• Tidak ada hasil yang ditemukan

Towle (1979) diacu dalam Adrianto (2009) mendefenisi pulau kecil yaitu pulau yang memiliki luas kurang dari 10.000 km2 dan penduduk kurang dari 500.000 jiwa. Sementara itu defenisi lain diungkapkan oleh Nunn (1994) diacu dalam Adrianto (2009) mendefenisikan pulau kecil berdasarkan konsektual setiap pulau bahwa pulau-pulau dengan ukuran maksimal 1.000 km2 merupakan pulau yang relatif memiliki kaitan yang signifikan terhadap pentingnya pengelolaan pulau-pulau kecil (PPK). Adapun ukuran PPK di Indonesia dipertegas lagi dengan peraturan perundang-undangan terbaru yaitu Perpres No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dan UU No. 27/2007 tentang pengelolaan pesisir dan PPK, dimana disebutkan bahwa ukuran pulau kurang dari 2.000 km2 disebut PPK. Adapun PPK dikenal sebagai wilayah yang memiliki karakteristik khas seperti luas daratannya yang kecil, realtif jauh dari daratan induk (mainland),

relative peka dalam konteks ekonomi maupun lingkungan (Srinivas 1998 diacu dalam Adrianto 2009). Karakteristik lainnya adalah bahwa PPK sangat rentan terhadap bencana alam (natural disasters) seperti angin topan, gempa bumi dan banjir (Briguglio 1995; Adrianto danMatsuda 2002 diacu dalam Adrianto 2009).

Sebagai turunan dari UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PPK, kebijakan nasional tentang tata kelola pulau-pulau kecil dituangkan dalam Peraturan Mentri (Permen) Kelautan dan Perikanan No. 20/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya. Menurut Permen No. 20/2008 ini, pemanfaatan PPK dilakukan dengan memperhatikan aspek: (1) keterpaduan antara kegiatan pemerintah dengan pemerintah daerah, antar pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang PPK dan peairan di sekitarnya; (2) kepekaan/kerentanan ekosistem suatu kawasan yang berupa daya dukung lingkungan, dan sistem tata air suatu pulau kecil; (3) ekologis yang mencakup fungsi perlindungan dan konservasi; (4) kondisi sosial dan ekonomi masyarakat; (5) politik yang mencakup fungsi pertahanan, keamanan, dan kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia; dan (6) teknologi ramah lingkungan; dan (7) budaya dan hak masyarakat adat, masyarakat local serta masyarakat tradisional.

Adrianto (2009), mengungkapkan sebagaimanan diatur dalam Permen No. 20/2008 ini, pemanfaatan PPK diprioritaskan untuk 8 kegiatan utama yaitu: (1) konservasi; (2) pendidikan dan pelatihan; (3) penelitian dan pengembangan; (4) budidaya laut; (5) ekosistem pantai dan bahari; (6) usaha perikanan dan kelautan secara lestari; (7) pertanian organik; dan/atau (8) peternakan. Namun demikian, dilanjutkan lagi oleh Adrianto (2009) selain kegiatan-kegiatan tersebut beberapa kegiatan lain dapat pula dilakukan dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya PPK yaitu usaha pertambangan, pemukiman, industri, perkebunan, transportasi, dan pelabuhan.

2.3.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pulau-Pulau Kecil

Menurut Soesilowati (1997), bahwa untuk memberdayakan masyarakat pesisir maka ada beberapa strategi yang dapat kita lakukan, yaitu :

1. Strategi fasilitasi

Strategi fasilitasi mengharapan kelompok yang menjadi sasaran program terhadap pilihan-pilihan dan sumberdaya yang dimiliki. Strategi ini dikenal sebagai strategi kooperatif, yaitu agen perubah bersama-sama kliennya (masyarakat) mencari penyelesaian.

2. Strategi edukatiftegi ini sesuai bagi masyarakat yang tidak mempunyai pengetahuan dan keahlian akan segmen yang akan diberdayakan.

3. Strategi persuasif

Strategi persuasif berupaya membawa perubahan melalui kebiasaan dalam berprilaku. Strategi ini lebih cocok dipergunakan bila target tidak sadar terhadap kebutuhan perubahan atau mempunyai komitmen yang rendah terhadap perubahan.

4. Strategi kekuasaan

Strategi kekuasaan yang efektif membutuhkan agen perubah yang mempunyai sumber-sumber untuk memberi bonus atau sanksi pada target serta mempunyai kemampuan untuk monopoli akses.

Berdasarkan hasil penelitian Norimarna (1996), kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarkat pesisir yaitu memiliki mobilitas sosial yang tinggi, haus gengsi pribadi dan kelompok, persaingan berdasarkan keahlian dan modal, ketaatan pada perekonomian tergantung untung dan rugi pribadi serta suka meniru tapi tidak memberi penghargaan kepada orang yang punya gagasan semula. Dan Raharjo (1998) mengemukakan bahwa masyarkat pesisir terutama nelayan umumnya memiliki sosial ekonomi yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa indicator, misalnya pendapatan yang relative rendah, kelembagaan sosial budaya dan ekonomi hampir tidak ada yang mau bekerja dengan mereka, di wilayah pesisir infrastruktur lemah (baik sosial, fisik dan ekonomi), tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah.

