnya menjadi kesepakatan bersama. Nelayan andon berkewajiban untuk alih teknologi kepada nelayan lokal Sendang Biru, sementara kebutuhan perbekalan melaut nelayan andon

dan penjualan hasil tangkapan ditangani oleh pengambek dari masyarakat Sendang Biru. Selain itu nelayan andon, walaupun sementara tinggal di Sendang Biru tetap harus masuk ke dalam keanggotaan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru. Saat ini sudah banyak nelayan lokal yang menguasai teknologi penangkapan dan memiliki perahu sekoci, sementara nelayan andonpun sudah banyak yang berbaur dengan masyarakat Sendang Biru dan diantaranya ada yang menjadi pengambek untuk memasok perbekalan operasi dan menangani penjualan hasil tangkapan.

Kedatangan nelayan andon selanjutnya mengakibatkan perubahan pola kerja nelayan Sendang Biru, yang sebelumnya lebih banyak melakukan penangkapan ikan dengan pola berburu (hunting) yang sifatnya individu, beralih ke pola memancing (fishing) di rumpon secara berkelompok. Perjalanan menuju fishing ground biasanya dilakukan bersama oleh 5 hingga 10 buah perahu sekoci, bagi nelayan lokal yang belum memiliki rumpon diperbolehkan menangkap ikan di rumpon milik nelayan andon. Kepemilikan dan pembuatan rumpon dilakukan secara berkelompok, karena satu unit rumpon dikelola untuk 5 unit kapal Sekoci sebagai fishing ground bersama.

Nelayan yang bekerja pada sebuah sekoci yang sama umumnya memiliki hubungan kekerabatan. Praktek ini diperkuat oleh partisipasi keluarga nelayan yang terlibat langsung dalam persiapan pemberangkatan dan saat pendaratan hasil tangkapan. Keterlibatan keluarga dalam persiapan dan pendaratan ikan tersebut banyak dipengaruhi oleh tidak adanya peluang kerja lain di Desa Tambakrejo sehingga sebagian besar nelayan sekoci dan keluarganya menggantungkan sepenuhnya sumber pendapatan mereka dari kegiatan penangkapan.

4.5.3.4 Jumlah Pelaku Usaha

Perubahan persentase jumlah kapal sekoci yang berpangkalan di PPP Pondokdadap dalam satu tahun merupakan gambaran dari dinamika keluar masuknya nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan madidihang pada suatu tahun tertentu. Nilai persentasenya menunjukkan dinamika perubahan jumlah pelaku usaha, yaitu apabila nilainya negatif berarti ada pelaku usaha yang keluar dan sebaliknya bila nilainya positif berarti ada pelaku usaha baru

yang masuk. Rataan persentase pertambahan jumlah perahu sekoci PPP Pondokdadap tahun 2001-2010 adalah 19.2%, menunjukkan bahwa dalam setiap tahun terdapat penambahan pelaku usaha baru sebesar 19.2% seperti tersaji pada Tabel 25.

Tabel 25 Dinamika jumlah upaya penangkapan (trip) Madidihang dengan kapal sekoci di PPP Pondokdadap 2001-2010

Tahun 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 Rataan

Jumlah sekoci ((unit)

77 128 154 145 211 301 273 342 323 303 225.7

Perubahan (%) - 66.2 20.3 -5.8 45.5 42.7 -9.3 25.3 -5.6 -6.2 19.2

Sumber: Hasil analisis dari data primer.

Nilai persentase tersebut juga menggambarkan adanya peningkatan rataan kapasitas tangkap nelayan sekoci PPP Pondokdadap sebesar 19.2% per tahun.

4.5.3.5 Konflik Pengelolaan

Nelayan sekoci PPP Pondokdadap selama ini telah menghadapi berbagai konflik dalam melaksanakan kegiatannya yakni konflik cara produksi atau alat tangkap, konflik kelas, dan konflik usaha. Konflik cara produksi atau alat tangkap terjadi sejak awal interaksi nelayan andon dengan nelayan lokal dimana sekoci memiliki kemampuan lebih tinggi untuk menangkap ikan dibandingkan dengan sampan pakisan dan payangan. Kapal sekoci mampu menangkap sampai ke perairan ZEEI pada rumpon yang mereka miliki. Sementara pakisan dan payangan tidak mampu sampai ke ZEEI dan menangkap ikan pun dengan cara mencari ikan/memburu ikan karena tidak memiliki rumpon. Konflik terjadi disebabkan nelayan lokal menangkap ikan pada rumpon nelayan andon tanpa izin. Namun akhirnya konflik tidak berkembang karena nelayan sekoci memilih memindahkan rumpon ke wilayah yang sulit dijangkau oleh perahu payangan dan pakisan

Konflik kelas terjadi antara nelayan sekoci dengan armada purse seine yang berasal dari Pekalongan, Benoa, dan Muara Angke Jakarta dengan teknologi tangkap yang berbeda. Daya tangkap purse seine yang lebih tinggi menyebabkan armada tersebut dengan mudah melakukan penjarahan ikan yang menyebabkan kerusakan rumpon sehingga menimbulkan kerugian besar bagi nelayan sekoci. Upaya mediasi dari pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Jawa

Tengah belum berhasil menghentikan praktek pencurian dan pengrusakan tersebut. Selain itu terdapat pula konflik antara pemilik perahu dan nelayan sekoci dengan pengambek yang menyediakan modal bagi operasi penangkapan ikan. Konflik biasanya dipicu oleh praktek kecurangan dalam penimbangan dan penghitungan saat pelelangan ikan. Konflik seperti ini dapat diselesaikan melalui musyawarah dengan menghadirkan pihak yang berkonflik dipimpin oleh tokoh masyarakat Sendang Biru dan kelompok nelayan.

4.5.3.6 Kesadaran Lingkungan

Nelayan sekoci memiliki kesadaran yang rendah tentang perlunya menerapkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan bagi keberlanjutan usaha penangkapan yang mereka lakukan. Dari 65 responden hanya 27% menjawab tidak setuju apabila penangkapan Madidihang dilakukan dengan menggunakan trawl atau purse seine yang dapat merusak rumpon dan menyebabkan populasi ikan menghilang 2 hingga 3 bulan sesudah pengoperasiannya. Selanjutnya 65% responden menyatakan akan menggunakan alat tangkap lain yang kapasitasnya lebih besar seperti trawl walaupun tidak menjamin kualitas dan kuantitas hasil tangkapan yang lebih baik sepanjang tahun. Nelayan sekoci mengusulkan bahwa ke depan harus ada perubahan teknologi penangkapan yang menggunakan purse seine sebagai pengganti hand line. Belum beralihnya penggunaan alat tangkap hand line ke purse seine dikarenakan keterbatasan modal, karena apabila beralih maka armadanya pun harus berganti pula.

4.6 Aspek Kelembagaan Perikanan Madidihang