BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.2 Implementasi Program Binjai Smart City Melalui Elektronik Dokter
4.2.1 Isi Kebijakan
4.2.1.4 Letak Pengambilan Keputusan dalam Implementasi e-Dokter
Pengambilan keputusan menjadi hal yang penting dalam suatu kebijakan, pada saat kebijakan dibuat dan diputuskan untuk diimplementasikan. Pada sisi lain, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu sisi pengambilan keputusan yang sangat terkait dengan keberhasilan dan kegagalan sebuah kebijakan. Pada bagian ini, Merille S.Grindle mengemukaakan bahwa implementasi kebijakan akan berhasil apabila indikator pengambilan keputusannya jelas.
Untuk itu bagian ini harus menjelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang hendak diimplementasikan.
Letak pengambilan keputusan sangat erat dengan yang namanya stake holder, dimana setiap keputusan yang diambil dalam menjalankan suatu kebijakan dan program harus sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang telah diputuskan. Menurut Thomas R.Dye (dalam Subarsono 2009:2) apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy whatever government choose to do or not to do). Artinya, segala sesuatu yang dilakukan atau tidak dilakukan tergantung dari keputusan pemerintah.
Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan. Dalam prakteknya, sebuah kebijakan yang dilaksanakan dengan melibatkan banyak stake holder dalam pengambilan keputusan maka cenderung lebih sulit diimplementasikan dibandingkan dengan kebijakan yang memusatkan posisi pengambil keputusan pada satu atau sebagian stake holder saja. Hal serupa sama dengan program e-Dokter di Kota Binjai yang diluncurkan Pemerintah Kota Binjai sebagai inovasi menyongsong kebijakan Smart City.
Salah satu bentuk keputusan yang diambil dalam program e-Dokter ini adalah Peraturan Daerah Kota Binjai untuk membuat
Rencana Panjang Jangka Menengah Daerah tahun 2016-2021, yang kemudian disusul dengan Peraturan Walikota tentang penyelenggaraan Binjai Smart City, agar program-program Smart City bisa berjalan setelah adanya peraturan tersebut. Untuk melaksanakan program tersebut Pemerintah juga mengeluarkan surat keputusan walikota tentang tim implementasi e-Government Kota Binjai Tahun 2016 dan keputusan penunjukan tenaga pendamping implementasi e-Government Kota Binjai Tahun 2016, keputusan tim pengkaji dan penelitian bidang informasi dan komunikasi Kota Binjai Tahun 2017 dan Tenaga Pendamping pengkajian dan penelitian bidang informasi dan komunikasi Kota Binjai Tahun 2017.
Namun, dari segi pengambilan keputusan yang khusus untuk e-Dokter, peneliti tidak menemukan adanya posisi signifikan pemerintah dalam pengambilan keputusan. Pada pasal 10 Peraturan Walikota Binjai Nomor 53 Tahun 2017 menyatakan bahwa monitoring dan evaluasi penyelenggaraan Binjai Smart City yang dalam hal ini Dokter dilakukan oleh setiap perangkat daerah. Artinya untuk e-Dokter sendiri lebih dibebankan kepada OPD terkait pelaksananya.
Dalam pengimplementasian e-Dokter di Rumah Sakit Djoelham, tidak terlihat sisi pengambilan keputusan dalam mengatasi masalah pelaksanan e-Dokter, seperti adanya sanksi bagi dokter yang terlambat datang ke poli, kemudian program e-Dokter belum didasari keputusan tertulis bahwa Rumah Sakit Umum Daerah harus menjalankan e-Dokter, kemudian belum adanya standart operasional
prosedur e-Dokter di Rumah Sakit tersebut, dan sejauh ini sifatnya masih arahan dari Direktur dan Pemerintah saja. Namun, untuk penunjukkan operator e-Dokter di Rumah Sakit Djoelham telah diputuskan berdasarkan surat perintah tugas dari Direktur yang menunjuk dua orang sebagai operatornya. Hal ini senada dengan yang diungkapkan salah satu informan yang peneliti wawancarai, yaitu:
“Kalau untuk pengambilan keputusan tentang e-dokter ini pertama dari direktur ya, saya sebagai kabag rekam medis khususnya, mendapat tugas tambahan untuk bidang promosi kesehatan untuk menjalankan e-dokter, bersama tim saya lah menjalankan e-dokter tersebut, kalau untuk peraturan khusus atau sop belum ada. Tapi paling penunjukkan untuk operasional e-dokter waktu itu langsung ditanda tangani oleh direktur menunjuk dua orang untuk mengoprasionalkan e-dokter dan juga mensosialisasikan e-dokter di rsud.rm.djoelham kota binjai ini. Kalau untuk surat keputusan walikota sepertinya sejauh ini belum ada ya sampai ke tangankami. Paling setiap rapat dengan sekda , walikota, dan dinas kominfo kami diminta untuk lebih meningkatkan program e-dokter lagi. Soal kendala yang kami hadapi sepertimasyarakat yang kurang memahami, biasan kami menanmpung keluhan dari admisi yang mengelola e-dokter, dan kami membuat strategi agar banyak masyarakat yang menggunakannya. Kalau untukkendala pada dokter yang terlambat sebaiknya ditanyakan ke bidang pelayanan. Tapi setau saya sejauh ini belum ada arahan langsung untuk sanksikepada dokter setelah adanya e-dokter” (Informasi dari hasil wawancara 26 April 2018, transkrip wawancara hal. 27).