Menurut Fahrudin (1997) bahwa masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada karakteristik aktivitas ekonomi masyarakat pesisir dan latar belakang budaya mereka. Sifat dan karakteristik masyarakat pesisir sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan mereka. Sedangkan Adiwibowo (1995) mengungkapkan bahwa masyarakat pesisir

merupakan kumpulan satu kesatuan sistem sosial yang anggota-anggotanya tergantung pada kelimpahan suberdaya pesisir dan lautan.

2.3.2 Rumah Tangga Nelayan

Rumah tangga yang kegiatan utamanya bukan menangkap ikan, tetapi menggunakan ikan sebagai bahan proses produksi bukan dikategorikan sebagai rumah tangga nelayan (Mulyadi 2005). Dengan demikian, para pedagang ikan sekalipun hidup ditepi pantai juga tidak tergolong kepada kategori nelayan.

Ciri dari rumah tangga nelayan yaitu memanfaatkan wilayah sebagai tempat kerjanya (Elfriadi 2002) dan nelayan sangat tergantung pada cuaca dan musim, selain itu rumah tangga nelayan dalam penangkapan ikan pada umumnya malam hari dan merupakan suatu pekerjaan lelaki. Secara fisik merupakan lapangan pekerjaan yang tinggi resikonya, wanita sulit untuk terlibat dalam penangkapan ikan karena sangat bertentangan dengan waktu pengasuhan anak-anak. Nelayan tidak ikut dalam proses budi daya, kecuali secara natural mereka berupa menangkap ikan yang sudah terbudi daya dengan sendirinya mengikuti ekosistem kelautan. Nelayan tradisional diartikan sebagai orang yang bergerak di sektor kelautan dengan menggunakan perahu layar tanpa motor, sedangkan mereka yang menggunakan mesin atau perahu motor merupakan nelayan modern (Mulyadi 2005). Sedangkan Mashuri (1995) menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang nelayan Indonesia merupakan suatu kelompok masyarakat yang turun temurun.

Di bidang produksi perikanan laut, terdapat beberapa jenis usaha, yaitu: (a) Usaha penangkapan ikan, (b) usaha pencarian kerang dan lola, dan (c) usaha budidaya laut (ikan, rumput laut dan kerang mutiara). Dalam konteks rumah tangga nelayan, persoalannya jauh lebih kompleks bila dibandingkan dengan rumah tangga tani konvensional. Walaupun dalam sensus sektor perikanan merupakan subsektor dari pertanian, keberadaan rumah tangga nelayan memiliki ciri khusus bila dibandingkan dengan rumah tangga tani. Selain itu nelayan mempunyai dinamika kehidupan yang dipengaruhi oleh lingkungan, musim dan pasar sehingga kehidupannya pun tidak menentu. Berbeda dengan pedagang bakul misalnya. Mereka tidak terpengaruh banyak oleh alam dan lingkungan. Mereka

dapat berusaha untuk sektor lain jika ikan tidak ada karena mereka punya modal dan usaha lainnya (Bappedal 1996).

Pada musim baik yaitu saat cuaca dan gelombang bersahabat, nelayan sangat sibuk melaut dan menangkap ikan bahkan hasil tangkapannya berlebih (Prasojo 1993). Sebaliknya pada musim paceklik kegiatan melaut berkurang bahkan berhenti sama sekali dan mereka banyak yang menganggur karena tidak ada alternative pekerjaan yang lain. Untuk itu kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat pesisir di perairan Indonesia dibagi atas 3 musim (Nontji 1987) yaitu: (1) Musim timur (Juni - September) (2) Musim Barat (Desember - Maret) dan (3) Musim Pancaroba I (April - Mei) dan Musim Pancaroba II (Oktober - Nopember). Permasalahan sosial ekonomi masyarakat pesisir lainnya adalah mereka sangat lemah dalam masalah manajemen pemasaran. Akibat mutu produk rendah sehingga mereka mengalami kendala dalam manajemen pemasaran produk. Disamping itu permasalahan sosial ekonomi lainnya adalah kebiasaan buruk mereka yaitu kebiasaan menghambur-hamburkan uang ketika hasil tangkapan melimpah dan takala musim paceklik tiba mereka berhutang sana sini untuk membiayai kehidupan mereka.

2.3.3 Sumber Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Nelayan

Pendapatan masyarakat pesisir terutama nelayan ditentukan oleh produktivitas alat tangkap, ketrampilan yang dimiliki, dan keuletan mereka serta sistem bagi hasil yang disepakati (Syafrin 1993). Hal ini diperkuat oleh Carner (1984) bahwa pendapatan nelayan tergantung pada kepemilikan alat tangkap, perahu dan alat tangkap lainnya.

