• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4 Teori Ketergantungan

2.4.1 Teori Pemberdayaan

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan). Kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal: (1) bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun. (2) bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.

Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam : (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan

(freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan

(b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan

(c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Beberapa ahli dibawah ini mengemukakan defenisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan (Suharto 1997:210-224) yaitu : (a) Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang

lemah atau tidak beruntung (Ife 1995).

(b) Pemberdayaan adalah sebuah proses dengn mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons 1994).

(c) Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin 1987).

(d) Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu mengusai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport 1984).

Payne (1997:h.266) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan

(empowerment), pada intinya, ditujukan guna : to help clients gain power of

decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to excercising exiting power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to

dients. (membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan

menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya).

Shardlow (1998:h 32) melihat bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai Pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Dilanjutkan oleh Ife (1995:61-64) dimana dikatakan bahwa pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan disini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas:

(a) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.

(b) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya.

(c) Idea atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.

(d) Lembaga-lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan.

(e) Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan.

(f) Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa.

(g) Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.

Dengan demikian, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjukkan pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang

bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Rappaport 1987 p.122 diacu dalam Suharto (1997) mengatakan pemberdayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah proses/mekanisme di mana sekelompok orang, organisasi atau masyarakat memiliki penguasaan atas masalah yang dialami.

Menurut Kieffer (1981) pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi partisipatif. Sementara itu Suharto (1997:215), Persons (1994:1006) juga mengajukan tiga dimensi pemberdayaan yang merujuk pada :

• Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar.

• Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain.

• Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan (Persons et.al.1994:106).

Menurut pendapat Suharto (2004), keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberadaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan cultural dan politis. Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting): mikro, meso, dan makro. Ketiga asas tersebut diuaraikan sebagai berikut:

Asas Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress managemen, crisis intervention.

menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered approach). • Asas Meso. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien.

Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.

Asas Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar

(large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada

sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi Sistem Besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.

Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi 5P, yaitu: Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan dan Pemeliharaan (Suharto 1997:218-219):

• Pemungkinan: menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat cultural dan struktural yang menghambat.

• Penguatan: memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka.

• Perlindungan: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya

persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.

• Penyokong: memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.

• Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.

Menurut beberapa penulis, seperti Solomon (1976); Rappaport (1981, 1984); Pinderhughes (1983); Swit (1984); Swift dan Levin (1987); Weick, Rapp, Sulivan dan Kisthardt (1989), terdapat beberapa prinsip pemberdayaan menurut perspektif pekerjaan sosial (Suharto 1997:216-217), yaitu:

• Pemberdayaan adalah proses kolaboratif. Karenanya pekerja sosial dan masyarakat harus bekerjasama sebagai partner.

• Proses pemberdayaan menempatkan masyarakat sebagai actor atau subjek yang kompeten dan mampu menjangkau sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan.

• Masyarakat harus melihat diri mereka sendiri sebagai agen penting yang dapat mempengaruhi perubahan.

• Kompetensi diperoleh atau dipertajam melalui pengalaman hidup, khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu pada masyarakat.

• Solusi-solusi, yang berasal dari situasi khusus, harus beragam dan menghargai keberagaman yang berasal dari factor-faktor yang berada pada situasi masalah tersebut.

• Jaringan-jaringan sosial informal merupakan sumber dukungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan meningkatkan kompetensi serta kemampuan mengendalikan seseorang.

• Masyarakat harus berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri.

• Tingkat kesadaran merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena pengetahuan dapat memobilisasi tindakan bagi perubahan.

• Pemberdayaan melibatkan akses terhadap sumber-sumber dan kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif.

• Proses pemberdayaan bersifat dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif; permasalahan selalu memiliki beragam solusi.

• Pemberdayaan dicapai melalui struktur-struktur personal dan pembangunan ekonomi secara paralel.

Syarat berlangsungnya proses pemberdayaan: (1) anggota masyarakat memiliki rasa kemasyarakatan (sense of community/guyub/kebersamaan) dan mereka aktif berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. (2) Partisipasi warga, yaitu suatu proses dimana tiap individu ikut ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan dalam lembaga, program dan lingkungan dimana mereka berada.

Asumsi teori pemberdayaan: (1) pemberdayaan memiliki bentuk yang berbeda untuk (sekelompok) orang yang berbeda. (2) pemberdayaan memiliki bentuk yang berbeda dalam situasi berbeda. (3) pemberdayaan berfluktuasi atau berubah sesuai dengan perubahan waktu. Kata pemberdayaan (empowerment) mengandung arti adanya sikap mental yang tangguh atau kuat, sehingga kegiatan yang berbasis pemberdayaan adalah pertolongan yang diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut kemudian mengkomunikasikan kekuatan untuk mengubah hal-hal yang ada dalam diri kita (inner space), orang lain dianggap penting dan masyarakat sekitar.

Pada dasarnya pemberdayaan diletakan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis control

individu terhadap keadaan social, kekuatan politik dan hak-haknya menurut undang-undang. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Dengan demikian dapat dikatakan pemberdayaan adalah memberikan masyarakat sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi komunitas.

Sutomo (2003) mengatakan bahwa pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka peningkatan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini pada akhirnya akan menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Selanjutnya Sutomo (2003) berpendapat bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan secara individual maupun kolektif (kelompok), karena proses ini merupakan wujud perubahan sosial yang menyangkut relasi atau hubungan antara lapisan sosial atau status hiraki lain yang dicirikan dengan adanya polarisasi ekonomi, kemampuan individu senasib untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif.

Konsep pemberdayaan (empowerment) dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Pemberdayaan mengesankan arti adanya sikap mental yang tangguh dan kuat (Ditjen P3K 2003). Selanjutnya DKP (2003) mendefenisikan pemberdayaan adalah sebuah pernyataan tentang kesanggupan pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Pemberdayaan sebagi proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya bahkan merupakan suatu keharusan untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lain dalam rangka mencapai tujuan mereka. Dari konsep pemberdayaan tersebut, dapat dikatakan bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir merupakan pemberdayaan masyarakat pesisir untuk memanfaatkan dan mengelolah sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan lestari sebgai upaya meningkatkan kesejahteraan mereka.

Menurut Usman (2004) pemberdayaan masyarakat adalah sebuah proses dalam bingkai usaha memperkuat apa yang lazim disebut community self reliance

atau kemandirian. Dalam proses ini masyarakat didampingi untuk membuat analisis masalah yang dihadapi, dibantu untuk menemukan alternatif solusi masalah tersebut, serta diperlihatkan strategi memanfaatkan berbagai resources

yang dimiliki dan dikuasai. Sedangkan, Suharto (2005) menyatakan, bahwa tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi eksternal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi eksternal (misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil).

Adapun ciri-ciri masyarakat yang berdaya menurut Sumardjo (2006) adalah: 1. Mampu memahami diri dan potensinya

2. Mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), dan mengarahkan dirinya sendiri.

3. Memiliki kekuatan untuk berunding, bekerjasama secara saling menguntungkan dengan bargaining power yang memadai.

4. Bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.

Sedangkan ciri lain dari masyarakat yang berdaya juga disampaikan oleh Suhendra (2006) yaitu:

1. Mempunyai kemampuan menyiapkan dan menggunkaan pranata dan sumber-sumber yang ada dimasyarakat.

2. Dapat berjalannya bottom up planning.

3. Kemampuan dan aktivitas ekonomi.

4. Kemampuan menyiapkan hari depan keluarga.

5. Kemampuan menyampaikan pendapat dan aspirasi tanpa adanya tekanan.