Hal tersebut juga sama dengan yang diungkapkan informan lainnya yaitu:
“Untuk pengambilan keputusan dalam e-dokter ini sifatnya belum tetap ya atau bersifat menjadi keharusan baik dari pemerintah atau direktur, artinya ketika kami diarahkan direktur untuk menjalankan e-dokter ya kami menjalankan, tetapi untuk mengatasi kendalanya, saat ini kami hanya berusaha agar masyarakat mau menggunakan e-dokter dibanding dengan mengantri tanpa e-dokter dengan cara memberikan pelayanan yang lebih dari yang tidak menggunakan. Dan kalau untuk kendala dari dokter yang masih
terlambat datang ke poli mungkin karena tidak ada reward dan punishman, sehingga meskipun dengan adanya e-dokter masyarakat masih tetap menumpuk mengantri. Tidak ada peraturan atau kebijakan baik dari pemerintah setau saya tentang e-dokter untuk Rumah Sakit ini” (Informasi dari hasil wawancara 26 April 2018, transkrip wawancara hal. 27).
Letak pengambilan keputusan juga belum terlihat siapa yang bertanggung jawab untuk mengawasi dan memonitoring, mengapa di tingkat Puskesmas, R.S. Tentara, dan R.S. Sylvani program e-Dokter belum berjalan. Hal inilah yang diakui dan diungkapkan ketiga informan ketika peneliti mewawancarai informan, yaitu:
“Dalam pelaksanaan e-dokter pengambilan keputusan sebenarnya menjadi tanggung jawab saya selaku direktur, namun beberapa hal penting seperti penyediaan fasilitas, anggaran maupun lainnya dalam mendukung e-dokter sementara ini belum bisa dilaksanakan, meskipun kami pernah mencobanya. Karena kami juga melihat kondisi masyarakat yang tidak ada memesan dan sejauh ini tidak ada complain soal waktu antrian. Pengambilan keputusan selanjutnya juga ada pada dinas kesehatan yang saat ini masih bersifat pengawasan dan menghimbau untuk mengingatkan Rumah Sakit sylvani untuk menjalankan e-dokter, namun itu hanya sekali. Artinya memang pemerintah mengambil keputusan untuk tidak mengharuskan pihak swasta menjalankannya” (Informasi dari hasil wawancara 18 April 2018, transkrip wawancara hal. 29).
Hal yang sama juga diungkapkan informan lainnya, yaitu:
“Segi pengambilan keputusan memang berada pada kami di R.S. Tentara ini, namun kami belum mengambil keputusan untuk menjalankan e-dokter, melihat kami hanya diundang dalam tahap perkenalan e-dokter saja, sehingga kami juga tidak memutuskan siapa yang akan menjadi operator e-dokter.
Dan melihat masyarakat yang kondisinya juga yang berobat tidak rata-rata menggunakan handphone dan berusian lansia, maka berat rasanya untuk menjalankan e-dokter ini”(
Informasi dari hasil wawancara 11 April 2018, transkrip wawancara hal. 29).
Begitu juga yang diungkapkan informan satu ini, yaitu:
“Kalau pengambilan keputusan dalam pelaksanaan e-dokter itu di pemerintah ya, karena saat ini yang saya lihat kurangnya
monitoring dari pemerintah, sehingga kami bingung apakah memang sebenarnya program ini wajib untuk dijalankan atau tidak, saya waktu itu menunjuk satu perawat sebagai operatornya yang akan diajarkan e-dokter, tapi setelah itu saya tidak tahu lagi apakah dia menjalankannya atau tidak”
(Informasi dari hasil wawancara 21 April 2018, transkrip wawancara hal. 30).
Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan beberapa informan dapat dipahami bahwa program e-Dokter tidak didukung dengan pengambilan keputusan yang jelas seperti peraturan tertulis, tim promosi dan sosialisasi program e-Dokter, standar operasional prosedur sampai surat keputusan. Hal inilah yang menyebabkan e-dokter masih hanya berjalan di RS. Djoelham, dan itupun pelaksanaannya masih dinilai kurang maksimal dalam sistem pelaksanaannya.
Gambar 4.5. Peraturan Walikota Binjai Nomor 53 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Binjai Smart City.
Sumber : Dokumentasi, 24 April 2018
Dari hasil dokumentasi di atas, terlihat bahwa program e-Dokter hanya mengacu pada peraturan ini, padahal program e-dokter belum termuat di dalam peraturan tersebut seperti apa itu e-dokter,
manfaatnya, untuk apa dan bagaimana proses pelaksanaannya. Dalam peraturan tersebut hanya di sampaikan bahwa untuk menjadikan kota Binjai kota yang cerdas yang seharusnya pemerintah juga harus membuat program untuk menjadikan sumber daya manusianya juga cerdas. Kemudian, tidak ditentukannya siapa OPD-OPD yang terkait dalam pengambilan keputusan untuk menjalankan e-dokter ini, seperti tidak adanya surat perintah kerja bagi para pegawai yang bertugas menjalankan sistem e-dokter. Salah satunya membuat e-dokter tidak berjalan, akibat pengambilan keputusan yang belum jelas.
Peneliti juga telah melakukan observasi pada tanggal 02 Mei 2018, dalam pengamatan peneliti, proses pelayanan pasien e-dokter menjadi lama ketika dokter-dokternya tidak tepat waktu saat poliklinik sudah dibuka, dokter belum hadir. Berhari- hari peneliti mengamati bahwa tidak ada tindak lanjut terhadap dokter-dokter yang terlambat melayani pasien, padahal jika pasien menggunakan e-dokter seharusnya waktu yang dipesan sesuai dengan waktu saat bertemu dengan dokter. Inilah salah satu contoh bahwa pengambilan keputusan program e-Dokter yang kurang maksimal yang harus menjadi perhatian bersama. (Informasi hasil dari observasi 02 Mei 2018, Transkrip observasi hal.57).
Dari hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, peneliti menginterpretasikan bahwa indikator pengambilan keputusan pelaksanaan e-Dokter ini masih belum terlihat jelas, apakah program ini benar-benar dibuat berdasarkan kebijakan yang sudah ada atau
tidak, dan sejauh ini juga peneliti tidak menemukan adanya keputusan-keputusan pemerintah atau OPD terkait pelaksanaan e-Dokter di lapangan. Kelemahannya, jika posisi pengambilan keputusan pelaksanaan e-Dokter berada dimana-mana maka akan sulit mengimplementasikan program e-Dokter kedepannya, karena pengambilan keputusan yang jelas dan serius adalah bentuk komitmen sebuah kebijakan dibuat, terlebih-lebih jika ada aktivitas yang harus diperbaiki ketika kebijakan e-Dokter diimplementasikan.
4.2.1.5 Pelaksana Program dalam Implementasi e-Dokter Kota Binjai
Dalam proses implementasi kebijakan, pelaksana program adalah indikator yang paling penting dalam menentukan keberhasilan sebuah kebijakan dilaksanakan. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan dari pelaksana program yang memiliki kemampuan yang kompeten dan kapabel. Tidak hanya itu, pelaksana program harus juga mendukung program tersebut dilaksanakan dengan sikap yang responsif, perilaku yang ramah dan sopan, serta memiliki rasa yang menjunjung tinggi kejujuran dan tanggung jawab.
Dalam bagian ini dijelaskan bahwa Merille S.Grindle mengemukakan keberhasilan sebuah implementasi kebijakan melalui indikator pelaksana program, dikarenakan pelaksana program adalah kunci dan tolak ukur dari kebijakan itu berhasil atau gagal dilaksanakan. Penunjukkan pelaksana program yang kompeten dan kapabel harus ditentukan dan ditetapkan pada awal pembuatan
kebijakan. Artinya, pelaksana program inilah nantinya yang akan memberi dan menyediakan pelayanan bagi masyarakat di dalam suatu program yang telah dibuat.