1) Komponen Pendapatan

Sumber pendapatan keluarga nelayan dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu perikanan tangkap dan non perikanan tangkap. Pendapatan perikanan tangkap adalah pendapatan pribadi nelayan contoh dari kegiatan penangkapan ikan dengan kapal contoh. Anggota rumah tangga nelayan contoh mungkin saja ada yang memperoleh penghasilan dari kegiatan penangkapan ikan. Dalam hal ini, pendapatan anggota keluarga tersebut tidak dimasukan sebagai pendapatan

perikanan tangkap, tetapi non-perikanan tangkap (masuk dalam kelompok pendapatan pertanian dalam arti luas) (DKP 2003).

Berdasarkan data dari sumber data DKP (2001) diketahui bahwa sumber pendapatan dari non-perikanan tangkap yaitu: (a) pertanian dalam arti luas, (b) berdagang atau warung, (c) industri rumah tangga, (d) berburuh/tukang/karyawan, (e) usaha biasa. Untuk pertanian dalam arti luas terdiri dari usaha tani tanaman pangan (padi, jagung, ubi-ubian kacang-kacangan), horticultural (buah-buahan dan sayuran), perkebunan (kepala,kopi, karet dan kakao,), peternakan (sapi,kerbau, kambing, domba, babi, ayam, itik, kelinci dan madu lebah) dan perikanan darat (tambak,sungai dan danau). Pendapatan perikanan budidaya laut dan pencarian hasil laut (lola dan kerang) termasuk kedalam kategori pertanian dalam arti luas.

Berdagang/warung mencakup berdagang ikan, berbagai jenis komoditi pertanian segar (hasil-hasil sayuran, buah-buahan, perkebunan dan peternakan), makanan jadi, minuman, rokok, gula, kopi bubuk, teh dan bumbu-bumbuan, baik dalam warung, kios maupun dengan pikulan (atau dengan sepeda). Adapun industri rumah tangga terdiri dari pembuatan ikan asin, ikan asap, kerupuk, terasi, tahu, tempe, kerajinan tangan, kain sulaman, kain tenun dan pembuatan batu bata/genteng. Selain itu juga berburu/tukang/karyawan mencakup kulih angkut, berburuh pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, tukang bangunan, pembantu rumah tangga, karyawan perusahaan, PNS, pensiunan, pamong desa, dan juga usaha jasa meliputi tukang jahit, tambal ban, reparasi (sepeda, sepeda motor dan listrik), tukang becak, ojek, delman dan tukang urut . Klasifikasi tersebut berlaku untuk semua jenis nelayan (juragan, nahkoda, ABK trampil dan ABK biasa).

2) Komponen pengeluaran.

Komponen pengeluaran yaitu pengeluaran untuk usaha perikanan tangkap dan pengeluaran untuk konsumsi keluarga nelayan yang bersangkutan. Yang dimaksudkan dengan pengeluaran konsumsi adalah pengeluaran yang digunakan untuk membeli/membayar kebutuhan hidup rumah tangga nelayan contoh. Oleh karena NTN mengukur nilai tukar subsisten (subsistence term of trade), maka kebutuhan hidup dibatasi hanya pada kebutuhan subsisten atau kebutuhan primer

rumah tangga nelayan. Dalam hal ini, konsumsi oleh pribadi nelayan contoh selama penangkapan ikan di laut tidak termasuk kedalam katergori konsumsi ini.

Pengeluaran harian makanan dan minuman terdiri dari makanan pokok (beras, jagung dan ubi-ubian), mie instan, gula, kopi, teh, susu, makanan jadi, buah-buahan, sayuran, daging, telur, ikan dan minyak goring. Ikan lawuhan yang dikonsumsi sendiri juga dinilai sebagai pengeluaran konsumsi. Sedangkan pengeluaran harian non makanan dan minuman mencakup tembakau, rokok, bahan bakar (minyak tanah, gas dan kayu), pakaian (pakaian selain seragam sekolah termasuk sepatu /sandal), sabun, odol, sikat gigi dan shampo.

Klasifikasi pengeluaran subsisten rumah tangga nelayan (sumber DKP 2001): (a) Konsumsi harian makanan dan minuman, (b) Konsumsi harian non makanan dan minuman, (c) Pendidikan, (d) Kesehatan, (e) Perumahan, (f) Pakaian, (g) Rekreasi. Pengeluaran pendidikan ada yang bersifat bulanan antara lain SPP/BP3, iuran lainnya, alat tulis dan kos anak; ada yang bersifat harian seperti transport dan jalan anak; dan ada yang jangka panjang seperti buku bacaan sekolah, seragam pakaian, sepatu dan tas sekolah anak. Sedangkan pengeluaran kesehatan bersifat insidental yang mencakup pembelian obat jadi yang dijual bebas, dan biaya puskesmas (dokter dan obat). Selain itu pengeluaran perumahan meliputi listrik, air bersih dan perawatan rutin rumah. Rehabitasi dan pembangunan rumah, pembelian kendaraan, pembelian barang perabotan rumah tangga dan barang elektronik, yang membutuhkan biaya relatif besar tidak termasuk ke dalam kategori pengeluaran subsisten.