Pada program Binjai Smart City melalui Elektronik Dokter (Dokter) harus diketahui siapa yang menjadi pelaksana program e-Dokter di Kota Binjai tersebut. Dalam implementasiannya, Dinas Kominfo adalah sebagai pelaksana program aplikasi e-Dokter yang telah ditunjuk dalam surat keputusan walikota Nomor 188.45-579/K/TAHUN 2016, Dinas Kominfo sendiri memiliki tugas dan fungsi sebagai fasilitator aplikasi dan jaringan e-Dokter yang terpusat di Binjai Command Center. Kemudian Dinas Kominfo juga bertanggung jawab memberikan sosialisasi kepada masyarakat dan memberikan pengarahan serta pembelajaran kepada para operator e-Dokter di Rumah Sakit dan Puskesmas-Puskesmas.
Pelaksana program lainnya yang turut juga terlibat dalam pengimplementasian e-Dokter di Kota Binjai adalah Dinas Kesehatan.
Dinas Kesehatan masih bertugas dalam memberikan arahan dan memonitoring pelaksanaan e-Dokter ditingkat Puskesmas-Puskesmas.
Hal ini sama diungkapkan salah satu informan, yaitu:
“Dalam perencanaannya, yang menjadi pelaksana program e-dokter itu pertama dinas kominfo sebagai fasilitator aplikasi dan jaringan, kemudian kalau untuk pelaksana teknis e-dokternya itu adalah opd yang membawahi bidang kesehatan, seperti Rumah Sakit umum daerah djoelham, dan dinas kesehatan sebagai katakanlah ibu dari puskesmas-puskesmas yang ada di kota binjai. Soal sdm yang dipilih untuk menjalankan e-dokter itu saya rasa semua dokter dan perawat harus mengetahui adanya e-dokter, namun beberapa mungkin dipilih sebagai operator sistem e-dokter yang setau saya tidak
ada kriteria tertentu memilihnya, mungkin saja alasan pertama yang dipilih itu adalah yang pns, artinya kan memang gaji nya sudah ditetapkan pemerintah namun beban tugasnya saja ditambahkan “ (Informasi dari hasil wawancara 7 Mei 2018, transkrip wawancara hal. 31).
Hal yang sama juga lebih ditegaskan oleh informan lainnya, yaitu :
“Kalau dari pihak dinas kominfo ada bebarapa orang yang ditunjuk melalui surat keputusan walikota sebagai tim implementasi e-government, namun kami juga bersama tim pendamping dari politeknik. Tugas kami disini selalin sosialisasi, kami lah yang memastikan kalau jaringan it tersebut bisa diakses, kemudian kami juga fasilitator aplikasi dan akun untuk Rumah Sakit dan puskesmas, kemudian kami juga membantu memberikan pengajaran kepada perawat-perawat untuk mengoprasionalkan e–dokter dan menerinama keluhan ketika ada maslaah dalam aplikasi. Dan selebihnya adalah tugas pelaksana teknis dilapangan yaitu pemberi pelayanan kesehatan seperti pihak Rumah Sakit dan puskesmas” (Informasi dari hasil wawancara 24 April 2018, Transkrip wawancara hal. 31).
Sejalan dengan wawancara di atas dapat dipahami bahwa pelaksana program sejauh ini yang ditunjuk secara resmi hanya bagian IT nya saja, selebihnya untuk penentuan pelaksana program diserahkan kepada masing-masing pelaksana teknis di lapangan. Seperti yang diungkapkan salah satu informan di bawah ini, yaitu;
“Kalau ditanya soal pelaksana tentu semua pihak Rumah Sakit terlibat, namun alurnya memang yang paling tepat dikatakan sebagai pelaksana adalah perawat dibagian pendaftaran, kemudian dibagian loket, kemudian dibagian poliklinik, dokter-dokter yang melayani yang di pesan masyarakat dan terakhir adalah perawat atau apoteker-apoteker di apotek saat melayani pengambilan obat pasien e-dokter. Soal kriteria pelaksana yang dipilih, tidak ada ya, karena memang sebelum adanya e-dokter ini juga sudah menajdi tugas mereka dalam melayani, hanya saja ditambahkan tugas memverifikasi dan melayani lebih cepat pasien e-dokter. Dan pelatihan khusus dari Rumah Sakit ataupun pemerintah belum ada, paling pembelajaran dari dinas kominfo untuk operator e-dokter. tidak ada juga peraturan atau sop yang menyatakan secara tertulis bahwa pihak Rumah Sakit dalam hal ini dokter-dokter sebagai pelaksana program. Itu
saja” (Informasi dari hasil wawancara 26 April 2018, transkrip wawancara hal. 32).
Hal yang sama juga disampaikan informan lain, bahwa belum ada penentuan pelaksana program secara tertulis oleh pemerintah , seperti yang diungkapkan informan-informan di bawah ini, yaitu:
“Untuk pelaksana e-dokter di Rumah Sakit ini belum ada, kan tadi sudah saya bilang kami diundang hanya sebatas pemberitahuan kalau ada program pemerintah untuk masyarakat khususnya di pelayanan kesehatan. Jadi, karena kami belum menjalankanjadi kami belum tahu siapa pelaksananya dan belum memutuskan pelaksananya”
(Informasi dari hasil wawancara 11 April 2018, transkrip wawancara hal. 33).
“Setau saya sih pelaksana e-dokter dipuskesmas ini ya cuma saya, cuma kalau untuk mensosialisasi kan semua kami terlibat, termasuk juga d posyandu kader-kader kita, kita mintai tolong untuk mensosialisasikannya, namun untuk sebagai operatornya hanya saya yang ditunjuk, dan hanya saya pula yang diajarkan dinas koinfo saat perkenalan e-dokter. Kalau ditanyak ada pelatihan khsus sampaisaat ini belum ada, hanya 1 atau 2 kali dinas kominfo mengajarkan tentang e-dokter, selebihnya mereka sampaikan kalau ada keluhan atau kendala pada bagian it nyasilahkan hubungin kami. Cumaitu aja sih. Kalau untuk surat perintah tugas tambahan setahu saya belum ada, jadi sifatnya belum tetap apakah saya ini akan tetap menjadi operator e-dokter atau tidak” (Informasi dari hasil wawancara 02 April 2018, transkrip wawancara hal. 34).
Jadi, kesimpulan dari hasil wawancara peneliti dengan informan-informan di atas, yaitu pengimplementasian e-Dokter secara teknisnya, pelaksana program adalah pihak Rumah Sakit dan Puskesmas-Puskesmas yang sudah termuat didalam aplikasi e-Dokter.
Namun, untuk pelaksana program tersebut tidak ditemui peraturan atau kebijakan tertulis tentang e-Dokter yang menyatakan bahwa pihak Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta dan Puskesmas sebagai pelaksana program.
Pada tanggal 02, 04, 11, dan 24 April 2018 peneliti telah melakukan observasi fasilitas kesehatan di masing-masing tempat baik Rumah Sakit maupun puskesmas yang terdata sebagai fasilitas kesehatan yang menerima pasien e-Dokter. Dari hasil pengamatan peneliti, hanya RS. Djoelham yang terlihat memiliki pelaksana program e-Dokter, seperti perawat di pendaftaran, di loket, dokter di poli dan perawat di apotek. Saat diamati, para petugas e-dokter ini terlihat bekerja sangat sigap meskipun dari hasil wawancara hanya 2 orang yang menerima surat perintah kerja tambahan. Selain itu, pelaksana program di puskesmas-puskesmas juga tidak terlihat, selain perawat yang hanya ditunjuk mengoprasionalkan e-Dokter, apalagi di Rumah Sakit swasta yang sama sekali belum menentukan siapa yang akan melaksanakan program e-Dokter tersebut (Informasi dari hasil observasi April 2018, Transkrip observasi hal. 58).
Gambar 4.6. Pelaksana Program e-Dokter R.S. Djoelham
Sumber: Sumber: Dokumentasi, 2 Mei 2018
Gambar di atas adalah dokumentasi yang menunjukkan pelaksana program dalam proses pemberian pelayanan berbentuk sosialisasi kepada pasien-pasien di R.S. Djoelham untuk memberikan
pengetahuan tentang e-Dokter. Pada gambar tersebut, perawat yang terlibat sebagai pelaksana e-Dokter telah menerima surat perintah kerja tambahan dari Direktur Rumah Sakit untuk mengupayakan agar e-Dokter bisa terus berkembang. Berikut ini adalah dokumentasi surat perintah tugas tambahan pegawai yang bertugas menjalankan e-Dokter di R.S Djoelham.
Gambar 4.7. Surat Perintah Tugas Tambahan Pegawai Yang Menjalankan E-Dokter
Sumber: Dokumentasi, 26 April 2018 di R.S Djoelham Kota Binjai Dari hasil penelitian yang telah dikemukakan, maka peneliti menginterpretasikan bahwa indikator pelaksana program belum memadai dan belum ditentukan secara jelas, resmi sesuai dengan keputusan-keputusan yang berlaku sehingga tujuan pencapaian keberhasilan e-Dokter sulit tercapai. Hal ini disebabkan, karena tidak adanya peraturan, keputusan, maupun kebijakan yang menyatakan bahwa Dinas Kesehatan, Rumah Sakit - Rumah Sakit dan Puskesmas-Puskesmas di Kota Binjai yang termuat di dalam aplikasi e-Dokter sebagai pelaksana program. Kemudian pelaksana program secara
individu juga belum ditentukan secara resmi oleh Pemerintah, dan saat ini sifatnya masih perintah tugas tambahan dari atasan, seperti R.S.
Djoelham, serta puskesmas yang juga belum menetapkan siapa pelaksana program e-Dokter. Intinya, dalam program e-Dokter indikator pelaksana program belum disebutkan secara jelas siapa implementornya.
4.2.1.6 Keterkaitan Implementasi e-Dokter di Kota Binjai dengan Sumber-Sumber Daya yang Digunakan
Implementasi kebijakan akan berhasil jika sebuah kebijakan didukung dengan adanya sumber daya-sumber daya yang memadai.
Sumber daya-sumber daya yang maksimal akan mendukung implementasi yang baik pula. Sumber daya menjadi salah satu kunci kesuksesan proses implementasi kebijakan bagi suatu daerah.
Meskipun meskipun isi kebijakan sudah dikomunikasikan dengan jelas dan konsisten, tetapi apabila sumber daya manusia, sumber daya finansial dan sarana prasarana tidak mendukung dan tidak memadai maka implementasi kebijakan tidak akan berjalan efektif.
Dalam pelaksanaan suatu kebijakan akan berjalan dengan efektif dan lancar apabila di dalam pelaksanaannya dilakukan oleh sumber daya manusia yang mencukupi dan berkualitas dari segi pengetahuan dan kemampuan. Kemudian, sumber daya finansial yaitu anggaran juga menjadi hal yang penting dalam mendukung pelaksanaan program karena segala seuatu selalu berkaitan dengan keuangan, dan sarana-prasarana juga menjadi dukungan dalam
pelaksanaan sebuah program. Pada bagian ini ingin dijelaskan bahwa dalam implementasian program e-Dokter di Kota Binjai, apakah didukung dengan sumber-sumber daya yang tepat dan memadai atau tidak.
Sebagai pelaksana yang ikut mengembangkan program e-Dokter, Dinas kominfo mengungkapkan bahwa sejauh ini masih ada kekurangan dari sumber daya manusia, meskipun sumber daya sarana-prasarana juga telah mendukung. Hal inilah yang diungkapkan salah satu informan di bawah ini:
“Kalau sumber daya dalam program e-government ini, karena kami sudah ditunjuk, ya harapannya sih bisa cukup meskipun sebenarnya kurang untuk mengembangkan aplikasi. Melihat juga masih dalam tahap awal, wajar kalau tidak semua dari dinas kominfo dilibatkan dalam pelaksananya, tetapi bukan berarti yang lain tidak membantu karena tidak ditunjuk, tetapi mungkin tugasnya akan lebih menjadi tanggung jawab kami sebagai SDM yang sudah ditunjuk. Fasilitas yang dibutuhkan untuk keberlangsungan program tersebut sangat banyak ya terutama dalam bidang IT. dan alhamdullillah semuanya meskipun masih dalam tahap awal sudah sangat mencukupi, seperti provider, jaringan, wifi, kabel dan lain-lainnya. Dan semua itu adalah dari anggaran pemerintah kota Binjai dalam menyongsong program Binjai Smart City” (Informasi dari hasil wawancara 24 April 2018, transkrip wawancara hal. 35).
Peneliti juga telah melakukan observasi dan dokumentasi pada 04 April 2018 terkait dengan sarana dan prasarana yang ada di dinas kominfo terutama pendukung untuk program Binjai Smart City khususnya e-Dokter.
Gambar 4.8. Fasilitas Pendukung Program Binjai Smart City Di Dinas Kominfo Binjai
Sumber: Observasi dan Dokumentasi, 04 April 2018
Dari hasil observasi dan dokumentasi yang peneliti dapat, untuk sumber daya-sumber daya berupa fasilitas sudah sangat memadai,
Dari hasil observasi dan dokumentasi yang peneliti dapat, untuk sumber daya-sumber daya berupa fasilitas sudah sangat memadai,